Related categories
Related Stories
Down to Earth Newsletter
Subscribe to DTE's quarterly newsletter
Seabad Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
DTE 88, April 2011
Pembangunankelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan konflik, pelanggaran hak asasi manusia dan pencurian tanah masyarakat; pembangunan itu juga telah memicu kebakaran besar yang menghancurkan hutan, memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan iklim dan kesehatan manusia. Namun permintaan internasional yang terus menerus akan minyak sawit untuk makanan, kosmetik – dan sekarang industri energi – mengakibatkan dampak tersebut sepertinya akan tetap bertahan, karena Indonesia mendorong laju perluasan kebun kelapa sawit di seluruh nusantara. Setelahseratus tahun tanaman ini berada di Indonesia, jelas sekali mengapa perluasan perkebunan ini harus berhenti sekarang.
Seabad sudah perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sejak pembukaan kebun komersial pertama di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh pada tahun 1911.[1] Indonesia kini menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan kebun sawit seluas 8.036.431 hektar yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.[2]
Ledakan kelapa sawit benar-benar mulai terjadi pada tahun 1990-an, tetapi landasannya telah dipersiapkan satu dekade sebelumnya. Selama tahun 1980-an, Bank Dunia dan ADB mendanai beberapa proyek perkebunan kelapa sawit, beriringan dengan dukungan untuk program transmigrasi pemerintah Indonesia. Legislasi pendukungnya memastikan bahwa para keluarga miskin dari Jawa, Bali dan Madura dipindahkan ke Kalimantan, Sumatra dan ‘pulau-pulau luar’ yang dijadikan sasaran lainnya untuk membuka wilayah hutan dan menjadi sumber buruh murah bagi perusahaan industri perkebunan, sementara insentif finansial ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Pada akhir masa Suharto di tahun 1998, jumlah total area yang ditanami perkebunan kelapa sawit diperkirakan telah mencapai 2,5 juta hektar. Industri kelapa sawit menjadi semakin didominasi oleh konglomerat raksasa – beberapa di antaranya masih mendominasi dewasa ini. Empat kelompok Indonesia – Astra, Salim, Sinar Mas dan Raja Garuda Mas – mengendalikan dua pertiga perkebunan swasta pada tahun 1997.[3]
Pada abad yang baru perluasan pesat terus berlanjut dengan mengorbankan mata pencaharian masyarakat dan hutan. Keprihatinan atas dampaknya menyebabkan terbentuknya Meja Bundar Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO)[4] dan hanya setahun lalu Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia tetapi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah yang diincar oleh pengembang perkebunan, inisiatif-inisiatif ini belum menghasilkan perbaikan yang penting dan menyeluruh sebagaimana dibutuhkan untuk melindungi hak atas tanah dan mata pencaharian.
Sumber: Statistik Perkebunan2008-2010
Ekspor dan pasar
Sebagian besar dari produksi minyak sawit Indonesia ditujukan untuk ekspor. Walau nilai ekspor tersebut naik turun, volumenya menunjukkan peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Volume dan nilai ekspor minyak sawit 2006 – 2010
Tahun |
Volume (ton) |
Nilai (dolar AS) |
2006 |
1.745.954 |
4.139.286 |
2007 |
15.200.733 |
9.078.283 |
2008 |
18.141.006 |
4.110.229 |
2009 |
21.151.127 |
1.605.431 |
2010*) |
20.615.958 |
2.626.595 |
(Sumber: Biro Pusat Statistik) * Angka sementara[5]
India (33%), Cina (13%) dan Belanda (9%) merupakan negara tujuan utama minyak sawit Indonesia.[6] Menurut data dari Bank Dunia, Cina dan India diperkirakan mengonsumsi sekitar 27% dari 47,26 juta ton minyak sawit dunia di tahun 2009/2010.[7]
Dibandingkan dengan minyak sayur lain seperti, kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari, minyak sawit saat ini paling diminati. Di tahun 2009, minyak sawit memasok sekitar 32% dari 129,5 juta ton kebutuhan minyak sayur dunia.[8]
Sumber: http://soystats.com/2010/page_35.htm
Kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meroketnya harga minyak ikut mendorong tingginya permintaan akan minyak sayur, selain untuk keperluan bahan dasar kebutuhan pangan dan kosmetik. Sekarang minyak sayur sebagai bahan baku agrofuel mulai diminati sebagai pengganti bahan bakar fosil.
