Switch to English |
Fakta yang menyedihkan bahwa lebih dari 10 tahun sejak jatuhnya Suharto dan terbentuknya pemerintahan demokrasi di Indonesia, korupsi, kolusi dan nepotisme, yang dikenal sebagai KKN, tetap merupakan masalah utama dan tantangan yang dihadapi Indonesia sekarang ini.
Seperti yang kita ketahui, isu korupsi tak hanya terjadi di Indonesia. Akarnya dapat ditelusuri hingga sangat jauh dan luas. Salah seorang penulis Indonesia terkemuka, Pramoedya, menulis dengan gamblang mengenai akar historis permasalahan ini dalam masa kolonial Indonesia; birokrasi yang kuat dan korup serta ketimpangan yang memalukan yang menghubungkan Indonesia dengan Eropa. Hubungan yang kuat dan timpang saat ini juga terjadi antara Eropa dan Indonesia dalam hal kepentingan usaha multinasional. Termasuk di dalamnya adalah perusahaan tambang multinasional raksasa yang terdaftar di Inggris dan Australia, Rio Tinto, yang memiliki banyak kepentingan pertambangan di Indonesia.
Belakangan ini, Rio Tinto dikaitkan dengan korupsi juga. Tahun lalu, empat pegawai Rio Tinto dituduh (dan terbukti bersalah) menerima suap dalam kasus yang ada hubungannya dengan industri baja di Cina.1
Dalam rapat umum pemegang saham tahunan perusahaan itu di London pada tanggal 15 April 2010, isu korupsi beberapa kali dikemukakan oleh para pemegang saham. Down to Earth, yang berkolaborasi dengan Jaringan Advokasi Tambang Indonesia (JATAM), bertanya kepada dewan direksi Rio Tinto mengenai korupsi terkait dengan tambang Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur dan pengalihan kepemilikan tambang itu ke Bumi Resources, yang merupakan bagian dari kelompok Bakrie and Brothers, perusahaan induk yang memayungi kepentingan usaha keluarga Bakrie.2
Tahun 2002 -setahun sebelum Rio Tinto dan BP akhirnya menjual saham 50-50 mereka di KPC - tambang ini, yang terletak dekat Sangatta, di kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menghasilkan sekitar 15 juta ton batubara berkualitas tinggi per tahunnya dan memiliki cadangan yang diperkirakan masih bisa bertahan 20 tahun lagi. Sudah ada catatan sejarah mengenai pemogokan, pertikaian lahan dan masalah lingkungan hidup yang memengaruhi masyarakat setempat.3
Dengan investasi awal lebih dari USD1 miliar dan laba hampir USD300 juta per tahun, taruhannya tinggi bagi semua yang berkepentingan. Kontrak Kerja, yang ditandatangani tahun 1982, mensyaratkan Rio Tinto dan BP untuk melakukan divestasi 51% dari saham mereka ke investor Indonesia setelah lebih dari 5 tahun, mulai tahun 1996.4 Pada tahun 2003, Rio Tinto dan BP akhirnya (dan tampaknya dengan enggan) melakukan divestasi atas saham mereka di KPC, menyusul persyaratan pemerintah yang lebih ketat bagi pengembalian tambang kepada kepemilikan Indonesia. Bukan saja proses ini memakan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, tetapi juga menimbulkan rasa tak senang dari pihak Rio Tinto dan BP serta pihak lain yang ingin menguasai KPC dan asetnya yang berharga.5 Tampaknya kedua perusahaan itu terpaksa menjual sahamnya dalam KPC seharga hampir setengah dari nilai yang berlaku, dengan harga total USD500 juta. Konsorsium kepentingan bisnis di Kalimantan Timur, yang memiliki hubungan dengan pemerintah provinsi, sebelumnya menawarkan hampir dua kali lipat dari harga yang akhirnya dibayarkan.6
Setelah pertikaian hukum selama bertahun-tahun, masih saja ada pertanyaan mengapa BP dan Rio Tinto mendadak menjual saham mereka dan bagaimana itu bisa terjadi. Terdapat banyak kecurigaan bahwa kesepakatan itu lebih terkait dengan masalah politik dan kekuasaan daripada menjalankan bisnis secara jujur dan transparan. Apa yang telah diperoleh dan apa sebetulnya yang didapat dengan berbisnis bersama Aburizal Bakrie? Masih ada proses hukum dan politik yang berlangsung yang mempertanyakan penjualan saham KPC tahun 2003 itu serta terdapat kecurigaan serius mengenai ketidakberesan (termasuk investigasi yang terus berlanjut di parlemen Kalimantan Timur). Belum lama ini, gubernur Kalimantan Timur saat ini, Awang Farouk Ishak, disebut-sebut oleh Kejaksaan Agung di Jakarta sebagai tersangka kasus korupsi (sejak ia menjabat sebagai bupati Kutai Timur) dalam divestasi saham KPC ke Bumi Resources.7 (Lihat juga artikel terpisah 'Pangan, batubara dan desa Makroman'.)
Fakta bahwa hasil akhir dari semua ini adalah bahwa KPC harus berada di bawah penguasaan Bumi Resources, yang merupakan bagian dari kerajaan bisnis Aburizal Bakrie, memiliki konsekuensi yang lebih serius bagi publik dan masyarakat yang terus terimbas oleh industri pertambangan di Kalimantan Timur dan di tempat lain di Indonesia.
Aburizal Bakrie, anak sulung dari empat bersaudara dan salah satu orang Indonesia terkaya di Asia Timur,13 menguasai kerajaan bisnis besar yang mencakup bidang pertambangan, energi, media dan properti.14 Pada tahun 2004, ia ditunjuk sebagai Menteri Koordinasi Ekonomi dan kemudian tahun 2005 Menteri Koordinasi Kesejahtaraan Rakyat, dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2009, ia terpilih sebagai ketua Golkar, landasan kekuatan politik mantan diktator Suharto. Meskipun ada permintaan dari Presiden Yudhoyono agar ia melakukan divestasi kepentingan usaha pribadinya untuk menghindari dugaan konflik kepentingan, Bakrie terus mengontrol kerajaan bisnisnya.
Yang sangat ironis, pada tahun 2006, ketika ia menjabat sebagai Menko Kesra, salah satu perusahaan yang dikuasai Bakrie, PT Lapindo Brantas, bertanggung jawab atas bencana pengeboran minyak di Jawa Timur. Pengeboran ini menyebabkan adanya lautan lumpur panas yang menelan ribuan rumah, membuat sekitar 30.000 keluarga harus mengungsi, dan disalahkan sebagai penyebab tewasnya14 orang, serta terus menyemburkan lumpur hingga hari ini.15 Dalam usaha untuk menghindari membayar kompensasi kepada ribuan korban bencana yang masih terus berlangsung ini, Energi Mega Persada, perusahaan milik Bakrie yang menguasai mayoritas saham PT Lapindo Brantas, dua kali berusaha untuk menjual saham perusahaan itu seharga USD2 ke sebuah perusahaan luar negeri.16 Hingga saat ini banyak keluarga korban lumpur panas itu yang baru menerima 20% dari kompensasi yang harus dibayarkan kepada mereka.17 Ada persamaan dengan bencana tumpahnya minyak BP di Teluk Meksiko baru-baru ini. Tetapi, tragisnya bagi Indonesia dan masyarakat yang terimbas, tampaknya hampir tak mungkin bahwa perusahaan itu akan dipaksa memberikan ganti rugi dan kompensasi sampai ke tingkat yang sama seperti yang dipaksakan kepada BP di Amerika Serikat.18
Di arena politik, Aburizal Bakrie tak merasa malu dengan tuduhan konflik kepentingan. Memang prestasinya di bidang ini kurang lebih sama, jika tidak lebih buruk. Saat ini ia dikaitkan dengan berbagai kasus penyuapan dan penghindaran pajak, terutama dalam hubungannya dengan investigasi yang masih berlangsung atas kegiatan KPC dan Bumi Resources. Selama tahun lalu, berbagai usaha telah dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk menyelidiki kesepakatan pajak dari baik KPC maupun Bumi Resources. Proses ini mendapat perlawanan di pengadilan dari pengacara perusahaan itu. Yang paling baru, seorang pejabat kantor pajak mengklaim bahwa ia disuap oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki Bakrie untuk membantu mereka dengan urusan pajak mereka.19 Tapi yang lebih mengkhawatirkan dari perspektif yang lebih luas adalah pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani pada bulan Mei 2010 akibat balas dendam politik oleh Bakrie.20 Sri Mulyani dikenal karena kampanye antikorupsinya. Sebagai indikasi pergeseran politik ini, dua hari setelah kepergian Sri Mulyani, Bakrie ditunjuk sebagai ketua harian sekretariat gabungan partai koalisi pemerintah untuk menentukan kebijakan pemerintah.21 Tampaknya keberuntungan politik Aburizal Bakrie terkait langsung dengan nasib baik bisnisnya dan begitu sebaliknya.22
Ketika ditanyakan mengenai warisan itu dalam rapat umum tahunan di London, jawaban Rio Tinto terhadap pertanyaan DTE jauh dari memuaskan: baik Chairman, Jan du Plessis, maupun Chief Executive Officer, Tom Albanese, menyangkal bahwa ada yang tak beres. Sungguh mengejutkan betapa masalah ini ditanggapi sedemikian remeh oleh para direktur perusahaan, betapa mereka tampaknya sama sekali tak tersentuh oleh isu ini dan bagaimana mereka dengan ringan membantah adanya kaitan dan tanggung jawab dalam mendorong praktik korupsi di Indonesia.23 Kini, tujuh tahun telah berlalu sejak penjualan KPC, sebuah fakta utama tampak menonjol dalam gambaran menyedihkan mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme ini. Yaitu bahwa Rio Tinto dan mitranya ketika itu BP, menjual saham mereka di KPC ke kerajaan bisnis Aburizal Bakrie, sehingga memperkuat kekuasaan keuangan dan politik pria yang sudah berkali-kali dituduh melakukan korupsi dan malpraktik itu, dan yang berada di jantung sebuah masyarakat yang masih mengandalkan KKN. Dengan terus beroperasi di Indonesia, baik Rio Tinto maupun BP tak diragukan lagi memperoleh keuntungan, dan berharap terus menangguk keuntungan, dari koneksi bisnis dan politik yang diwariskan dari operasi mereka di Kalimantan Timur.