Switch to English |
Tak diragukan lagi bahwa deforestasi di Indonesia telah menimbulkan dampak serius pada tingkat internasional juga di tingkat nasional dan lokal. Penebangan hutan yang merusak, kebakaran hutan yang tak terkendali, pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, pengerukan bahan bakar dari fosil, pembangunan wilayah transmigrasi, budidaya hewan air, dan pembangunan jalan telah sejak lama dikaitkan dengan dampak sosial dan ekonomi yang negatif bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan, dan kerugian keuangan yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.
Sebuah studi baru kini tengah menyoroti gambaran global, yang menunjukkan Indonesia sebagai penyumbang utama perubahan iklim, sekaligus sangat rentan terhadap dampak yang ditimbulkannya. Perusakan hutan, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan dituding sebagai penyebab utama masuknya Indonesia dalam urutan tiga besar penghasil emisi terbesar gas rumah kaca setelah AS dan Cina.
Berdasarkan data tahun 2000, emisi tahunan Indonesia dari sektor kehutanan dan perubahan peruntukan tanah diperkirakan setara dengan 2.563 megaton karbon dioksida (MtCO2e), jauh melebihi jumlah emisi tahunan dari sektor energi, pertanian dan limbah yang besarnya 451 MtCO2e. Sebagai perbandingan, total emisi Indonesia adalah 3.014 MtCO2e, sedangkan total emisi Cina sebesar 5.017 dan AS sebesar 6.005 MtCO2e.
Studi yang berjudul, Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies, disponsori oleh Bank Dunia dan badan bantuan luar negeri Pemerintah Inggris (DfID) akan menjadi masukan bagi pertemuan puncak tentang perubahan iklim bulan Desember 2007 di Bali. Menanggapi peringatan dari Wetlands International pada November 2006 dan kunjungan Sir Nicholas Stern ke Indonesia di bulan Maret 2007 (lihat kotak di bawah), laporan ini menyoroti peran penting perusakan lahan gambut yang mempengaruhi munculnya angka emisi total tersebut. Rata-rata, sekitar 600 Mt CO2e terlepas ke udara dari pembusukan gambut kering setiap tahunnya. Sejumlah 1.400 Mt lainnya terlepas dalam kebakaran hutan gambut yang bisa berlangsung berbulan-bulan. Laporan tersebut, yang diluncurkan Mei 2007, juga menunjukkan bahwa emisi dari sektor energi Indonesia jumlahnya kecil, namun tumbuh sangat cepat dan bahwa emisi dari pertanian dan limbah kecil.
Tinjauan SternKunjungan empat hari Sir Nicholas ke Indonesia pada akhir Maret 2007 memastikan bahwa perubahan iklim telah benar-benar diletakkan pada tempat yang semestinya dalam agenda politik pemerintah Indonesia. Selain menemui Presiden SBY dan kabinetnya dan beberapa komisi di DPR RI, ia juga mengadakan pertemuan dengan beberapa mahasiswa dan organisasi. Ia juga mengunjungi Jambi yang mengalami dampak buruk sejumlah kebakaran hutan dan perkebunan kelapa sawit skala besar. Menurut LSM konservasi Warsi, hanya satu juta dari 5,3 juta hektar luas provinsi Jambi yang masih berupa hutan. Ringkasan Tinjauan Stern Review tersedia di www.hm-treasury.gov.uk./independent_reviews/stern_review_economics_climate_change/sternreview_summary.cfm (Sumber: www.britishembassy.gov.uk/; Tempointeraktif 30/Jan/07)
|
Secara kontroversial, laporan itu juga menyatakan bahwa kebijakan dan undang-undang kehutanan Indonesia 'baik', tetapi implementasi dan penerapannya yang buruk. Hal ini bertentangan dengan pandangan bahwa kebijakan dan undang-undang kehutanan mendesak untuk direformasi, diantaranya untuk memperbaiki, kegagalan dalam mengakui hak masyarakat adat terhadap hutan dan sumber daya hutan.
