Switch to English |
Fakta bahwa sebagian besar wilayah Siberut masih dinaungi hutan perawan (tidak seperti kepulauan Mentawai yang lain) dikarenakan wilayah menjadi batas wilayah antara Manusia dan Biosphere yang disepakati oleh UNESCO dan pemerintah Indonesia pada tahun 1981.
Pada awal tahun 1990-an, pemerintah telah membatalkan semua ijin penebangan dan menegaskan bahwa perkebunan dan pemukiman transmigrasi tidak boleh dijalankan di Siberut. Tokoh-tokoh lokal yang memiliki kekuasaan berungkali mengajukan rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan buruh transmigran di sebelah timur pulau tersebut. Tetapi upaya ini ditentang oleh LSM-LSM nasional dan internasional serta Bank Pembangunan Asia, (Asia Development Bank) yang mendanai Program Pengembangan dan Perlindungan Terpadu di taman nasional (lihat DTE 33& 42). Tetapi pada akhir tahun 1998, menteri kehutanan menyerah pada tekanana dari pemerintah propinsi. Pengembangan perkebunan besar di Siberut juga berarti penebangan besar-besaran terhadap hutan karena masih sedikit sekali lahan yang terbuka. Hal ini jelas akan semakin mengurangi mutu lahan dan apulau tersebut.
Ancaman Bagi Siberut
Sejak saat itu, kepulauan Mentawai berubah menjadi wilayah kabupaten baru dan secara administratif terpisah dari wilayah daratan, propinsi Sumatera Barat. Perubahan struktur pemerintahan ini memiliki arti penting mengingat Undang-Undang Otonomi Lokal yang dikeluarkan tahun lalu memberikan kekuasaan yang lebih luas dalam pembuatan kebijakan serta kontrol keuangan oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah lokal diberikan kesempatan untuk menikmati hasil keuntungan pembagian pendapatan, sehingga memberikan dorongan pada mereka untuk 'mengembangkan' sumber daya alam. Selain itu, peraturan pemerintah tentang hutan pada tahun 1999 ditujukan untuk mendorong hutan masyarakat dan koperasi lokal agar dapat dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan komersial untuk mendapatkan akses pada tanah-tanah adat milik masyarakat adat.
Tetapi di lain pihak, penyaluran dana Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB) telah dihentikan. Selain itu, dana pengeluaran pemerintah untuk wilayah hutan lindung menjadi semakin merosot dalam daftar prioritas pemerintah Indonesia disaat kondisi ekonomi memburuk sekarang ini. Hal ini menyebabkan para pekerja konservasi menjadi semakin sulit untuk memajukan kepentingan mereka bahwa keragaman ragawai dari Taman Nasional tergantung pada pemeliharaan integritas ekosistim di pulau secara keseluruhan. Hal ini khususnya dikarenakan menteri yang bertanggungjawab pada wilayah yang dilindungi juga bertanggungjawab pada masalah perkebunan. Selain itu, kantor Unesco di Indonesia hanya memiliki dana yang sangat terbatas untuk dapat meliput enam wilayah pemeliharaan Biosphere di Indonesia. Di samping itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI (sebagai rekan kerja Unesco dalam program MAB) juga tidak dalam posisi yang lebih baik.
Akibatnya, Siberut sekarang ini diserang gelombang pengajuan permohonan lisensi penebangan dan perkebunan karena pihak perusahaan tidak mampu mengolah lebih dari 200.000 hektar hutan kayu komersial yang terletak di luar taman nasional. Beberapa perusahaan sekarang ini telah memulai operasinya. Diantara mereka adalah koperasi setempat yang dibentuk oleh masyarakat adat yang melihat perkebunan kelapa sawit skala kecil akan menjadi sarana bagi penciptaan pendapatan dan guna mengawasi sumber daya yang mereka miliki. Sisanya adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang luar (khususnya orang-orang Minang yang berasal dari daratan Sumatra) yang hanya dapat memperoleh akses ke hutan dengan mendukung koperasi setempat. Beberapa perusahaan ini membuat suatu kedok 'lokal' dengan menempatkan beberapa tokoh terkemuka Mentawai dalam posisi penting. Dan sebagian besar dari pengalihan hutan ini dilakukan oleh pekerja lokal.
Saluran-Saluran Komunikasi
Pada awal bulan Desember, sekitar dua ratus orang hadir dalam seminar yang diselenggarakan oleh UNESCO selama dua hari di Padang, Sumatera Barat. Sebelum seminar itu berlangsung, sekelompok kecil staf UNESCO berserta para pimpinan Taman Nasional wilayah-wilayah Indonesia lainnya sempat mengadakan kunjungan lapangan selama tiga hari. Dalam seminar ini, pembahasan tidak hanya mempersoalkan keunikan budaya dan kondisi kehidupan satwa liar di Siberut yang membuatnya terkenal diantara kepulauan Mentawai lainya, tetapi juga pengaruh-pengaruh luar yang menghancurkan kepulauan tersebut. Dilihat dari kehadiran para peserta lokakarya--termasuk di dalamnya lembaga perancanaan dan perlindungan dari pemerintah daerah dan pusat; staf taman nasional; LSM-LSM yang berasal dari Siberut, Sumatera dan Jakarta; mahasiswa dan akademisi; perusahaan swasta dan koperasi; masyarakat adat dan beberapa tokoh masyarakat selain para staf UNESCO-- semua itu mewakili beraneka ragamnya kepentingan yang menyebabkan munculnya diskusi-diskusi yang panas.
