Switch to English |
LKI di Indonesia
LKI adalah singkatan dari Lembaga-lembaga Keuangan Internasional atau International Financial Institutions (IFIs). LKI merupakan organisasi internasional, yang beranggotakan beberapa pemerintahan negara, biasanya negara maju. Mereka meminjamkan uang kepada negara berkembang. LKI yang paling menonjol adalah Kelompok Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB). LKI juga dikenal sebagai Bank-bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks).
Seri Factsheet bulanan tentang LKI ini menyajikan informasi tentang kiprah mereka di Indonesia. |
Nyatanya, sekitar 1 milyar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih, 2 milyar tidak memiliki sanitasi yang memadai, dan setiap tahun 3 juta penduduk meninggal karena berbagai penyakit yang disebabkan oleh air. Bahkan dalam Stockholm Water Symposium (Simposium mengenai Air di Stockholm) Agustus 2000 yang membahas mengenai krisis air di bumi, dikhawatirkan dalam tahun 2025, dua pertiga penduduk dunia akan mengalami krisis air.
Untuk menanggapi krisis air tersebut, Bank Dunia mengeluarkan kebijakan privatisasi air yang termasuk didalam paper mengenai "Improving Water Resource Management" yang dikeluarkan Bank Dunia pada tahun 1992. Paper tersebut berisi argumentasi mengenai pentingnya kebijakan untuk menetapkan harga sebagai mekanisme insentif untuk mendorong konsumen lebih efisien dalam penggunaan air. Nantinya harga air yang harus dibayar masyarakat harus dapat menutupi biaya operasional institusi yang mengelola penyediaan air tersebut, dan dengan demikian pemerintah tidak lagi memberikan subsidi.
Terkait dengan persoalan privatisasi air ini, kekhawatiran sebagian besar NGO terletak pada kenyataan bahwa privatisasi yang berarti komodifikasi dan komersialisasi air akan mengakibatkan harga air yang semakin mahal bagi kelompok miskin. Bagaimana mungkin prinsip-prinsip privatisasi sejalan dengan peningkatan akses kelompok miskin terhadap sumber daya air ?
Privatisasi Air di Indonesia
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa di Indonesia terdapat persoalan besar dalam pengelolaan air, diantaranya:
Berdasarkan persoalan-persoalan diatas, Bank Dunia, ADB, dan pemerintah Indonesia sepakat untuk melakukan perubahan institusi dan legal formal pada sektor air. Dengan demikian, UU no 11 tahun 1974 mengenai Sumberdaya Air dan UU atau peraturan yang terkait dengannya harus di-amandemen untuk menjamin terakomodasinya prinsip-prinsip dasar perubahan tersebut, yaitu : (1) mengurangi peran dari pemerintah pusat hanya terbatas pada fungsi-fungsi pengaturan (regulatory) (2) meningkatkan kerjasama antara sektor publik dan swasta ditingkat regional dan lokal (3) membagi kewenangan pengelolaan sumberdaya ke tingkat lokal dan regional, yaitu propinsi, kabupaten dan lokal (4) membangun konsultasi publik dan partisipasi stakeholder lainnya dengan menciptakan institusi yang mampu memfasilitasi terjadinya dialog antar stakeholder (5) membangun pengelolaan sistem irigasi yang partisipatif yang memungkinkan pengelolaan tersebut sampai di tangan komunitas/kelompok pengguna air.
Dengan prinsip-prinsip tersebut dan melalui bantuan finansial dan teknis dari Bank Dunia dan ADB, Pemerintah Indonesia menyusun restrukturisasi sektor air, yang memungkinkan desentralisasi pengelolaan air dan masuknya sektor swasta terutama di daerah perkotaan dengan disetujuinya WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan=Pinjaman Penyesuaian Sektor Sumber Daya Air). Restrukturisasi sektor air ini harus dilihat sebagai bagian persyaratan pinjaman dalam Structural Adjustment Loan (Pinjaman Penyesuaian Struktural) dari Bank Dunia dan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997.
Pinjaman WATSAL bagi Indonesia sebesar US$ 300 juta disetujui oleh Direktur Eksekutif Bank Dunia pada 18 Mei 1999. WATSAL dibentuk untuk menyediakan bantuan kepada pemerintah Indonesia guna mendukung reformasi di sektor air dan irigasi melalui penguatan institusi dan perangkat hukum untuk pengelolaan sumberdaya daerah aliran sungai (DAS) pengurangan polusi air, dan pengelolaan sumberdaya air dan sistem irigasi.