Laporan ini juga menyoroti kaitan antara deforestasi dan permintaan akan produk-produk kelapa sawit (termasuk permintaan Eropa akan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati), kebijakan untuk memperluas produksi batu bara, dan kegagalan untuk mendorong pengembangan sumber daya energi terbarukan.
Hutan rawa gambut Indonesia dan perubahan iklim(Sumber: Peatland Degradation Fuels Climate Change, Wetlands International, November 2006, lihat www.wetlands.org/publication.aspx?ID=d67b5c30-2b07-435c-9366-c20aa597839b; www.walhi.or.id/kampanye/hutan/strukturisasi/join_10092004
|
Beberapa negara menginginkan skema pencegahan deforestasi mencakup perbaikan area hutan yang terdegradasi (dinamakan Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation - REDD atau penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), tidak hanya perlindungan terhadap hutan-hutan yang ada. Tidak mengherankan, Indonesia mendukung pilihan ini, yang menguntungkan negara-negara dengan kerusakan hutan yang parah karena industri perkayuan yang tidak lestari. Negara lain ingin membatasi hanya skema pencegahan deforestasi saja (RED), dengan alasan bahwa terlalu sulit mengukur degradasi, dan kemudian menilai keuntungan dari upaya restorasi hutan.
Bank Dunia mengusulkan bahwa FCPF akan jadi bagian Global Forest Alliance (GFA) yang baru, yang didanai donor besar dan sektor swasta, yang diumumkan pada Forum Kehutanan PBB ke-7 bulan April. Bank Dunia bersama WWF adalah bagian dari suatu inisiatif yang disebut sebagai Global Forest Alliance - untuk mengurangi deforestasi dan mencegah illegal logging. Di Indonesia, WWF/GFA telah bekerja sama dengan perusahaan kayu untuk mengidentifikasi apa yang dinamakan High Conservation Value Forests dan menciptakan jaringan pasar untuk mempromosikan kayu yang berasal dari hutan yang terkelola dengan baik. Tidak mau ketinggalan, The Nature Conservancy dan WWF juga mendirikan Forest Alliance di tahun 2002 dengan beberapa perusahaan swasta termasuk pengecer kayu utama.
Negara-negara yang telah mendapat skema komitmen dana untuk mencegah deforestasi termasuk Australia, pada bulan Juli ini mengumumkan dana US$160 juta baik untuk mencegah deforestasi maupun reforestasi di wilayah Asia-Pasifik.
Biaya mencegah deforestasi, seperti yang diperkirakan Bank Dunia adalah tinggi: untuk menurunkan angka tahunan deforestasi di negara berkembang sebesar 20% melalui pencegahan deforestasi akan menelan biaya US$2 -20 milyar setahun. Di lain pihak, para pakar Bank Dunia menghitung bahwa dengan US$100 milyar deforestasi dapat dihentikan sama sekali.
Kyoto dan BaliHanya proyek-proyek aforestasi atau penghutanan kembali yang memenuhi syarat pendanaan CDM sesuai dengan Protokol Kyoto, tetapi bukan inisiatif-inisiatif menghentikan kerusakan hutan-hutan yang masih tersisa, termasuk hutan-hutan rawa. Saat ini Indonesia tidak memiliki proyek CDM hutan. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia kini yang memimpin dalam penyusunan kebijakan negara tentang perubahan iklim. Wakil dari 189 negara diharapkan hadir dalam Konferensi Negara-Negara Pihak/Conference of the Parties COP ke-13 pada konvensi perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007. Laporan berjudul 'Reduced Emissions from Deforestation' akan dipresentasikan sebagai basis diskusi tentang pengendalian perubahan iklim setelah Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012. Menteri keuangan dari seluruh dunia juga akan bertemu di Bali untuk menyepakati persyaratan keuangan untuk membuat konservasi hutan menguntungkan (profitable). Lihat unfccc.int/files/essential_background/kyoto_protocol/application/pdf/kpstats.pdf
|
Bagaimanapun, dorongan internasional untuk lebih mengembangkan skema-skema terus tumbuh. Bank Dunia mengusulkan proyek-proyek percontohan FCPF di Papua New Guinea, Kosta Rika, Indonesia, Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Negara-negara tersebut diusulkan untuk membatasi emisi karbon dari deforestasi hingga tahun 2009 atau 2010, sebagai imbalannya mereka akan mendapat investasi US$250 juta.
