Switch to English |
Pada 9-11 Maret 2004 di Lisbon (Portugal), sejumlah 31 perwakilan negara donor Asian Development Fund (ADF), 4 negara peminjam, Presiden BPA (Bank Pembangunan Asia) Cina, 3 wakil presiden BPA, anggota Badan Direksi BPA (Board of Directors), bertemu untuk mendiskusikan kelanjutan ADF IX yang merupakan kumpulan negara-negara donor bagi BPA.
Pertemuan ADF di Lisbon ini membahas kebijakan BPA yang mencakup (1) penggunaan sumber daya ADF IX, (2) hibah dalam ADF, (3) mendorong efektivitas kebijakan Pengelolaan Hasil-Hasil Pembangunan(Managing for Development Results) yang dimaksudkan untuk menilai keberhasilan proyek-proyek BPA, (4) penguatan kebijakan dan implementasi kerangka Efektifitas Alokasi Dana berbasis Kinerja (Performance-Based Allocation PBA) yang bertujuan untuk mengefisienkan sumber daya ADF pada negara dan program yang tepat, dan (5) meninjau inisiatif dan tantangan dalam mencapai target Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals -MDG) khususnya melalui Strategi Pengurangan Kemiskinan. Dalam hal ini, negara donor ADF meminta agar BPA dapat menyelaraskan kebijakannya dengan institusi pembangunan multilateral lainnya, seperti Bank Dunia. Untuk itu, inisiatif partisipasi, transparansi, pertanggungjawaban, dan kerangka kerjasama tripartit antara pemerintah-BPA -masyarakat sipil menjadi isu yang tetap dibicarakan.
Terhadap isu-isu tersebut, perwakilan anggota BPA dan masyarakat sipil melihat masih adanya kelemahan-kelemahan dalam masing-masing kebijakan tersebut walaupun keduanya melihat dari perspektif yang berbeda. Secara umum perwakilan anggota BPA melihat perlunya peningkatan kapasitas internal dalam badan BPA untuk dapat mengelola pembangunan di negara-negara anggota khususnya dalam menyusun, melaksanakan, dan memonitor Strategi Pengurangan Kemiskinan. Selain itu, kebijakan PBA dinilai masih lemah dan perlu perbaikan dalam hal implementasi, metodologi, dan penyusunan indikator serta pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas kondisi khusus. Sementara itu, masyarakat sipil melihat bahwa sistem PBA ini selain sulit dilaksanakan juga mengundang peluang manipulasi data. Untuk itu, perlu adanya perluasan pelibatan pemerintah dan masyarakat sipil dalam penentuan indikator dan pemantauan keberhasilan pembangunan.
Berkaitan dengan isu hibah dana ADF, masyarakat sipil menginginkan adanya pertambahan jumlah dana yang dialokasikan oleh BPA untuk membiayai proyek dan program Ornop serta langsung diberikan kepada Ornop. Dalam kerangka kerjasama tripartit, BPA dinilai telah mengalami kemajuan untuk mengadakan konsultasi dengan masyarakat sipil dan diharapkan akan memperluas kerjasama dengan melibatkan serikat buruh, asosiasi professional, kelompok masyarakat, dan pihak swasta. Selain itu, masyarakat sipil menginginkan adanya keberlanjutan dukungan finansial dan institusional dari BPA sehingga kerjasama tripartit dapat terus berlanjut setelah periode 2003-2005. BPA juga diminta untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja masyarakat sipil dan Ornop di tingkat nasional dan regional.
Di luar itu, komentar dari masyarakat sipil juga dihimpun oleh Bank Information Center (www.bicusa.org) bersama dengan Center for Organisation Research and Education (CORE-India), Forum Ornop mengenai BPA (NGO Forum on ADB), Environmental Defense, Oxfam Community Aid Abroad (Australia) yang mengirimkan proposal berisi usulan reformasi kebijakan BPA dalam Negosiasi ADF IX. Proposal tersebut berisi rumusan masalah, contoh kasus, dan usulan kebijakan yang mencakup lima isu utama yaiktu, pertanggungjawaban, korupsi, kehutanan, pengurangan kemiskinan, dan transparansi (dokumen lengkap dapat dilihat pada www.bicusa.org/bicusa/issues/spotlight/1367.php). Tidak ada isu yang terkait langsung dengan Indonesia yang dibicarakan secara khusus dalam forum ini.
Akhirnya, dalam pertemuan tahunan BPA di Jeju (Korea), Mei 2004, disepakati bahwa ADF IX akan mendanai kegiatan BPA selama periode 2005-2008, termasuk di dalamnya skema hibah (21%). Total dana yang akan disediakan sebesar US$ 7 miliar dari 28 negara donor. Dana ini lebih besar dari ADF VIII sejumlah US$ 5,65 miliar untuk tahun 2001-2004. Dana tersebut terutama ditujukan untuk mencapai tujuan pengurangan kemiskinan di Asia Pasifik. Melalui ADF dibuat skema-skema pinjaman konsesi bagi negara-negara dengan GNP/kapita rendah dan memiliki keterbatasan kapasitas dalam membayar utang.
Jepang merupakan donor ADF terbesar sebesar US$ 1,18 triliun; Amerika Serikat US$ 461 juta; Australia US$ 218 juta; Inggris US$ 202 juta; Korea US$ 113 juta; Cina US$ 30 juta. Pada ADF IX ini, Malaysia memberikan kontribusinya untuk pertama kali. Di luar ADF Pemerintah Kanada memberikan US$ 750.000 untuk mendukung kebijakan “Managing for Development Results” dalam rangka pengurangan kemiskinan.
Sumber:
www.adb.org/ADF
www.forum-adb.org
http://www.mb.com.ph/BSNS200405169615.html
http://www.adb.org/Media/Articles/2004/4851_Canada_cooperation_fund_for_development_results_management/default.asp
http://www.gm-unccd.org/FIELD/Multi/ADB/DF.htm
ADB dan Kinerja di Indonesia
Setelah pertemuan ADF, pada tanggal 15-17 Mei 2004 di Jeju (Republik Korea) diadakan pertemuan tahunan BPA ke-37. Isu yang diangkat dalam pertemuan ini adalah mendorong transparansi, partisipasi, dan pertanggungjawaban dalam kaitan dengan Strategi Pengurangan Kemiskinan di Asia Pasifik. Di sisi lain ada berbagai tanggapan negatif mengenai keberadaan proyek-proyek BPA yang justru menciptakan kemiskinan di Asia Pasifik. Isu ini pula yang diangkat oleh sejumlah Ornop yang dimotori Forum Ornop mengenai BPA (NGO Forum on ADB) dalam “undangan boikot” terhadap pertemuan Jeju 2004 (lihat http://www.forum-adb.org/global%20campaign%20month/boycott_statement_campmonth.htm). Dalam pernyataan ini, Ornop melihat bahwa proyek infrastruktur besar, kebijakan investasi yang mengundang rent seeking, dan privatisasi air dan sumber daya energi lebih diprioritaskan untuk kepentingan perusahaan, keuangan, dan elite tertentu daripada untuk memperbaiki kehidupan masyarakat miskin. Dari Indonesia Ornop yang ikut menandatangi surat ini adalah INFID, Debt Watch Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, dan Yayasan Duta Awan.
Sebagai tanggapan terhadap isu ini INFID dan Debt Watch Indonesia mendistribusikan laporan evaluasi operasi BPA yang disusun oleh Stephanie Fried dari organisasi Environmental Defense di Hawaii yang mengatakan bahwa 70% dana BPA di Indonesia tidak menghasilkan manfaat sosial ekonomi yang berkelanjutan. Padahal, sejak tahun 1968, BPA telah menyalurkan dananya ke Indonesia sebesar US$ 16 miliar untuk sekitar 260 proyek. Komisi Penasihat Lembaga Keuangan International Amerika Serikat juga mengatakan bahwa keberlanjutan merupakan sebuah indikator yang lebih penting dipakai untuk menilai keberhasilan proyek dibandingkan indikator “generally successful” (berhasil secara umum) yang digunakan BPA atau “successful outcomes” (hasil yang baik) yang digunakan Bank Dunia. Laporan ini juga mengikutsertakan empat contoh kasus yang memperlihatkan bagaimana proyek yang dianggap “generally successful” (berhasil secara umum), “partially successful” (berhasil sebagian) dan “unsuccessful” (tidak berhasil) ternyata sama-sama tidak memberikan manfaat keberlanjutan bahkan ada yang mengakibatkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat adat. Keempat contoh kasus gagal tersebut adalah (1) proyek pengembangan pertanian berupa pembangunan irigasi di Nusa Tenggara yang mengakibatkan relokasi 1.000 keluarga dan hilangnya kesuburan tanah, (2) program sektor tanaman pangan yang dananya digunakan untuk membeli bahan baku industri tekstil, (3) proyek kesehatan dan pendidikan di 4 propinsi yang dinilai tidak menghasilkan peningkatan pelayanan kesehatan, dan (4) proyek kredit untuk agroindustri dengan tingkat kemacetan kredit 90%.
