Switch to English |
Chip mill baru, yang akan mempunyai kapasitas untuk memproduksi 700.000 ton chip kayu ini, tengah dibangun oleh PT Mangium Anugrah Lestari (PT MAL) di Pulau Laut - sebuah pulau besar di lepas pantai tenggara provinsi Kalimantan Selatan. PT MAL merupakan anak perusahaan dari United Fiber Systems (UFS) yang berkedudukan di Singapura. UFS adalah perusahaan internasional yang mempelopori pembangunan pabrik pulp pertama tingkat provinsi - sebuah projek yang amat ditentang oleh NGO lokal dan nasional sepanjang lima tahun terakhir.
UFS tengah berusaha mendapatkan projek pulp senilai 600.000 ton di daratan Kalimantan Selatan sejak ia mendapatkan lampu hijau resmi di tahun 2003. Perusahaan pulp di desa Sungai Cuka, di Kecamatan Satui, mengalami penundaan karena permasalahan pendanaan projek dan persoalan hukum. Sebetulnya, projek chip mill Pulau Laut diharapkan dapat menghimpun dana untuk pembangunan pabrik pulp Satui dan memasoknya dengan bahan mentah utama mereka kelak. Sekarang, karena UFS mengalami kelebihan produksi di perusahaan pulp Kiani Kertas di Kalimantan Timur, rencana tampaknya perlu diubah.
Hutan-hutan di Kalimantan Selatan dan masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada sumber daya hutan menjadi korban dari pembangunan tersebut. Kemungkinan besar pabrik-pabrik itu akan memasok kayu yang berasal dari hutan-hutan alam - langsung atau tidak langsung - karena pasokan yang berasal dari perkebunan yang ada tidak dapat memenuhi permintaan baru. Wilayah hutan yang masih tersisa akan digunduli untuk membangun perkebunan 'fastwood' (jenis pepohonan yang cepat tumbuh dan kayunya memiliki nilai komersial tinggi) yang lebih banyak lagi. Hal itu akan memperburuk krisis hutan Indonesia. Bagaimanapun, pada tingkat nasional, Indonesia perlu menurunkan kelebihan kapasitas industri pengolahan kayunya.
Kesenjangan pasokan
Baik pabrik pulp maupun chip kayu bermaksud menggunakan kayu dari hutan perkebunan milik negara (Inhutani II dan III) disamping yang berasal dari konsesi perkebunan UFS yang dikelola oleh PT Hutan Rindang Buana (PT HRB)[1]. Menurut UFS, pabrik pulp Satui akan lain dari pada yang lain di Indonesia karena sejak awal hanya akan memakai kayu dari perkebunan. Namun demikian, perhitungan dalam laporan terbaru CIFOR menunjukkan bahwa UFS tidak dapat memenuhi kecukupan bahan mentah dari anak perusahaan mereka sendiri.
Secara teori, area perkebunan seluas 16.000 hektare yang terawat baik dapat memenuhi kebutuhan pabrik pulp hampir 3 juta meter kubik kayu per tahun dalam siklus lestari 8 tahun. HRB secara resmi memiliki konsesi HTI seluas 268.585 hektare. UFS mengklaim bahwa 86.000 hektare area telah ditanami pohon akasia antara tahun 1994 dan 1999, namun luas dan kualitas perkebunan ini diragukan. Kebakaran hutan mungkin telah menghancurkan lebih dari separuh pohon-pohon yang ditanam di beberapa tempat. Kemarau dan buruknya manajemen perkebunan telah mempengaruhi hasilnya pula. Menurut WALHI Kalsel, kurang dari 15.000 hektare yang terdiri dari perkebunan yang kondisinya baik.
Konsesi HRB tersebar di lima lokasi. Hampir 40% tidak dapat ditanami dengan pohon untuk bubur kayu atau 'pulpwood'. Area keseluruhan juga mencakup sejumlah pemukiman penduduk. Terjadi pula saling tumpang tindih izin penggunaan lahan, terutama untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang batu-bara oleh PT Arutmin. Sembilan izin perkebunan, sebagian besar adalah milik Kelompok Minamas, tumpang tindih dengan perkebunan milik HRB dan, begitu akasia telah dipanen, tanah akan diambil alih oleh tanaman kelapa sawit bukan kembali ditanami 'pulpwood'.
Area perkebunan telah jauh berkurang sebab masyarakat adat menuntut kembali hak atas tanah mereka yang sebelumnya mereka serahkan penggunaannya kepada HRB. Di desa Sembaban, kepala desa telah mengalokasikan tanah kepada masyarakat dan mengizinkan warganya (transmigran Bali) untuk menebang pohon akasia untuk membangun rumah-rumah mereka.
