Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai pertama kali mendapatkan status dilindungi pada tahun 1990 namun, dan seperti biasa, masyarakat adatnya terabaikan. Pada saat terjadinya ketidakstabilan politik tahun 1950an, militer memindahkan penduduk Moronene dari tanah hutan mereka ke dekat ibukota propinsi Kendari, kemudian mendapatkan ijin resmi untuk kembali pada awal 1980an. Masyarakat Moronene tidak pernah mendapatkan ganti rugi maupun pengakuan atas hak-hak mereka walaupun sudah beberapa kali diajukan. Para pejabat menolak untuk mengakui tanah kuburan leluhur, pohon buah-buahan dan tambak ikan sebagai bukti yang cukup atas hak tanah turun temurun mereka.
Gubernur Sulawesi Tenggara, La Ode Kaimoeddin, secara terbuka menyatakan bahwa ia berniat untuk membasmi penebangan kayu gelap di propinsinya. Ia menyatakan bahwa operasi penebangan kayu gelap biasanya dilakukan dibawah kendali para pengusaha, pejabat pemerintah dan militer, ia juga menegur pejabat senior dalam sebuah lokakarya pada bulan Oktober lalu karena tidak melakukan tindakan tegas terhadap para 'perambah hutan' -istilah yang juga dipakai untuk masyarakat adat hutan.
Pada akhir bulan yang sama, sebuah tim gabungan yang terdiri dari para pejabat pemerintah, pegawai taman nasional dan tentara, dikepalai oleh seorang kolonel ABRI mengusir masyarakat Moronene dari perkampungan mereka di Hutaea serta membakar 88 rumah. Duabelas pemimpin masyarakat masih ditahan sampai dengan pertengahan bulan Maret. Ini adalah yang kedua kalinya penguasa menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk memindahkan para petani hutan dari tanah leluhur mereka. Pada 1997 mereka membakar 175 rumah dan mengusir 300 keluarga. Karena tidak ada tanah serta cara lain yang dapat menghidupi mereka, masyarakat tersebut kemudian kembali ke tanah hutan mereka.
Pemimpin daerah sebelumnya menjanjikan masyarakat Moronene tanah dan perumahan melalui program transmigrasi, namun tidak terealisasi. Sekarang kantor kehutanan dan kantor pelayanan masyarakat setempat bekerja sama berusaha merelokasi mereka - kemana tempatnya belum jelas.
Taman Nasional Rawa Aopa yang luasnya 105.000 hektar berlokasi di ujung tenggara Sulawesi, sekitar 145 km dari Kendari. Daerah pantainya ditutupi oleh hutan bakau yang dilanjutkan oleh padang rumput yang sangat luas serta perbukitan hutan tropis di bagian pedalamannya. Nama taman nasional ini berasal dari daerah Aopa yang berawa-rawa, yang kemungkinan besar akan termasuk dalam daftar tanah rawa yang penting secara internasional dalam konvensi Ramsar dan Gunung Watumohai.