Hal ini memberi sebuah insentif bagi Indonesia untuk mempertahankan posisinya sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, memperluas perkebunan kelapa sawit dan menjamin pasokan minyak sawit ke pasar internasional. Dari 10,25 juta hektar lahan tambahan yang ditujukan untuk pengembangan agrofuel hingga tahun 2015, 4 juta hektar akan ditujukan bagi kelapa sawit.[9]
Selain atas permintaan bahan bakar nabati, perluasan kebun sawit juga dipromosikan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu jawaban terhadap perubahan iklim. Kementerian Pertanian berencana untuk melakukan perluasan kebun sawit di lahan non-hutan seluas 868.675 hektar hingga tahun 2014, sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim (lihat tabel).
Pertambahan wilayah perkebunan kelapa sawit pada lahan non-hutan (APL)
Wilayah |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Sumatra |
81.225 |
45.725 |
45.725 |
45.725 |
45.725 |
Kalimantan |
163.150 |
69.350 |
69.350 |
69.350 |
69.350 |
Sulawesi dan sekitarnya |
11.650 |
9.650 |
9.650 |
9.650 |
9.650 |
Papua dan sekitarnya |
32.550 |
20.300 |
20.300 |
20.300 |
20.300 |
Sumber: Roadmap Strategi Pertanian Menghadapi perubahan iklim, 2010
Konflik di perkebunan kelapa sawit
Cerita sukses Indonesia sebagai produsen terbesar sawit dunia dengan perhitungan keuntungan besar yang diperoleh melalui penjualan minyak sawit tidak diikuti oleh kisah sukses yang sama untuk masyarakat lokal, masyarakat adat serta petani sawit. Malah, pengembangan dan perluasan kebun berdasarkan sistem saat ini menyebabkan pemiskinan, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan konflik – terutama terkait lahan.
Proses pengambilalihan lahan masyarakat biasanya dilakukan dengan menggunakan salah satu atau kedua pendekatan ini: bujukan dan kekerasan. Pendekatan pertama menunjukkan perusahaan yang terkait mencoba membujuk masyarakat untuk menyerahkan lahan mereka. Untuk melakukannya, perusahaan tersebut memberikan janji-janji tentang peningkatan kesejahteraan dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat desa, tentang pemberian upah yang layak, menjadikan para petani sebagai petani plasma dengan hasil yang menguntungkan di kebun perusahaan, dan tentang pembangunan infrastruktur dan berbagai kemudahan yang diperlukan oleh desa, seperti sekolah, sarana kesehatan, dan jalan. Pada kenyataannya hampir semua janji tersebut tidak dipenuhi.
Ketika bujukan ini tidak bisa membuat masyarakat bersedia menyerahkan lahannya, maka biasanya perusahaan akan menggunakan cara paksaan atau kekerasan, misalnya melakukan tekanan melalui aparat desa atau kepolisan, atau menggunakan jasa preman untuk menakut-nakuti masyarakat.
DTE telah menyoroti banyaknya kasus penyiksaan yang terkait dengan pengembangan kelapa sawit selama dua dekade terakhir. Masyarakat harus melarikan diri dari desa mereka untuk menghindari penangkapan oleh aparat kepolisian karena menolak menyerahkan lahannya sementara yang lainnya terjerumus ke dalam situasi yang memperlakukan mereka hanya sedikit lebih baik dari budak pekerja.[10] Sebuah investigasi tahun 2007 oleh Kelompok Krisis Internasional mengungkapkan masalah kronis yang terjadi di perkebunan yang sudah ada di Boven Digul, Papua, terkait hak-hak lahan, akses ke sumber daya alam dan membanjirnya para pekerja non-Papua. Pada tahun yang sama Institusi Advokasi dan HAM Papua melaporkan bagaimana ketegangan meledak menjadi bentrok kekerasan di daerah yang sama.[11] Tahun 2010 Sawit Watch mencatat lebih dari 663 masyarakat yang berkonflik dengan lebih dari 172 perusahaan dan 106 orang ditangkap akibat konflik-konflik tersebut.[12]
