Switch to English |
Bank Dunia menerbitkan laporan khusus pada hari Senin 1 Oktober 2001 mengenai dampak ekonomi dan sosial dari serangan teroris 11 September 2001. Serangan terhadap AS mengakibatkan semakin tersendatnya laju perekonomian di AS, Jepang dan Eropa serta sangat memukul pertumbuhan ekonomi di negara berkembang seluruh dunia. Sebagai akibat dari serangan tersebut, Bank Dunia memperkirakan antara 20.000 dan 40.000 lebih anak di penjuru dunia akan meninggal dunia dan sekitar 10 juta orang akan terpuruk dibawah garis kemiskinan berupah satu dolar AS sehari.
Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) enggan memprediksikan secara kuantitatif bagaimana pertumbuhan akan terpengaruh oleh serangan tersebut, laporan Bank Dunia menyodorkan gambaran rinci dan suram tentang dampak ekonomi dan anjloknya arus modal swasta. Pertumbuhan negara-negara OECD, yang pada awalnya diproyeksikan pada angka 1,1% tahun ini dan 2,2% tahun depan, terpangkas menjadi 0,75% dan 1,25%. Laporan tersebut memperkirakan bisnis akan pulih kembali pada pertengahan tahun 2002.
Solusi Presiden Bank Dunia, Wolfensohn, untuk proyeksi yang kelabu ini adalah dukungan keuangan yang lebih besar dari sumber-sumber bilateral dan multilateral, seperti dari pemerintah dan lembaga internasional. Ia menyebutkan beberapa strategi untuk menanggulangi dampak serangan, yaitu: menambah bantuan internasional dari USD 10 milyar menjadi USD 20 milyar per tahun, hingga mencapai jumlah total USD 100 milyar ekstra dalam beberapa tahun kedepan; pembukaan jalur perdagangan bagi negara-negara berkembang; melanjutkan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal; dan membangun konsensus sosial untuk melanjutkan reformasi. Lebih jauh ia menyebutkan bahwa di negara-negara miskin juga dibutuhkan keadilan sosial dan stabilitas politik yang lebih besar.
Bank Dunia tidak memerinci judul laporan tersebut. Dinyatakan bahwa laporan tersebut merupakan assesmen ekonomi pendahuluan dan masih akan dilanjutkan.
(Sumber: International Herald Tribune, 1 Oktober, 2001; World Bank News Release no. 2002/093/S, 1 Oktober, 2001)
Dana Bank Dunia dan IMF Digunakan untuk Mendukung Agenda Politik Amerika Serikat
Perang melawan terorisme dilancarkan oleh Pemerintahan Bush dan didukung oleh kelompok tujuh negara industri besar (G7), yang juga adalah pemegang saham utama dalam Bank Dunia dan IMF. Kemungkinan besar kelompok G7 ini akan menggunakan pengaruh mereka untuk menyalurkan pinjaman lunak bernilai milyaran dolar kepada negara-negara yang penting secara strategis, seperti Pakistan. Banyak staf Bank Dunia dan IMF percaya bahwa kali ini sasaran kebijakan luar negeri AS akan menjadi lebih penting dibandingkan masalah-masalah ekonomi dalam menentukan cara dan tujuan penyaluran dana.
Situasi seperti ini pernah dialami Bank Dunia dan IMF. Contohnya kasus Zaire, dimana Bank Dunia dan IMF memberikan sembilan paket pinjaman penyesuaian kepada rejim Mobutu Sese Seko yang dikenal korup. Seperti yang telah dijadwalkan, pada tanggal 29 September 2001 Dewan IMF menyetujui pinjaman senilai USD 135 juta untuk Pakistan. Pinjaman ini adalah kucuran terakhr dari paket satu tahun pinjaman penyesuaian sebesar USD 600 juta. Pejabat IMF bersikeras bahwa keputusan mereka dapat sepenuhnya dibenarkan karena Islamabad telah memenuhi sebagian besar persyaratan yang terkait dengan pinjaman. Padahal, seorang pejabat senior IMF mengatakan bahwa walaupun Pemerintah Pakistan telah memenuhi banyak janjinya, ada juga yang tidak berhasil dilaksanakan, seperti penarikan pajak. Menurut sumber tersebut, hal tersebut menyebabkan peluang untuk memperoleh persetujuan dari Dewan hanya 50:50, sebelum serangan 11 September.
Sejumlah analis yang sangat memahami kasus Indonesia telah meramalkan bahwa Indonesia juga akan memperoleh kemudahan untuk mendapatkan pinjaman Bank Dunia dan IMF, serta penjadwalan ulang dan pengurangan utang dalam waktu dekat. Komunitas Muslim terbesar di dunia ada di Indonesia, sementara itu Washington membutuhkan dukungan Jakarta untuk memerangi terorisme.
(Sumber: Washington Post, 30 September, 2001; Reuters, 21 September, 2001)
Bank Dunia akan Mempermudah Indonesia Memperoleh Kredit-tanpa-Bunga
Dalam pertemuan antara Megawati dan Bank Dunia yang berlangsung ketika Presiden Indonesia berkunjung ke AS September 2001, Bank Dunia mengungkapkan kemungkinan untuk menambah akses Indonesia memperoleh International Development Assistance (IDA). IDA atau Bantuan Pembangunan Internasional adalah badan anggota Bank Dunia yang menyediakan pinjaman tanpa bunga kepada negara berkembang, dengan tenggang waktu lebih panjang dan masa pembayaran cicilan selama 35 tahun.
Indonesia telah mendapat akses sementara untuk memperoleh dana tersebut sejak dihantam krisis ekonomi. Namun demikian, Bank Dunia ragu-ragu untuk melanjutkan pemberian kemudahan tersebut kepada Indonesia, karena dianggap perekonomian Indonesia lebih baik dibandingkan misalnya negara-negara di Afrika atau Asia Selatan. Beberapa pihak mengritik pendapat tersebut dan menyatakan bahwa Indonesia seharusnya memperoleh akses lebih besar untuk mendapat bantuan tersebut karena pendapatan per kapitanya yang rendah sudah memenuhi kriteria IDA. Akan tetapi, pemerintah Indonesia juga tampak enggan untuk menindak lanjuti peluang ini, terutama karena masalah reputasi sebagai penerima IDA. Penerima bantuan IDA adalah negara-negara yang paling miskin dengan kapasitas ekonomi yang terendah di dunia. Predikat semacam itu dianggap tidak menarik bagi investor asing.
Karena biasanya dana IDA terkait dengan persyaratan yang lebih ketat dibandingkan dengan bantuan IBRD, Indonesia mungkin perlu bekerja lebih keras dalam sektor pemerintahan, termasuk menanggulangi masalah korupsi. Pemerintahan Megawati tidak memiliki reputasi yang kuat dalam bidang ini. Keputusan Megawati baru-baru ini untuk mengangkat Jaksa Agung bukan dari kalangan reformis menunjukkan kurangnya komitmen untuk menanggulangi korupsi yang merajalela dan masalah dalam sistem peradilan. Pukulan telak lainnya untuk Megawati adalah keputusan Mahkamah Agung untuk membebaskan Tommy Suharto dari tuduhan dan hukuman penjara. Sampai hari ini Tommy Suharto masih buron.
Dikhawatirkan dana tambahan yang mudah dan bersyarat ringan yang akan diterima Megawati dari IDA hanya akan langsung masuk ke kocek pejabat yang korup sebagaimana rejim sebelumnya.
(Sumber: Reuters, 21 September, 2001; INFID Position on CGI Meeting 6-7 November, 2001; AFP, 2 Oktober, 2001; Australian Financial Review, 3 Oktober, 2001)
Pertemuan Klub Paris Ditunda karena Serangan 11 September
Negara-negara kreditur Klub Paris dijadwalkan bertemu di Paris pada pertengahan September 2001. Tetapi serangan 11 September telah membuat pertemuan tersebut tertunda hingga waktu yang belum ditentukan. Pertemuan Klub Paris sedianya akan mensyahkan penjadwalan utang sebesar USD 2,8 milyar yang jatuh tempo pada Maret 2002.
