Switch to
English |
MoU April menekankan pemerintah Indonesia dan Inggris untuk bekerja sama dalam mengurangi, untuk pada akhirnya menghapuskan, penebangan kayu serta perdagangan internasional produk kayu liar yang terjadi antara kedua pihak, dalam bentuk pengembangan dan pembentukan peraturan yang dibutuhkan dan reformasi kebijaksanaan, termasuk :
Pernyataan yang dikeluarkan pada bulan April oleh para LSM Indonesia dan aliansi masyarakat adat, AMAN, menyambut baik memorandum kerja sama ini tapi juga mendesak kedua negara untuk lebih memperluas dan memperkuat kerjasama guna tercapainya pengelolaan hutan yang adil dan berkesinambungan. "Kami tidak yakin bahwa hal-hal yang dibahas dalam memorandum kerjasama ini cukup memadai sebagai mekanisme untuk menciptakan pengelolaan hutan di Indonesia secara adil dan sesuai hukum. " Secara spesifik, para LSM dan AMAN mendesak agar dilakukan tindakan untuk mengatasi industri perkayuan yang berproduksi melebihi kapasitas, adanya kepastian hak tenurial (penguasaan) kawasan hutan masyarakat adat, kepengurusan (governance) hutan dan peran pemerintah Inggris sebagai penanam modal dan konsumen.
Untuk poin yang terakhir ini, dalam pernyataan diingatkan agar kedua negara mengakui sumbangan investasi internasional dalam merusak hutan alam, terutama melalui investasi sektor industri minyak kelapa sawit, hutan industri serta industri pulp dan kertas. Juga disarankan agar pemerintah Inggris berjanji untuk memberlakukan standar lingkungan dan sosial yang tinggi dalam pembelian kayu dan produk kayu dari Indonesia. "Standar ini perlu ditingkatkan lebih jauh dan tidak hanya meliput masalah hukum, tapi juga kesinambungan sumber daya hutan".
Sebuah pernyataan dari beberapa LSM bermarkas di Inggris menunjukkan bahwa pemerintah Inggris mempunyai tanggung-jawab khusus sebagai pengimpor besar dan pemakai kayu lapis dan produk kayu secara liar. Pernyataan itu mendukung seruan Indonesia agar tindakan dalam penegakan hukum kehutanan dan penebangan kayu secara liar ditempuh dalam konteks reformasi meluas yang diperlukan untuk menyikapi penyebab penggundulan hutan. Kelompok LSM tersebut mengatakan bahwa penanganan terhadap kapasitas yang berlebihan, pengakuan terhadap jaminan penguasaan wilayah hutan bagi masyarakat adat penghuni hutan dan masyarakat setempat; dan pemberantasan praktek korupsi sudah tercakup dalam daftar tindakan yang dilampirkan dalam pertemuan tingkat menteri tahun 2001 tentang kepengurusan hutan (FLEG). Kelompok LSM tersebut mendesak Indonesia dan Inggris untuk memberi prioritas terhadap masalah ini dalam rencana tindakan mereka.
Sejauh ini tidak jelas sejauh mana fokus akan diperluas untuk memasukkan prioritas ini. Ada kekuatiran bahwa kesepakatan ini mungkin akan digunakan untuk memperkuat praktek pengelolaan hutan yang ada, dan bukan menciptakan peluang untuk reformasi yang lebih meluas untuk memungkinkan masyarakat setempat ikut memberikan suara dalam pengambilan keputusan. Ada juga kekuatiran bahwa unsur-unsur konservatif dalam departemen kehutanan akan menentang partisipasi murni dari kelompok masyarakat madani dalam langkah tindak lanjut.
Apakah yang liar?
Baru-baru ini pemerintah menyatakan berkuasa atas keseluruhan tanah hutan dan tidak ada yang dimiliki oleh masyarakat adat. Sejak awal penebangan kayu besar-besaran pada tahun 1970-an, masyarakat penghuni hutan sudah menyaksikan tanah mereka dialihkan kepada perusahaan- perusahaan, hutan mereka digunduli, dan sumber penghidupan mereka secara sistematis dirusak. Dalam beberapa tahun belakangan ini, pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat makin diakui secara meluas. Aliansi yang semakin kuat antara masyarakat adat dan organisasi lingkungan juga mendorong peningkatan tekanan yang lebih besar terhadap pemerintah Indonesia dengan negara-negara kreditur, seperti Inggris, untuk menempatkan reformasi hak atas tanah dalam agenda mereka. Hal ini membawa sejumlah kemajuan dalam reformasi hukum, atau setidaknya pengakuan resmi bahwa persoalan itu perlu disikapi. Tahun lalu, sebuah ketetapan disahkan oleh lembaga perwakilan tertinggi, MPR, yang mencatat bahwa hukum agraria dan sumber daya alam yang ada sekarang lemah dan saling bertentangan, dan dibutuhkan reformasi. ( lihat DTE 52)
Dalam konteks hukum yang terus berubah ini, perancangan undang-undang untuk menangani penebangan kayu liar merupakan masalah tersendiri karena tidak adanya kejelasan atau kesepakatan dalam definisi 'liar.' Para pejabat pemerintah mungkin menyatakan bahwa istilah itu berarti apapun yang melanggar peraturan dalam sistem HPH, yaitu konsesi penebangan kayu yang menyokong perusahaan bisnis kayu yang luas dan merusak dan kini terlilit hutang besar. Namun banyak masyarakat adat yang berpendapat bahwa hak-hak adat sudah ada lebih dulu sebelum hukum Indonesia (dan dalam beberapa kasus, mendahului negara Indonesia) sehingga dalam pengertian mereka konsesi penebangan kayu yang diberikan di daerah mereka tanpa ijin mereka adalah ilegal.
