Switch to English |
Indonesia akhirnya menandatangani Nota Kesepakatan (LoI) yang baru dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 28 Agustus 2001, untuk melanjutkan paket talangan utang IMF sejumlah total US$ 5 milyar. Dewan Eksekutif IMF diharapkan akan menyetujui LoI pada 10 September 2001, lalu dana sebesar US$ 400 juta akan dikucurkan.
LoI memuat 35 butir reformasi yang menitikberatkan pada stabilitas ekonomi makro. Nada LoI yang baru tersebut terkesan lebih kooperatif daripada LoI sebelumnya yang cenderung sok mengatur. Walau demikian, kesepakatan itu menuntut pemerintah Indonesia untuk bekerja lebih keras, antara lain (a) menjaga defisit anggaran sebesar 3,7% dari Produk Domestik Bruto atau PDB (saat ini 5%); (b) memenuhi jadwal yang telah disepakati untuk penjualan aset-aset yang diambil alih negara dari sistem perbankan yang ambruk, dan (c) swastanisasi sebagian dari BUMN-BUMN untuk mendanai anggaran belanja negara. IMF juga meminta percepatan penjualan aset untuk menciptakan ekonomi yang lebih terbuka bagi pemodal asing dan agar restrukturisasi sistem perbankan berlangsung lebih cepat.
Indonesia juga dituntut untuk menjaga inflasi antara 9% dan 11% (melebihi target sebelumnya sebesar 9,3%) dan mencapai pertumbuhan PDB antara 3% hingga 3,5% (lebih rendah daripada 4,8% yang ditargetkan tahun lalu). Ini bukan pekerjaan yang mudah bagi pemerintah. Menurut Bustanil Arifin dari INDEF - lembaga pengkajian yang berbasis di Jakarta - untuk setiap kenaikan 1% PDB, pemerintah harus menyediakan 400.000 lapangan kerja baru. Sementara itu, IMF juga menuntut adanya dana cadangan/darurat untuk membantu perekonomian propinsi-propinsi yang mengalami defisit.
Penandatanganan LoI dipandang sebagai suatu prestasi besar pemerintahan Megawati. Pasar bereaksi positif terhadap pengucuran pinjaman sebesar US$ 400 juta tersebut, dan melihatnya sebagai tanda kepercayaan dari IMF. LoI juga mengharapkan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan fasilitas penjadwalan kembali dari negara-negara kreditur yang bergabung dalam Paris Club, yang bertemu pada 10 September 2001.
Kemampuan tim ekonomi Indonesia untuk menerapkan sasaran-sasaran LoI masih perlu diuji. Walaupun banyak sasaran tampak ada dalam jangkauan, tetap hal itu merupakan tantangan besar bagi pemerintah Indonesia. Untungnya, masyarakat dan lembaga-lembaga donor mau memberikan waktu bagi pemerintah Indonesia. Para pengamat mengatakan bahwa langkah IMF boleh jadi dapat membantu menggerakkan perekonomian dalam jangka pendek. Tetapi pemulihan jangka panjang sangat tergantung pada kemauan politik dari pemerintah pusat untuk menempuh langkah-langkah reformasi yang penuh onak dan duri.
Sementara itu, Presiden Megawati Soekarnoputri mengingatkan rakyat Indonesia bahwa dengan dilanjutkannya kembali program pinjaman IMF bukan menjadi alasan rakyat Indonesia untuk berpesta pora. Paket IMF adalah utang, bukan hibah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Indonesia tidak boleh terus menjadi negara pengutang.
(Sumber: Dow Jones Newswire, 27 Agustus, 2001; Business Times, 28 Agustus, 2001; The Strait Times, 28 Agustus, 2001; Kompas, 28 Agustus, 2001; Jakarta Post, 28 Agustus, 2001; AFP, 28 Agustus, 2001).
