Reformasi, Petani dan Aksi Buka Lahan

Down to Earth Nr 48  Februari 2001

Tegal Buleud adalah sebuah kecamatan yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibutuhkan waktu kurang lebih lima sampai enam jam bagi siapa saja untuk mencapai wilayah tersebut yang berjarak 127 km dari pusat administrasi kabupaten di kota Sukabumi. Secara geografis, Kecamatan Tegal Buleud berbatasan langsung dengan laut Samudra Indonesia di sebelah selatan, ke arah timur berbatasan dengan kapubaten Cianjur dan berbatasan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Sukabumi seperti Kecamatan Jampang Kulon dan Kecamatan Segaranten di sebelah barat dan utara.

Luas wilayah kecamatan meliputi 15.054,43 ha dengan jumlah penduduk berdasarkan registrasi akhir pada tahun 1998 berjumlah sekitar 9.138 keluarga atau 29.259 jiwa. Wilayah ini mulai dihuni orang memasuki akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an pada saat pemerintah mengusulkan agar wilayah ini dibuka kembali menjadi wilayah pertanian dan menjadi desa yang dapat dihuni oleh para penduduknya melalui program transmigrasi lokal. Sejak tahun 1960, gelombang penduduk terus mengalir dengan adanya tawaran pembagian tanah bagi setiap orang. Setelah gelombang pertama dari para transmigran lokal, gelombang kedua dilakukan oleh mereka yang masuk dalam program transmigrasi sukarela. Program transmigrasi sukarela ini melibatkan tidak hanya penduduk yang berasal dari wilayah-wilayah di kabupaten Sukabumi atau propinsi Jawa Barat semata, tetapi juga penduduk yang berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Kebanyakan dari mereka sekarang ini tinggal di desa Calingcing yang terletak dalam perbatasan antara kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur.

Selain melalui program transmigrasi, penduduk yang datang ke desa tersebut juga terdiri dari orang-orang yang berstatus guntai. Sebelumnya mereka telah membuka lahan dengang mengolah ladang dan sawah tadah hujan yang hanya dikunjungi saat musim penanaman dan panen. Dengan adanya larangan pemilikan tanah guntai setelah berlakunya UUPA No. 5 Th. 1960, mereka kemudian pindah menjadi penduduk tetap di desa Tegalbuleud pada saat itu. Proses kedatangan penduduk dengan tawaran pembagian tanah baru berhenti pada tahun 1972 ketika seluruh tanah Guna Garap (GG) di desa tersebut telah habis dibagikan.

 

Agraria, Krisis dan Kemiskinan

Pertanian adalah kegiatan utama mayoritas penduduk Tegalbuleud. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama di samping berbagai aktivitas lainnya di luar pertanian seperti birokrasi, pendidikan, perdagangan dan jasa transportasi dan lainnya. Areal pertanian membentang seluas 1.576 ha di kecamatan tersebut yang terdiri dari 729 ha lahan sawah irigasi non-PU dan 847 ha lahan sawah tadah hujan. Pada musim penghujan, pertanian menyerap sebagian besar tenaga kerja produktif yang ada di desa tersebut. Hal ini berkaitan dengan sistem pertanian sawah tadah hujan yang mengandalkan sistem irigasi tradisional yang menghasilkan dua kali musim panen dalam satu tahun.

Ketika musim penghujan tiba, penduduk desa disibukan dengan kegiatan tandur sebagai awal persiapan menanam padi. Bagi mereka yang luas sawahnya berkisar antara 0,5 ha sampai dengan 1 ha, biasanya mereka mempekerjakan para pekerja musiman yang datang dari berbagai tempat. Sedangkan, dengan sistem panen terbuka, masa-masa panen diramaikan oleh para pekerja musiman yang berdatangan dari desa-desa di luar kecamatan, dan bahkan dari luar kabupaten Sukabumi. Sebagian besar penduduk yang sekarang ini aktif secara ekonomis adalah generasi kedua dan ketiga dari para pemukim awal sejak wilayah itu dihuni kembali pada tahun 1950-an. Tidak seperti ayah atau kakek mereka sebelumnya, sebagian besar sempat mengecap pendidikan formal setingkat SD yang mulai dibangun pada tahun 1970-an di wilayah itu dan pendidikan setingkat SMP yang mulai dibangun pada tahun 1980-an.