Perluasan area telah mengikis hutan secara berlebihan dan, sejak terjadinya kebakaran hutan besar yang melanda Kalimantan di tahun 1997-8, beberapa area kini ditumbuhi alang-alang. Meski demikian, konsesi HRB seluas 73.000 hektare masih terdiri dari hutan alam. Lebih dari separuh hutan tersebut berada di ambang kehancuran. Konsultan kehutanan dari Finlandia, Jaakko Pöyry, pada tahun 2004 menyarankan UFS bahwa 44.000 hektare 'hutan terlantar' layak dialihfungsikan. Selain itu, ada desas-desus bahwa UFS saat ini tidak memiliki dana untuk penanaman kembali dan memelihara perkebunan HRB. Ada beberapa perkebunan lain di sekitar perusahaan pulp Satui yang diusulkan, namun perusahaan itu saat ini telah punya pembeli lain - termasuk perusahaan pulp di Riau - dan - hingga kini, UFS tidak punya kontrak dengan mereka. Dengan kata lain, tidak ada jaminan perkebunan lestari untuk memasok perusahaan pulp.
Mengganti hutan dengan chip kayu
Tanaman untuk chip kayu seharusnya mulai berproduksi pada awal tahun 2006. Chip kayu akasia diharapkan bisa dipanen dari area perkebunan HRB di Kalimantan yang telah siap panen, dari perkebunan Inhutani II di Pulau Laut, dan tempat-tempat yang dikelola oleh petani kecil dan perusahaan lain di area tersebut. UFS mungkin akan menggunakan chip tersebut pada perusahaan pulp Kiani Kertas yang terletak di Kalimantan Timur sebelah utara, yang baru dibeli UFS. Setiap kelebihan pasokan bisa dijual kepada produsen pulp lainnya di Indonesia atau untuk ekspor, paling tidak sampai pabrik pulp Satui dibangun.
Juru bicara HRB menerangkan bahwa ada permasalahan, tetapi ia menekankan bahwa HRB mampu memasok pabrik chip, dengan pasokan tambahan dari Inhutani II dan III. Akan tetapi, pabrik pulp itu hanya dapat beroperasi baik dengan mengorbankan hutan alam dan sejumlah LSM lokal masih menyangsikan bahwa pabrik itu akan dipasok dari sumber kayu yang legal. Ada perkebunan 'pulpwood' produktif yang dikelola Inhutani II di Pulau Laut - agak dekat dengan tempat yang diusulkan untuk pabrik chip. Tapi baik Inhutani II maupun III saat ini memasok kayu ke Kiani Kertas. Lebih-lebih, Inhutani III, saat ini, tidak menanami kembali konsesi tanaman mereka setelah selesai dipanen.
Tidak seperti pabrik pulp di Kalimantan Selatan yang rencananya dirancang khusus untuk mengolah pohon akasia, perusahaan chip kayu dapat memproses setiap jenis kayu - termasuk kayu keras tropis campuran yang berasal dari sumber yang merusak atau illegal. Namun demikian, laporan Jaakko Pöyry terbaru, yang diminta oleh sebuah bank di Austria, mendukung projek ini (lihat di bawah), kini mengklaim bahwa UFS sama sekali tidak akan menggunakan kayu dari hutan alam. Memang, tujuan UFS rupanya adalah mendapatkan sertifikat FSC untuk perkebunan mereka. Akan tetapi, laporan menunjukkan bahwa "terciptanya pasar lokal untuk kayu chip Acacia mangium dapat mendorong pihak lain diluar konsesi, illegal atau tidak, untuk ikut membangun perkebunan". Ditunjukkan pula bahwa terdapat sekitar 40.000 hektare hutan alam dataran rendah di bagian utara Pulau Laut yang dapat dikonversi untuk perkebunan. Begitu kayu yang bernilai ekonomi tinggi telah diolah, sisanya akan ditebang habis dan diangkut ke Kiani Kertas untuk dijadikan pulp.
Perusahaan tersebut merupakan bagian dari kerajaan bisnis Bob Hasan, mantan menteri dan kroni Soeharto, raja hutan yang kini tak punya muka lagi, dipenjara karena korupsi. Baru-baru ini perusahaan itu telah diambil-alih oleh UFS. Artinya anak-anak perusahaan UFS yang semakin bertambah banyak itu akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pasokan dari perkebunan 'pulpwood' yang terbatas.