Tahun ini Indonesia Butuh Lebih dari US$ 4,1 milyar dari CGI
Tahun lalu, negara-negara dan organisasi-organisasi donor yang tergabung dalam Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) menjanjikan pinjaman (utang) sebesar US$ 4,1 milyar dan hibah US$ 500 juta kepada Indonesia. Tahun ini, CGI perlu menaikkan jumlah bantuannya sebagai dukungan dana untuk membiayai anggaran belanja Indonesia. Indonesia dijadwalkan membayar utang luar negeri sebesar US$ 7,3 milyar tahun ini. Lalu, pada April 2002 utang jangka pendek sebesar US$ 4,4 milyar akan jatuh tempo. Dilain pihak, tampaknya Paris Club diperkirakan akan bersedia menjadwalkan kembali utang Indonesia sebesar US$ 2,8 milyar yang jatuh tempo pada November 2001.
Menteri Negara Bappenas, Kwik Kian Gie, menolak menyebutkan jumlah yang pasti dari bantuan CGI yang dibutuhkan. Pertemuan kelompok tersebut akan berlangsung pada November 2001 di Indonesia.
Kelompok-Kelompok Konsultatif adalah badan-badan informal yang difasilitasi oleh Bank Dunia dan terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang memberikan pinjaman dan hibah kepada negara pemohon. Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) bertemu satu atau dua kali setahun untuk memberikan pinjaman dan hibah baru kepada Indonesia. Sedangkan Paris Club adalah kelompok informal para kreditur yang berperan untuk mencarikan solusi terarah dan berkelanjutan bagi negara-negara pengutang yang mengalami kesulitan membayar utang.
(Sumber: Jakarta Post, 29 Agustus, 2001; Dow Jones Newswire, 28 Agustus, 2001).
Kesepakatan Frankfurt: Utang Luar Negeri Bank-bank Nasional Indonesia Ditalangi oleh Negara
Pada akhir Agustus 2001 dan berlanjut hingga lima tahun ke depan, 38 bank nasional Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan Kesepakatan Frankfurt diwajibkan untuk mulai mencicil utang kepada para kreditur luar negeri mereka yang diwakili oleh 13 bank asing. Total utang bank-bank nasional tersebut adalah US$ 6 milyar, dengan cicilan pertama berjumlah US$ 1,2 milyar.
Kesepakatan Frankfurt, yang ditandatangani pada tahun 1998, memberikan tenggang waktu tiga tahun kepada bank-bank di Indonesia untuk mengangsur utang pokok mereka. Butir-butir kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa Bank Indonesia menjamin penuh semua cicilan utang bank-bank yang telah ditutup, tapi tidak bagi bank yang masih beroperasi. Bila bank-bank yang masih beroperasi tersebut tidak mampu membayar utang mereka, BPPN akan mengambil alih kewajiban mereka. Dari kedua skenario tampak bahwa sebenarnya beban pembayaran utang pada akhirnya tetap ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah akan menjual aset-aset bank yang bangkrut untuk menutup pembayaran, meskipun tidak ada jaminan bahwa penjualan aset akan cukup untuk menalangi utang.
(Sumber: Tempo, 28 Agustus – 3 September, 2001).
Australia dan Bank Dunia Memprakarsai Penelitian tentang Struktur Utang Indonesia
Menlu Australia Alexander Downer mengatakan bahwa Australia dan Bank Dunia sedang melakukan penelitian tentang komposisi dan pengelolaan utang luar negeri Indonesia. Upaya ini ditujukan untuk mengurangi beban utang Indonesia yang besar dan mencari jalan bagaimana masyarakat internasional dapat membantu mengatasi situasi tersebut. Downer mengaku bahwa penelitian bersama tersebut disepakati ketika Presiden Bank Dunia, Wolfensohn, berkunjung ke Australia pada awal Agustus 2001.
Penelitian ini akan menyelidiki jumlah pinjaman yang diselewengkan oleh para pejabat yang korup dan menentukan apakah penyesuaian jadwal pembayaran utang - diluar penjadwalan yang telah disepakati oleh Paris Club - dapat mengurangi beban pemerintahan Megawati. Australia menunjukkan dukungan yang sangat kuat kepada Megawati sejak ia terpilih sebagai Presiden pada 23 Juli 2001.
(Sumber: Reuters, 7 Agustus, 2001).