Kebun kelapa sawit dan deforestasi Tahun lalu Kementerian Kehutanan Indonesia mengakui bahwa hanya 48 juta hektar hutan negara berada dalam kondisi baik, dari total 130 juta hektar yang diklasifikasikan sebagai hutan.[13] Perhitungan Forest Watch Indonesia (FWI) berdasarkan pencitraan satelit menyebutkan angka tutupan hutan (primer dan sekunder) sebesar 87.552.134,49 hektar pada tahun 2009 atau 31,13 persen dari luas daratan negara. Ini 46% lebih sedikit dari tahun 1950 ketika 162,29 juta hektar menutupi 84% area daratan.[14] Gelombang pertama deforestasi terjadi setelah dikeluarkannya Undang-undangKehutanan tahun 1967 dan pemberian konsesi hutan (HPH) 20 tahun kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu. Pada tahun 1969-1974, hampir 11 juta hektar konsesi HPH diberikan hanya di provinsi Kalimantan Timur saja. Pembukaan hutan untuk daerah transmigrasi, industri ekstraktif, pertanian dan, di daerah pesisir pantai, budi daya perairan, juga berdampak sangat buruk pada hutan. Kemudian muncullah kelapa sawit. Perkiraan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit bervariasi tapi tak diragukan bahwa tanaman ini, bersama dengan kayu pulp, bertanggung jawab atas sejumlah besar deforestasi selama dua abad terakhir. Sementara perkebunan kelapa sawit semakin bertambah luas, dari sekitar 3 juta hektar pada pergantian abad ini hingga seluas hari ini (lebih dari 8 juta hektar), perusahaan-perusahaan membuka lebih banyak hutan dan merebut lahan milik masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pada 2006, penelitian yang dilakukan Aliansi Iklim Hutan Indonesia (IFCA) dan Kementerian Kehutanan memperkirakan bahwa 70% dari 6 juta hektar perkebunan kelapa sawit pada saat itu telah dikembangkan dengan cara membuka hutan.[15] Penelitian independen oleh Sawit Watch dan FPP pada 2006 memberikan angka yang lebih tinggi: 18 juta hektar telah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit – walau hanya sepertiga dari jumlah ini yang benar-benar telah ditanami.[16] Pengembang perkebunan juga berada di balik bencana kebakaran hutan tahun 1997/1998. Pembakaran hutan dinilai sebagai pilihan paling murah untuk membuka lahan hutan untuk membangun perkebunan berskala besar. Dari 176 perusahaan yang dituduh membakar hutan untuk membuka lahan pada saat itu, 133 di antaranya adalah perusahaan perkebunan.[17] Hampir 4 juta hektar lahan pertanian, lebih dari 3 juta hektar hutan dataran rendah dan 1,5 juta hektar hutan gambut dan rawa dibakar pada 1997/1998. Diperkirakan 75 juta orang terkena dampaknya melalui asap, kabut, dan api itu sendiri. Kerugian ekonomi diperkirakan antara 4,5 miliar dolar AS hingga 10 miliar dolar AS.[18] Perluasan kelapa sawit masih akan terus berlanjut. Menurut Sawit Watch dan FPP, tahun 2006 saja pemerintah daerah telah menargetkan 20 miliar hektar lagi hingga tahun 2020.[19] Sejumlah besar kawasan hutan dan lahan gambut menjadi target untuk pengembangan dalam rencana-rencana di Papua, Riau, Kalimantan, Aceh dan daerah-daerah lainnya. Satu skema perkebunan raksasa yang direncanakan di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat meliputi 1,8 juta hektar lahan, yang sebagian besarnya adalah hutan. Rencana perkebunan kelapa sawit menargetkan total 3,5 juta hektar di provinsi tersebut.[20] Kalimantan Tengah juga memperlihatkan andilnya dalam deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit. Laporan FWI tahun 2007 menyebutkan bahwa dari 2.367.487 hektar yang dialokasikan, lebih dari sepertiganya masih tertutup hutan. Di sini, perkebunan dibuka di lahan gambut, dengan 14% dari 3 juta hektar lahan gambut provinsi tersebut sudah berubah menjadi kelapa sawit. Papua dan Aceh juga menjadi target untuk perluasan lebih lanjut. Pada 2006 Aceh memiliki lebih dari seperempat juta hektar tanaman tersebut dan pemerintah provinsi yang baru tengah merencanakan pada awalnya 185.000 hektar lagi di 17 kabupaten. Sementara itu, setahun sebelumnya, Jakarta telah menyatakan bahwa 454.468 hektar tersedia untuk pengembangan kelapa sawit baru di Aceh.[21] Tahun 2007, diumumkan target antara 1 hingga 5 juta hektar untuk Papua[22] yang sebagian besarnya diperkirakan akan dilakukan di 9,3 juta hektar wilayah Papua yang tergolong sebagai ’hutan konversi’.
Emisi karbon Selain dampak terhadap hak asasi manusia, kesehatan, mata pencaharian dan keanekaragaman hayati, dampak perubahan iklim dari pengembangan kelapa sawit sangatlah besar, khususnya karena banyak pengembangan kelapa sawit berlokasi di wilayah lahan gambut yang kaya karbon. Emisi dari deforestasi hutan dan pengurasan atau pengeringan lahan gambut bertanggung jawab atas peringkat Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia.[23] Kebakaran hutan di tahun 1997/1998 saja menghasilkan lebih dari 700 MT CO2, atau 40% dari total emisi dunia dari pembakaran bahan bakar fosil pada tahun tersebut.[24] Pada 2006 IFCA memperkirakan emisi kelapa sawit dari pembukaan hutan antara tahun 1982 dan 2005 sebesar 2.117 Mt CO2 (emisi di atas permukaan saja), tapi mencatat bahwa emisi lebih lanjut telah disebabkan oleh ’pengembangan kelapa sawit gadungan’ yang digunakan untuk memperoleh izin penebangan kayu.[25] Menurut penelitian yang dilakukan oleh Patrick Anderson dan Torry Kuswardono pada tahun 2008, izin-izin telah dikeluarkan untuk konversi sekitar 4 juta hektar hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp di Riau, Kalimantan Tengah, Jambi, Papua dan Papua Barat. Konsekuensi dari pembukaan dan pengeringan hutan-hutan ini adalah bertambahnya emisi tahunan CO2 Indonesia sebesar satu miliar ton lagi dan terus berlanjut pada tingkat tersebut untuk beberapa dekade.[26]
|
Notes:
[2]http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/component/content/article/36-news/203-ekspor-produk-kelapa-sawit-terus-naik.html
[3]Lihat laporan DTE tahun 2002 Hutan, Masyarakat dan Hak untuk latar belakang lebih jauh. Lihat DTE 82 untuk informasi lebih lanjut tentang Sinar Mas.
[4]Lihat, misalnya, DTE 68, Februari 2006 untuk latar belakang.
[5]http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/component/content/article/36-news/203-ekspor-produk-kelapa-sawit-terus-naik.html
[6]Bapenas & Direktorat Pangan dan Pertanian. 2010. Kebijakan dan Strategi dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan.
[7] http://siteresources.worldbank.org/INTGLBPROSPECTS/64218944-1106584665677/22478814/palmoil_EN.pdf
[10] Mat Cutik dari desa Talang Nangka, Sumatera Selatan terpaksa melarikan diri dari desanya karena memimpin gerakan penolakan kebun kelapa sawit – Lihat DTE 73. Hal ini juga dialami oleh kaum perempuan, lihat DTE 74. Lihat juga kisah Pak Suroso dalam DTE 87
[12]Komnas HAM-Sawit Watch, 2010. HAM & HGU
[13]Reuter, 6 Januari 2010, mengutip Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, http://in.reuters.com/article/2010/01/06/idINIndia-45191820100106
[14] Angkanya berbeda-beda tergantung sumber dan metode penghitungan. Menurut pemerintah dan Bank Dunia, antara 1985 dan 1997 Indonesia kehilangan hampir 20 juta hektar tutupan hutannya. Pada 1985, hutan mencakup sebesar 119.700.500 ha dan pada 1997 sebesar 100 juta ha. Perkiraan dari Forest Watch Indonesia / Global Forests Watch memberikan angka-angka yang lebih rendah, yakni 117.191.550 ha pada 1985 dan 95.628.800 ha pada 1997. Pada 2003, angka-angka Departemen Kehutanan menunjukkan tutupan hutan mencapai lebih dari 94 juta hektar. Sementara, perhitungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan menggunakan gambar satelit dari 2004-2006, menyatakan tutupan hutan sebesar 83 juta hektar, (meskipun catatannya menyatakan bahwa 33 juta ha tidak dapat diidentifikasi karena tertutup awan). Pada 2005, FAO menyebut angka sebesar 88,5 juta ha. Untuk latar belakang umum yang lebih jauh mengenai hutan lihat Laporan Khusus DTE tahun 2002, Hutan, Masyarakat dan Hak.
[15]Indonesia Forest Climate Alliance & Ministry of Forestry, REDDI: Redd Methodology and Strategies, Summary for Policy Makers, 2007.
[16]Promised Land , 2006, Sawit Watch, FPP, HuMa and World Agroforestry Centre, http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/promisedlandeng.pdf
[17]Lihat DTE 35, 1997, Suplemen Khusus tentang Kebakaran Hutan.
[18] Lihat Laporan Khusus DTE, Hutan, Masyarakat dan Hak.
[19]Promised Land, ibid.
[23]Emisi Indonesia diperkirakan sebesar 3 miliar ton CO2e per tahun. Lihat publikasi lama DTE mengenai ini, misalnya DTE 84, Maret 2010.
[25]Indonesia Forest Climate Alliance & Ministry of Forestry, REDDI: Redd Methodology and Strategies, Summary for Policy Makers, 2007.
[26]Patrick Anderson and Torry Kuswardono, Report to the Rainforest Foundation Norway on REDD in Indonesia, September 2008.