Pihak manajemen Taman Nasional Siberutt dan perwakilan UNESCO mendapat kritikan tajam dari para pejabat BAPPENAS, LSM dan beberapa wakil masyarakat adat yang tinggal di dalam taman tersebut. Beberapa kritikan tersebut nampaknya mencerminkan kesalahpahaman tentang status Siberut sebagai wilayah Manusia dan Biosphere (MAB) dan tentang maksud UNESCO (bahkan diantara beberapa staf konservasi). Beberapa kritikan lainnya sepertinya dengan jelas diatur oleh perusahaan penebangan kayu dengan membayar kontingen besar orang-orang Mentawai untutk hadir dalam seminar tersebut.
Tetapi ada pula kritik yang mencerminkan kekecewaan sesungguhnya tentang tiadanya peningkatan kondisi sosio-ekonomis bagi masyarakat lokal disamping status pulau itu sebagai MAB serta sejumlah bantuan dana yang cukup besar dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB) bagi taman nasional tersebut. Wakil-wakil masyarakat juga menyatakan rasa frustasi mereka melihat bagaimana pihak-pihak luar mendapatkan akses terhadap tanah leluhur serta sumber daya alam mereka di berbagai tempat di pulau tersebut, sementara masyarakat setempat menghadapi aturan ketat yang membatasi aktivitas mereka yang tinggal di dalam Taman Nasional. Yang lebih penting lagi, masyarakat adat menyatakan kekecewaan mendalam selama beberapa dekade lalu dan juga sekarang ini berkaitan dengan cara dimana masyarakat lokal tidak pernah diajak berkonsultasi tentang "rencana-rencana pembangunan" apalagi memberikan mereka hak kekuasaan untuk merubah atau memvetonya. Seringkali, apa yang disebut oleh para pejabat Indonesia sebagai suatu "pendekatan partisipatoris" masih merupakan suatu keputusan yang bersifat top-down yang diajukan melalui aktivitas "kesadaran masyarakat". Satu kasus yang memancing perdebatan adalah apa yang dinamakan sebagai inisiatif Land Grant College (lihat box)
Pokok utamanya adalah Siberut telah ditarik dalam arus kehidupan Indonesia modern. Kebanyakan masyarakat Mentawai memberikan nilai lebih terhadap kepercayaan tradisional mereka yang senantiasa berupaya menjaga keseimbangan antara dunia manusia, alam dan roh. Tetapi beberapa anggota masyarakat yang lebih muda yang mendapatkan pendidikan di daratan menginginkan gaya hidup yang lebih modern dan terbuka terhadap model-model "pembangunan" pemerintah. Masyarakat Mentawai menginginkan uang untuk membeli pakaian, berpergian ke daratan atau menyekolahkan anak-anak mereka ke universitas, dimana nenek moyang mereka hidup pada tingkat subsistensi dan tukar-menukar barang dengan pihak luar. Sayangnya pula, masyarakat lokal sangat terpecah ketika membahas cara-cara terbaik memperbaiki kehidupan mereka. Beberapa tokoh masyarakat secara aktif mendukung perusahaan penebangan kayu dan koperasi perkebunan, sementara yang lainnya menentang hal tersebut dengan berapi-api.
Siberut award
Seorang pemuda Mentawai menjadi salah satu dari lima peneliti dan pemerhati lingkungan yang menerima Man and Biosphere Award atas sumbangan mereka YANG berharga dalam kerja lapangan. Junioarto Tulius melakukan penelitian tentang pengobatan tradisional masyarakat Mentawai di Siberut. (Sumber: Jakarta Post, 27/Jan/99) |
Walau bagaimanapun, workshop UNESCO menjadi pembuka mata dalam berbagai hal karena ia memberikan kesempatan pada orang untuk menyatakan pandangan-pandangan yang berbeda secara terbuka. Pihak yang berwenang sekarang ini lebih sadar tentang perasaan masyarakat setempat terhadap berbagai masalah. Masyarakat adat dan LSM juga menyadari besarnya perhatian pihak luar terhadap masalah kepulauan itu secara keseluruhan, dibandingkan hanya pada tingkat desa atau suku. Lokakarya ini juga menghasilkan suatu rekomendasi dan proposal untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Hasil laporan akhir lokakarya tersebut masih belum diterbitkan, tetapi ada tanda-tanda positif bahwa pihak pemerintah telah membawa komentar dan kritik itu dalam agenda mereka.