Projek UFS di Indonesia | |||
Perusahaan UFS yang relevan | Kegiatan | Lokasi | Area/kapasitas |
PT Hutan Rindang Banua (sebelumnya dikenal sebagai Menara Hutan Buana) (PT HRB) | Manajemen perkebunan kayu industri | Lima blok di Riam Kiwa, Satui, Kintap, Teluk Kapayan dan Pamukan di bagian tenggara provinsi Kalimantan Selatan | Secara resmi 268.000 hektare |
PT Marga Buana Bumi Mulia (PT MBBM) | Pembangunan dan operasi pabrik pulp baru (US$863 juta) dimulai th 2007 | Sungai Cuka, Satui, Kabupaten Tanah Bambu, Kalimantan Selatan | 600.000 ton pulp/tahun (bisa dikembangkan sampai 1.2 metrik ton) |
PT Marga Anugerah Lestari (PT MAL) | Pembangunan dan pengopersasian pabrik 'woodchip' (US$38 juta) dimulai awal 2006 | Alle-Alle, bagian selatan Pulau Laut Kalimantan Selatan | 700.000 ton 'wood chip'/tahun |
PT Marga Buana Bumi Mulia (PT MBBM) | Pembangunan dan operasi pabrik pulp baru (US$863 juta) dimulai th 2007 | Sungai Cuka, Satui, Kabupaten Tanah Bambu, Kalimantan Selatan | 600.000 ton pulp/tahun (bisa dikembangkan sampai 1.2 metrik ton) |
PT Kiani Kertas (negosiasi untuk pembelian tengah berlangsung) | Pabrik Pulp (didirikan pada Nov 1999 oleh Bob Hasan; diambilalih UFS Juli 2005) | Kabupaten Malinau, bagian utara Kalimantan Timur | 525.000 ton hardwood 'kraft pulp'/tahun |
Gambaran satu sisi saja untuk masyarakat desa-desa di Pulau Laut
Pembangunan pabrik chip di desa Alle-Alle, Pulau Laut telah dimulai awal Agustus 2005 dengan pembersihan lahan. Gubernur Kalimantan Selatan melakukan peletakan batu pertama pembangunan pabrik yang bernilai 45 juta dolar AS pada awal September. Pabrik itu akan dibangun dan dioperasikan oleh PT MAL yang merupakan anak perusahaan UFS.
Dibandingkan dengan efek menghancurkan yang mungkin ditimbulkan pabrik chip terhadap hutan alam, dampak dari pabrik ini relatif kecil. Sebidang tanah dibutuhkan untuk pabrik dan lahan untuk menampung kayu yang masuk dan kayu chip yang keluar. Karena tempatnya berada di pantai, dan barang yang keluar-masuk akan dikapalkan, hanya sedikit akses jalan yang diperlukan, namun fasilitas pelabuhan yang baru akan dibangun. Pabrik chip, peralatan bongkar-muat dan kendaraan akan menimbulkan kebisingan dan debu siang dan malam dan akan menghasilkan serbuk gergajian sebagai produk buangan. Jadi, kehidupan masyarakat lokal akan berubah seterusnya.
Penelitian DTE mendapati bahwa penduduk lokal yang mungkin akan terkena dampak pengoperasian pabrik tidak memperoleh informasi yang cukup tentang potensi dampak negatif atau fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan pabrik. Penyampaian informasi dari PT MAL pada tahun 2003, hanya terbatas kepada pemerintah daerah serta para pemilik tanah yang terkena dampak projek, bukan secara lebih luas kepada masyarakat. Perusahaan tersebut menjanjikan bahwa pabrik akan mempekerjakan paling sedikit 2000-3.000 orang di daerah yang terdapat 7.000 pengangguran, namun ini sepertinya tidak realistis. PT MAL menjelaskan kepada masyarakat setempat bahwa buangan serbuk gergajian dari pabrik tidak berbahaya dan sebenarnya dapat digunakan untuk membangkitkan listrik. Masyarakat desa Alle-Alle dan Tanjung Seloka yang hanya menikmati listrik mulai pukul 18.00 sampai 06.00 menyambut baik hal ini. Wakil perusahaan menyatakan pula bahwa tidak akan ada polusi suara.
Proses pengambilalihan tanah tidak mengarah kepada dipegangnya prinsip-prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATaPA). Perusahaan memperoleh seluruh tanah yang mereka butuhkan (84 hektare) dari 173 orang. Namun demikian, beberapa warga desa tidak puas dengan kompensasi yang mereka terima (Rp5.500 per meter persegi) yang relatif rendah dibandingkan dengan harga pasar yang mencapai Rp40.000 - Rp100.000/m2.