Perwakilan IMF di Indonesia, David C.L. Nellor, mengakui bahwa penundaan pertemuan tersebut menimbulkan ketidakpastian. Selain itu, dikhawatirkan perekenomian AS - pasar ekspor terbesar Indonesia - akan semakin terpuruk sebagai akibat serangan 11 September. Kedua hal ini semakin membebani Rupiah yang rentan. Nilai Rupiah terakhir terhadap dolar AS turun 10% dibandingkan sebelum 11 September.
(Sumber: The Jakarta Post, 21 September, 2001)
INFID Mengeluarkan Kertas Posisi untuk Pertemuan CGI November 7-8, 2001
Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) akan berjumpa di Jakarta pada 7-8 November 2001. Rincian agenda pertemuan belum tersedia untuk publik. INFID (Forum Ornop Internasional untuk Pembangunan Indonesia) merupakan organisasi payung beranggotakan sekitar 100 ornop Indonesia dan non-Indonesia dan menekuni isu pembangunan di Indonesia. Mereka menerbitkan dokumen pernyataan sikap terhadap pertemuan CGI mendatang. Rekomendasi mereka yang tertuang dalam dokumen tersebut antara lain:
(Sumber: INFID Position on CGI Meeting 6-7 November 2001: Reform the CGI, Cancel the New Order Debt, Reform the Military)
Kontak: Wiwit Siswarini di INFID wewith@nusa.or.id
Program "Kota Bebas Kumuh" yang disponsori Bank Dunia Disalahartikan oleh Pemerintah Daerah
Konsorsium Kemiskinan Perkotaan (UPC) yang berbasis di Jakarta melancarkan protes terhadap penyalahartian program penanggulangan kemiskinan yang diprakarsai oleh Bank Dunia dan PBB. Pemerintahan daerah di Indonesia menggunakan program "Kota bebas Kumuh" sebagai mandat untuk menggusur kaum miskin dari kota. Wardah Hafidz dari UPC mengatakan bahwa petugas TamTib menggunakan kekerasan saat menggusur pengemudi becak dan pedagang kaki-lima baru-baru ini. Meskipun mendapat kecaman pedas dari UPC dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, Gubernur Jakarta Sutiyoso bersikeras akan melanjutkan operasi untuk menjaga ketertiban kota.
Protes UPC tersebut dilangsungkan di gedung Bank Dunia di Jakarta. Menanggapi protes tersebut, Vikram Nehru, Pejabat Direktur Bank Dunia di Indonesia, berjanji untuk memberitahukan Bank Dunia dan markas besar PBB tentang masalah tersebut.
(Sumber: Jakarta Post, 2 Oktober 2001)
Strategi Pinjaman ADB Baru untuk Indonesia
ADB siap memberikan pinjaman antara USD 600 juta hingga USD 1,2 milyar per tahun kepada Indonesia hingga tiga tahun kedepan. Agar dapat menerima jumlah pinjaman yang paling tinggi, Indonesia perlu memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(Sumber: ADB Review, Juli-September 2001)
Korban Waduk Kedung Ombo Menunda Tenggat Waktu Pengosongan Waduk
Sekitar 5000 warga yang tergusur proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia tinggal menunggu komando untuk mengosongkan waduk jika tuntutan mereka kepada Pemda Jawa Tengah tidak dipenuhi. Namun demikian, mereka setuju untuk memperpanjang tenggat waktu untuk menghindari dampak merugikan bagi masyarakat di kawasan Kudus, Grobogan dan Pati, yang bakal terkena aliran dari waduk. Kelompok masyarakat tersebut akan terkena banjir mendadak jika waduk dijebol. Sejumlah masyarakat yang tergusur sekarang sedang bersama-sama menyusun rencana untuk mengosongkan waduk dengan aman. Tim tersebut juga melibatkan ahli dibidang konstruksi dan teknologi waduk.
Masyarakat yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut. Selain itu Pemda menyatakan bahwa mereka sedang menjalankan program kesejahteraan yang meliputi perbaikan prasarana, seperti jembatan, jalan, sekolah dan pemberian bibit tanaman.
Waduk tersebut dibangun pada tahun 1987 dengan dana pinjaman sebesar USD 156 juta dari Bank Dunia dan USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang. Masalah akuisisi tanah dan pemberian ganti rugi tidak pernah tuntas benar. Masyarakat yang tergusur mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.
(Sumber: Koran Tempo, 10 September 2001)
Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda. Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa