Switch to English |
Lahan gambut berfungsi sebagai penyimban karbon yang alami. Karbondioksida dalam jumlah besar, - yang merupakan penyumbang besar terhadap pemanasan global, - akan terlepas ke atmosfer ketika lahan gambut dialihfungsikan.
"Pembangunan lahan gambut tropis yang gegabah serta kebakaran hutan gambut berdampak terhadap keanekaragaman hayati lokal dan regional, fungsi perlindungan alam hutan gambut yang tersisa, serta pada kehidupan dan kesehatan masyarakat setempat," kata Dr Sue Page dari CARBOPEAT Project, lembaga yang didanai oleh EU, yang menjadi penyelenggara lokakarya tersebut.1
Indonesia memiliki lebih dari 20 juta hektare lahan gambut,2 bagian terbesar dari total lahan gambut Asia Tenggara seluas 27,1 juta hektare.3 Lahan gambut tropis di kawasan ASEAN diperkirakan mewakili 60% dari total penyimpanan karbon lahan gambut tropis.4
Laporan Wetland Internasional menyebutkan, sekitar 660 juta ton karbon setiap tahunnya terlepas dari lahan gambut yang mengering dan teroksidasi.5 Pengeringan dan perusakan lahan gambut juga terkait dengan kebakaran hutan yang menyebabkan pelepasan karbondioksida sebesar 1400 Mt/tahun lebih dari semestinya. Lebih dari 90% emisi karbondioksida tersebut berasal dari Indonesia. Akibatnya, Indonesia mendapat tempat sebagai penghasil karbondioksida terbesar ke-3 di dunia6 (Lihat juga DTE 74). Angka ini diperdebatkan oleh sejumlah pengusaha minyak sawit dan pemerintah Indonesia.
Greenpeace menempatkan emisi gas rumah kaca dari lahan gambut Indonesia lebih tinggi pada 1,8 milyar ton per tahun, atau sekitar 4% dari jumlah total emisi global. Kelompok lingkungan itu menyatakan bahwa 10 juta dari 22,5 juta hektare lahan gambut Indonesia telah digunduli hutannya dan dikeringkan, yang berakibat pada peningkatan emisi gas rumah kaca.7
Dengan berfokus pada satu kawasan gambut, yaitu Riau, Greenpeace memperingatkan bahwa 4 juta hektare lahan gambut di propinsi tersebut menyimpan 14,6 milyar ton karbon dan jika lahan gambut dirusak akibatnya adalah emisi yang setara dengan satu tahun jumlah total emisi global. Greenpeace menemukan bahwa HTI kelapa sawit milik Duta Palma, salah satu 10 besar penyuling minyak sawit Indonesia, tumpang tindih dengan kawasan lahan gambut sedalam mulai dari 3,5 hingga 8 meter. Seharusnya seluruh kawasan HTI tersebut dilindungi oleh hukum Indonesia. Kenyataannya, pengeringan dan penggundulan hutan besar-besaran terus berlangsung.
Selama pertemuan ini, para kalangan akademisi yang melakukan penelitian di kawasan gambut menekankan hubungan antara air dan gambut, dan pentingnya mengendalikan permukaan air untuk mencegah penurunan tanah, jika lahan gambur diharapkan terus berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Pertemuan tersebut mengeluarkan pernyataan perlunya bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk mempromosikan pengelolaan lahan gambut yang bertanggungjawab dan mencegah emisi gas rumah kaca sebagai akibat perubahan peruntukan lahan dan kebakaran hutan. Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa investasi dibutuhkan untuk konservasi, rehabilitasi dan perbaikan lahan gambut tropis dan "perbaikan praktik pengelolaan lahan gambut yang ada dengan mempromosikan pemanfaatan yang bijak (wise use), termasuk pengelolaan partisipatif...dalam kerja sama dengan masyarakat setempat."
Perubahan kawasan tersebut mungkin terus terjadi mengingat pemerintah Indonesia berkeinginan kuat memperluas perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia akan minyak sawit. Minyak sawit digunakan sebagai bahan makanan, kosmetik dan berbagai produk lainnya, termasuk sebagai bahan bakar nabati. Pemerintah telah mencadangkan pengembangan perkebunan kelapa sawit seluas 6,1 juta ha untuk memenuhi kebutuhan biodiesel.8 (Lihat juga DTE 74 untuk informasi lebih lanjut tentang minyak sawit dan bahan bakar nabati).