Perubahan tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang bisa menunjukkan bagaimana masyarakat tersebut berkembang selama tiga dekade. Meskipun pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses mobilitas sosial, namun ia tidak menjadi jaminan utama terjadinya mobilitas vertikal bagi penduduk. Salah satu faktor penting yang menjadi penghambat proses mobilitas tersebut adalah struktur sosial masyarakat yang tercipta atas dasar pola pembagian dan pemilikan lahan di wilayah tersebut. Dengan semakin berkurangnya jumlah lahan garapan yang dimiliki penduduk desa tersebut akibat perkembangan industri perkebunan dan tambak udang, serta tidak tersedianya lahan-lahan baru yang bisa dibuka kembali oleh masyarakat, menyebabkan semakin sulit bagi penduduk generasi kedua dan ketiga untuk bertahan dalam aktivitas pertanian seperti para pendahulu mereka.

Sedangkan bagi mereka yang terjun dalam aktivitas pertanian, sebagian besar mengolah lahan-lahan yang menjadi semakin menyempit akibat pola pewarisan yang memecah luas lahan yang dimiliki setiap keluarga. Meskipun tidak tersedia data statistik yang memberikan gambaran tentang luas pemilikan dan penguasaan lahan masing-masing rumah tangga petani, namun kebanyakan petani pemilik lahan yang saya temui memiliki lahan rata-rata 0,25 ha sampai 0,5 ha setiap orangnya. Pola semacam ini menyebar hampir merata di seluruh desa di kecamatan tersebut. Bagi kebanyakan penduduk desa, kegiatan bertani semacam itu hanya bisa mencukupi batas subsistensi kehidupan mereka yang rentan terhadap pukulan krisis.

Situasi krisis yang mencengkram Indonesia sekarang ini diakui oleh para petani menjadi semakin mempersulit kehidupan mereka. Persoalannya berkisar pada merosotnya harga pertanian, khususnya produk tanaman pangan dan meningkatnya harga barang industri. Informasi yang cukup berguna saya peroleh dari wawancara dan diskusi dengan para petani dan penduduk desa lainnya tentang masalah ini. Dalam satu diskusi dengan beberapa petani yang menanam kacang-kacangan dan pisang, mereka mengatakan bahwa terjadi penurunan tingkat harga dan tingkat penjualan selama tahun-tahun belakangan ini. Harga pisang seikat yang sebelumnya mereka bisa jual seharga kurang lebih antara Rp. 900,- sekarang ini menurun menjadi Rp. 700,- perikat. Sedangkan untuk kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan, harga-harga pasaran terhadap barang-barang tersebut justru mengalami peningkatan yang tajam.

Hal ini berpengaruh terhadap daya beli dan tingkat konsumsi yang mereka bisa penuhi. Penjualan langsung produk-produk semacam itu biasanya dilakukan petani saat menunggu masa panen di sawah mereka guna memenuhi kebutuhan mereka terhadap uang kas. Dengan menurunnya harga produk yang mereka jual, otomatis menurunkan pula kemampuan mereka mendapatkan uang kas yang harus mereka gunakan guna membayar kebutuhan sehari-hari.

 

Sengketa dan Konflik di Tegalbuleud

Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadap dengan para para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut.

Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain.

Para penduduk desa yang mengalami nasib seperti itu juga mengisahkan berbagai tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat koramil, kepolisian dan kecamatan terhadap mereka yang pada mulanya menolak menyerahkan tanahnya untuk proyek perkebunan. Menghadapi persoalan tersebut, para aparat desa mulai melancarkan tekanan halus kepada para petani dan mendatangi orang-orang yang dianggap menjadi penghalang utama proyek tersebut.

Ancaman dan intimidasi dari aparat desa terus berjalan tanpa henti selama perlawanan dan penolakan terhadap proyek PIR-BUN terus berlangsung. Gigihnya perlawanan yang dilakukan para petani dan upaya mereka menempuh jalan hukum terhadap sengketa yang terjadi pada akhirnya tetap saja membawa mereka pada kekalahan. Tekanan dan intimidasi yang keras mengakibatkan penduduk desa menyerah. Pada akhirnya pihak perkebunan yang disertai dengan aparat kecamatan dan kelurahan dan diiringi pula dengan pihak militer dan kepolisian setempat membabat habis setiap tanaman yang dimiliki oleh penduduk desa dan menggantinya dengan tanaman kelapa hibrida.