Disamping ketidakpuasan mengenai rendahnya nilai kompensasi, masyarakat desa menganggap projek itu adalah sumber pekerjaan dan peningkatan fasilitas-fasilitas desa. Harapan mereka antara lain akan ada perbaikan jalan, berkurangnya pengangguran, pembangunan jaringan telepon dan jaringan telepon seluler dan dihidupkannya kembali koperasi desa yang telah mati untuk menjual produk pertanian.
Perusahaan telah gagal untuk menunjukkan setiap dampak negatif yang berkaitan dengan pembangunan dermaga sepanjang 100 meter untuk mendatangkan kayu dan mengirimkan chip kayu. Menurut surat kabar lokal, Banjarmasin Post, perairan Pulau Laut cukup dalam dan kapal dengan bobot mati 30.000 metrik ton dapat merapat di pelabuhan. Mengingat mayoritas penduduk lokal adalah berasal dari Mandar dan Bugis, yang menggantungkan penghidupan mereka sebagai nelayan kecil, sudah semestinya perusahaan membicarakan dampak yang mungkin timbul sebelum memulai pembangunan pabrik.
Analisis dampak lingkungan untuk dermaga akan selesai pada bulan Mei 2005, yang tengah diamati oleh DTE, menunjukkan enam hal penting yang perlu diperhatikan dalam aspek lingkungan pembangunannya. Di dalamnya mencakup kualitas air, jumlah dan jenis kehidupan air di sekeliling area, kesehatan masyarakat, kualitas air, kualitas tanah, tingkat erosi dan sedimentasi, dan abrasi pantai.
Dukungan Internasional
Ada dukungan investasi internasional yang besar pada proyek pulp dan chip mill. Perusahaan-perusahan Eropa merencanakan memasok peralatan dan ahli beserta rancangan pendanaannya.
UFS, meski berkedudukan di Singapura, dimiliki oleh para investor yang berasal dari Finlandia, Swedia dan Indonesia, yang mengambil alih perusahaan ini pada tahun 2002[2] dari perusahaan konstruksi Cina, Poh Lian. Awalnya proyek-proyek perkebunan dan pulp mill tersebut dimiliki oleh Probosutejo, adik tiri mantan pesiden Soeharto.
Pada saat dimiliki oleh Probosutejo, PT MHB mendapat masalah dengan pemerintah karena gagal memenuhi pembayaran pinjaman dana reboisasi sekitar US$10 juta – dimana negosiasi mengenai persoalan perijinan antara departemen kehutanan Indonesia dan pemiliknya sekarang masih berlangsung.
Di tahun 2003, upaya para aktivis lingkungan hidup berhasil meyakinkan Akzo Nobel, anak perusahaan perusahaan kimia Swedia di Belanda, Eka, untuk menarik diri dari proyek pulp tersebut. Perusahaan telah menandatangani kontrak pembangunan pabrik untuk memproduksi bahan pemutih dengan investasi sekitar 8% dari total biaya investasi pulp.
Menurut laporan CIFOR tahun 2005, sebuah bank besar Austria, Raiffeisen Zentralbank Oesterreich, telah merencanakan pendanaan sebesar 53% untuk pembangunan chip mill tersebut (US$21 juta). 80 % dari dana (US$693 juta) yang telah diperoleh untuk pabrik pulp sejauh ini berasal dari CMEC, Cina. Dinyatakan pula dalam laporan tersebut bahwa Andritz (Austria) akan memasok sebagian besar mesin untuk pabrik pulp dan chip mill, dengan keseluruhan nilai permintaan sekitar US$300 juta.
Pembangunan industri pulp dan kertas di Kalimantas Selatan juga mendapat dukungan kuat dari pemerintah daerah. Hal ini tergambar dari suatu kunjungan mantan gubernur Kalimantan Selatan, Sjachriel Darham, ke World Expo 2000 di Hannover, Jerman.
Keberatan Austria
Pada awal Oktober para aktivis lingkungan hidup Austria melakukan protes terhadap keterlibatan bank Austria Raffeisen dalam projek di Kalimantan Selatan. Bagi yang berbahasa Jerman, laporan tentang demonstrasi serta gambarnya dapat dilihat di www.global2000.at/index3.htm
Laporan oleh Friends of the Earth Austria (Global 2000) atas keterlibatan Austria dalam projek pulp UFS tersedia dalam bahasa Jerman di http://www.global2000.at/download/file2825.pdf. Versi bahasa Inggris akan segera tersedia. Hubungi andreas.baur@global2000 untuk informasi lebih lanjut.