Dilihat dengan kacamata miring, proyek-proyek pencegahan deforestasi bisa menjadi mekanisme yang menguntungkan bagi industri kehutanan Indonesia yang tengah lesu untuk menarik lebih banyak modal dan keahlian. Pada sisi lain, pembayaran REDD dapat menjadikan konservasi lebih menarik secara finansial dibanding penebangan hutan. Tiba-tiba, menjaga keutuhan hutan lindung Indonesia menjadi pilihan kebijakan yang menarik. Menteri Lingkungan Hidup Rachmad Witoelar dengan bersemangat menyampaikan kepada pers bahwa "Kami siap. Kami sudah punya rencana induk untuk mengidentifikasi dan memperbaiki atau melakukan konservasi area hutan kami. Kami juga menyiapkan sisi pendanaan untuk itu."1
Pencegahan deforestasi bisa memancing dana besar-besaran. Area yang menjadi target seluas 1 juta hektar hutan asli yang tua, dengan rata-rata cadangan karbon sebesar 600 ton CO2e per hektar, akan menghasilkan 600 juta ton kredit karbon. Jika harga yang disepakati 1 ton CO2e adalah US$5, ini akan menghimpun dana US$3 milyar sebagai kompensasi. Indonesia memiliki 18 juta hektar hutan lindung menurut data resmi. Keuntungan kotor bagi pemerintah dari operasi kehutanan di tahun 1997/8 hanya berjumlah total US$1,1 milyar.2
Indonesia mempunyai insentif lain disamping potensi pengembalian keuangan dari REDD. Pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menegosiasikan kenaikan emisi karbon dari sumber-sumber domestik dan industri dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi jika emisi itu disebabkan oleh tingginya alih guna tanah.
Menindaklanjuti pengumuman Australia pada bulan April tentang dana Asia-Pasifik, gubernur Aceh, Papua and 'Papua Barat'3 menerbitkan pernyataan tentang minat mereka terhadap skema pencegahan deforestasi dan menyatakan bahwa mereka mungkin akan menerapkan jeda balak ipada ndustri penebangan jika dana pencegahan deforestasi bisa dijamin penyalurannya (Aceh telah melakukan).
Beberapa kekhawatiran tentang skema pencegahan deforestasi adalah sebagai berikut:
Untuk menjamin keberhasilan setiap skema, harus tersedia data berkualitas baik untuk menentukan tingkat pijakan deforestasi di negara sasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas pemantauan dan kontrol pengelolaan hutan. Kesepakatan tentang verifikasi independen yang dapat diandalkan merupakan unsur yang penting.
Karena terburu-buru memulai pencegahan deforestasi, para pemain utama yang terlibat tidak memperhatikan dengan seksama segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan sosial dan etika. Kemungkinan terburuk, beberapa pendukung skema pencegahan deforestasi menganggap persoalan hak asasi sebagai 'isu sampingan' atau bahkan 'pengganggu' dari tugas utama menyelamatkan bumi, walaupun pengalaman menunjukkan bahwa hal-hal tersebut penting dan bisa menjamin langkah-langkah yang efektif dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Pemerintah dan badan-badan internasional yang bergegas membentuk skema pencegahan deforestasi harus diingatkan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk menegakkan HAM dan memenuhi komitmen internasional dibawah pakta-pakta lingkungan. Para pendukung skema pencegahan deforestasi bisa menggunakan standar yang dikembangkan oleh badan-badan yang terlibat dalam skema kehutanan dan PES untuk memperlihatkan bahwa mereka menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan HAM. Namun, standar tersebut sebagian besar bersifat sukareka dan tidak dapat dilaksanakan. Disamping itu, beberapa standar didasarkan pada imbalan perbuatan baik di masa depan dan mengabaikan hal-hal yang tidak dapat diterima saat ini.
