English |
Jakarta (25/9) – Perubahan iklim merupakan salah satu agenda global yang mendesak dan menuntut komitmen negara-negara industri untuk diselesaikan. Tahapan pertemuan penting berikutnya adalah Bangkok Intersessional Meetings on Climate Change, yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 September – 9 October 2009. Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia untuk keadilan Iklim (CSF) prihatin dengan hasil-hasil perundingan sebelumnya dan mengkhawatirkan pertemuan kali ini masih sebatas perundingan bisnis antara negara pemilik limbah emisi (polluter) dengan negara pembeli limbah (buyer) dan bukan pada upaya menemukan solusi menghadapi bencana pemanasan global
CSF mengamati komitmen negara-negara industri (Annex 1) dari perundingan ke perundingan sangat melemah. Ini terlihat dari keengganan mereka untuk bertanggung jawab secara utuh, baik dalam upaya mengurangi emisi domestik maupun komitmen untuk memberikan dukungan dana adaptasi bagi negara-negara berkembang. Celakanya, desakan negara-negara berkembang juga tak begitu kuat, sehingga ber-implikasi dan memberikan kesempatan kepada negara-negara Annex 1 untuk menghindar dari kewajiban menurunkan emisi sesuai dengan prinsip Common but Differentiated Responsibility.
Di sisi lain jika mencermati hasil dokumen Ad Hoc Working Group on Longterm Cooperative Action (AWG LCA) pada pertemuan Climate Change Talk II di Bonn Jerman, bulan Juni lalu, tampak sangat kuat dengan pendekatan pasar. CSF menemukan upaya mitigasi perubahan iklim khususnya di sector LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry) telah dimonopoli oleh transaksi jual beli karbon dan melupakan target pengurangan emisi domestik negara-negara Annex I. Situasi ini cepat atau lambat akan membuat hutan alam Indonesia yang tersisa hanya akan menjadi amunisi tambahan bagi konflik tenurial yang masih terus berlangsung dan tak pernah diselesaikan.
Sayangnya pemerintah Indonesia juga tak bijak dalam menyikapi situasi yang ada. Komitmen untuk mereduksi emisi dengan menghentikan laju deforestasi dan degradasi lahan (REDD) hanya merupakan cek kosong dalam negosiasi perubahan ikilim. Pemerintah tak banyak melakukan perubahan dan perbaikan dalam tata kelola di sector kehutanan.
Kebijakan yang melanggengkan konversi hutan alam yang tersisa terus diamini, seperti rencana pengembangan program Kemitraan HTI di hutan alam dengan target 50% dari jumlah izin dan mengesahkan 20 izin Rencana Kerja Tahunan di atas hutan alam untuk memasok keberlangsungan industri bubur kertas di Riau. Pemerintah sampai hari ini juga tak pernah berniat untuk mengakui secara tegas keberadaan hak dan ruang kelola masyarakat adat atas hutan/ lahan, alih-alih menyatakan REDD sebagai bentuk pengakuan tersebut.
Sementara Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) perannya sungguh memprihatinkan, karena tak berani mengoreksi komitmen pemerintahan SBY terhadap perubahan iklim. Salah satunya dengan mendesak adanya tindakan nyata pemerintah untuk membereskan berbagai kebijakan yang tumpang tindih antar departemen.
Berdasarkan situasi di atas, CSF bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya di seluruh dunia akan terus mengawasi proses perundingan yang akan berlangsung dan terus menuntut keadilan iklim bagi penghuni bumi. Untuk itu CSF menyerukan kepada seluruh delegasi resmi pemerintah di dunia untuk tidak menenggelamkan keadilan iklim di meja negosiasi dan meminta dengan tegas kepada para pemimpin negara Annex 1 untuk sesegera mungkin mewujudkan komitmennya menurunkan emisi domestik sebesar 40 persen pada tahun 2020 dan tindakan ini harus dilakukan tanpa mekanisme offset. Dukungan dana adaptasi yang diberikan juga harus dalam bentuk hibah bukan utang, serta wajib mendukung sepenuhnya program pengembangan energi bersih (angin, solar cell, mikrohidro) berbasis komunitas di negara-negara berkembang.
Kontak person :
Catatan editor :