Switch to English |
World Summit 2005 adalah pertemuan akbar yang bertujuan mengakhiri riwayat kemiskinan di muka bumi. Dengan semboyan awal 'UN Millenium + 5 Summit,' pemimpin-pemimpin dunia rencananya akan mengkaji ulang pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).
Mimin Dwi Hartono, koordinator Wana Mandhira, sebuah LSM asal Yogyakarta, adalah salah seorang aktivis asal Indonesia yang hadir dalam dengar pendapat langsung di PBB pada tanggal 23-24 Juni 2005. Wakil-wakil organisasi masyarakat sipil, LSM dan sektor swasta diundang untuk hadir dan memberikan masukan-masukan dalam laporan Sekretaris Jendral PBB berjudul In Larger Freedom: Towards Development, Security, and Human Rights for All, yang hasilnya akan disampaikan dalam pertemuan Dewan Umum PBB pada bulan September. Tema-tema yang tercakup dalam acara dengar pendapat itu adalah Millenium Development Goals (MDGs), pembiayaan pembangunan dan reformasi di dalam tubuh PBB.
Hartono melaporkan bahwa acara yang paling banyak mendapatkan perhatian peserta adalah diskusi bertema Freedom from Want. Acara diskusi ini membahas masalah kehidupan kelompok miskin Mayoritas Dunia. Selain Cina dan India, sebagai pengecualian di antara negara-negara berkembang lain dalam upaya pengentasan kemiskinan, sebagian besar lainnya masih berjuang keras meningkatkan pencapaian penghapusan tingkat kemiskinan. Bahkan di beberapa negara Afrika fenomena kemiskinan semakin buruk.
Salah satu masalah dalam diskusi yang mendapat perhatian besar peserta adalah komitmen setengah hati negara-negara kaya dan kuat yang tergabung dalam G8 dalam upaya mencapai tujuan MDG. Tidak satupun di antara negara-negara tersebut yang telah memenuhi komitmen jangka panjang menyumbangkan 0,7% dari jumlah GDP mereka untuk mendukung pembangunan di negara-negara miskin. Para peserta yang hadir juga menganggap negara-negara kaya bersikap munafik. Mereka dengan penuh semangat menyuarakan perdagangan bebas sementara pada saat sama menerapkan proteksionisme di dalam negeri. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Amerika Serikat, Selandia Baru dan negara-negara Uni-Eropa yang memberi subsidi bagi para petani di negara masing-masing.
Dalam kaitannya dengan masalah keberlanjutan lingkungan, yang tertuang dalam butir nomor 7 Millenium Development Goal, sebagian besar negara masih harus mengintegrasikan prinsip-prinsip tersebut dalam kebijakan dan program pembangunan mereka. Pikiran jangka pendek dan orientasi ekonomi nampaknya masih mendominasi kebijakan pembangunan.
Meskipun demikian, sektor swasta menjadi pihak yang paling optimis mengenai peran mereka dalam mendorong prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sikap tersebut dinyatakan melalui penerapan prinsip tanggung jawab dunia usaha selain juga melalui penyediaan dana dan investasi dalam mencapai target MDG. Salah satu konsep favorit mereka adalah apa yang disebut dengan Company Social Responsibility (CSR). Ini adalah sebuah konsep yang populer di kalangan perusahaan dalam upaya mereka meraih label 'good practice'. Tetapi wakil-wakil dari kalangan LSM dan organisasi masyarakat sipil telah melontarkan cemooh mereka terhadap penggunaan prinsip itu dalam acara dengar pendapat yang berlangsung. Menurut kalangan LSM dan organisasi masyarakat sipil, dalam praktek terdapat jurang yang lebar antara prinsip dan pelaksanaan. Menurut kalangan organisasi masyarakat sipil, salah satu fakta penting adalah bahwa CSR tetap merupakan sebuah prinsip yang bersifat sukarela. Mereka meragukan apakah perusahaan bersedia mengikuti prinsip itu dan berkompromi terhadap keuntungan demi tercapainya keberlanjutan.
Dalam kasus Indonesia, sikap pemerintah yang membiarkan perusahaan-perusahaan melakukan penambangan di hutan-hutan lindung dan memberikan toleransi terhadap perusahaan-perusahaan yang menyebabkan polusi, menjadi indikasi yang menunjukkan bahwa pemerintah dan sektor swasta mengabaikan komitmen mereka terhadap MDG.
