Switch to English |
Organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO) mengungkapkan keprihatinannya ketika harga beras melonjak ke tingkat tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir pada akhir Maret lalu, dengan tingkat harga dunia lebih dari US$500 per ton. Pada awal April harga ekspor beras Thailand melebihi US$1000 per ton. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia, termasuk sebagian besar penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta orang.
Berbagai negara merasa khawatir jika harga beras terus naik atau tetap dalam tingkat yang tinggi maka akan membahayakan kondisi ekonomi dan politik. Makanan adalah barang pengeluaran yang paling utama bagi keluarga yang berada di garis kemiskinan.2 Jika harga makanan pokok seperti beras meningkat, masyarakat miskin tidak banyak memiliki pilihan selain mengurangi konsumsi makanan atau memilih yang lebih murah, yang berartii pengurangan gizi; atau menghemat dengan tidak menyekolahkan anak. Semua pilihan tersebut memiliki dampak yang sangat besar bagi generasi mendatang. Tingginya harga bahan makanan juga meningkatkan ketidakstabilan politik. Lebih jauh lagi, beras adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat di Asia, terutama di kepulauan Indonesia bagian barat.
Robert Zeigler, ketua lembaga penelitian beras internasional (IRRI) yang berbasis di Philipina menyatakan bahwa kunci permasalahannya adalah: kekurangan lahan. Meskipun beras bukan bahan yang digunakan untuk memproduksi etanol, penggunaan produk sereal (grain) lain untuk memproduksi agrofuel dapat mempengaruhi pasokan sereal dan meningkatkan harga. "Di Asia sejumlah lahan dialihfungsikan untuk produksi biofuel. Tentu saja banyak yang tertarik untuk mengalihfungsikan lahan subur menjadi perkebunan sawit penghasil biodiesel.1 Hal itulah yang menjadi keprihatinan kami," kata Zeigler.
Pada bulan April, presiden Bank Dunia Robert Zoellick mencanangkan apa yang disebut sebuah 'pendekatan baru untuk kebijakan pangan dunia', yang tidak hanya berfokus pada kelaparan, kekurangan gizi dan ketersediaan pangan, melainkan juga pada saling keterkaitan antara energi, hasil panen, perubahan iklim, investasi, dan peminggiran kaum perempuan.
Ini merupakan pertama kalinya sejak pertengahan tahun 1980 an Indonesia bahkan dapat mempertimbangkan untuk mengekspor surplus beras. Produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan pola perubahan konsumsi makanan. "Menurunnya jumlah lahan, kurangnya bibit padi yang berkualitas bersamaan dengan irigasi yang buruk menjadikan produksi tetap berada pada tingkat yang rendah," demikian menurut pakar ekonomi pertanian dari IPB, Priyarsono. Selama masa pemerintahan Suharto, program-program pemerintah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan produksi beras, seperti transmigrasi dan mega proyek PLG di Kalimantan - telah gagal dan menghabiskan banyak biaya dan merusak area hutan hujan yang luas (lihat artikel mengenai warisan Suharto)
Bulog membeli antara 10 sampai 15 % produksi beras di Indonesia, sisanya dibeli oleh pedagang dalam negeri. Lembaga ini memiliki tugas untuk mengimpor beras pada saat terjadi ketidakcukupan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, supaya harga tidak melonjak terlalu tinggi. Indonesia melarang impor beras oleh swasta sejak awal tahun 2004 untuk menghindari gejolak harga beras karena penyelundupan. Bulog menyediakan pasokan beras darurat pada saat terjadi bencana dan untuk masyarakat miskin.
Ketika harga beras naik sampai Rp 500 per kilogram, pemerintah Indonesia meningkatkan jumlah subsidi beras untuk keluarga miskin dari 10 kg menjadi 15 kg per bulan pada awal tahun 2008. Harga beras tersebut hanya Rp1600 per kg akan tetapi dengan kualitas yang rendah dan jumlah beras untuk program tersebut (beras untuk rakyat miskin atau raskin) kurang dari 2 juta ton. Tingkat konsumsi beras rata-rata per tahun per orang adalah sekitar 130 kg. Dengan sekitar 15 juta penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di daerah perkotaan saja jumlah raskin yang disediakan tidak mencukupi.
Para peneliti tersebut menemukan bahwa tingkat probabilitas terjadinya keterlambatan musim hujan lebih dari 30 hari dapat meningkat dua kali lipat pada tahun 2050, dari 9-18% saat ini menjadi 40-40%. Mereka juga memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami masa kemarau yang lebih panjang dengan curah hujan yang berkurang. " Merupakan tanggung jawab komunitas peneliti untuk mengembangkan jenis padi dan berbagai praktik pertanian yang memungkinkan petani untuk tetap dapat meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan yang meningkat," kata Zeigler.