Untuk menghadapi kesenjangan dalam perdebatan mengenai kebijakan pencegahan deforestasi, rasanya penting bagi masyarakat adat dan gerakan hutan di seluruh dunia memulai dialog internal yang serius mengenai pro dan kontra skema REDD yang dijalankan oleh pemerintah dan Bank Dunia. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memastikan: • Masyarakat adat dan gerakan kehutanan terlibat secara langsung dalam pembicaraan internasional dan nasional mengenai kebijakan pencegahan deforestasi/REDD; • Hak asasi manusia, FPIC/padiatapa, penghargaan terhadap tanah adat dan hak-hak atas sumber daya, jaminan kepemilikan tanah, pembagian manfaat secara adil dan tata pemerintahan yang baik (good governance) ditempatkan sebagai isu sentral dalam diskusi kebijakan pencegahan deforestasi;
Notes:
1 www.planetark.com/, di-akses 2/Jul/07
2 Semua bersumber dari Indonesia's SBSTA submission, 2007
3 Ini adalah nama baru propinsi 'Irian Jaya Barat', sebagai kebijakan pemerintah pusat di Jakarta untuk membagi Papua menjadi tiga propinsi. Kebijakan ini ditentang secara luas di Papua.
Sumber Informasi
Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies, PT Pelangi Energi Abadi Citra Enviro (PEACE), May 2007. Keterangan Pers: go.worldbank.org/5BZ6ZJU9T0,
Laporan utuh (Inggris) ada di siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Environment/ClimateChange_Full_EN.pdf dan (Indonesia) di siteresources.worldbank.org/INTINDONESIAINBAHASA/Resources/Environment/ClimateChange_Full_BH.pdf.
Ringkasan juga tersedia di situs Bank Dunia - lihat go.worldbank.org/TB2AM3H2I0
Seeing "RED"? "Avoided deforestation" and the rights of Indigenous Peoples and local communities by Tom Griffiths, Forest Peoples Programme, June 2007. www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/avoided_deforestation_red_jun07_eng.pdf
juga dalam Bahasa Indonesia di www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/avoided_deforestation_red_jun07_indon.pdf
Pemerintah Indonesia (2007) Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) Paper disampaikan untuk UNFCCC SBSTA oleh Pemerintah Indonesia www.cifor.cgiar.org/NR/rdonlyres/4E81DB28-410F-4885-ACB6-6CA802603A32/0/indonesia.pdf
Badan Ilmiah dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) akan mengadakan pertemuan (COP 13) di Bali pada 3-14 Desember 2007. Untuk lebih lengkap lihat unfccc.int/meetings/cop_13/items/4049.php
Lokakarya tentang Avoided Deforestation pada UNFCCC Maret 2007 unfccc.int/methods_and_science/lulucf/items/3918.php
Strategi Bank Dunia untuk hutan Indonesia, 2006-2009, tersedia dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia: lihat siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1152870963030/IDForestStrategy.pdf?resourceurlname=IDForestStrategy.pdf
Presentasi PowerPoint Bank Dunia pada Global Forest Alliance (GFA) dan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), May 2007, ada di www.fire.uni-freiburg.de/sevilla-2007/groups/Worldbank.pdf
Untuk informasi lebih lanjut tentang perubahan iklim, hutan dan perdagangan karbon lihat Sinks Watch di www.sinkswatch.org/, Fern at www.fern.org/, dan The Corner House di www.thecornerhouse.org.uk/