“Setelah jatuh tertimpa tangga pula” adalah ungkapan yang mungkin cukup tepat menggambarkan masalah yang dialami oleh penduduk desa Tegalbuleud. Belum selesai waktu yang diperlukan oleh penduduk desa untuk melupakan kepedihan yang mereka alami, muncul kemudian kekuatan baru yang memukul mereka. Pendatang baru ini adalah seorang pemodal dari Jakarta dengan koneksi politik luas yang menanamkan modal kredit pemerintah dengan membangun tambak udang di desa Tegalbuleud.

Hampir seluruh tanah sawah milik penduduk desa seluas lebih kurang 200 hektar yang berdekatan dengan muara sungai dan tepian laut beralih menjadi lahan tambak udang. Tanah-tanah tersebut menjadi milik PT Bumi Lestari Abadi milik Haji Hari Kader yang juga menguasai lahan-lahan luas di wilayah pesisiran Kabupaten Sukabumi bagian selatan sekarang ini.

Meskipun produksi tambak udang di atas lahan yang kini dikuasainya tidak setinggi seperti yang direncanakan, namun Haji Hari Kader tetap mempertahankan tanah-tanah yang dikuasainya di wilayah tersebut. Persoalannya bukan sekedar seberapa jauh keuntungan yang ia peroleh dari usaha tambak udang, tetapi berkaitan dengan rencana pemerintah daerah sekarang yang akan membangun kegiatan agro-wisata di wilayah Sukabumi selatan.

Pada awalnya para penduduk didatangi oleh aparat desa beserta kaki tangannya yang membujuk mereka menjual lahan sawah dengan harga jauh di atas harga pasaran tanah. Praktek jual paksa ini berlangsung dengan pola yang hampir sama saat proyek PIR dijalankan di desa tersebut. Para aparat mendatangi penduduk desa yang menolak penjualan sawah mereka dan mengatakan sebagai orang-orang yang menghalangi pembangunan negara.

Di samping jual beli paksa, kebutuhan akan tanah dari usaha tambak udang di desa tersebut telah melahirkan berbagai praktek penipuan jual beli tanah yang banyak merugikan petani di desa tersebut. Dalam diskusi dengan beberapa penduduk di desa Tegalbuleud terungkap bagaimana praktek penipuan dalam proses jual beli tanah di desa tersebut.

 

Kemiskinan dan Ekspor Tenaga Kerja

Dekade 1980-an dan 1990-an adalah mimpi buruk bagi para petani di Tegalbuleud. Pemiskinan secara struktural terjadi dengan hilangnya lahan garapan mereka akibat perampasan dan jual beli paksa oleh perkebunan dan industri tambak udang. Cerita tentang kemakmuran saat penduduk desa tersebut mulai bermukiman di Tegalbuleud tinggal menjadi kenangan. Sebagai ukuran kemakmuran, Tegalbuleud terkenal sebagai wilayah yang banyak mengirimkan jemaah haji ke Mekkah pada dekade 1970-an. Praktek berhaji, selain merupakan bagian praktek keagamaan juga menjadi simbol kemakmuran orang-orang yang melaksanakan ibadah tersebut.

Situasi ini mengalami perubahan total pada dekade berikutnya. Apabila pada dekade sebelumnya orang-orang yang berangkat ke Timur-Tengah (Mekkah) bertujuan menjalankan ibadah keagamaan, maka pada dekade 1990-an arus kepergian orang-orang ke Timur-Tengah bukanlah dalam rangka menjalankan ibadah, tetapi mencari pekerjaan sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga.

Sebagian besar kaum perempuan di desa ini bekerja sebagai pembantu di Timur-Tengah. Saat pertama kali memasuki wilayah kecamatan ini, saya sempat terkesan oleh penampilan fisik bangunan rumah yang berjejer di sepanjang jalan yang membelah kecamatan ini. Meskipun masih di sana-sini masih terdapat bangunan rumah dengan dinding bambu, tetapi sepanjang kiri dan kanan jalan seringkali dijumpai bangunan-bangunan rumah yang mengingatkan peneliti terhadap gaya arsitektur real-estate yang dapat dijumpai di berbagai kota besar Indonesia sekarang ini.

