Switch to English |
Dalam beberapa bulan terakhir ini di berbagai tempat di Inggris terdapat banyak sekali pendaftaran perencanaan adanya stasiun-stasiun pembangkit tenaga listrik berbasis bahan bakar agro (agrofuel). Dua perusahaan energi W4B Renewable Energy dan Vo-gen, menyebutkan dalam pendaftaran mereka bahwa mereka akan menggunakan minyak sawit sebagai sumber bahan bakar, sementara perusahaan-perusahaan yang lain belum secara sah mengenyampingkannya. Permohonan W4B Renewable Energy atas pembangkit tenaga listrik berkekuatan 17,8 MW di Portland, barat daya Inggris, disetujui oleh pihak setempat yang berwenang di awal tahun ini.
Tetapi rencana W4B untuk menjalankan pembangkit tenaga listrik yang jauh lebih besar (50 MW) di Bristol ditolak oleh dewan perwakilan setempat sebulan kemudian dengan alasan sumber bahan bakar yang akan digunakan.1
Pengambilan suara untuk menolaknya merupakan keberhasilan besar bagi para aktivis lingkungan hidup, khususnya bagi Biofuelwatch dan pelaku kampanye setempat yang telah gigih memperjuangkan petisi keberatan dalam putaran awal untuk keputusan perencanaan. W4B kemungkinan besar akan mengajukan banding, sehingga cerita di Bristol ini belum berakhir, dan kelihatannya akan ada keputusan perencanaan lain yang akan dibuat di tempat lain. Meskipun demikian, jelas bahwa pesan mengenai dampak minyak sawit-baik terhadap masyarakat maupun dalam hubungannya dengan perubahan iklim-telah tersebar karena sebagian besar permohonan pendaftaran sejauh ini telah ditolak atau dicabut.
Sertifikat Kewajiban Terbarukan (Renewable Obligation Certificates, ROC) seharusnya menunjukkan sejauh mana sumber itu terbarukan. Ini bukanlah sertifikat 'hijau' yang dapat diperdagangkan di antara perusahaan energi: jika perusahaaan tidak memiliki cukup ROC untuk memenuhi kewajibannya, mereka harus membayar dana dalam jumlah setara dengan itu. Dana yang sama digunakan untuk membayar pemasok yang telah berhasil menyediakan ROC mereka.
ROC bagi minyak sawit telah banyak dikecam oleh kelompok lingkungan hidup di Inggris. Khususnya sejak energi dari pembangkit tenaga listrik berbasis bahan bakar agro mendapatkan jumlah ROC dua kali lipat seperti halnya energi angin di darat.
Sementara itu, badan publik lainnya, Badan Lingkungan Hidup Inggris, yang merupakan bagian dari Departemen Lingkungan Hidup, Pangan dan Urusan Pedesaan (DEFRA) pemerintah, belum lama ini mengemukakan kekhawatirannya akan dukungan terhadap listrik yang berasal dari minyak sawit melalui ROC karena "penggunaan biomassa padat bagi pembangkit tenaga listrik biasanya menghasilkan jauh lebih besar simpanan gas rumah kaca, dan karena itu lebih disukai." Mereka menyatakan bahwa mereka tidak mendukung ROC bagi pembakaran minyak sawit. Lebih lanjut, badan itu menyatakan bahwa "siklus hidup simpanan emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil bisa minimal, dan jika terjadi alih fungsi lahan secara langsung atau tidak langsung, maka akhirnya akan terdapat kenaikan dalam emisi."3
RED telah dikecam pelaku kampanye lingkungan karena kriteria keberlanjutannya yang lemah karena memasukkan Perubahan Penggunaan Tanah secara langsung tetapi belum memasukkan perubahan penggunaan tanah secara tidak langsung; karena tidakdimasukkannya semua kriteria sosial; dan karena tidak memiliki mekanisme audit yang dapat dipercaya.
Perubahan Penggunaan Tanah langsung mencakup hutan yang diubah menjadi perkebunan sawit, sementara Perubahan Penggunaan Tanah tak Langsung adalah tanah yang dibuka untuk tanaman-tanaman yang tergeser oleh tanaman untuk bahan bakar agro. Aktivis lingkungan hidup berharap bahwa peraturan mengenai ILUC yang ditunggu-tunggu akan mengurangi simpanan emisi yang dihitung dari setiap bahan bakar agro sesuai dengan kemungkinannya untuk mengakibatkan Perubahan Penggunaan Tanah Tak Langsung. Akibatnya, tak banyak minyak sawit yang taempaknya akan memenuhi kriteria RED.