Sumber:
http://www.forum-adb.org
The Jakarta Post 19 Mei 2004
Laporan lebih lanjut mengenai evaluasi BPA yang dilakukan oleh Stephanie Fried dapat diakses di: http://www.environmentaldefense.org/documents/2467_EvaluatingADBIndonesia.pdf
Lihat juga factsheet DTE mengenai BPA (No.34).
Kontroversi UU SDA dan Kebijakan Air ADB
Pada tanggal 19 Februari 2004, DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) yang isinya masih mengundang kontroversi di antara berbagai kalangan, terutama antara pemerintah dan DPR dengan masyarakat sipil yang terutama diwakili oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air. Dalam kasus Indonesia, Bank Dunia memiliki peran utama di dalam mendorong perubahan kebijakan atas air ini sebagai bagian dari program persyaratan pinjaman sektor air (Water Resources Sector Adjustment Loan) senilai US$300 juta yang disepakati pada 29 Mei 1999. Menurut Bank Dunia, air yang diperoleh masyarakat dari berbagai sumber (air tanah dan air permukaan) dengan harga murah atau tanpa biaya adalah tidak efisien dan mengancam keberlanjutan. Oleh karena itu, harga air harus mengikuti mekanisme pasar agar tujuan konservasi tercapai.
Sejumlah klausul yang mengundang kontroversi antara lain yang membuka peluang privatisasi, ekspor air, dan mengancam posisi petani sebagai pemakai air irigasi. Nila Ardhiani, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air menunjuk klausul perdagangan air berkaitan dengan proyek ekspor air ke Singapura sebesar 4.546.100 m3/hari selama 100 tahun dari Riau mulai 2005 melalui pipa bawah laut.
Pasca pengesahan UU SDA, pemerintah akan membentuk Dewan Sumber Daya Air di tingkat nasional dan daerah dengan keputusan presiden tahun depan. Dewan tersebut beranggotakan unsur pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat. Saat ini pemerintah tengah menyiapkan sekitar delapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang harus selesai dalam jangka satu tahun, sambil mensosialisasikan UU SDA kepada masyarakat. Delapan PP yang akan disusun pemerintah yaitu PP tentang Pengelolaan Air, Hak Guna Air, Air Minum, Air Tanah, Irigasi, Sungai, Danau dan Waduk, serta PP tentang Pembiayaan. PP ini nantinya akan berisi penjabaran dan langkah lanjut dari UU Sumber Daya Air (SDA). Soenarno (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah) menandaskan bahwa jika pemerintah tidak mengikutsertakan swasta melakukan usaha hak atas air, maka pemerintah dinilai menyimpang dari Undang-Undang Usaha. Untuk itu, pemerintah tetap mengarahkan pada keterlibatan sektor BUMN, BUMD, koperasi, dan swasta.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil, seperti Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Koalisi Anti Utang dan LBH Kesehatan, melihat bahwa UU SDA membuka peluang komersialisasi air melalui privatisasi. Sementara itu Rosyid Hidayat dari Fraksi Reformasi DPR menafsirkan bahwa koperasi dan masyarakat juga diberi peluang untuk mengembangkan sistem penyediaan air minum dan hanya kawasan-kawasan tertentu saja yang akan diatur dan diawasi oleh pemerintah. Rosyid melihat bahwa peluang privatisasi dapat dicegah jika masyarakat mengawal pembahasan Peraturan Pemerintah yang akan menyertai pelaksanaan UU SDA tersebut.
Mulyanto seorang pakar lingkungan menegaskan bahwa pengelolaan air ternyata sudah menjadi target perusahaan besar pada KTT Bumi di Johanesburg (Afrika Selatan) tahun 2003 yang sangat jelas bertentangan dengan hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (Brazil) tahun 1992 yang menempatkan air pada posisi yang aman dari sentuhan privatisasi.
Menurut Raja Siregar dari Koalisi Anti Utang, jika kita menggunakan prinsip ADB bahwa air harus dikelola oleh mereka yang dapat memanfaatkan air secara maksimal, maka dapat diperkirakan akan terjadi ancaman terhadap keberlanjutan sektor pertanian khususnya padi yang merupakan makanan pokok masyarakat Asia dan merupakan simbol kedaulatan pangan.