Pengusiran masyarakat Moronene ini sangat menyolok perbedaannya dibanding kebijaksanaan pejabat taman nasional propinsi tetangga Sulawesi Tengah yang lebih progresif dimana masyarakat adat Katu diperbolehkan tinggal di Hutan Lindung Lore Lindu. ( Antara 15/10/98; Jakarta Post 24/11/98; INCL 1-44; WALHI sultra 15/12/98)
Perjuangan suku Dayak melawan anak perusahaan Barito Pacific
Seperti kebanyakan masyarakat adat Kalimantan Timur lainnya, suku Dayak Bahau dari Matalibaq bersengketa secara berkepanjangan dengan perusahaan-perusahaan penebangan kayu dan perkebunan. Frustrasi karena tidak adanya tindakan yang diambil oleh pihak yang berwenang, beberapa wakil masyarakat pergi ke Samarinda bulan November tahun lalu untuk bernegosiasi secara langsung dengan perusahaan penebangan kayu PT Limbang Praja dan perusahaan perkebunan PT Anangga Pundi Nusa. Keduanya adalah anak perusahaan kelompok Barito Pacific. Barito Pacific adalah kelompok perusahaan penebangan hutan terbesar di Indonesia yang dimiliki oleh taipan kayu, teman keluarga Soeharto, Prayogo Pangestu. Masyarakat Dayak Bahau menuntut agar perusahaan tersebut keluar sepenuhnya dari tanah leluhur Matalibaq; membayar ganti rugi dan denda Rp. 5 milyar (sekitar US$500.000) untuk tindakan penebangan kayu gelap, merusak lingkungan dan memusnahkan obat tradisional, serta Rp. 765 juta (US$ 76.000) untuk kerusakan akibat kebakaran hutan dan hilangnya nyawa. Mereka juga menginginkan pengakuan resmi hak atas tanah mereka. Dengan kata-kata yang cukup keras, masyarakat Dayak menuntut untuk dapat berdaulat penuh atas tanah dan sumber alamnya dan menolak keras istilah pemerintah 'perambah hutan', 'peladang berpindah', 'perusak lingkungan', 'suku primitif' untuk menggambarkan cara hidup tradisional mereka.
Desa Matalibaq terletak di daerah pedalaman anak sungai Mahakam. Sekitar 150 keluarga memiliki hak turun temurun atas tanah hutan seluas 775.000 hektar yang secara tradisional mereka olah untuk menghasilkan kayu, damar, rotan, sarang burung dan satwa buruan yang dibudidayakan oleh warga setempat selain bertanam padi dan sayur-sayuran. Hal tersebut diatas merupakan mata pencarian mereka yang berkesinambungan.
PT Limbang dan PT Anangga Pundi Nusa mulai beroperasi tahun 1992. Warga setempat mengetahui hal ini ketika pohon-pohon mereka ditandai untuk penebangan dan tanah dibersihkan untuk dijadikan daerah transmigrasi buruh perkebunan. Pada November 1996, penduduk setempat menemukan 2.580 pohon ditebang secara gelap selanjutnya 857 pohon dibiarkan tergeletak dan membusuk. Pada awal 1998 tanah penduduk terkena dampak buruk kebakaran hutan yang dilakukan PT Anangga Pundi Nusa untuk konsesi perkebunan dan daerah transmigrasi. Kebun mereka hancur dan satu orang mati ketika berusaha memadamkan api.
Semula, perusahaan-perusahaan tersebut menolak mentah-mentah tuntutan para warga atas ganti rugi, pengakuan atas hak tanah, perumahan dan fasilitas umum seperti yang diberikan pada para transmigran. Kemudian mereka mengajukan penawaran sejumlah ganti rugi yang tidak sesuai sehingga sempat menimbulkan perpecahan dikalangan masyarakat, namun akhirnya ditolak.
Pada bulan februari ratusan warga desa Matalibaq menduduki salah satu base camp perusahaan untuk memaksa agar permohonan ganti rugi mereka dipenuhi. Mereka mengambil alih camp setelah protes yang mereka lakukan tidak dihiraukan oleh pimpinan perusahaan. Warga Dayak Benuaq di daerah yang sama menggunakan taktik yang serupa menghadapi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT London Sumatra guna mendapatkan ganti rugi dan hak atas tanah.
Bagi orang Dayak hutan tidak hanya sebagai sumber ekonomi untuk dieksploitasi, tapi mempunyai arti penting secara sosial, budaya dan religi - serta hukum adat masih memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Untuk alasan itulah masyarakat Matalibaq berikrar untuk 'mempertahankan tanah adat yang merupakan warisan leluhur hingga titik darah yang penghabisan, demi keberlangsungan hidup generasi anak cucu kami'.
(sumber : Indigenous Association of Matalibaq statement 6/1/99; Suara Pembaruan 4/2/99)