Switch to English |
Sekitar 50 orang penduduk desa Saengga pada bulan Mei lalu telah memblokade basis kamp proyek Tangguh. Penduduk menuntut agar BP melakukan penangguhan kegiatannya. Laporan-laporan setempat menyebutkan bahwa aksi tanpa kekerasan itu terjadi karena pemerintah kabupaten Manokwari dan BP gagal menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan yang mereka buat bersama penduduk desa Saengga dalam sebuah lokakarya sebulan sebelumnya. Blokade itu berakhir menjelang malam tanpa campur tangan polisi maupun aparat militer.
Lokakarya yang dimaksud berlangsung pada bulan April yang lalu yang melibatkan BP, pemerintah daerah dan penduduk desa. Dalam kegiatan itu, dibahas suatu masalah tentang status dan nilai tanah adat yang akan digunakan BP dalam pelaksanaan proyek mereka; akses terhadap sumber daya alam; tenaga kerja; pembangunan masyarakat; penghargaan terhadap tradisi masyarakat; hak asasi manusia; transport; pembangunan jalan, pemetaan desa dan pembentukan sebuah badan untuk mengawasi kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat setempat. Masyarakat desa juga menekankan persoalan utama mereka, yaitu pengkajian ulang terhadap status dan nilai tanah adat yang digunakan dalam proyek BP. Akhirnya, disepakati bahwa akan dilakukan konsultasi lanjutan tentang masalah itu yang akan dilaksanakan di ibukota kabupaten Manokwari (lihat terbitan JATAM, Kerebok Vol 3 No. 221. Untuk keterangan lebih rinci, lihat www.jatam.org)
Berkaitan dengan masalah tersebut, Aliansi Manokwari untuk Advokasi Tangguh mengeluarkan siaran pers yang berisi seruan kepada masyarakat setempat, BP Indonesia, Pertamina (rekanan BP) serta pemerintah daerah Manokwari untuk menindaklanjuti persoalan-persoalan yang belum terpecahkan tanpa menggunakan kekerasan. Aliansi itu juga menyerukan moratorium proyek Tangguh yang dilanjutkan dengan konsultasi-konsultasi terbuka. Selain itu, Aliansi menyinggung tentang penyediaan informasi terhadap akibat yang muncul dari proyek tersebut, sehingga masyarakat memiliki peluang untuk "memilih apa yang terbaik bagi mereka".
Persetujuan
Namun, bukannya menunda atau memperlambat pekerjaan mereka di Tangguh, BP malahan mendesak pemerintah pusat untuk mempercepat persetujuan mereka terhadap AMDAL proyek yang diajukan BP. Hal ini terlihat dalam pernyataan wakil presiden BP, David Fitzsimmons pada bulan Juli yang lalu yang mendesak pemerintah Indonesia mempercepat persetujuannya terhadap proyek Tangguh guna mencapai target pembangunan dan pengiriman gas alam cair (LNG) yang dijadwalkan semula.
Proyek terminal LNG, yang akan mendapat pasokan dari ladang gas lepas pantai di teluk tersebut, terletak dalam suatu wilayah seluas 3.164 hektar di sebelah selatan pantai Teluk Bintuni. Ia meliputi wilayah di atas lahan adat milik masyarakat Papua [untuk informasi lebih rinci tentang latar belakang proyek tersebut, lihat DTE 53:5] Pembangunan pabrik LNG itu rencananya akan segera dimulai tahun depan dengan jadwal pengiriman LNG pertama pada akhir tahun 2005 atau awal tahun 2006.
Namun, sampai sekarang AMDAL proyek Tangguh yang diserahkan pada bulan Maret masih belum mendapat persetujuan pemerintah pusat, meskipun BP telah melakukan dengar pendapat dengan pihak Bapedal di tingkat propinsi dan nasional. Alasan pemerintah pusat dan para pejabat pemerintah di Papua Barat adalah agar dicapai dulu penyelesaian sejumlah isu-isu utama, termasuk masalah pemukiman kembali penduduk. Desakan untuk percepatan tersebut menimbulkan keberatan dari Aliansi Manokwari, yang memandang bahwa proses AMDAL yang "dipaksa dan terburu-buru", dimana masyarakat yang akan terkena langsung pengaruh proyek tersebut tidak mendapatkan informasi yang layak tentang dampak negatif proyek tersebut. LSM lingkungan lainnya, WALHI, mengajukan keberatan terhadap seluruh proses persetujuan AMDAL, dan menyatakan bahwa proses tersebut tidak valid secara legal akibat peleburan Bapedal dengan kementrian lingkungan hidup.
Bagi BP, Tangguh adalah proyek garis depan mereka untuk memenangkan kontrak pemasokan gas dengan Cina sebanyak 3,3 juta ton setiap tahunnya. Nilai keseluruhan kontrak tersebut mencapai jumlah 450 juta dollar selama 20-25 tahun. Pesaing BP adalah ExxonMObil (proyek Qatar) dan Australia North West Shelf yang merupakan perusahaan patungan (Woodside Petroleum, Shell, Chevron Texaco, BHP Billiton, BP, Mitsubishi dan Mistui). Dalam kasus ExxonMobil, proyek gas Arun mereka di Aceh merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat oleh penjaga keamanan militer terhadap penduduk lokal. Lihat artikel selanjutnya dan DTE 52 dan DTE 50)
(Dow Jones Newswires 7/Juli/02; AFP 6/Juli/02; AFX-Asia 9/Juli/02)
Komisi
Dalam suatu pernyataannya, BP mengatakan mereka tidak akan mengikuti jejak ExxonMObil di Aceh atau, lebih dekat lagi dengan lokasi di Papua, yaitu pertambangan emas dan tembaga Freeport/Rio Tinto dimana terjadi pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan yang dibayar untuk menjaga tambang. (Rio Tinto adalah rekanan BP melalui perusahaan tambang batubara raksasa KPC di Kalimantan Timur). BP berusaha membedakan Tangguh dengan proyek-proyek penuh aib tersebut dengan menekankan komitmen mereka melalui konsultasi bersama para stakeholders (pihak terkait). Selain itu, BP juga menyatakan niat mereka secara terbuka untuk menjauhkan keterlibatan militer dalam proyek mereka. Sebagai bagian dari usaha tersebut, BP membentuk sebuah komisi yang dipimpin oleh senator George Mitchell, yang berperan untuk melakukan pemeriksaan eksternal terhadap proyek mereka. Meskipun demikian, belum ada keterangan rinci secara publik tentang maksud dan hasil dari pekerjaan Komisi tersebut. Pada bulan April, sebelum Komisi itu mengadakan kunjungan ke Papua Barat, DTE menemui empat anggota komisi tersebut di London. Setelah melakukan konsultasi dengan rekan-rekan Indonesia dan Papua, DTE menyusun suatu pernyataan yang mengemukakan beberapa keprihatinan utama terhadap proyek tersebut, termasuk di dalamnya:
Laporan tentang pengaruh HAM yang terpisah dikumpulkan oleh mantan staf departemen dalam negeri Amerika Serikat, Bennet Freeman. Tetapi laporan ini sampai sekarang belum diterbitkan.
Kunjungan Komandan Militer ke Tangguh
Pada bulan Maret, Mayor Jendral Mahidin Simbolon, komandan militer di Papua, mengunjungi proyek tersebut bersama dengan anggota keamanan lainnya. Menurut laporan Wall Street Journal, dengan mengutip pernyataan saksi, "para pengunjung mengelilingi proyek tersebut dengan membawa senjata otomatis". Surat kabar juga mengutip pernyataan pejabat BP yang tak disebutkan namanya, yang mengatakan bahwa Simbolon berkata kepada mereka bahwa pihak militer memiliki tanggungjawab untuk melindungi aset-aset nasional seperti proyek BP. Sebelumnya Ia juga mengatakan bahwa hanya aturan dari Presiden Megawati dapat mencegah pihak militer untuk mengambil alih peran keamanan. Sebagai tanggapan atas surat dari West Papua Association di Inggris, BP Indonesia mengatakan bahwa Simbolon tidak pernah mengeluarkan pernyataan tersebut, dan ia juga telah menyarankan agar pihak perusahaan seharusnya bekerja sama erat dengan masyarakat setempat untuk mencegah timbulnya berbagai masalah.
Menurut laporan newsletter JATAM, Kerebok, pihak militer dan polisi Indonesia telah mengunjungi base kamp Saengga berkali-kali. Dengan mengutip sumber-sumber lokal, Kerebok menyatakan bahwa ada rencana untuk membentuk Kodim (komando distrik militer) baru di wilayah Tofoi, yang berjarak tempuh (dengan sepeda motor) sekitar satu setengah jam dari Tangguh, selain juga rencana meningkatkan status kepolisian di kabupaten yang terletak dekat desa Babo. Jika rencana-rencana tersebut benar-benar berjalan, maka akan lebih banyak pasukan dan polisi ditempatkan di wilayah dekat proyek LNG dan berpotensi meningkatkan campur tangan pasukan keamanan di tempat tersebut.
Masyarakat setempat telah merasakan pengaruh akibat penempatan pos Brimob di sekitar perkampungan mereka. Anggota-anggota Brimob, yang terkenal dengan keburukan aksi-aksi mereka, ditempatkan di wilayah itu untuk menjaga kegiatan penebangan kayu oleh perusahaan yang berbasis di Jakarta, dengan lingkup operasi yang mencakup lahan tanah adat. Di Wasior, sebelah timur Teluk Bintuni, penduduk setempat meninggalkan desa mereka selama operasi polisi dalam pemburuan terhadap orang-orang yang dicurigai telah membunuh anggota brimob. Menurut pembela HAM yang berbasis di Papua, pembunuhan-pembunuhan dan berbagai tindakan teror yang menyusul kemudian adalah bentuk peringatan terhadap BP bahwa perusahaan tersebut tidak mungkin menjalankan kegiatan mereka sendiri tanpa bantuan pasukan keamanan. Kelompok HAM, ELSAM, mempertanyakan apakah mungkin protes Saengga merupakan hasil provokasi dari luar untuk membenarkan kehadiran polisi atau militer ke wilayah pertambangan tersebut.
Menurut BP, terdapat 9 penjaga keamanan di base kamp Tangguh di Saengga. Mereka adalah orang-orang yang direkrut dari desa-desa yang terkena dampak pelaksanaan proyek tersebut. Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan ELSHAM apakah penjaga keamanan tersebut mendapat latihan dari pasukan elit militer, Koppasus, BP mengatakan bahwa para penjaga keamanan itu dilatih sendiri, dengan latihan tambahan oleh kontraktor keamanan BP, AGI. BP berharap dapat merekrut sekitar 30 anggota keamanan dari desa-desa yang terkena dampak langsung pelaksanaan proyek. Mereka kemudian akan dilatih oleh "pelaksana yang diakui secara internasional" yang terikat oleh aturan "Kode Etik" BP. (Surat yang diedarkan pada tanggal 21 Mei 2002)
Pendekatan keamanan BP yang berbasiskan pada masyarakat nampaknya terus berlangsung sampai sekarang. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pendekatan tersebut masih sangat rentan. Sejauh mana perusahaan tersebut dapat bertahan terhadap campur tangan langsung yang melibatkan militer dan polisi dalam masalah keamanan adalah ujian terbesar bagi proyek tersebut.
(Sumber: Kerebok Vol 3/20, Mar/02 & 3/21, Apr/02; Wall Street Journal 19/Apr/02)
"Act of Free Choice" Kajian Kampanye "Pilihan Bebas" Papua Barat Pada bulan Maret tahun ini, telah diluncurkan suatu kampanye oleh organisasi solidaritas Papua Barat yang mengajukan tuntutan kepada sekretaris jendral PBB untuk melangsungkan suatu kajian ulang terhadap ACt Of Free Choice 1969 oleh PBB yang memberikan hak bagi Indonesia untuk menganeksasi Papua Barat. Undang-Undang tersebut terdiri dari suatu "pemungutan suara" oleh 1.022 orang, dibawah tekanan kuat penguasa Indonesia untuk meraih keputusan yang menegaskan integrasi wilayah tersebut ke dalam Republik Indonesia. Hasilnya adalah keputusan bulat yang menginginkan integrasi. Keputusan tersebut kemudian disahkan berdasarkan resolusi Dewan Umum PBB pada tanggal 19 November 1969 yang "didasarkan pada laporan Wakil Khusus Sekretaris Jendral." Beberapa dekade kemudian, undang-undang tersebut mulai diragukan, khususnya oleh mantan Wakil Sekjen PBB, Chakravarthy Narasimhan, yang mengawasi kegiatan PBB di wilayah tersebut. Ia mengakui bahwa seluruh prosedur yang ada merupakan suatu "whitewash." Pada bulan Juni, DTE ikut serta dengan sedikitnya 40 organisasi lainnya dari seluruh dunia untuk menulis surat kepada Sekretaris Jendral PBB Koffi Annan untuk memohon peninjauan ulang. Untuk informasi lebih rinci tentang masalah ini, hubungi West Papua Action, di Irlandia dengan alamat email wpaction@iol.ie Petisi dan dokumen-dokumen dukungan bisa dilihat dalam http://westpapuaaction.buz.org/unreview. Pada bulan September yang akan datang, direncanakan akan terbit sebuah buku baru berjudul The United Nations and the Indonesian Takewover of West Papua yang ditulis oleh Dr. John Saltford. Buku ini diterbitkan oleh Routledge-Curzon.
|