Jika ILUC disertakan dengan cara seperti ini, maka akan ada banyak dampak positif bagi masyarakat di negara penghasil minyak sawit seperti Indonesia, yang penghidupannya terancam oleh perluasan perkebunan sawit. Indonesia merencanakan pengembangan 20 juta hektar perkebunan lagi, menurut perkiraan Sawit Watch4, yang akan dibangun di lahan seluas 7,5 juta hektar yang sudah ada. Tim Nasional Indonesia bagi Pengembangan Bahan Bakar Nabati mengusulkan bahwa 10,25 juta hektar tanaman untuk bahan bakar agro (termasuk minyak sawit) dikembangkan pada akhir 2015.5 Jika subsidi yang mendukung impor minyak sawit ditarik di seluruh Eropa, ini akan dapat berdampak pada pengurangan rencana perluasan itu.
Selain dari diskusi belakangan ini mengenai listrik dan panas, debat minyak sawit di Inggris banyak terkait dengan sektor transportasi. Bahan bakar agro untuk transportasi tercakup dalam UK Renewable Transport Fuels Obligation (Kewajiban Bahan Bakar Terbarukan untuk Transportasi Inggris /RTFO).7
Badan Bahan Bakar Terbarukan (RFA), yang telah dibentuk oleh Departemen Transportasi untuk melaksanakan RFTO, telah mengeluarkan laporan mengenai tahun pertama RFTO pada bulan Januari 2010. Menurut laporan ini hanya 9 persen dari bahan bakar agro yang digunakan di Inggris diproduksi dari stok pangan dalam negeri. Terlebih lagi, hanya hanya 4% dari bahan bakar agro yang diimpor ke Inggris memenuhi standar keberlanjutan lingkungan hidup RTFO. Sekitar 15% bahan bakar agro dari tanaman dinyatakan berasal dari minyak sawit. Namun, skema pelaporan saat ini memungkinkan perusahaan untuk menyatakan asal-usul lahan yang baru-baru ini dibuka sebagai "lahan yang tidak diketahui". Jadi, misalnya, pengecer bahan bakar Esso dapat menjelaskan sumber dari hanya 6% dari bahan bakar agronya.8 Segera setelah RED diadopsi pada tingkat nasional tahun depan, perusahaan akan harus menyatakan penggunaan sebelumnya dari semua lahan dari mana mereka mendapatkan sumber bahan bakar agro mereka. Terdapat satu celah: ini tidak berlaku bagi pemasok jika pembukaan lahan dilakukan sebelum 2008.
Apakah ini listrik, pemanas atau transportasi, tampaknya debat minyak sawit Inggris lebih kontroversial dari sebelumnya pada awal dekade yang baru ini. Akhir tahun lalu, perundingan meja bundar untuk Minyak Sawit Berkelanjutan menolak standar emisi gas rumah kaca. Sekarang proposal perundang-undangan yang baru mengisi debat dalam putaran pertama pelaksanaan RED di tingkat nasional di Inggris. Dan pesan terakhir dari Brussels mengenai standar lingkungan hidup juga tampaknya tidak terlalu menjanjikan: pada bulan Februari, Friends of the Earth Eropa mengungkapkan dokumen yang bocor dari Komisi Eropa. Hal ini menimbulkan kemarahan yang meluas di antara para pelaku kampanye karena dokumen itu menyatakan bahwa perkebunan sawit dapat didefinisikan sebagai 'hutan', yang berarti bahwa "perubahan dari hutan ke perkebunan sawit tidak dapat per se merupakan pelanggaran kriteria (berkelanjutan).."9
Jelas bahwa Komisi itu berusaha melakukan dua hal yang bertentangan pada waktu yang bersamaan: menerapkan standar keberlanjutan atas sumber energi yang kontroversial, tetapi juga mengakomdasi kepentingan lobi minyak sawit Indonesia dan Malaysia yang kuat. Sekarang pertanyaannya adalah: akan ada apa lagi?