Pada masa lalu, IRRI telah mendorong penelitian untuk menghasilkan berbagai varietas padi dengan rekayasa genetika demi menjawab persoalan kekurangan pangan dan peningkatan harga. Akan tetapi rekayasa genetik bukan merupakan jawaban satu-satunya. Lebih dari itu perlu diperhatikan mengenai siapa yang mengendalikan penelitian tersebut dan untuk tujuan apa. Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang bioteknologi dapat meningkatkan ketergantungan pada varietas benih dan input produksi dengan mengorbankan rakyat miskin. Jenis padi baru yang lebih menghasilkan dapat saja diproduksi dalam sepuluh tahun mendatang akan tetapi masalah sebenarnya bukan hal yang dapat diatasi oleh teknologi. (lihat DTE 43 (Bahasa Inggeris),49 (Bahasa Indonesia),50 (Bahasa Inggeris))
Apabila tingkat harga pembelian dari pemerintah dijaga untuk tetap rendah agar tersedia beras murah bagi masyarakat, maka petani kecil tidak memperoleh pendapatan yang cukup dan akan terpaksa menjual sawahnya. Jika harga beras tinggi pemerintah harus membayar lebih banyak subsidi untuk beras kepada kelompok miskin atau akan terjadi kekacauan pangan. Jika Bulog tidak menjaga stok beras nasional, satu-satunya yang mendapat untung adalah para pedagang yang dapat memanipulasi harga pasar melalui cara penimbunan.
Henry Saragih, ketua Serikat Tani Indonesia, menyalahkan pemerintah atas tingginya harga bahan pangan saat ini karena terlalu lama mengabaikan sektor pertanian. "Hampir semua petani saat ini bukanlah produsen, mereka adalah buruh tani. Mereka harus membeli beras, gandum dan kacang kedelai sendiri. Sementara produk-produk pertanian terutama dijual ke kota, ketika harga naik para petani kecil ini merupakan kelompok yang paling terpukul," katanya.
Indonesia, juga beberapa negara lainnya, perlu lebih memperhatikan masalah kerawanan pangan, terutama ketika perubahan iklim menimbulkan ancaman kekeringan dan banjir yang lebih sering. Hal ini membutuhkan kebijakan yang lebih mengutamakan keragaman produksi pangan dan pertanian lestari. Tapi yang paling penting adalah adanya kebijakan ekonomi yang secara sungguh-sungguh diarahkan pada pengurangan kemiskinan dan reformasi agraria yang memprioritaskan hak sumberdaya dan lahan bagi masyarakat miskin di pedesaan, termasuk buruh tani dan masyarakat adat.
Bencana alam dapat menyebabkan meningkatnya harga(Times Online 6/Mei/08; BBCNews 7/Mei/08)
|
Catatan
1 Lihat penggunaan istilah 'biofuel' and 'agrofuel' di artikel tentang EU.
2 Garis kemiskinan di Indonesia dinyatakan dengan penghasilan US$1,55/hari, sementara Bank Dunia menggunakan angka US$2/hari (keduanya menggambarkan PPP - constant Purchasing Power Parity atau paritas daya beli tetap). Lihat Heriawan & Imawan, BPS, Feb 2008, presentasi pada sebuah seminar di New York mengenai 'Mengukur Isu Sosial yang Genting' unstats.un.org/UNSD/statcom/statcom_08_events/special%20events/New_directions_social/Rusman_Heriawan_Paper.pdf
3 Hasil penelitian dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, 2 Mei 2007
(Sumber: Reuter 16/Mar/08, Indonesia rice self-sufficiency plans stumble; oryza.com/news/Asia-Pacific/Indonesia-Market/Indonesia-Optimistic-Over-Rice-Output.html, 4/Jan/08, diakses pada 30/Mar/08;
news.indahnesia.com/item/200802220/indonesia_claims_self-sufficiency_in_rice.php 22/Feb/08 diakses pada 30/Mar/08; Jakarta Post 25/Mar/08; Philippine Daily Inquirer, 28/Mar/08;
www.bbc.co.uk/radio4/factual/foodprogramme.shtml, 30/Mar/08; Siaran persn UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs 4/Apr/08;
www.irinnews.org/Report.aspx?ReportId=77608; Antara 4/Apr/08
www.antara.co.id/en/arc/2008/4/4/news-focus-indonesia-planning-to-export-rice/; The Observer, 6/Apr/08; Siaran pers World Bank, 11/Apr/08;
web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:21726628~pagePK:64257043~piPK:437376~theSitePK:4607,00.html; Reuters 11/Apr/08;
www.bps.go.id/papers/statpaper13.pdf;Tempo Interaktif 16/Apr/08, www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk,20080416-121350,id.html, 7/Mei/08
www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/05/07/brk,20080507-122657,id.html; Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan 1996-2006
www.bps.go.id/releases/files/eng-kemiskinan-02jul07.pdf?; Kompas 23/Apr/08 & 25/Apr/08)