Percakapan lebih lanjut dengan para penduduk desa memberikan suatu ironi lebih mendalam terhadap kehidupan para TKI ini. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah tidak memiliki atau menguasai lahan garapan sendiri di desanya. Bekerja ke luar negeri adalah jalan keluar bagi mereka untuk memperbaiki nasib. Hal ini telah menjadi semacam impian umum dalam pikiran mayoritas penduduk desa tersebut. Meskipun demikian, langkah menuju ke arah itu bukanlah sebuah langkah yang mudah. Bagi keluarga petani yang masih memiliki sedikit lahan, biasanya mereka terpaksa menggadaikan atau bahkan menjual tanah untuk membiayai keberangkatan anak atau istri mereka ke luar negeri. Bagi yang sudah tidak memiliki tanah sama sekali, berhutang adalah salah satu cara yang ditempuh dengan harapan mereka bisa segera menggantikannya setelah kembali dari bekerja di luar negeri.

Tingginya nilai tukar mata uang yang mereka peroleh dibandingkan nilai mata uang rupiah memang memberikan keuntungan yang cukup besar bagi mereka. Tidak mengherankan bila ambisi membangun rumah bergaya arsitektur kota tersebut menjadi praktek umum yang terjadi di desa tersebut. Fenomena lain yang cukup mengherankan adalah seringkali uang yang mereka peroleh dihabiskan untuk membangun rumah dan membeli barang-barang elektronik. Situasi seperti ini pada akhirnya memaksa mereka untuk kembali menghubungi agen-agen tenaga kerja untuk kembali bekerja di luar negeri setelah uang yang mereka miliki habis. Pola yang sedikit melenceng adalah investasi yang mereka tanamkan pada tanah atau modal usaha seperti membuka toko atau warung. Meskipun demikian, jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan kebanyakan dari mereka yang menghabiskan uang yang mereka peroleh untuk kebutuhan konsumsi.

 

Modal, Pejabat dan OKB

Tidak sulit untuk menanyakan kepada penduduk desa tentang bagaimana peran aparat di tingkat lokal dan hubungannya dengan gerak modal dan program pemerintah. Peran aparat di tingkat lokal sebagai penghubung dengan pihak-pihak di luar desa, menjadikan mereka sebagai orang pertama yang menikmati berkah “pembangunan” dan perkembangan modal yang diwakili oleh industri tambak udang dan perkebunan besar.

Sebelum kepentingan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan modal di bidang pertanian, peran aparat lokal sebagai penghubung antara desa dan pihak luar desa adalah menjadikan tanah-tanah desa sebagai lahan produktif yang digarap penduduk. Dalam kaitannya dengan pemilikan dan penguasaan tanah desa, sejak pembentukan desa tersebut sampai dengan akhir tahun 1970-an, lurah bertugas melakukan pembagian tanah desa dan mengajukannya kepada kantor pajak di kabupaten untuk digarap oleh penduduk desa. Setelah periode 1980-an, tugas lurah adalah membebaskan lahan-lahan produktif di desa tersebut dari para penggarap kepada pemodal dan pemerintah.

Seiring dengan perubahan tersebut, terjadi pula perubahan besar di di desa Tegalbuleud dengan kemunculan orang-orang kaya baru (OKB) tanpa kaitan langsung dengan kegiatan pertanian. Mereka adalah aparat birokrasi yang secara formal berwenang mengatur pengelolaan sumber daya desa, distribusi kredit dan pembebasan tanah. Mereka membentuk lapisan menengah ke atas yang mendapatkan keuntungan atas beban produksi yang dipikul oleh orang-orang yang bekerja di bidang pertanian.

Mereka adalah pihak-pihak yang mengais rejeki dengan hadirnya perkebunan, industri tambak udang dan kehutanan yang memberikan keuntungan bagi mereka dengan kerugian besar bagi mayoritas penduduk desa. Sudah bukan rahasia di desa tersebut bila para aparat kecamatan, kelurahan dan pihak-pihak perkebunan adalah orang-orang pertama yang mendapat jatah lahan garapan PIR yang dirampas dari petani. Mereka mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah untuk menanam kelapa dan juga mendapat keuntungan dari hasil panennya kemudian. Bahkan, ironisnya, program PIR telah melahirkan orang-orang kaya baru di desa tersebut. Mereka meraih untung dengan memborong penggarapan lahan PIR yang ada dan mempekerjakan buruh tani di lahan yang sebelumnya pernah menjadi milik mereka.

