Related categories
Theme
Region
Publication
Theme
Related Stories
Down to Earth Newsletter
Subscribe to DTE's quarterly newsletter
Akankah REDD bermanfaat bagi masyarakat adat Papua?
DTE 89-90, November 2011
Artikel di bawah ini dibuat berdasarkan sejumlah tulisan dalam blog Pietsau Amafnini, Koordinator organisasi yang berbasis di Manokwari, JASOIL Tanah Papua. Alamat blog itu adalah http://sancapapuana.blogspot.com/.
Hutan tropis Papua sangatlah strategis dalam hal iklim global dan juga sebagai penghasil kayu serta produk hutan lainnya, yang perlu dikelola secara lestari. Untuk menerapkan REDD di Papua, sektor kehutanan berkewajiban untuk merehabilitasi hutan dan tanah yang mengalami degradasi serta mengelola hutan secara baik. Kalau kita mengelola kawasan konservasi dan hutan lindung, serta hutan produksi dengan baik, dan menghentikan pengalihfungsian hutan, kita dapat mengurangi emisi CO2 dan membantu menyeimbangkan iklim global. Tetapi, kenyataannya adalah, pemerintah Indonesia tidak peduli akan keadaan iklim.
Keadaan hutan Papua Angka di bawah ini berasal dari Potret Keadaan Hutan Indonesia, laporan Forest Watch Indonesia yang dapat diunduh melalui situs web FWI di http://fwi.or.id/?page_id=204 Total luas daratan – Indonesia: 190,31 juta hektare Total tutupan hutan – Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare (46,33%) Total tutupan hutan – Papua, 2009: 4.138.992,70 (79,62%) Terdiri dari: Konsesi HPH : 8.556.145,35 ha Konsesi HTI: 411.804,56 ha Persentase total tutupan hutan di Papua: 38,72% (tertinggi dari semua daerah) Deforestasi 2000-2009: 628.898,44 ha (1,81% dari deforestasi di Papua dan 4,15% dari jumlah total deforestasi di Indonesia pada periode tersebut – yang terendah dari semua daerah) Total lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Indonesia 2009: 10,77 juta ha (dari total 20,8 juta ha lahan gambut) Lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Papua, 2009: 6.156.243,19 ha (79,59% dari lahan gambut di Papua), Terdiri dari: Konsesi HPH: 897.212,75 ha Konsesi HTI: 58.671,1 ha Deforestasi di hutan lahan gambut 2000-2009: 130.917,62 (2,08% dari total deforestasi di Papua dan 6,54% dari total deforestasi keseluruhan) Hutan di Papua yang dialokasikan untuk penggunaan non-hutan seperti perkebunan sawit 2003-2008: 9,16% Alih fungsi hutan di Papua untuk perkebunan sawit 2003-2008: 32.546,30 ha (2006) Pertambangan di kawasan hutan Papua: 74 ijin KP, mencakup wilayah seluas 2.100.000 ha Laporan terbaru yang dibuat oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menyatakan bahwa seperempat hutan rawa gambut Papua (seluas sekitar 8 juta ha) dikategorikan sebagai hutan konversi. “Jika semua akan dikonversikan untuk pertanian, akan dihasilkan lebih dari satu milyar ton emisi CO2.” Lihat Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples (Papua dan Papua Barat: REDD+ dan ancaman terhadap masyarakat adat) di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia (dikumpulkan oleh DTE) |
REDD di Papua
Di provinsi Papua terdapat proyek percontohan yang direncanakan di kabupaten Jayapura, termasuk Cagar Alam Cycloop, kawasan hutan Mosoali dan kawasan hutan Unurum Guay. Di provinsi Papua Barat, proyek percontohan direncanakan di kabupaten Kaimana, yang mencakup Teluk Arguni, Teluk Triton dan Danau Yamor. Tetapi kawasan peruntukan lahan yang lain di daerah itu – sesuai dengan rencana tata ruang –belum ditentukan dengan jelas, dan masyarakat adat sendiri tidak tahu-menahu akan rencana pemerintah untuk menentukan kawasan adat mereka sesuai dengan apa yang diperlukan bagi REDD.
Proyek percontohan perdagangan karbon digagas tahun 2008 oleh pemerintah provinsi Papua Barat dan Carbon Strategic International (CSI, Australia). Proyek itu berada di kawasan hutan dalam delapan kabupaten, dengan total luas 8 juta ha. Bagian pemerintah sebesar 80% dan CSI 20%, yang setengahnya akan diberikan kepada perusahaan dan setengahnya lagi untuk membayar tenaga ahli. Sedangkan untuk bagian pemerintah, akan dibicarakan lagi mengenai pembagian antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Diperkirakan penyerapan karbon dari hutan tropis sebanyak 300 – 350 ton per hektare dengan harga 10 – 16 USD setiap ton. Harga dan pendapatan dihitung per tahun berdasarkan perkembangan moneter dan inflasi yang terjadi.
Sekarang ada kesepakatan baru antara pemerintah provinsi Papua Barat dan Asia Pacific Carbon (dari Australia).
Lokasi REDD di Papua Barat berada dalam hutan lindung. Lokasi itu dipilih karena tingginya ancaman yang dihadapi akibat ekspansi urban, ditambah dengan pertambangan seperti batubara, tembaga dan emas, serta kepentingan lain.
Konversi hutan di Papua Barat untuk pertumbuhan ekonomi semakin menjadi-jadi: ada rencana untuk mengembangkan perkebunan sawit, sagu, pertambangan, transmigrasi, dll. Hal ini jelas tampak dari meningkatnya jumlah perusahaan yang ingin melakukan AMDAL untuk proyek semacam itu.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) tengah membuat peta Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Papua Barat dan kabupaten Manokwari. Peta ini diharapkan akan menjadi alat bagi perdagangan karbon untuk mendapatkan lokasi potensial dan membantu penghitungan karbon yang dihasilkan.
Kebijakan di Papua
REDD di Indonesia digambarkan sebagai pendekatan nasional yang akan diterapkan di tingkat sub-nasional. Hal ini berarti bahwa kerangka kebijakan dan insentif datang dari pemerintah pusat dan detail untuk pelaksanaannya diserahkan kepada provinsi dan/atau pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait.
Peraturan daerah Papua, yang menyediakan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD di Papua, mengakui hak dan hutan adat dan menekankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan menggunakan peraturan provinsi dan pedoman dari keputusan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan mengenai REDD, pemerintah Papua –dengan dukungan masyarakat sipil, universitas, masyarakat adat, dan aktor utama lainnya—berencana untuk membentuk Gugus Tugas Karbon Hutan Papua (REDD). Gugus tugas ini dibentuk berdasarkan peraturan gubernur pada awal 2011. Tujuannya adalah untuk membantu pemerintah Papua untuk menerjemahkan, mengembangkan dan mengkoordinasikan pendekatan kebijakan dan insentif posifif yang datang dari tingkat nasional dan internasional untuk tingkat provinsi dan kabupaten yang terlibat. Dalam praktiknya, keterlibatan masyarakat setempat sangatlah terbatas dan proyek itu tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.
FPIC (pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan) Berikut adalah inti dari laporan terbaru dari FPP/Pusaka/JASOIL berjudul Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples “Satu perkembangan penting adalah keluarnya peraturan Gubernur Barnabas Suebu bulan Oktober 2010 mengenai Pembentukan Gugus Kerja Pembangunan Rendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugas itu adalan untuk memastikan kepastian hukum untuk mengamankan hak-hak masyarakat sesuai dengan prinsip pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC). Kebijakan serupa juga dikeluarkan oleh Gubernur Papua Barat, Abram Artuturi, bulan Maret 2011. Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No. 23/2008 mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDASUS No.21/2008 mengenai Pengelolaan Hutan Lestari, yang keduanya mengakui hak-hak masyarakat Papua, dapat memperkuat posisi masyarakat yang terimbas oleh rencana REDD+. Tetapi hingga kini baik institusi pemerintah kabupaten atau pemerintah terkait belum mengeluarkan kebijakan atau program untuk menerapkan peraturan hak ulayat dan hukum adat. ”[1] |
Sedikit sekali pengetahuan dan kapasitas teknis pejabat kantor pemerintahan setempat dan instansi pemerintah terkait, organisasi masyarakat—apalagi masyarakat yang tinggal di Papua Barat—mengenai perubahan iklim dan perdagangan karbon. Mereka juga tak banyak tahu tentang kebijakan nasional, komitmen internasional atas perubahan iklim, praktik terbaik pengelolaan hutan, mekanisme perdagangan karbon, moratorium pembalakan, skema untuk mengurangi perusakan hutan dan menurunkan emisi, serta manfaat dan dampaknya.
Sudah dilakukan beberapa pertemuan untuk membahas perdagangan karbon, tetapi tak ada kelanjutannya, dan tak tampak tanda-tanda adanya kebijakan atau program dari pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menerapkannya. Pertemuan-pertemuan itu sangat terbatas dan tidak melibatkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat setempat seperti DAP [Dewan Adat Papua], LMA [Lembaga Masyarakat Adat] atau MRP [Majelis Rakyat Papua], LSM atau perwakilan masyarakat di Papua Barat. Dikhawatirkan bahwa tak adanya keterlibatan mereka akan memberikan dampak negatif pada perencanaan dan pelaksanaan program.
Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan [TGHK] dan deliniasi batas hutan masih belum ada dan tak ada pembicaraan yang jelas mengenai hal itu, karena adanya konflik antara kepentingan dan konsep tanah negara dan tanah adat. Rencana tata ruang untuk provinsi Papua Barat dan kabupaten Manokwari tidak ada dan belum dibicarakan.
Masyarakat yang memiliki hak atas tanah target REDD+ (tanah, hutan dan gambut) tidak memahami dan tidak banyak dilibatkan dalam pencapaian konsensus di tingkat nasional dan lokal, untuk menentukan persiapan bagi pelaksanaan REDD+. Inilah yang terjadi dengan proyek perdagangan karbon yang diprakarsai oleh pemerintah provinsi Papua Barat dan CSI.
Apa yang diperlukan untuk REDD?
Max. J. Tokede dari UNIPA Manokwari menjelaskan bahwa apa yang perlu dikerjakan untuk mempersiapkan REDD adalah sbb: pertama, meningkatkan kapasitas pemantauan untuk mendeteksi perubahan cadangan karbon di provinsi Papua dan Papua Barat. Ini mencakup: penginderaan jauh (pencitraan satelit); pemantauan udara; pemantauan hutan berbasis masyarakat di tingkat lapangan; dukungan kegiatan pemantauan hutan dan perdagangan kayu oleh Dinas Kehutanan dan masyarakat. Kedua, kegiatan uji coba untuk insentif yang adil bagi perlindungan hutan, yang meliputi perencanaan tata ruang dan alih fungsi hutan, pemetaan hutan masyarakat adat dalam lokasi uji coba; membangun kelembagaan kampung untuk mengelola sistem pembayaran insentif untuk mencegah deforestasi dan membangun alternatif pendapatan ekonomi; membangun kapasitas bagi hutan kemasyarakatan (community logging) yang berkelanjutan dan bersertifikat; membangun sistem pengawasan dan perlindungan hutan partisipatif.
Sedangkan terkait mekanisme pendanaan REDD di Papua antara lain, meliputi: dukungan pendanaan untuk pembangunan masyarakat dengan membuka rekening kampung; dukungan pendanaan untuk kelompok atau individu-individu untuk melakukan patroli dan perlindungan hutan berbasis masyarakat dengan rekening kelompok/individu; dan dana simpan pinjam untuk pengembangan usaha kecil, menengah di kampung. Kesanggupan pemerintah daerah juga harus dipastikan untuk memfasilitasi: dana untuk pengelolaan proyek; dana untuk pemantauan karbon dan penegakan hukum; dana untuk pembangunan bagi masyarakat umum (pendidikan/kesehatan/pembangunan ekonomi). Dana Pendampingan Teknis juga diperlukan bagi kelancaran program REDD tersebut.
Hak-hak Adat
Yang menjadi pertanyaan adalah, akankah keuntungan itu menyentuh masyarakat adat yang mempunyai hak sepenuhnya atas hutan di sekitarnya? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa masyarakat adat yang berbadan hukum akan tetap bisa mengakses sumber daya alam di hutan tanpa menebang pohon dan mendapatkan keuntungan dari proyek REDD tersebut. Di sini jelas masih ada pertanyaan, masyarakat adat yang berbadan hukum? Bagaimana dengan yang tidak berbadan hukum? Kalaupun masyarakat adat bisa mendapatkan status badan hukum tersebut, bagaimana prosedurnya? Akankah semudah membalikkan telapak tangan? Dalam konteks ini, maka negara yang seharusnya mengakui terlebih dahulu keberadaan masyarakat adat. Negara industri maju seperti Brasil, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat dan Norwegia, siap membiayai pengelolaannya. Diantaranya dengan memberi dana hibah US$10 per ton karbon, kecuali untuk kebun kelapa sawit. Namun, apakah masyarakat adat Papua akan dapat kucuran dana hibah itu? Belum tentu.
Melindungi hutan untuk tetap lestari atau mengelola secara berkelanjutan sebenarnya sudah sejak dulu dikenal oleh masyarakat adat. Ada hutan keramat atau tempat pemali yang terletak di hutan yang masih kental dalam kehidupan masyarakat adat. Sekarang dunia modern mengenal hutan keramat sebagai kawasan hutan konservasi. Pemanfaatan hutan juga sangat menjamin kelestarian dan keberlanjutannya. Mereka hanya menggunakan teknologi sederhana, mengambil hasil hutan seperlunya untuk kebutuhan hidup mereka.
Direktur LSM PERDU Manokwari, Mujianto menerangkan bahwa berdasarkan pengalaman studi PERDU di Kabupaten Kaimana yang merupakan daerah yang dilirik dan dicalonkan oleh pemerintah provinsi Papua Barat sebagai kawasan proyek REDD dan Perdagangan Karbon, fakta menunjukkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini masih ditemukan: ijin pemerintah masih dominan diberikan kepada pemilik modal-perusahaan; Pasca OHL II (OHL II adalah operasi polisi kedu untuk memberantas illegal logging), ijin bagi masyarakat lokal praktis tidak ada, Kopermas pun otomatis tidak berjalan; kalaupun masyarakat lokal memanfaatkan hasil hutan (khususnya kayu), lebih untuk sekedar memanfaatkan momentum pasar lokal yang tersedia dengan volume yang sangat terbatas dan tanpa perencanaan memadai; potensi kehilangan hutan alam akan semakin tinggi seiring dengan pergerakan modal ke daerah ini untuk diinvestasikan dalam berbagai sektor pemanfaatan sumberdaya alam (perkebunan, tambang, dll).
"Sementara itu bila kita melihat lebih jauh ke belakang, ... secara turun-temurun masyarakat lokal penghidupannya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan; pengelolaan hutan dan pemanfaatanya dilakukan dengan cara yang sederhana berdasarkan pengetahuan setempat; kebutuhan air bersih, protein hewani, bahan pangan lokal dan obat-obatan, bahan bangunan diambil dari kawasan hutan mereka. Artinya, pemanfaatan hasil hutan masih sebatas untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak membutuhkan teknologi yang merusak hutan secara cepat. Jika demikian, maka kiranya masyarakat adat di sekitar hutan itu jauh lebih arif dalam menjaga kelestarian hutan alam untuk proyek REDD. Namun ketika hutan alam mau dijadikan bisnis oksigen atau perdagangan karbon, maka masyarakat adat setempat harus secara langsung dilibatkan secara penuh dan juga mendapatkan manfaatnya secara langsung, termasuk dalam hal kompensasi berupa uang tunai,” demikian kata Muji.
Peran JASOIL
Proyek REDD+ dan inisiatif lain terus digulirkan dan belum ada tanda-tanda untuk mengoreksi tatanan kebijakan yang belum beres dan rendahnya komitmen politik pengambil kebijakan dan penggagas proyek untuk melindungi hak-hak masyarakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyimpangan dan memunculkan konflik kepentingan dan konflik sosial yang meluas, sehingga pada gilirannya lingkungan tidak terselamatkan, emisi GRK terus meningkat dan kesejahteraan masyarakat semakin menurun.
Apa gagasan dan aksi yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini? Perlu ada aksi di tingkat masyarakat akar rumput, terutama yang akan bersentuhan dan terkena dampak langsung dari proyek REDD+. JASOIL Tanah Papua memandang ada dua hal yang dapat dilakukan, yakni:
1) meningkatkan kesiapan, kesatuan dan penguatan hak-hak masyarakat sehingga posisi tawar mereka meningkat dan masyarakat bersatu dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan proyek pembangunan apapun yang akan berlangsung di atas tanah mereka dan mempengaruhi kehidupan masyarakat;
2) meningkatkan kapasitas masyarakat agar dapat terlibat dalam pemantauan seluruh tahapan proyek percontohan provinsi REDD+ dan inisiatif proyek REDD+ lainnya di tingkat kabupaten, dan turut terlibat dalam tindakan memperbaiki.
Bisnis REDD+ Penelitian terbaru yang dilakukan oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menemukan bahwa tak satu pun skema REDD+ yang telah diajukan untuk Papua sudah berjalan melampaui tingkat perencanaan awal.[2] Hanya satu proyek REDD di Papua yand teridentifikasi dalam situs web REDD-Indonesia (tertaut dengan Kementerian Kehutanan). Proyek yang disebut Pendanaan Berkelanjutan untuk Manfaat Karbon berada di provinsi Papua, dan New Forest Asset Management/PT Emerald Planet disebut sebagai organisasi yang terlibat.[3] Menurut FPP/Pusaka/JASOIL, perusahaan itu telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan gubernur Papua tahun 2008 untuk mengembangkan rencana pengurangan emisi dari deforestasi di hutan seluas 265.000 hektare di Mamberamo dan Mimika, tetapi pengembangnya tak dapat memperoleh semua ijin yang diperlukan. Situs web Emerald Planet sendiri menyatakan bahwa perusahaan itu “aktif dalam proyek Aforestasi, Reforestasi dan Revegetasi (ARR), Pengelolaan Lahan Pertanian (Agricultural Land Management, ALM) dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dan investasi bersama dengan investor Indonesia dan asing, termasuk Eco-Carbone (Perancis), satu bank internasional besar, dan investor swasta.” Perusahaan yang berkantor perwakilan di Bali ini juga menyatakan bahwa perusahaan itu “memberikan layanan nasihat bagi pemerintah provinsi Papua sebagai satu-satunya anggota dari sektor swasta dalam Panel Penasihat Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Papua.”[4] Dalam kemitraan bersama Eco-Carbone, yang disebut Eco-Emerald, perusahaan itu juga mengklaim tengah mengembangkan “perkebunan tanaman jarak berbasis masyarakat di lahan yang telah mengalami degradasi di Indonesia” (tidak disebutkan apakah ini di Papua atau tempat lain di Indonesia).[5] Carbon Strategic International adalah kelompok investasi dan perdagangan lingkungan global (karbon, keanekaragaman hayati). Dalam situs webnya disebutkan bahwa perusahaan ini bekerja bersama perusahaan, pemerintah dan masyarakat “untuk membantu mereka memahami dan mendorong pasar lingkungan hidup, energi dan finansial yang tumbuh pesat untuk menciptakan hasil ekonomi, sosial dan ekologi yang berkelanjutan.” Ke empat kegiatan utama perusahaan itu adalah Originasi, Penasihat Keuangan, Perdagangan dan Managemen Aset. Kelompok perusahaan ini memiliki kantor di Jakarta, tetapi tak ada informasi spesifik tentang Papua (atau bahkan Indonesia) dalam situs webnya.[6] Asia Pacific Carbon telah terlibat dalam pengembangan proyek karbon sejak 2005, mulai dengan hutan hujan di Papua Nugini. Fokusnya saat ini adalah Indonesia dan PNG. Perusahaan ini mengklaim sebagai “salah satu perusahaan pengembang karbon terkemuka berkualitas tinggi di kawasan Asia dan Pasifik.” Kantornya ada di Australia, Singapura, Indonesia dan PNG. Dalam situs webnya, perusahaan itu lebih lanjut menyatakan bahwa perusahaan bekerja dengan pengembang proyek, mitra teknologi, lembaga keuangan dan kelompok perdagangan yang sangat berpengalaman” dan “didukung oleh hubungan kerja yang erat dengan pemilik proyek, pemerintah, anggaran dasar, institusi tersier, dan LSM di setiap pasar sasaran.[7] Usaha awal untuk mendapatkan akses atas proyek karbon di Papua diluncurkan oleh Carbon Conservation, perusahaan berbasis di Australia yang dijalankan oleh pengusaha Dorjee Sun.[8] Carbon Conservation terlibat dalam proyek REDD Ulu Masen di Aceh. (boks dirangkum oleh DTE) |
1. Forest Peoples Programme, Pusaka, JASOIL, Rights, forests and climate briefing series – Oktober 2011. Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia
2. Lihat Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples, seperti di atas.
8. Lihat DTE 76-77, Mei 2008, untuk latar belakang lebih lanjut, di www.downtoearth-indonesia.org/old-site/76dib.htm. Lihat juga http://www.carbonconservation.com/.