"Global Development Gateway" dari Bank Dunia Dipandang sebagai Upaya Kontrol Informasi
Dengan menyebut diri "bank pengetahuan", Bank Dunia sedang membangun sebuah super situs multi-pihak bernilai US$ 70 juta, yang disebut "Gerbang Pembangunan Dunia" (Global Development Gateway) atau GDG. Situs GDG bertujuan untuk menyediakan ikhtisar isu-isu kebijakan kunci dan berbagai link ke situs-situs yang berkaitan dengan Bank Dunia. Bank Dunia merekrut para editor untuk memeriksa situs-situs web di seluruh dunia yang menayangkan isu-isu yang berhubungan dengan kiprah Bank Dunia. Lalu mereka akan membuat link dengan situs-situs tersebut yang memuat materi yang dianggap memenuhi standar kualitas Bank Dunia. Bank Dunia mengklaim bahwa GDG akan memberikan pengetahuan dan keahlian kepada masyarakat dunia dengan transparansi, merangkul semua pihak dan interaksi.
Para pengritik diantaranya Alex Wilks dari Bretton Woods Project di Inggris prihatin atas kehadiran GDG. Mereka menilai bahwa upaya ini akan menghapus keragaman dan perbedaan pandangan tentang pembangunan. Anriette Esterhuysen, Direktur Eksekutif Association for Progressive Communications mengatakan bahwa GDG akan berperan sebagai penyaring informasi yang berkaitan dengan pembangunan. Lebih lanjut ia menekankan bahwa upaya tersebut cenderung akan mengabaikan konteks, menetralkan dan men-de-politisasikan informasi. Pada gilirannya, akan tercipta seolah-olah ada konsensus dan universalitas, yang sebenarnya tak lebih daripada sekedar ilusi buatan. Yang terpenting, Esterhuysen menandaskan, betapapun besar niat GDG untuk merangkul semua pihak, upaya ini masih didominasi oleh kelompok utara yang mengambil peran sebagai perantara. Setiap bulannya, halaman situs Bank Dunia http://www.worldbank.org dikunjungi lebih dari 4 juta kali. Jika ditambah dengan GDG, maka situs-situs tersebut dapat dipandang sebagai upaya strategis untuk meraih kendali atas teknologi informasi tentang sumber-sumber dan tema-tema pembangunan.
Dirangkum dari "World Bank in Major Internet Move" oleh Alex Wilks. Februari 2001.
Lihat www.focusweb.org/publications/2001
Kontakt: Alex Wilks di awilks@brettonwoodsproject.org
Indonesia akan Membayar US$ 400 juta sebagai Kompensasi kepada Perusahaan Penjamin dan Kreditur
Pada 31 Juli 2001, mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menandatangani kesepakatan dengan Duta Besar AS, Robert Gelbard, untuk pembayaran klaim OPIC terhadap perusahaan listrik milik negara, PLN. PLN gagal memenuhi kontrak dengan perusahaan AS, Cal Energy, untuk membangun unit pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng dan Patuha. Ramli adalah menteri dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid yang demisioner setelah Megawati Sukarnoputri naik menjadi presiden. Walau demikian, Ramli mengaku bahwa Presiden Megawati telah memintanya untuk melanjutkan peranannya sambil menunggu kabinet baru terbentuk.
Sumber-sumber dikalangan pemerintah mengatakan bahwa Ramli berada dibawah tekanan kuat dari AS untuk menandatangani kesepakatan. Duta Besar Gelbard berulangkali mengancam akan menyita aset-aset pemerintah atau PLN jika klaim OPIC tidak dituntaskan. Lebih lanjut, pemerintah AS juga mengancam tidak akan menandatangani penjadwalan ulang utang dalam Paris Club bila klaim tidak dihiraukan. Tampaknya ancaman inilah yang memaksa Ramli menandatangani kesepakatan tersebut. Dilaporkan pula bahwa tingkat bunga yang ditetapkan dalam kesepakatan itu adalah 6,21%, berbeda dari kesepakatan awal sebesar 6,125%. Akibatnya, Indonesia harus membayar tambahan bunga US$ 225.000 setiap tahunnya.