Perkembangan WATSAL di Indonesia
Bank Dunia menilai Pemerintah Indonesia lamban dalam memenuhi persyaratan-persyaratan yang dimandatkan dalam WATSAL. Bahkan, salah satu tahap pencairan dana ditunda karena ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dalam (1) menyusun UU sumberdaya air yang baru (2) meng-amandemen UU yang ada/berlaku 3) menyusun panduan dan perangkat kerja untuk mengelola air. Hal ini disebabkan tidak hanya karena situasi politik di Indonesia, tetapi juga dipersulit oleh resistensi birokrasi yang tidak mau melepaskan kewenangan mereka atas sumberdaya yang strategis ini.
Di pihak Pemerintah Indonesia sendiri, serangkaian dialog mengenai restrukturisasi institusi disektor air telah dimulai tahun 1997. Dalam dialog yang diselenggarakan di Bappenas, pemerintah sepakat untuk membentuk institusi pengelolaan air yang mendukung reformasi di sektor air, sebagai berikut:
Perkembangan RUU Sumberdaya Air
Salah satu bentuk perubahan legal formal di dalam sektor air adalah perubahan RUU Sumberdaya Air. Perubahan RUU ini juga berjalan lambat, walaupun kelambatan ini bisa menjadi"berkah terselubung" bagi Indonesia. Target tim RUU untuk memasukkan draft kesetiap komisi DPR dan pembahasan disetiap komisi yang seharusnya selesai bulan Desember ternyata tidak tercapai. Sampai saat ini RUU tersebut masih ada di DPR dan belum ada kepastian penyelesaian RUU menjadi UU. Walaupun demikian ada kecenderungan DPR sendiri – dalam hal ini adalah PKB dan PDI Perjuangan- menolak segala pasal dalam UU yang memberi kemungkinan petani membayar untuk keperluan irigasi.
Di dalam pasal 10 ayat 4 RUU sumberdaya air, pola pengelolaan sumberdaya air ditetapkan dengan melibatkan masyarakat seluas-luasnya dan dunia usaha. Pengelolaan sumberdaya air yang dimaksud di sini adalah pemenuhan kebutuhan air baku untuk air bersih rumah tangga, pertanian, industri, pertambangan, dan kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan masyarakat. Pasal tersebut menekankan mengenai dibukanya ruang partisipasi seluas-luasnya baik dari sektor swasta maupun masyarakat. Partisipasi swasta di sini diartikan dengan swasta dapat membangun, mengoperasikan, dan mengelola prasarana dan distribusi sumberdaya air, tidak hanya di kota tetapi juga di daerah pedesaan.
Dengan demikian, fokus partisipasi dalam RUU ini lebih ditekankan pada partisipasi sektor swasta, seperti ditegaskan di dalam pasal 46 mengenai hak pengusahaan sumberdaya air. Hak tersebut selain yang diberikan kepada BUMN/BUMD, juga dapat dilaksanakan oleh badan usaha, perorangan, atau kerjasama antar badan usaha berdasarkan ijin hak guna usaha air dari pemerintah propinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
Perdebatan penting dalam RUU ini juga ada pada pasal 41 ayat 1 dimana hak guna pakai sumberdaya irigasi perkumpulan petani pemakai air dibebani izin dari pejabat yang berwenang, seperti beban izin yang diberikan kepada pemegang hak guna usaha (Pasal 41 ayat 2). Dengan diberlakukannya izin tersebut memungkinkan peluang biaya tambahan melalui retribusi resmi maupun pungutan tidak resmi. Berdasarkan penelitian Akatiga, perizinan adalah sumber pungutan tidak resmi yang menimbulkan biaya tinggi terhadap peminta izin dan dampak terbesarnya justru pada kelompok tidak mampu. Padahal sekitar 7,1 juta ha lahan pertanian adalah lahan pertanian irigasi.
Dalam hal ini pemerintah berfungsi mengawasi kualitas pelayanan yang disediakan oleh BUMN/BUMD, perusahaan swasta, dan individu yang memegang hak pengelolaan atas sumberdaya air (Pasal 48 RUU Sumberdaya Air).
Kalangan Ornop dan petani air juga bereaksi keras terhadap RUU yang dinilai memberatkan kalangan petani pemakai air. Nugroho, yang mewakili Field (Farmers Initiative for an Ecological Livelihood and Democracy=Prakarsa Petani untuk Kehidupan dan Demokrasi yang Ekologis), secara tegas menyatakan bahwa RUU baru ini secara jelas merefleksikan keinginan pemerintah untuk melegalisasi sistem tarif tanpa subsidi yang artinya setiap petani harus membayar setiap biaya pembangunan infrastruktur irigasi.
Perkembangan Privatisasi Air
Diluar lambannya reformasi institusi dan ketidakpastian legal formal di sektor air, secara bersamaan privatisasi air sendiri sudah dijalankan di Indonesia, khususnya privatisasi PDAM antara lain :
Selain itu, masih terdapat pula perdebatan di beberapa pemerintah daerah mengenai perlu tidaknya privatisasi. Rencana privatisasi PDAM Kota Bandung tidak berjalan lancar karena tidak semua pihak setuju dengan rencana privatisasi tersebut. Pemerintah propinsi berkeinginan untuk menguasai pengelolaan sumberdaya air baku karena air telah dipandang sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. PDAM Kota Bandung sendiri menolak privatisasi karena keuntungan terbesar dari perusahaan tersebut akan dinikmati oleh perusahaan yang menjadi mitra PDAM.
Fakta Kegagalan Privatisasi
Riset yang dihasilkan oleh the PSI's Research Unit, University of Greenwich (London) menemukan bahwa privatisasi air oleh perusahaan-perusahaan multinasional di negara sedang berkembang tidak terlepas dari persoalan "korupsi". Perusahaan swasta pengelola air tersebut mengalami kegagalan finansial dan yang penting "gagal untuk melayani kelompok miskin bahkan mengeksploitasi kelompok-kelompok tersebut" (dinyatakan oleh J. F. Talbot, CEO of SAUR International yang merupakan perusahaan multinasional keempat terbesar di dunia pada Januari 2002).
Privatisasi air sendiri telah dilakukan di berbagai belahan dunia antara lain Argentina, Kolumbia, Bolivia, Mexico, Bangladesh, Indonesia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Pantai Gading, Madagaskar, Maroko, Nigeria, Senegal, Tunisia, dan Hongaria. Penelitian di Bolivia, Pakistan, dan Argentina menunjukkan gejala yang sama yaitu kenaikan harga dan kegagalan melayani kelompok miskin. Di Cochabamba, Bolivia setelah privatisasi terjadi kenaikan harga air sekitar 300%, sekitar 25% dari total pendapatan kelompok miskin..
Di Indonesia sendiri privatisasi telah menyebabkan adanya lonjakan harga air. PD PAM Jaya setelah dikelola bersama dengan Thames Water International UK dan Lyonaisse Prancis telah mengalami 2 kali kenaikan harga pada tahun 1998 (20%) dan 2001 (35%). Sumber tidak resmi menyebutkan pada bulan April 2003 akan naik lagi sebesar 40%. Gubernor Sutiyoso sendiri menyatakan bahwa kenaikan ini diperlukan untuk menutupi biaya perusahaan.
Selain itu, perusahaan multinasional yang menguasai 70% bisnis air di dunia yaitu Suez-Lyonnaise dan Vivendi dari Perancis telah didakwa sebagai anti kompetisi. Bahkan Suez-Lyonnaise di Perancis didakwa dengan tuduhan suap dan korupsi.
Berbagai kalangan terutama Ornop dan asosiasi petani di Indonesia menentang privatisasi air dikarenakan kekhawatiran akan kenaikan harga yang justru menjauhkan kelompok miskin dari akses terhadap air minum dan sanitasi. Nila Ardhianie, Koordinator Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, misalnya, mengatakan bahwa kecenderungan pemerintah Indonesia melakukan privatisasi air akan berdampak pada harga air yang semakin meningkat, disamping akan menimbulkan kekacauan (chaos) masyarakat didasarkan atas pengalaman di Afrika Selatan.
Sumber:
Kompas cyber media
www.foodfirst.org
www.bicusa.org
www.waspola.org
Makin (2003). Ketahanan Pangan dan Komersialisasi Air, AKATIGA. 2003
The Jakarta Post, 5 Februari, 14 dan 15 Maret 2003
INFID paper: "The Reform of water sources in Indonesia: heading for privatisation?".
Paper dapat diminta melalui www.waspola.org atau infid@nusa.or.id
UN CESCR general comment no.15 on right to Water
PSI (2002) Water Privatisation Corruption and Exploitation. Public Services International.
Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda.
Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa.