Switch to English |
Pada pertemuan ke-3 RSPO di Singapura pada Nopember 2005 dibentuk sebuah kelompok yang khusus membicarakan mengenai kepentingan petani kecil (smallholder) yaitu Smallholder Task Force (STF). STF dipimpin langsung oleh Dewan Pengurus RSPO, dan untuk itu Sawit Watch/Forest Peoples Programme diminta untuk memimpin kelompok kerja ini.
Beberapa alasan pembentukan STF adalah bahwa konsep keberlanjutan tidak akan ada tanpa keterlibatan perkebunan rakyat atau petani kecil dalam produksi minyak sawit yang berkelanjutan, karena dalam kenyataannya mereka berproduksi dan dari tahun ke tahun jumlah produksi dan luasan perkebunannya semakin meningkat.
Selain itu, kondisi perkebunan rakyat atau petani kecil yang beragam di masing-masing wilayah produsen minyak sawit menegaskan perlunya pengembangan dan penerapan yang berbeda dari Prinsip dan Kriteria (P & K) berdasarkan situasi dan kondisi di masing-masing wilayah.
Pada pertemuan tatap muka pertama TFS menghasilkan beberapa butir kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan oleh kelompok ini, diantaranya adalah:
Sebelum pertemuan ke-4 RSPO tahun 2006 lalu, TFS bertemu lagi, dihadiri oleh sekitar 100 orang dari seluruh dunia dan mewakili berbagai kelompok mulai dari perusahaan raksasa agrokimia Syngenta, kelompok masyarakat korban LonSum, Komite Keanekaragamanhayati dari Korporasi Keuangan Internasional dan Serikat Petani Kelapa Sawit Kalimantan Barat.
Pertemuan TFS menjadi ajang presentasi, diskusi dan kelompok-kelompok kerja kecil untuk berbagi pengalaman, mempertimbangkan dampak dari penetapan standar RSPO dan proses verifikasi dan menyepakati program kerja untuk tahun mendatang. Pokok-pokok pikirannya adalah bagaimana agar petani kecil menjadi lebih sadar akan Prinsip dan Kriteria RSPO dan mengajak mereka terlibat dalam pembangunan standar nasional untuk produksi minyak sawit lestari. Masalah yang dihadapi petani kecil seputar hak-hak atas tanah dan akses terhadap kredit modal merupakan hal yang terus muncul. Dibutuhkan mekanisme penyelesaian konflik seperti yang tercantum dalam rekomendasi pertemuan sebagai langkah aksi selanjutnya.
Dalam pertemuan tersebut juga terjadi debat hangat mengenai dampak pestisida terhadap petani kecil. Tenaganita, LSM dari Malaysia, dan Pesticides Action Network â€" Asia Pacific menyerukan pelarangan paraquat. Mereka menyajikan bukti-bukti mengenai masalah/penyakit yang dihadapi terutama oleh perempuan akibat penyemprotan pestisida. Presentasi ini dibantah oleh Syngenta yang bersikeras bahwa produk mereka aman dan efektif. Mereka juga mempromosikan program riset dan pelatihan untuk menunjukkan keseriusan perusahaan menyikapi soal keselamatan kerja.
Perkembangan TFS yang terlihat pada RSPO ke-4 ternyata membuat gerah beberapa pihak. Pernyataan ini diungkapkan jelas pada pertemuan koordinasi TFS Indonesia pada 18 Januari 2007 di Jakarta.
Kalangan perusahaan merasa terjadi penyimpangan inisiatif pembentukan dan tujuan TFS. Pemikiran ini muncul saat penyajian hasil penelitan Sawit Watch pada pertemuan pra-RSPO tanggal 21 Nopember 2006 lalu yang menyatakan bahwa situasi di Indonesia tidak bisa disamakan dengan keadaan petani di seluruh dunia.
Pada akhir pertemuan ini dibentuk TFS Indonesia yang bertujuan untuk mengkoordinasikan kerja-kerja di Indonesia. TFS Indonesia diketuai oleh Dr Asril Darussamin dari Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Suhandari (WWF Indonesia) sebagai Wakil ketua dan sekretarisnya adalah Norman Jiwan dari Sawit Watch.
Program kerja TFS Indonesia adalah merencanakan bagaimana melaksanakan P & K untuk petani kecil dengan mempertimbangkan hasil penelitian masing-masing lembaga anggota RSPO di Indonesia.
- (Sumber: Prospek Perkebunan & Industri Minyak Sawit di Indonesia 2006 - 2020, Bisnisfocus Data Pratama, 2006. Notulensi pertemuan pertama Smallholder Task Force. RSPO. 22 Februari 2006 www.rspo.org/projects.htm#STF ditambah dengan informasi dari staf Sawit Watch)
1 Direktorat Jenderal Perkebunan dalam PT BISINFOCUS DATA PRATAMA. 2006. Prospek Perkebunan & Industri Minyak Sawit di Indonesia 2006 - 2020