Acara dengar pendapat itu juga mendengarkan berbagai pesan yang disuarakan kalangan masyarakat sipil: kebutuhan untuk 'pendekatan pembangunan berbasiskan hak-hak asasi manusia, perdamaian dan keamanan hidup, dan juga upaya meningkatkan arti penting hak-hak asasi manusia dalam tubuh PBB.' Pesan utama lainnya adalah dimasukannya kelompok-kelompok marjinal seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang cacat, mereka yang terkena diskriminasi rasial, anak-anak, kaum muda dan orang tua, sebagai salah satu syarat penting pencapaian MDG.
Apa yang terjadi dengan suara masyarakat sipil?
Dengar pendapat informal itu bagaimanapun memiliki nilai historis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, tercipta sebuah komunikasi langsung antar negara-negara anggota PBB, wakil masyarakat sipil dan sektor swasta. Hadir dalam acara dengar pendapat itu sekitar 230 wakil LSM dengan status konsultatif dalam Dewan Ekonomi dan Sosial, kelompok masyarakat sipil lainnya dan sektor swasta. Setengah dari jumlah itu berasal dari negara-negara berkembang.
Sayangnya, harapan tinggi dari acara dengar pendapat itu runtuh setelah World Summit bulan September berlalu. Tidak ada hal baru yang lahir selain penegasan kembali agenda pro-pasar dan pengulangan janji-janji lama. Komitmen yang rendah itu telah mendorong Global Call to Action Against Poverty (GCAP), sebuah aliansi OMS internasional yang memiliki bertujuan mendorong pemimpin dunia memenuhi janji mereka, menjuluki MDG sebagai 'Minimalist Development Goals'.
INFID, the International NGO Forum on Indonesian Development, menunjukkan beberapa kelemahan di dalam dokumen pertemuan tersebut. Sebuah resolusi yang dikeluarkan untuk mendorong investasi asing dan swasta dalam sektor layanan publik sebagai upaya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan jauh dari harapan 'melindungi kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat'. Menurut INFID, tidak ada mekanisme monitoring yang jelas untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan tidak akan menjadi alat pencapaian keuntungan bagi modal asing dan pihak swasta.
Meskipun telah mendapat undangan resmi dari Sekretariat Jendral PBB untuk memberikan sumbangan pikiran, partisipasi masyarakat sipil dalam pertemuan tersebut tetap dibatasi, termasuk mereka yang memiliki status EcoSoc. GCAP mencatat bahwa dalam pertemuan para pemimpin dunia, masukan-masukan kelompok masyarakat sipil dalam acara dengar pendapat sedikit saja diperhatikan.
Pada akhirnya, pertemuan akbar para pemimpin dunia telah menghasilkan kekecewaan bagi kaum miskin dan Mayoritas Dunia. Pertemuan itu sama sekali tidak menyinggung kegagalan mereka mencapai kemajuan dalam target-target MDG, apalagi membuat perubahan mendasar dalam arahan kebijakan mereka. Oleh karena itu, penting sekali dibuat sebuah langkah untuk menjadikan target pencapaian MDG lebih demokratis, termasuk di dalamnya adalah upaya mendemokratiskan lembaga-lembaga global. Dalam arah yang sama, pemerintah juga seharusnya tidak hanya menjadikan upaya pencapaian target MDG sebagai simbol semata, dan tetap melakukan kegiatan seperti biasa, dan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan agenda liberalisasi. Apabila hal ini tidak dilakukan, kita tetap akan mendapatkan retorika yang sama—sebuah komitmen yang kecil sekali dilaksanakan—pada pertemuan global selanjutnya.
Sumber: Ringkasan dari hasil dengar pendapat informal secara interaktif antara Dewan Umum PBB dengan wakil-wakil organisasi LSM, masyarakat sipil dan sektor swasta, http://www.un-ngls.org/GA-hearings.htm; GCAP, Reflections on the United Nations Summit, http://www.whiteband.org/specialIssues/UNP5/unp50/gcapnews.2005-09-30.4602183211/en Kertas posisi INFID' menyikapi draft deklarasi untuk UN MDGs Summit, http://www.infid.be/INFID-Position-Paper-UN-MDG-Summit.pdf Siaran Pers INFID : 2005 World Summit Outcome Document to weaken developing countries.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Millennium Development Goals, lihat DTE IFIs Factsheet, No 36, October 2004
1. Bagian pertama dalam tulisan ini adalah adaptasi dari artikel yang ditulis Mimin D Hartono berjudul Tujuan Pembangunan Millenium dan Tantangannya.