Related categories
Region
Publication
Related Stories
- “REDD jadi atau tidak?” tokoh masyarakat adat mengeluhkan kurangnya informasi mengenai proyek Ulu Masen
- Aktor-aktor REDD di Indonesia: Sepuluh Wawancara
- Wawancara dengan Bank Dunia di Indonesia: “REDD+ telah membuka ruang untuk dialog mendalam tentang isu yang sulit terkait kebijakan dan tenurial sektor hutan”
Down to Earth Newsletter
Subscribe to DTE's quarterly newsletter
Wawancara dengan Chip Fay dan Steve Rhee, Climate Land Use Alliance (Aliansi Iklim dan Penggunaan Tanah): “Ini tentang rasionalisasi penggunaan tanah berdasarkan pada pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal”
Bagian ketiga dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE
Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org
Oleh Chris Lang, 14 Maret 2012
Wawancara dengan Chip Fay dan Steve Rhee, Climate Land Use Alliance [Aliansi Iklim dan Penggunaan Tanah], di Jakarta, Desember 2011.
REDD-Monitor: Tolong jelaskan apa itu Aliansi Iklim dan Penggunaan Tanah (Climate Land Use Alliance-CLUA) dan berikan sedikit latar belakang tentang yang dikerjakan CLUA terhadap REDD secara umum.
Chip Fay: CLUA adalah sebuah aliansi dari empat lembaga filantropis berbasis di AS: Ford Foundation, Moore Foundation, Climate Works Foundation dan Packard Foundation. Tujuannya adalah untuk membangun dan menerapkan strategi bersama dan program bersama. Saya adalah karyawan dari Climate Works Foundation berbasis di San Francisco dan Steve adalah karyawan dari Ford Foundation. Jadi ini suatu strategi pendanaan bersama. Program-program di tingkat negara merespons apa yang sedang berlangsung di negara-negara ini, dengan mendukung inovasi sambil memainkan peran yang bersifat katalis. Brasil, Indonesia, dan Meso-America (Amerika Tengah) adalah wilayah geografis prioritas. CLUA juga memiliki inisiatif kebijakan global.
REDD-Monitor: Kapan CLUA dibentuk?
Steve Rhee: Secara resmi pada tahun 2010. Itu ketika CLUA secara resmi mulai bekerja.
Saat itu ada laporan, “Design to Win". Itu latar belakangnya. Ada sejarah panjang, secara formal terbentuk pada tahun 2010, tapi secara faktual telah hadir dalam beberapa versi sebelumnya.
Chip Fay: “Design to Win” adalah suatu dokumen penting dan menyoroti pendekatan-pendekatan sejenis REDD. Apa yang akan Anda lihat dalam diskusi ini adalah bahwa semakin panjang kita menelusuri jalan ini, semakin sedikit yang telah kita perbincangkan tentang REDD seperti yang kami lakukan di dalam dokumen itu. Jadi itu adalah dokumen yang berbicara tentang masanya, yaitu pra-Kopenhagen.
REDD-Monitor: Berapa orang yang dipekerjakan CLUA di Indonesia?
Chip Fay: Tidak ada, saya berbasis di Filipina tapi sering berkunjung ke sini.
REDD-Monitor: Apa tujuan aktivitas CLUA di Indonesia?
Chip Fay: Untuk membantu pemerintah agar memenuhi targetnya yang disampaikan secara internasional, 41% pengurangan terhadap tingkat emisi tahun 2005.
REDD-Monitor: Dan jenis aktivitas dan organisasi apa saja yang didanai CLUA?
Chip Fay: Ada empat hal. Pertama adalah perencanaan pembangunan rendah karbon, dengan fokus pada rencana spasial di tingkat provinsi. Kalimantan Tengah, Jambi dan Papua adalah daerah prioritas. Hal kedua adalah peningkatan pemahaman, apa yang kemudian disebut sebagai ‘paham iklim’. Kami mendukung aktivitas yang akan mengarah pada dialog publik yang lebih seimbang tentang apa itu pembangunan rendah emisi, apa itu moratorium, apa pokok pangkal masalah dalam pembangunan pedesaan, khususnya perampasan tanah oleh perkebunan dan konflik-konflik yang diakibatkannya. Banyak orang Indonesia ingin melihat diskusi yang lebih realistis tentang siapa yang menarik keuntungan dari pertanian perkebunan dan siapa yang menderita, baik dalam hal dampak lingkungan hidup maupun sosial-ekonomi. Hal ketiga adalah melanjutkan kerja bertahun-tahun Ford Foundation mengenai hak-hak masyarakat. Jadi fokusnya adalah pendekatan berbasis hak yang mengurangi emisi. Hal terakhir adalah sisi permintaan, dengan melihat di mana konsumen berada dalam hal rantai perdagangan pasokan untuk kelapa sawit serta kertas dan pulp dan mengaitkannya dengan upaya-upaya di lapangan di sini.