Di samping pendapatan “formal” tersebut, masih ada sumber pendapat an lain yang cukup menguntungkan di desa itu, yaitu bisnis penebangan kayu ilegal. Bagi para penduduk desa, praktek penebangan kayu ilegal sudah bukan merupakan barang aneh. Kepada peneliti, mereka menunjukkan siapa-siapa saja orang di desa tersebut yang menjadi kaya raya dengan hasil penebangan kayu ilegal tersebut. Penebangan kayu ilegal semakin merajalela dengan terjadinya krisis ekonomi dan meningkatnya harga kayu gelondongan akibat penurunan kurs rupiah. Peneliti menyaksikan sendiri bagaimana hilir mudiknya kendaraan pengangkut kayu gelondongan yang ditebang secara ilegal yang melintas jalan desa tersebut.

 

Reformasi: Hutan Desa versus Perhutani

Satu kasus yang sekarang ini muncul di Tegalbuleud adalah persoalan yang menyangkut masalah tanah desa seluas 3000-4000 hektar yang dititipkan kepada Perhutani sejak tahun 1963. Tuntutan penduduk desa terhadap tahan kehutanan yang kemudian disusul dengan pembukaan lahan sekarang ini merupakan bagian dari klaim historis penduduk desa terhadap tanah desa yang sekarang dikuasai oleh pihak Perhutani.

Hal ini didasarkan bahwa secara historis, daerah Tegalbuleud merupakan daerah bukaan masyarakat setelah terjadinya gangguan keamanan dengan adanya kegiatan BR dan DI/TII yang melewati jalur Tegalbuled sepanjang Cianjur menuju Tasikmalaya. Para penduduk yang kemudian menghuni desa tersebut datang dalam suatu program transmigrasi lokal pemerintah awal tahun 1960-an. Mereka diberi tanah oleh pemerintah seluas 2 hektar. Perinciannya adalah tanah seluas 0,2 ha digunakan untuk perumahan, kemudian seluas 0,3 hektar untuk kebun dan halaman, serta 1,5 hektar untuk tanah garapan.

Saat penduduk mulai berdatangan, desa masih memiliki kekayaan berupa hutan buatan seluas 3000-4000 hektar yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan penduduk desa untuk membangun rumah dan kebutuhan lainnya. Persoalannya kemudian, tanah hutan desa tersebut mengalami gangguan dengan adanya para petani guntai yang bermukim di daerah Jampang.

Lurah Tegalbuleud pada saat itu, yaitu Lurah Edeng, sesuai dengan ketentutan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru ditetapkan mewajibkan para guntai untuk tinggal dan menjadi penduduk tetap di desa Tegalbuleud. Agar tidak mengganggu hutan desa, mereka kemudian mendapat lahan garapan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Namun, upaya ini tidak terlalu berhasil. Sehingga kemudian Lurah memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak Perhutani. Disertai dengan juru tulis Nana, sang Lurah mengatakan kepada pihak Perhutani agar mereka bisa merawat hutan ini dengan alasan apabila hutan tersebut berada dalam pengolahan perhutani, maka rakyat tidak lagi akan merusak hutan tersebut. Pihak Perhutani segera mennyanggupi permintaan sang Lurah dengan mengusulkan bahwa hutan tersebut ditanami tanaman yang sama dengan tanah yang dikelola oleh pihak perhutani, yaitu dengan menanam tanaman pohon jati. Kemudian pihak perhutani memberikan bibit pohon jati untuk kepada rakyat untuk ditanami di atas tanah milik desa.

Persoalannya kemudian setelah kekuasaan Orde Baru semakin menyadari pentingnya aset sumber daya alam itu, begitu saja melupakan status tanah desa dan menjadikan lahan tersebut sebagai lahan yang dimiliki oleh Perhutani. Penduduk desa pun dilarang untuk mengambil kayu atau menanam tanaman di wilayah ini dan mereka biasanya akan memberikan sangsi apabila ada orang yang tertangkap basah melanggar ketentuan yang ditetapkan.

Tidak mengherankan setelah runtuhnya rejim Orde Baru dan meningkatnya tekanan krisis ekonomi di pedesaan, para penduduk mulai menuntut kembali hak mereka atas tanah desa. Rangkaian aksi pembukaan lahan yang sekarang ini dilakukan merupakan akumulasi dari konflik yang telah berlangsung lama.

 

Aksi Buka Lahan

Beberapa tahun belakangan ini, berbagai media nasional maupun lokal memuat berita tentang “aksi pendudukan” lahan yang marak terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Istilah “aksi pendudukan” mengacu pada perbuatan yang dilakukan oleh para petani yang memasuki hutan desa dan menggarap lahan yang dikuasai Perhutani dan Perkebunan. Namun terdapat “bias” berlebihan dalam penggunaan istilah tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat sumber-sumber yang dikutip media massa kebanyakan adalah pejabat pemerintahan, pengusaha perkebunan dan juga para pemerhati masalah sosial yang tinggal di wilayah perkotaan.

Saya sendiri mengakui tidak bisa menghindar dari jeratan bias tersebut saat proses penyusunan rancangan penelitian dilakukan. Hal ini telah menimbulkan situasi yang cukup janggal dan memalukan diri peneliti saat mengajukan istilah tersebut kepada para petani. Ketika ditanya tentang bagaimana “aksi pendudukan” tersebut berlangsung, para petani terlihat sedikit bingung untuk segera menjawab pertanyaan peneliti. Akhirnya peneliti mulai menyadari kekeliruan tersebut saat para petani selalu mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah “membuka hutan” atau “nyacar” dalam istilah setempat.

Pengertian seperti ini menjadi masuk akal karena areal lahan Perhutani yang telah mereka “buka” sekarang ini masih dalam batas-batas tanah desa atau dalam apa yang mereka sebut sebagai tanah yang dititipkan oleh desa kepada pihak Perhutani. Begitu pentingnya persoalan ini sehingga para petani dan “saksi hidup” begitu bersemangat mengajak peneliti berkeliling untuk melihat batas-batas desa yang menjadi garis pemisah antara tanah yang dimiliki Perhutani dan tanah milik desa, sebuah upaya yang tidak mudah mengingat jalur perjalanan menuju batas-batas tersebut hanya diketahui dengan jelas oleh para saksi hidup dan pula bukan jalan yang biasa dilalui oleh manusia.

Kembali pada persoalan “aksi membuka” lahan yang menjadi pokok bahasan bagian ini, sampai sekarang aksi tersebut telah terjadi di dua desa dari empat desa yang ada di kecamatan tersebut, yaitu desa Sumber Jaya dan desa Tegal Buleud. Sedangkan di desa Buni Asih dan Calincing, aksi tersebut masih dalam rencana yang teurs dibicarakan dengan penuh semangat.

Sebelum aksi “membuka lahan” ini terjadi, penduduk di keempat desa mengirim delegasinya ke kantor Kabupaten dan DPRD di Kabupaten Sukabumi. Meskipun tidak ada kepastian yang cukup jelas dari hasil pertemuan tersebut, para petani menganggap Bupati “menyetujui” pengajuan mereka. Sulit menentukan urutan kronologis tentang kapan persisnya aksi membuka lahan itu dimulai. Namun secara umum, bisa dikatakan bahwa aksi tersebut telah berlangsung secara umum sejak akhir bulan Oktober tahun ini dengan ukuran tingkat keterlibatan dalam aksi tersebut. Tetapi sekali lagi perlu ditekankan bahwa pada dasarnya aksi tersebut bukanlah suatu peristiwa yang terjadi secara serentak dan mengikutsertakan seluruh petani di kedua desa. Lebih tepat dikatakan bahwa aksi ini berlangsung secara bergelombang yang didahului oleh orang-orang yang sejak lama telah aktif memperjuangkan tanah yang menurut mereka telah dirampas pihak Perhutani.

Tindakan mereka pada akhirnya mendorong para petani lainnya untuk turut bersama-sama membuka lahan setelah mendiskusikannya dalam satu kelompok yang terdiri dari tiga puluh sampai lima puluh orang. Sementara itu, para penduduk desa lainnya yang mencontoh langkah kelompok pertama tersebut mulai membuka lahan dalam gelombang kedua pada minggu-minggu awal bulan November 2000. Inisiatif seperti ini terjadi setelah mereka tergabung dalam satu kelompok yang cukup besar. Dalam kelompok tersebut dibicarakan di mana saja wilayah lahan yang akan mereka buka dan berapa luasnya. Ketentuan tentang luas lahan yang akan mereka garap disepakati masing-masing 0,5 hektar mengingat terbatasnya jumlah lahan yang tersedia dibandingkan orang-orang yang akan menggarapnya. Sedangkan mengenai ketentuan letak wilayah garapan ditentukan masing-masing.

Proses pembukaan lahan itu sendiri bukanlah pekerjaan ringan. Pertama-tama mereka membersihkan lahan yang telah dipenuhi pepohonan jati dan semak belukar yang menutupi permukaan tanah. Ketika peneliti mengunjungi lahan yang telah mereka buka, para petani telah menebang sebagian pohon jati muda dan membiarkan pohon jati tua yang cukup besar tetap berdiri. Sebagian diantara mereka masih belum tahu benar apa yang akan mereka lakukan terhadap kayu jati tua tersebut. Tetapi dalam pembicaraan dengan pimpinan kelompok, sedianya kayu jati tua akan digunakan sebagai modal para petani untuk membeli bibit selain digunakan sebagai sumber keperluan membiayai perjuangan mereka. Persoalannya sekarang ini mereka harus berlomba-lomba dengan semakin maraknya pencurian kayu jati yang mulai melanda wilayah kecamatan tersebut. Para pimpinan kelompok menyatakan mereka harus berhati-hati mengurus kayu-kayu itu agar tidak menjadi sasaran pencurian yang kerap terjadi pada siang bolong di depan hidung para aparat desa dan pegawai Perhutani. Sudah menjadi pengetahuan umum penduduk desa bahwa orang-orang yang terlibat dalam pencurian kayu adalah orang-orang yang berkuasa di desa mereka.

 

Penutup

Reformasi adalah momentum penting bagi para petani di wilayah Tegalbuleud yang memberikan kesempatan bagi mereka untuk lebih berani melakukan aksi membuka lahan terhadap harta kekayaan desa yang telah dijarah oleh negara selama tiga dekade. Perlawanan para petani terhadap kebijakan-kebijakan negara yang mementingkan pertumbuhan ekonomi nasional (yang dinikmati para birokrat dan pemodal) melalui eksploitasi sumber daya alam dibawah rejim Orde Baru telah mendapatkan tekanan keras rejim.

Akibat langsung yang dirasakan oleh penduduk desa adalah pemiskinan struktural terhadap para petani yang harus kehilangan tanah garapan mereka. Kaum perempuan menanggung beban lebih berat akibat pemiskinan yang terjadi dan mendorong sebagian besar kaum perempuan di Tegalbuleud berlomba-lomba menjual tenaga kerja mereka di luar negeri (Timur Tengah). Meskipun demikian, upaya ini tidak serta merta menjadi jalan keluar bagi mereka dalam mengatasi kemiskinan.

Modal uang yang mereka peroleh dari hasil bekerja di luar negeri (dengan selisih kurs uang yang tinggi) sebagian besar mengalir pada kebutuhan konsumsi. Meskipun ada upaya-upaya menjadikan simpanan mereka sebagai modal usaha, namun faktor pengalaman dan skill menyebabkan sebagian besar usaha-usaha mereka harus berhenti di tengah jalan dan harus kembali mencari pekerjaan di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka karena mereka sudah tidak memiliki lahan yang bisa mereka garap untuk kehidupannya.

Reformasi yang terjadi pada tingkat nasional telah membangkitkan antusiasme penduduk desa dan mendorong mereka untuk lebih aktif bergiat dalam organisasi petani baru yang mereka bentuk sendiri dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan kekuatan organisasi inilah penduduk desa mencoba mengambil lahan kekayaan desa yang dikuasai negara. Aksi-aksi pembukaan terus berlanjut dan para petani yang saya jumpai seakan mendapatkan keyakinan bahwa kehidupan mereka akan menjadi lebih baik dengan lahan yang mereka garap sekarang ini.