Switch to English |
Dalam sambutan pembukaannya Wakil Presiden lebih banyak menyinggung isu Illegal Logging, "Kalau tidak ada yang memakai furniture kayu besar-besar pasti tidak akan marak illegal logging maupun legal logging. Illegal logging ada karena konsumennya ada."1 Dalam pidatonya Menteri Kehutanan MS Kaban menyoroti era tahun 1970-1980 ketika masyarakat menggantungkan ekonomi pada hutan, yang mengakibatkan setiap tahunnya 2,6 juta hektar hutan rusak. "Masyarakat masih memiliki pandangan bahwa pembangunan hutan adalah dengan memanfaatkan kayu terutama bahan kayu bulat."2 Sementara Ketua Panitia Kongres Kehutanan Indonesia Dr. Agus Setyarso menyoroti hilangnya fungsi pelayanan hutan yang disebabkan oleh hilangnya puluhan juta hektare potensi hutan yang merugikan puluhan juta masyarakat Indonesia terutama yang kehidupannya bergantung pada hutan.
Poin-poin utama yang mendasari diselenggarakannya Kongres Kehutanan Indonesia IV kali ini adalah:
Kongres Kehutanan Indonesia IV mempunyai tujuan:
Keistimewaan kongres kali ini yang membedakan dengan kongres sebelumnya adalah pembentukan Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Fungsi Dewan diusulkan sebagai fungsi eksekutif dari KKI tersebut dan menyelenggarakan kongres-kongres selanjutnya. Di sisi lain DKN juga dibayangkan sebagai badan pertimbangan atau penasehat Menteri Kehutanan.
Berkurangnya tutupan hutan secara drastis, paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, juga berkontribusi terhadap kejadian bencana tanah longsor, banjir bandang di banyak tempat di Indonesia. Data Kementrian Lingkungan Hidup mencatat sepanjang tahun 2003 saja terjadi banjir di 136 kabupaten (di 26 propinsi), 111 bencana tanah longsor di 48 kabupaten (di 13 propinsi), 78 peristiwa kekeringan di 36 kabupaten (di 11 propinsi). Belum lagi kebakaran hutan dan kabut asap yang juga sangat mengganggu negara tetangga terjadi setiap tahun di Indonesia.
Penurunan daya dukung lingkungan dan kemiskinan di Indonesia merupakan akibat dari kerusakan hutan yang terjadi yang juga kalau dirunut adalah akibat dari praktek pengelolaan dan kebijakan kehutanan yang ada selama ini lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek, makro (pertumbuhan ekonomi nasional) dan padat modal. Tidak hanya itu praktek pengelolaan dan kebijakan kehutanan telah banyak melahirkan konflik (termasuk isu tenurialnya) dan pelanggaran HAM akibat praktek represif dalam penegakan hukumnya terutama jika berhubungan dengan keamanan investasi.
Tema KKI IV "Dari Krisis Menuju Kebangkitan: Reposisi Kehutanan Indonesia" menjadi sebuah pertanyaan besar terutama ditujukan bagi para rimbawan (forester) di Indonesia selaku pihak yang berkompeten di samping para pihak (stakeholder) yang lain. Hal ini mengingat kenyataan bahwa Kongres kehutanan Indonesia telah diselenggarakan dalam kurun waktu yang panjang. Pertama tahun 1955, kedua tahun 1990, ketiga tahun 2001. Selama itu pula tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam praktek pengelolaan dan arah kebijakan kehutanan Indonesia. Dari banyak data kehutanan dan kenyataan di lapangan, justru kerusakan hutan, bencana alam dan konflik (dan pelanggaran HAM) meningkat tajam. Kekuatan KKI dan apapun hasilnya menjadi dipertanyakan, seberapa efektif membawa perubahan dan perbaikan bagi hutan dan kehutanan di Indonesia.
Terlebih dengan kondisi hutan dan kehutanan Indonesia seperti sekarang ini, kondisi politik, ekonomi dan hukum yang berada dalam proses transisi, mampukah kehutanan Indonesia bangkit? Mampukah Dewan Kehutanan Nasional menggiring kebijakan dan praktek pengelolaan hutan yang lebih berpihak kepada rakyat, seperti yang di amanatkan UUD 1945 pasal 33? Ini menjadi pertanyaan yang cukup wajar bagi pihak-pihak yang menginginkan perbaikan sektor kehutanan Indonesia dan jelas pihak tersebut akan berhadapan dengan pihak "status quo". Secara politis DKN pun belum mempunyai posisi politik cukup kuat karena baru saja dibentuk, artinya perubahan dan perbaikan yang diharapkan dari DKN masih membutuhkan proses yang cukup panjang. Celakanya kerusakan hutan berlangsung terus, setiap waktu dan semakin meningkat. Berkaca dari tema KKI IV maka harapan dan kenyataan akan situasi hutan dan kehutanan di Indonesia menjadi sebuah paradoks. Akhirnya gap antara harapan dan kenyataan menjadi sebuah tanggungan beban yang mesti dipikul oleh DKN dan seluruh rakyat Indonesia. Sementara Indonesian Forest Accord lebih merupakan kesepahaman yang mengikat secara moral dan tidak mengikat secara hukum, artinya kata-kata manis di dalam kesepahaman tersebut masih merupakan harapan sebelum ada bukti nyata perubahan dan perbaikan bagi hutan dan kehutanan di Indonesia.
1 www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/09/13/brk,20060913-83946,id.html
2www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/09/13/brk,20060913-83946,id.html
3 Buku panduan Kongres Kehutanan Indonesia IV