Kesepakatan itu ditandatangani tanpa sepengetahuan DPR, padahal kompensasi akan dibayarkan dari Anggaran Belanja Negara. Sebenarnya, pengeluaran seperti itu memerlukan persetujuan DPR.
Menteri Sumber Daya Energi dan Mineral, Purnomo Yusgiantoro, mengatakan bahwa pembayaran kompensasi sebesar US$ 400 juta akan diupayakan melalui mekanisme Paris Club. Fasilitas itu memberikan tenggang waktu 3 tahun, jangka waktu pembayaran cicilan 14 tahun dan tingkat bunga tahunan sekitar 6 persen. Namun demikian, sumber di Bank Indonesia mengungkapkan bahwa mereka tidak akan mengeluarkan uang untuk pembayaran kecuali Presiden Mega dan DPR menyetujui kesepakatan itu.
Kewajiban pemerintah Indonesia kepada OPIC muncul ketika pemerintah memutuskan menunda pembangunan PLTP Dieng dan Patuha menyusul krisis keuangan pada tahun 1997. Sang kontraktor, Cal Energy, telah membeli jaminan risiko dari OPIC. Akibat penundaan kedua proyek itu OPIC terpaksa membayar jaminan risiko kepada Cal Energy. Pada gilirannya, OPIC menuntut Indonesia membayar kompensasi atas penundaan itu. Sebuah panel arbitrasi internasional memerintahkan Indonesia membayar OPIC sebesar US$ 260 juta dan US$ 140 juta kepada bank-bank pemberi kredit Cal Energy yaitu, Credit Suisse, First Boston, BNP Paribas, dan MBIA Insurance Corporation.
Kuat dugaan bahwa kesepakatan pembelian tenaga listrik antara PLN dan perusahaan-perusahaan listrik swasta seperti Cal Energy telah di "marked up" selama era Suharto.
(Sumber: Petromindo, 4, 13 dan 14 Agustus, 2001; Majalah Tempo, 7-13 Agustus, 2001 dan 28 Agustus – 3 September , 2001).
Bank Dunia Biayai Proyek Jalan di Kalimantan Tengah
Sebuah proyek jalan di Kalimantan Tengah sedang dibangun dengan pinjaman Bank Dunia sebesar Rp 100 milyar (sekitar US$ 11 juta). Proyek yang dimulai pada akhir tahun 2000 ini akan mempersingkat waktu perjalanan dari Palangkaraya ke Banjarmasin, dari 5 jam menjadi 3,5 jam. Proyek ini telah selesai 50%.
Gubernur Kalimantan Tengah, Asmawi Agani, yakin bahwa proyek ini akan menggenjot pembangunan ekonomi di Kalimantan Tengah. Ia mengatakan bahwa Pemda juga sedang mencari dana untuk membuka akses ke daerah-daerah terpencil.
(Sumber: Kompas, 27 Agustus, 2001).
Pertemuan Tahunan 2001 Bank Dunia/IMF Dibatalkan
Pada 17 September 2001 Bank Dunia dan IMF memutuskan untuk membatalkan Pertemuan Tahunan Bank Dunia/IMF yang dijadwalkan pada 29-30 September 2001 di Washington, DC. Keputusan itu diambil berkaitan dengan serangan terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001. Presiden Bank Dunia, James Wolfensohn dan Managing Director IMF Horst Köhler menyatakan dalam keterangan pers bahwa keputusan itu diambil sebagai ungkapan duka mendalam dan simpati kepada para sanak keluarga korban tragedi 11 September, dan agar para aparat penegak hukum dapat lebih berkonsentrasi dalam menjalankan tugas yang lebih mendesak dalam situasi krisis ini.
Sebagian besar acara dan kegiatan yang telah diatur oleh berbagai kelompok masyarakat menjelang Pertemuan Tahunan tersebut juga dibatalkan. Beberapa acara kuliah umum akan tetap dilangsungkan. Sejumlah penyelenggara acara ada yang mengubah kegiatan dengan tema seputar aksi yang ditempuh pemerintah AS. Update kegiatan dapat dilihat di situs web Bank Information Center http://www.bicusa.org
Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda. Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa