- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Mobil Oil dan pelanggaran HAM di Aceh
Down to Earth No. 39, Nopember 1998
Mobil Oil Indonesia, penghasil gas alam terbesar di Indonesia, dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Sumatera yang tercabik-cabik perang, Aceh.
Mobil Oil Indonesia adalah perusahan patungan antara perusahaan raksasa Mobil yang bermarkas di Amerika Serikat dengan perusahaan negara Indonesia, Pertamina. Daerah operasi utama mereka adalah ladang minyak dan gas yang kaya di Aceh dan di lepas pantainya. Perusahaan ini juga memiliki saham di pabrik gas alam cair (LNG) Arun yang memproses gas untuk diekspor.
Aceh, yang menjadi tempat kekejaman tentara Indonesia dalam usaha menumpas gerakan kemerdekaan, hampir diabaikan oleh masyarakat internasional dan media diluar negeri. Walaupun ada laporan-laporan yang rinci dari kelompok-kelompok HAM di Indonesia dan organisasi internasional seperti Tapol, Asia Watch, dan Amnesty Internasional, kondisi buruk orang Aceh tidak mendapat simpati dari pemerintah Dunia Barat. Industri minyak dan gas, yang menyuguhkan keuntungan besar bagi investor asing, mungkin salah satu alasan di belakang sikap tak peduli itu. Terjadinya serangan terhadap instalasi Mobil Oil yang mendorong Jakarta untuk menjadikan wilayah itu daerah operasi militer pada tahun 1980. Sejak itu puluhan ribu orang tewas dibunuh atau 'dihilangkan' oleh tentara.
Bagaimanapun juga hanya kejatuhan Suharto yang membuat skala pelanggaran di Aceh menjadi tersingkap. Pada Bulan Agustus, Presiden Habibie dan Panglima ABRI Wiranto meminta maaf atas penyiksaan tersebut dan memulai penarikan mundur 1.000 tentara. Penyidikan oleh Komnas HAM mulai membuahkan hasil. Sedikitnya sembilan kuburan massal digali kembali, dengan berisi sampai 5.000 jenasah. Pada Bulan September, setelah kerusuhan marak, pasukan diperintahkan untuk kembali ke Aceh dan ratusan tentara ditempatkan di lokasi penyilangan gas maupun lokasi-lokasi industri lainnya di Lhokseumawe, di dekat tempat operasi Mobil.
Mobil Oil sudah menjadi beban berat bagi masyarakat Aceh selama bertahun-tahun. Kasus polusi dan pengambil-alihan tanah secara curang membuat kehadiranya tidak disambut baik. Masyarakat sadar bahwa semua perolehan menguntungkan perusahaan, sekelompok elite di wilayah itu, dan peti tabungan di Jakarta, jadi bukan mayoritas rakyat Aceh. Aceh diperkirakan menyumbang sebanyak 30 % dari total ekspor minyak dan gas Indonesia atau 11 % dari total ekspor Indonesia akhir 1980-an, namun menurut data pemerintah 40 % kampung-kampung di Aceh digolongkan sebagai 'miskin.'
Daftar pelanggaran isinya panjang, termasuk ledakan yang merusak rumah-rumah penduduk, luapan limbah cair yg menggenangi sawah dan tambak udang penduduk maupun tingkat kebisingan dan pencemaran air. Sebagai akibat peristiwa tahun 1992, dimana tanah penduduk Desa Pu'uk tergenang limbah cair dari Mobil Oil, masyarakat tsb mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap Mobil. Mereka dikalahkan.
Namun daftar keberatan masyarakat yang diumumkan Bulan Oktober lebih dari sekedar masalah polusi dan perampasan tanah, yang merupakan gejala umum dalam proyek-proyek pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Daftar itu menyoroti hubungan yang erat antara perusahaan dan pelindungnya di kalangan militer di Indonesia, yang sudah terkenal karena kekerasan dan penindasan terhadap para pembangkang di Papua Barat, Timor-Leste, dan juga di Aceh, sudah terdokumentasi dengan baik.
Dua pos militer didirikan dengan bantuan perusahaan.Yang satunya dekat daerah operasi Mobil disebut Pos 13; yang satu lagi di dekat pabrik Arun disebut Camp Rancong. Menurut pernyatan pers yang dibuat oleh LSM-LSM di Sumatera dan LSM nasional WALHI, bangunan dan perlengkapan Pos 13 disediakan oleh Mobil Oil. Pos tersebut dulu digunakan untuk menginterogasi korban-korban yang kemudian diserahkan ke pos lain. Pernyataan itu menyebutkan bahwa Mobil Oil telah menydiakan alat berat berupa excavator untuk menggali kuburan massal di Bukit Sentang dan Bukit Tengkorak, dan mengatakan bahwa jalan Mobil Oil digunakan untuk membawa para korban ke kuburan massal. Di Bukit Sentang, tempat ditemukannya sekitar 150 jenasah manusia, Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa mengatakan: ''Hal ini membuktikan bahwa Aceh telah menjadi ladang pembantaian.'' Satu jenasah pria yang digali, ditutup matanya dengan kain, dan hanya mengenakan pakaian dalam, sementara tangannya diikat kebelakang dengan menggunakan sabuk tentara.
Mobil Oil juga dituduh tidak mengambil tindakan dalam kasus-kasus penculikan karyawannya yang dilakukan oleh aparat militer.
Arun, seperti disebut dalam pernyataan LSM itu, membangun Camp Rancong yang digunakan oleh Kopassus untuk menyiksa dan bahkan membunuh korban-korban pelanggaran HAM di Aceh.
Pernyataan itu mencakup tuntutan yang diajukan LSM-LSM, sebagai berikut :
- Mereka mendesak pemerintah Amerika Serikat mengambil tindakan tegas terhadap Mobil Oil sebagai upaya penegekan HAM.
- Mereka menuntut Mobil Oil dan Arun harus bertanggungjawab pada rakyat Aceh dengan meminta maaf kepada masyarakat internasional dan rakyat Indonesia, khususnya orang Aceh. Mereka harus memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban-korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer atas dukungan kedua Mobil Oil dan Arun.
- Mereka mendesak Amnesty International dan Human Rights Watch melakukan pemeriksaan terhadap keuangan Mobil Oil, khususnya dana-dana yang diberikan untuk operasi militer.
- Mereka juga menghimbau negara-negara konsumen oil dan gas untuk memboikot produksi oil dan gas dari kedua perusahaan itu apabila Mobil Oil dan Arun mengelak dari tanggungjawab.
(Sumber: Drillbits & Tailings, September 4/9/98; Mobil Oil and PT Arun must take responsibility for human rights violation in Aceh, Walhi dan LSM-LSM di Sumatera, 10/10/98; World Socialist Website 28/8/98, G. Aditjondro After Ogoniland, will it be the turn to Aceh? 1997. Lihat juga Tapol Buletin 148 untuk rincian latar belakang tentang situasi di Aceh)