Switch to English |
Dalam kunjungannya belum lama ini ke Inggris dan Irlandia, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, ketua Persekutuan Gereja Baptis Papua Barat, menyerukan dilangsungkannya pembicaraan damai di Papua Barat. Ia menunjuk kasus perundingan damai antara GAM dan pemerintah Indonesia, termasuk penarikan pasukan dan amnesti umum terhadap GAM. Sofyan Yoman menyatakan bahwa langkah yang sama diharapkan dapat berlangsung di Papua. Namun, pemerintah Indonesia telah menolak usulan seperti itu di Papua Barat.
Pendeta Yoman meyakini bahwa penghentian serangan militer yang berkepanjangan akan menjadi langkah awal untuk memperbaiki martabat orang-orang Papua. Sejak Pepera 1969, orang-orang Papua Barat menyaksikan lingkungan mereka telah dieksploitasi oleh elit-elit Jakarta, perusahaan multinasional dan penjarahan sumber daya alam oleh pihak-pihak oportunis. Sementara itu, pada saat yang bersamaan hanya sebagian kecil pendapatan 'mengalir' bagi penduduk-penduduk lokal. Dibawah alasan menjaga integritas nasional, pihak militer Indonesia juga melayani kaum pemodal dengan melindungi bisnis mereka. Dan pada saat bersamaan melanggar hak-hak orang Papua untuk melindungi lahan dan sumber daya mereka secara berkelanjutan.
Pendeta Yoman mengkhawatirkan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001 akan menjadi sebuah Pepera kedua yang sama sekali tidak mewakili suara mayoritas orang-orang Papua, atau juga tidak memenuhi hak menentukan nasib sendiri. Ia meyakini bahwa Otonomi Khusus tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan karena undang-undang itu tidak menyentuh masalah dasar dari persoalan Papua Barat.
Sekitar lima belas ribu pasukan tambahan telah ditempatkan di wilayah itu setelah pemekaran wilayah Papua Barat menjadi beberapa propinsi pada awal tahun 2003.
Ia mengatakan lagi bahwa pemerintahan Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memberikan dukungan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia karena kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik mereka. 'Mereka mau menggali emas, perak, gas dan hutan kami ... Mereka selalu mendukung pemerintah Indonesia dan pihak militernya dalam memburu, menangkap, menculik, menyiksa, memenjarakan, memperkosa dan membunuh kami. Mereka berulangkali menyakiti orang-orang Papua Barat, mengabaikan hak-hak dasar kami. Pertama-tama, melalui kesepakatan New York pada tanggal 15 Agustus 1962, tanpa melibatkan orang-orang Papua dan pengalihan Papua Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1965, sebelum pelaksanaan Pepera 1969; memberikan pembenaran bagi Act of Free Choice yang tidak demokratis, yang diterima oleh PBB, dan akhirnya didukung oleh Undang-Undang Otonomi Khusus.'
Pada saat bersamaan, mayoritas masyarakat adat terus berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan dan keamanan hidup mereka. Orang-orang Papua Barat, yang seringkali dianggap 'terbelakang' dan 'primitif' oleh pemerintah Indonesia dan pihak lainnya, jelas telah dimarjinalisasikan di tanah mereka sendiri.
Pendeta Yoman mengatakan bahwa orang-orang Papua Barat sekarang ini mencari dukungan komunitas internasional untuk pengakuan hak-hak mereka dan meminta diadakannya dialog untuk membahas akar-akar masalah Papua Barat.
(Sumber: pers.comm; Makalah yang ditulis oleh Pendeta Yoman: Otonomi Khusus adalah AFC tahap II, Jan/05, Genocide secara sistematis terhadap penduduk Papua Barat di bawah Otonomi Khusus, May/05; TAPOL Buletin No. 178, Mar/05; DTE 51)
Serangan-serangan brutal oleh personel militer Indonesia terhadap orang Papua dilaporkan terjadi di Wamena di wilayah Piramida dataran tinggi tengah. Sementara itu, seiring dengan rasa tidak puas terhadap penerapan Otonomi Khusus, Dewan Rakyat Papua memutuskan untuk 'mengembalikan' Undang-Undang Otonomi Khusus kepada pemerintah pada tanggal 15 Agustus. (www.freewestpapua.org, Tapol 5/Aug/05.)