Dalam waktu yang berdekatan, ADB mengundang Ornop dan pihak lain untuk memberikan masukan terhadap kebijakan baru ADB di bidang sumber daya air yang dapat dilihat pada http://www.adb.org/Water/Policy/proposed_revision.asp. Berdasarkan tinjauan sementara 2003, Komite Sektor Air ADB mengusulkan adanya revisi terhadap kebijakan untuk proyek mega sumber daya air berikutnya. Sesuai dengan mekanisme pertanggungjawaban ADB yang baru, revisi kebijakan ini harus dikonsultasikan kepada publik. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya ADB untuk mendorong partisipasi pemerintah, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan (stakeholder) lain. Bagaimana kalangan Ornop menanggapi hal ini, dapat dilihat dari komentar yang masuk dan dipublikasi pada alamat di bawah ini. Komentar paling lambat diterima tanggal 30 Juni 2004. Komentar dialamatkan dan dapat dibaca pada http://www.adb.org/Water/Policy/comments_policy_revision.asp atau menghubungi Graham Dwyer, Email: gdwyer@adb.org
Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/03/24/Lingkung/lh03.htm
The Jakarta Post 17 Februari 2004
http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2004/03/19/brk,20040319-21,id.html
http://www.kau.or.id/articles.php?lng=en&pg=50
http://www.kau.or.id/articles.php?lng=en&pg=94
http://www.adb.org/Media/Articles/2004/4957_Regional_Feedback_on_water_policy/default.asp
IMF: Kinerja Indonesia Pasca Program IMF
Selama 24 Februari-5 Maret 2004, tim IMF yang dipimpin Daniel Citrin melakukan diskusi dengan pemerintah Indonesia berkaitan dengan Monitoring Pasca Program (Post-Program Monitoring-PPM) IMF di Jakarta. Pertemuan ini bertujuan melakukan tinjauan terhadap perkembangan ekonomi Indonesia dan membuat rekomendasi berupa prioritas kebijakan untuk periode berikutnya.
IMF menilai bahwa pemerintah Indonesia menunjukkan kemajuan dalam pelaksanaan program reformasi ekonomi seperti yang disepakati dalam White Paper 2003 dengan adanya stabilitas ekonomi makro, antara lain dengan stabilitas inflasi sebesar 5%. IMF mendukung upaya pemerintah untuk meneruskan konsolidasi fiskal sehingga tercapai pengurangan defisit anggaran dari 2,1% tahun 2003 menjadi 1,3% tahun 2004. IMF juga memperkirakan Indonesia dapat meningkatkan angka pertumbuhan sampai 4,8%.
Prioritas kebijakan yang disarankan IMF adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Dan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro serta melanjutkan reformasi sektor finansial, kebijakan harus dikonsentrasikan untuk mengatasi kelemahan dalam sistem perpajakan dan regulasi, meningkatkan fleksibilitas kebijakan perburuhan, dan memperhatikan isu-isu hukum yang mendasar. Kalangan bisnis sendiri menilai bahwa reformasi di bidang hukum dan perpajakan sangat lambat kemajuannya. IMF menilai bahwa kegagalan untuk membuat kemajuan yang berarti dalam reformasi perpajakan, pelayanan, dan kebijakan perburuhan dapat mengakibatkan penundaan masuknya investor asing yang ingin kembali menanamkan modalnya di Indonesia.
Temuan dan rekomendasi IMF yang dihasilkan melalui tinjauan kebijakan dan diskusi dengan pemerintah Indonesia ini masih cukup besar mempengaruhi kepercayaan pasar dan kredibilitas pemerintah yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sumber:
http://www.infid.be/imf_buoyed.htm
The Jakarta Post, 10 Maret 2004
http://www.imf.org/external/np/sec/pr/2004/pr0450.htm Press Release No. 04/50
9 Maret 2004
Hibah Jepang Untuk Banjir dan Kekurangan Pangan
Sebagai bagian dari komitmen untuk mendukung pengurangan kemiskinan di Indonesia, Pemerintah Jepang memberikan dana hibah sejumlah ¥ 935 juta (sekitar US$. 8,5 juta atau Rp. 72,0 milyar) khusus untuk menanggulangi masalah kekurangan pangan, meningkatkan mata pencaharian dan kondisi kesehatan bagi mereka yang tinggal di kawasan rawan banjir. Kesepakatan ini telah ditandangani oleh Duta Besar Jepang Yutaka Iimura dan Sekretaris Jendral Departemen Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat di Jakarta pada tanggal 19 Maret 2004.
Secara rinci, dana tersebut terbagi atas:
Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda. Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa