Switch to English |
Tujuan Papua Merdeka, sebuah Papua Barat yang mandiri, mendorong gelombang protes dan pengibaran bendera yang melanda kota-kota di kawasan itu pada pertengahan tahun 1998. Pengibaran bendera Papua Barat di Biak, Manokwari, Sorong, dan Jayapura menyusul tumbangnya Suharto pada Bulan Mei dan menandai gelombang baru optimisme bahwa pendudukan brutal Jakarta terhadap Papua Barat akan berakhir.
Tanggapan militer adalah dengan lebih banyak kekejaman, sehingga menambah daftar panjang tindakan-tindakan yang tidak terbayangkan terhadap penduduk asli wilayah itu selama tiga dekade terakhir. Di Biak, kota pulau di lepas pantai Papua Barat, sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya dibunuh secara masal setelah pemberontak penaikan bendera selama lima hari pada Bulan Juni. Ratusan orang terluka ketika tentara melepas tembakan tanpa peringatan dalam penggrebekan subuh hari terhadap para pengunjuk rasa yang sedang tidur. Laporan-laporan saksi mata dan penyidikan untuk mengungkap skala kekejaman mendokumentasikan bahwa orang-orang lain ditangkap dalam pencarian dari rumah ke rumah, para wanita diperkosa di belakang truk tentrara dan makin banyak orang, termasuk anak-anak, yang dibawa ke kapal angkatan laut untuk dibuang di tengah laut. Ketika jenasah-jenasah itu hanyut ke pantai, tentara mengatakan mereka adalah korban-korban bencana Tsunami di negara tetangga Papua Nugini. Jenasah-jenasah itu segera dimakamkan dan tidak dilaksanakan otopsi yang tepat. Bagaimanapun laporan-laporan mengindikasikan bahwa setidaknya sebagian dari jenasah itu adalah orang setempat.
Perlakuan keras berlangsung atas semua orang yang melawan kependudukan Indonesia di Papua Barat. Pada Bulan Oktober pengadilan atas empat orang yang terlibat dalam pengibaran bendera dimulai dan akan lebih banyak pengadilan setelah unjuk rasa pengibaran bendera di Manokwari yang terjadi pada bulan yang sama. Para ‘kriminal’ itu termasuk orang yang semata-mata ingin membahas status politik Papua Barat. Masih pada Bulan Oktober, delapan orang yang terlibat dalam persiapan sebuah diskusi dua hari ditangkap. Mereka termasuk seorang pemimpin senior suku dari Sentani, Theys Eluay, yang merupakan pemimpin Komite Kemerdekaan Papua Nugini yang baru dibentuk. Ia sebelumnya bekerja di pemerintah daerah propinsi dan baru saja diangkat menjadi Ketua Lembaga Adat Masyarakat Irian Jaya. Jabatan itu kini sudah dicabut oleh Gubernur Freddy Numberi.
Pada saat yang sama, militer berusaha untuk mengubah citra mereka di Papua Barat, dari penindas Hak Asasi Manusia menjadi penjaga perdamaian. Status Papua Barat sebagai Daerah Operasi Militer DOM dicabut pada Bulan Oktober dan gencatan senjata antara tentara Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka dinyatakan di salah satu kawasan di sana. Menurut Panglima Daerah Militer Mayor Jenderal Amir Sembiring, pasukan akan ditarik secara bertahap, sementara yang lainnya akan dikirim untuk bekerja dalam program pembangunan perkampungan. Namun langkah-langkah ini tidaklah menjanjikan seperti namanya: di Aceh status DOM sudah dicabut dan penarikan mundur tentara diumumkan namun malah terjadi peningkatan tajam dalam kekejaman serta lebih banyak lagi tentara yang dikerahkan secara diam-diam. Di Papua Barat status DOM sudah diganti dengan status lain yang masih memungkinkan tentara untuk ditempatkan di lokasi-lokasi ‘yang rawan.’ Tentunya sulit bagi orang-orang di Biak dan di desa-desa pegunungan yang sudah diratakan oleh tentara dalam operasi pembersihan melawan OPM untuk menghapus kenangan mereka dan kemudian sekarang melihat tentara sebagai penjaga perdamaian. Adalah kota yang sama yang mengalami trauma, Biak, yang dipilih oleh pemerintah sebagai tempat Dialog nasional tentang Papua Barat yang direncanakan awal tahun ini. Ini mungkin bukan suatu kebetulan. Pembicaraan itu merupakan tanggapan pemerintah terhadap kekacauan politik, suatu tawaran damai bagi penduduk yang sudah cukup ditindas oleh pasukan Indonesia dan sudah cukup mengalami diskriminasi oleh birokrasi Indonesia. Kenapa tidak memilih Biak, yang menjadi lokasi terjadinya pembunuhan masal terburuk tahun lalu sebagai tempat untuk mencoba dan memulai sekali lagi? Bagaimanapun alasan praktisnya lebih banyak : Biak memiliki jumlah kamar hotel yang banyak untuk menampung delegasi-delegasi (banyak diantara kamar-kamar ini berada di kompleks wisata yang gagal di pulau itu). Yang lebih menarik, Habibie ingin menggabungkan kunjungannya dengan peresmian proyek pembangunan. Hal ini , memberi kesan bahwa Dialog Nasional bukan merupakan pritoritas utama bagi pemerintah, walaupun seharusnya begitu.
Di balik seluruh kemeriahan itu, kecil kemungkinan untuk menerima kalau Dialog Nasional akan menghasilkan sesuatu yang memuaskan kebutuhan mendesak bagi perubahan mendasar orang-orang Papua Barat yang sudah lama menderita. Presiden Habibie, Gubernur Freddy Numberi dan pihak militer semuanya menegaskan kalau Kemerdekaan tidak masuk dalam agenda. Para komandan militer di beberapa daerah sudah memperingatkan bahwa siapapun yang bertindak menentang Indonesia akan diburu dan dihukum tegas. Seorang bekas pemimpin OPM, yang sekarang diyakini dekat dengan militer sudah meminta agar orang-orang Papua mengabaikan gagasan kemerdekaan. Kata yang didengung-dengungkan pemerintah adalah otonomisasi. Pilihan lain yang harus dibahas, kata para penentang mereka, adalah federasi dengan Indonesia dan kemerdekaan. Orang-orang Papua Barat kini berada dalam posisi yang aneh karena tidak diijinkan membahas dua gagasan terakhir dan khususnya Merdeka karena jika melakukan hal itu berarti subversif (dan itulah sebabnya pemimpin Papua Barat Theys Eluay dan pemimpin lainnya ditangkap). Pada saat yang sama mereka seharusnya berusaha untuk menemukan cara pemecahan atas masalah-masalah tanah mereka.
Otonomi
Apa artinya otonomi bagi Papua Barat? Sejauh ini tidak banyak penjelasan dari pemerintah. Menurut Gubernur Numberi, otonomi merupakan jawaban atas semua masalah di wilayah itu. Artinya memberi Papua Barat kekuasaan atas sumber-sumber daya alamnya sendiri dan mengembalikan sebagian besar penghasilan ke Papua Barat. Ini berarti memberi tanggung-jawab atas kehutanan, pertambangan, dan perikanan kepada kekuasaan wilayah. Masalah-masalah seperti pertahanan dan keamanan, kebijakan ekonomi serta kehakiman akan tetap dikendalikan oleh pusat. Menurut Numberi, otonomi berarti taraf hidup yang lebih tinggi bagi orang setempat, dan tidak akan ada lagi uang sekolah serta pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Gagasan yang disampaikan Numberi jelas tidak sejalan dengan pandangan Jakarta dalam masalah utama tentang sumber daya alam, dan juga dalam masalah siapa yang akan bertanggung-jawab. Undang-undang baru sudah disiapkan untuk memberlakukan otonomi wilayah di seluruh negeri dan usulannya adalah untuk mengalihkan kekuasaan kepada pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten, bukan propinsi. Alasannya adalah untuk mencegah berkembangnya kekuatan sentrifugal dengan memberikan kekuasaan terlalu banyak kepada unit propinsi yang lebih besar, yang mungkin nanti akan menuntut federasi atau kemerdekaan. Undang-undang baru juga mencakup gagasan bahwa proporsi pendapatan yang akan tetap tinggal di daerah akan meningkat, namun rasionya belum dipastikan. Apakah pemerintah mengusulkan kalau Papua Barat harus diberlakukan sebagai kasus khusus diluar kerangka Undang-udang baru itu masih harus ditunggu.
Bagaimanapun satu hal yang sudah jelas adalah motivasi Indonesia untuk tetap menguasai Papua Barat adalah untuk tetap menjamin keuntungan dari cadangan mineral dan kayu yang sangat besar. Persentase besar dari penghasilan negara dihasilkan pertambangan tembaga dan emas Freeport/Rio Tinto dan deposit yang lain tampaknya akan ditemukan di masa depan. Cadangan gas alam besar sudah ditemukan di Teluk Bintuni oleh Atlantic Richfield Corporation atau ARCO yang bermakas di Amerika Serikat (lihat DTE 39) dan banyak lagi wilayah-wilayah yang sedang disurvey. Lahan untuk pemukiman transmigrasi Jawa, untuk menanam bahan pangan dan pengembangan pertanian tetap menjadi motivasi utama dalam mempertahankan kendali pusat atas Papua Barat. Penyelidikan terhadap lahan yang dimiliki keluarga Suharto memperlihatkan bahwa ribuan hektar di Papua Barat sudah dikuasai perusahaan-perusahaan yang mereka kuasai. Tekanan untuk mengembangkan perkebunan skala besar bagi kelapa sawit dan penghasil uang tunai cepat lainnya makin intensif di masa krisis ekonomi. (Tentang beberapa hal dalam strategi pembangunan di Papua Barat lihat DTE 37)
Semua ini berarti sangatlah tidak mungkin kalau semua langkah nyata dalam penguasaan atas sumber-sumber daya Papua Barat akan dilepaskan oleh Jakarta. Itu juga berarti bahwa pembicaraan tentang masa depan Papua Barat, apapun kata yang digunakan untuk itu, mungkin tidak akan ada artinya. Di sisi lain, momentum perubahan sangat besar dan agak sulit bagi pemerintah untuk meneruskan kebijakan ‘semuanya berjalan seperti biasa.’ Dan sebagaimana yang terjadi di Aceh dan Timor-Timur, peningkatan kekerasan militer agak sulit untuk menghalangi penduduk yang lapar kebebasan. Satu-satunya pemecahan jangka panjang yang benar-benar memuaskan adalah persiapan untuk proses penentuan nasib sendiri yang bebas dari intimidasai sehingga orang-orang Papua Barat bisa menentukan sendiri status masa depan wilayah mereka.
Perkebunan Mendapat Prioritas
Sementara persiapan untuk Dialog Nasional terus berlangsung, semuanya berjalan seperti biasa bagi para pembangun perkebunan untuk meneruskan kebijakan mengambil lahan masayarakat adat bagi eksport hasil pertanian. Pada Bulan Oktober pejabat kehutanan setempat, Ir. Sudjud menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Merauke, di sebelah Selatan wilayah itu, harus menjamin bahwa lahan dibersihkan dan ganti rugi diselesaikan di kawasan yang diproses oleh konglemrat Indonesia Texmaco. Masyarakat adat setempat, orang-orang Marind, menuntut agar perusahaan itu mempertimbangkan jumlah ganti rugi sebesar Rp. 50 untuk satu meter persegi karena nilai itu terlalu rendah. Sudjud mengatakan orang-orang setempat sebaiknya tidak langsung berbicara dengan perusahaan karena merupakan tanggung-jawab pemerintah daerah setempat untuk meyelesaikan persengketaan. Texmaco mengembangkan kelapa sawit, gula, dan perkebunuan lainnya di kawasan yang pada tahun 1980-an direncanakan untuk pengembangan industri pulp oleh perushaan yang bermarkas Amerika Serikat, Scott Paper. Sudjud mengingatkan agar pemerintah kabupaten Merauke mendukung rencana setiap perusahaan yang ingin mengembangkan proyek perkebunan karena sektor perkebunan memberi keuntungan besar bagi pemerintah dan masyarakat. Ia mengundang perusahaan Indonesia maupun perusahaan asing untuk datang dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam yang besar di wilayah itu. Dengan orang seperti Sudjud yang menjalankan urusan di sana, tidaklah mengherankan kalau Papua Barat ingin mengambil jarak dengan Indonesia. Banyak lagi pembangunan yang direncanakan: seperti pada Bulan Oktober Kantor Wilayah Kehutanan mengatakan mereka meneruskan permohonan 20 proyek investasi kelapa sawit ke Departemen Kehutanan di Jakarta. Permohonan adalah untuk proyek perusahaan perkebunan dan pabrik berskala menengah maupun besar di Jayapura, Merauke, Nabire, Fakfak, dan Manokwari. Tiga perusahaan yang sudah beroperasi dalam perkebunan kelapa sawit di wilayah itu adalah PT Sinar Mas, PT Varita Majutama dan sebuah perusahaan perkebunan milik negara. Harian Jakarta Post awal tahun ini melaporkan ada pengembangan minyak kelapa sawit lainnya sedang menunggu persetujuan dari Menteri Pertanian. Proyek itu mencakup 47.000 hektar di Sorong dibangun oleh Grup Korindi melalui anak perusahaan PT Bangun Karya Irian. Dua anak perusahaan lainnya dari kelompok itu, menurut laporan tersebut, sudah memgembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 3000 hektar di Merauke. (Sumber : Antara 6/10/98, Jakarta Post 7/1/99).
|
Artikel ini diterjemahlah dari buletin Down To Earth No. 40, Februari 1999.
Untuk keterangan lebih lanjut hubungi Down To Earth, International Campaign for Ecological Justice in Indonesia, silahkan e-mail : dte@gn.apc.org