Definisi lain dari "penebangan kayu liar" berasal dari temu karya yang diselenggarakan LSM Indonesia Telapak, yaitu "operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat ijin dan yang merusak."
Masalah ini makin diperumit dengan kenyataan bahwa banyak tanah hutan yang secara formal tidak digambar (dipetakan) dan didaftarkan dalam lembaran negara seperti yang disyaratkan oleh undang-undang. Setidaknya hingga tahun 1999 hampir sepertiga 'hutan negara' tidak masuk dalam yurisdiksi hukum Departemen Kehutanan (lihat DTE Hutan, Rakyat, dan Hak, hal. 5, dengan mengutip Fay dan Sirait 1999).
Bahkan kalaupun masalah 'sah atau tidak' bisa dijelaskan, aksi terhadap penyelundupan batangan kayu dan penebangan kayu liar masih tergantung pada pengadilan Indonesia yang terkenal lemah dan korup. Bongkar ulang sistem pengadilan Indonesia secara menyeluruh amat dibutuhkan, namun hal ini tidak akan terjadi dalam waktu semalam. Keterlibatan perusahaan yang dimiliki oleh anggota MPR Rasyid dalam penebangan kayu liar di Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) merupakan contoh dari kesulitan dalam menangani raja-raja hutan setempat yang kekuasaannya semakin bertambah sejak diberlakukan otonomi daerah.
Ilegal berdasarkan hukum adat
LB Dingit, seorang pemimpin terkemuka Dayak di Kalimantan Timur dan peraih penghargaan Goldmann, melakukan perlawanan terhadap sebuah perusahaan kayu (resmi) yang melanggar hukum adat. Dingit menerapkan denda adat terhadap perusahaan, PT Rimba Karya Rayatama, karena menebang pohon kayu besi milik masyarakat. Kasus ini merupakan contoh bagaimana masyarakat adat memberlakukan hukum adat, dan bukan hukum negara, dalam menerapkan keadilan. (Sumber : Surat LB Dingit, 17/Jun/01) |
Rencana Aksi
DFID, Departemen Inggris yang bertanggung-jawab dalam menindak-lanjuti MoU bersama Departemen Kehutanan Indonesia sudah sepakat akan perlunya pencapaian persetujuan dengan kelompok-kelompok stakeholder utama tentang definisi legalitas yang berlaku. Mereka merencanakan serangkaian diskusi dengan kelompok yang terlibat sebagai upaya untuk mewujudkan hal ini dalam waktu dua bulan kedepan.
Serangkaian konsultasi juga direncanakan untuk mengumpulkan pandangan tentang kepraktisan penelusuran kayu dan menentukan apakah perusahaan itu beroperasi secara sah atau tidak. Rencana itu akan mengidentifikasi tiga wilayah dengan ciri-ciri hutan dan penegakan hukum yang berbeda dan melaksanakan wawancara dengan kelompok-kelompok yang terlibat, termasuk Bupati, anggota parlemen, para pejabat kehutanan, dan lembaga penegak hukum (polisi, bea cukai, militer, dan angkatan laut), perwakilan masyarakat dan industri kehutanan.
Masyarakat sipil di Inggris dan Indonesia tidak diajak membahas MoU dan setelah itu hanya sedikit terjadi konsultasi tentang rencana aksi. Tampaknya kedua pemerintah ingin menyelesaikan prakarsa tentang penebangan kayu liar ini secepat mungkin sehingga mereka 'terlihat melakukan sesuatu' tanpa memperdulikan adanya kekurangan-kekurangan yang mendasar.
Temu Karya FLEGT di Brussels
Masalah legalitas dibahas pada temu karya Bulan April tentang Penegakan Hukum Hutan, Penanganan dan Perdagangan (FLEGT) di Brussel, Belgia. Tuan rumah temu karya adalah Komisi Eropa dan dihadiri oleh perwakilan negara-negara anggota EU, pemerintahan penghasil dan pengimpor kayu ( Cina, Jepang, Indonesia, Filipina, Kanada, dan Ghana), industri kehutanan dan sejumlah LSM. Menurut hasil resmi temu karya, legalitas ditentukan oleh 'undang- undang nasional dan undang-undang setempat, jika memungkinkan, dan juga undang-undang internasional yang sudah dimasukkan dalam undang-undang di negara penghasil." Hal ini tampaknya mengabaikan masalah di Indonesia dengan hukum adat yang bertentangan dengan hukum negara. Uni Eropa bertekad untuk mengembangkan rencana aksi FLEGT pada akhir tahun 2002. Untuk informasi lebih lanjut mengenai pertemuan ini, lihat situs FERN di http://www.fern.org/ |
MoU, beserta catatan tentang perubahan versi akhir dari rancangan sebelumnya
ada di situs DTE http://dte.gn.apc.org/CfMoU.htm.
Pernyataan sejumlah LSM Indonesia dan AMAN tentang MoU ada di http://dte.gn.apc.org/Cfst1.htm
Pernyataan
sejumlah LSM Inggris di http://dte.gn.apc.org/Cfpr1.htm
dan pernyataan pers MoU di http://dte.gn.apc.org/CMoU.htm
Lihat juga Forests, People and Rights untuk pembahasan tentang Adat dan Hukum Indonesia. Laporannya di situs kami