Hasil kompilasi Sawit Watch menyebutkan bahwa sejumlah pemerintah daerah mengusulkan sekitar 19,84 juta ha untuk perluasan perkebunan kelapa sawit9.. termasuk rencana ambisius di Papua. Belum dapat dipastikan apakah usulan perluasan ini sudah termasuk rencana pengembangan perkebunan untuk bahan bakar nabati.
Saat ini luas perkebunan sawit Indonesia mencapai lebih dari 6 juta ha. Jika ditambah lagi 20 juta ha maka dapat dibayangkan ancaman terhadap kawasan gambut yang ada di Indonesia dan pelepasan sejumlah besar karbondioksida ke atmosfer. Sebagai tuan rumah pertemuan puncak mengenai perubahan iklim di Bali, Indonesia sedang dalam sorotan dunia. Selain harus menyikapi cap sebagai pelepas karbondioksida ke-3 terbesar dunia, pemerintah juga harus menyikapi ancaman kebakaran hutan dan kekeringan selama musim kemarau dan banjir selama musim hujan.
WALHI telah mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang melarang perubahan kawasan lahan gambut menjadi kebun kelapa sawit .
Tanpa ada perubahan kebijakan yang berarti tentang pengembangan perkebunan dan niat untuk melindungi ekosistem yang rawan dan masyarakat yang rentan, perusakan lahan gambut dan kebakaran hutan, kekeringan dan banjir akan terus berdampak terhadap masyarakat miskin Indonesia. Tempat tinggal dan kehidupan mereka akan terus terdesak dalam proses ini, yang cenderung berpihak pada kepentingan perusahaan perkebunan dan bisnis internasional minyak sawit.
Menurut Greenpeace, merek-merek yang terlibat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan mengorbankan lahan gambut Indonesia adalah: Kitkat, Pringles, keju krim Philadelphia, coklat Cadbury dan perusahaan-perusahaan terkemuka seperti Gillette, Burger King dan McCain.
Laporan Greenpeace menyebutkan bahwa anggota-anggota RSPO (lihat DTE 72), sebuah organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan minyak sawit berkelanjutan, "tergantung terhadap pemasok yang sangat terlibat dalam penggundulan hutan dan konversi lahan gambut." Unilever, salah satu anggota RSPO, menggunakan sekitar 1,2 juta ton minyak sawit setiap tahun, atau sekitar 3% produksi dunia. Anggota RSPO dari Indonesia seperti Sinar Mas saat ini sedang merencanakan perkebunan kelapa sawit skala besar di Papua.
1 For Peat's Sake, siaran press, University of Leicester, Sept 2007. www.geog.le.ac.uk/carbopeat/pressrel.html, dibuka pada 5 Nov '07. Simposium ini adalah forum untuk bertukar pengetahuan, pengalaman dan informasi mengenai aktivitas yang terkait lahan gambut oleh akademisi, ahli, aktivis LSM dan perusahaan. Sekitar 230 orang dari 60 negara hadir pada acara ini, termasuk dari Indonesia, Belanda, Jepang dan Malaysia. DTE hadir dan memberikan presentasi mengenai lahan gambut dan kelapa sawit.
2Salman Darajat, 'Konversi Lahan Gambut dan Perubahan Iklim', Republika, 12/Aug/06.
3 Biofuelwatch Factsheet 1, www.biofuelwatch.org.uk/peatfiresbackground.pdf
4 For Peat's Sake, seperti di atas.
5 www.wetlands.org/peat-co2
6 Wetlands International. Fact Sheet. Perusakan lahan gambut tropis menyulut perubahan iklim. www.wetlands.org/publication.aspx?ID=d67b5c30-2b07-435c-9366-c20aa597839b
7 Greenpeace. Bagaimana industri minyak sawit menggodok iklim.November 2007, dapat diunduh dalam bahasa Inggris di: www.greenpeace.org.uk/media/reports/cooking-the-climate. Juga lihat www.greenpeace.org/seasia/en/news/indonesian-forest-destruction untuk informasi mengenai aksi Greenpeace di kawasan lahan gambut untuk menghentikan pengeringan dan penggundulan hutan.
8 Bisnis Indonesia. 23 Apr 2007. Sugiharto: Lahan cadangan kelapa sawit 6,1 juta ha.
9 Colchester. M. Et.al 2006. Promised Land. FPP and Sawit Watch