Sebagai contoh, kepala Taman Nasional Siberut, Zuwendra, telah menunjuk beberapa staf permanen yang ditempatkan di kepualauan itu (tidak hanya sekedar di kantor mereka di Padang) dan dengan jelas menyatakan kepada penjaga taman bahwa sudah menjadi tanggungjawab mereka untung mengawasi operasi penebangan melalui koperasi yang baru dibentuk. Masyarakat lokal sekarang ini lebih dilibatkan dalam pengelolaan taman serta merumuskan rencana pembangunan desa. Staf Taman Nasional dan UNESCO bekerja bersama dengan penduduk desa untuk mengembangkan suatu bentuk ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan sebagai alternatif terhadap eksploitasi komersial skala besar. Salah satu kemungkinan yang ada adalah penanaman kina, kopi dan coklat di atas bidang tanah pertanian yang telah ditinggalkan.
Contoh lainnya yang cukup menjanjikan adalah apa yang dicontohkan di Rogdog, Siberut Selatan, dimana kepala desa menghidupkan kembali lembaga tradisional sehingga wakil-wakil dari berbagai klan dapat merencankan pembangunan masa depan secara bersama, mengambil keputusan kolektif dan mewakili kepentingan masyarakat kepada pemerintah lokal, perusahaan dan pihak luar lainnya. Pak Selester juga adalah salah seorang pelopor pemetaan partisipatory yang sangat antusias dalam membantu memetakan penguasaan masyarakat Siberut terhadap tanah-tanah milik bersama mereka. Ia juga telah mendorong desa-desa tetangga untuku melakukan hal yang sama dan memimpikan pengembangan suatu versi modern dari Parurukat Punutugut uma (dewan suku) di seluruh Siberut untuk memperkuat keberadaan masyarakat adat.
Sementara itu, UNESCO merencanakan untuk mengadakan kembali kegiatan lokakarya lainnya di masa depan untuk menindaklanjuti kemajuan-kemajuan yang dicapai setelah pertemuan Padang. Rencananya, pertemuan selanjutnya akan diadakan di Siberut sehingga akan lebih banyak masyarakat adat yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi.
Beasiswa Tanah Bagi Pendidikan
Kebijakan hibah tanah pendidikan adalah salah satu temuan mantan menteri kehutanan Muslim Nasution. Sejak tahun 1999, madrasah, universitas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya telah diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan hak konsesi penebangan. Kebijakan ini mempunyai beberapa tujuan: untuk membatasi penguasaan konsesi para penebang kayu raksasa; untuk mendorong elemen-elemen kerakyatan dengan mengembalikan konsesi swasta kepada lembaga-lembaga publik; dan --lebih penting lagi-- untuk menyediakan lembaga-lembaga ini sarana yang independen guna menghasilkan pendapatatn dimana dana pengeluaran pemerintah mengalami pengurangan. Konsep ini dipinjam dari Amerika Serikat dimana 150 tahun yang lalu, penduduk pribumi tercerabut dari tanah mereka oleh sekolah pertanian untuk membentuk pertanian komersial atas dukungan pemerintah. Nampaknya sejarah kembali berulang di Indonesia. Menteri kehutanan telah memberikan Universitas Andalas, sebagai Universitas utama di Padang, sekitar 48.000 hektar lahan hutan di Siberut. Masyarakat lokal mengetahui rencana tersebut saat mahasiswa Mentawai dan staf LSM setempat menghadiri pertemuan di Universitas pada bulan November. Pada tahapan tersebut, pihak Universitas telah menyepakati untuk menjalin konsesi dengan PT Sinar Minang Sejahtera, sebuah perusahaan kayu dari Sumatra Barat dan telah menyerahkan analisa dampak lingkungan kepada Departemen Kehutanan di Jakarta. Terbongkar pula kenyataan bahwa sebelumnya Universitas telah ditawari konsesi Land Grant College di daratan, tapi mereka menolaknya karena wilayah yang diberikan adalah hutan gundul akibat penebangan. Pihak rektor universitas dan kepala Pusat Studi Lingkungan berupaya membela diri mereka dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut masih dalam tahap awal dan mereka mencoba untuk mensosialisasikannya. Mereka menekankan arti penting konsesi tersebut bagi penelitian akademis dan 'pengembangan sumberdaya manusia' (suatu konsep yang sering digunakan oleh pejabat pemerintah di Indonesia sekarang ini). Tetapi mereka tidak bisa menjelaskan keuntungan-keuntungan apa saja yang bakal diterima oleh masyarakat adat saat sebagian tanah adat mereka ditebang atau menjadi lahan bagi universitas. Mereka menekankan bahwa pihak Universitas hanya akan mengelola hutan dan tidak memiliki hak kepemilikan sama sekali --suatu pembedaan yang tidak berarti mengingat apa yang bakal terjadi setelah nilai komersial kayu telah habis ditebang. Dapat dipahami bila masyarakat Mentawai dan pihak LSM yang bekerjasama merasa sakit hati --mengingat pernyataan pemerintah Indonesia tentang reformasi dan demokrasi-- bawha keputusan seperti itu bisa dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat adat. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang penduduk desa Siberut:"Hal ini merupakan suatu bentuk kolonialisme." |