Cara kami melakukan ini adalah melalui pemberian hibah dan bantuan teknis.
Steve Rhee: Hanya satu penjelasan tentang poin ketiga tentang pekerjaan berbasis hak. Saya pikir tujuan sebenarnya adalah tentang penyelesaian konflik, dengan cara yang yang setara dan berkelanjutan yang akan memfasilitasi penggunaan berkelanjutan dari lanskap tersebut.
REDD-Monitor: Berapa banyak dana yang telah diberikan CLUA sejauh ini?
Steve Rhee: Pemberian hibah yang terkait dengan Indonesia ada di laman CLUA untuk tahun 2010. Seluruh hibah itu tercantum di sana. Hibahnya berfluktuasi dari tahun ke tahun.
Chip Fay: Jumlahnya USD3,4 juta pada tahun 2010, sekitar USD5 juta pada tahun 2011, dan kira-kira jumlah yang sama direncanakan untuk tahun 2012.
Tapi jika pertanyaannya adalah berapa banyak yang telah diberikan CLUA sejauh ini untuk proyek REDD di Indonesia, saya akan bilang tidak ada.
Steve Rhee: Ya.
REDD-Monitor: Karena CLUA mendanai isu-isu yang terkait dengan REDD, tapi tidak khusus REDD?
Chip Fay: Ini semua mengenai emisi berbasis lahan. Ini tentang strategi-strategi apapun yang membantu Indonesia mengurangi emisi. Jadi banyak di antaranya merupakan penggunaan lahan yang didefinisikan oleh perencanaan spasial, dengan menciptakan kesadaran publik tentang pendekatan berbasis hak dan kemudian pekerjaan di sisi permintaan.
Steve Rhee: Maksudnya dengan mengatakan, tidak ada satupun dalam strategi kami yang secara eksplisit menyebutkan REDD.
REDD-Monitor: Dapatkah Anda memberikan contoh-contoh spesifik tentang bagaimana uang tersebut telah digunakan?
Chip Fay: Ada banyak pendanaan yang telah diberikan untuk isu-isu pembangunan pedesaan seputar pengelolaan sumber daya alam oleh penduduk setempat yang hak-hak atas tanah mereka hanya sedikit diakui atau bahkan tidak diakui. Strategi untuk mendukung Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (padiatapa) untuk merasionalisasi baik penggunaan lahan melalui perencanaan spasial maupun mempromosikan praktik-praktik terbaik di antara agrobisnis, termasuk melaksanakan proses padiatapa dengan masyarakat lokal.
Contoh-contohnya adalah kerja kami dari bawah ke atas dengan Scale Up. Untuk isu padiatapa koordinator utama untuk aktivitas kerja itu, penerima hibah utama kami, adalah Forest Peoples Programme-FPP). Mereka memiliki tiga mitra utama di bawah mereka, jadi mayoritas dana yang masuk ke FPP sebenarnya masuk ke mitra-mitra lokal. Menurut saya itu mendekati 60%.
Di sisi penelitian kami tengah mendukung kerja ICRAF dalam memahami lanskap tinggi karbon dengan lebih baik dan kemudian mencoba mencocokkannya ke dalam perencanaan spasial. Dengan CIFOR, hasil kerja itu dimaksudkan untuk memasok bantuan kepada Satuan Tugas (Satgas) REDD di sini melaksanakan kerja berdasarkan kesepakatan Norwegia.
Di Papua mereka sudah memiliki gugus tugas pembangunan rendah karbon, sebuah kelompok baru. Kami mendukung kelompok itu bersama dengan partisipasi ornop di dalamnya. Di Kalimantan Tengah, kerja Kemitraan meliputi memrakarsai pertemuan masyarakat lokal seputar isu-isu iklim dan proyek-proyek di daerah mereka yang mungkin disebut sebagai proyek-proyek REDD ataupun tidak.
Institut Samdhana memiliki sebuah program hibah yang signifikan yang mereka sebut kesiapan REDD. Kata-kata tersebut dipilih secara hati-hati. Lembaga itu tidak mendukung atau mempromosikan REDD, ia hanya membantu masyarakat mengatasi ancaman-ancaman dari proyek-proyek dan peluang-peluang untuk menurunkan emisi dari lanskap mereka sendiri.
Di sisi permintaan, Rainforest Action Network dan Woods and Wayside menangani masalah pendanaan industri pulp dan kertas. Aidenvironment tengah meneliti legalitas dan pemetaan perluasan perkebunan sawit pada dasarnya menolak perluasan perkebunan ke wilayah masyarakat, dengan membantu masyarakat menentang perluasan ke dalam wilayah-wilayah tradisional melalui instrumen tenurial lahan dan pengorganisasian masyarakat.
Steve Rhee: Menurut saya kerja pada sisi permintaan merupakan sebuah kombinasi dari mekanisme-mekanisme pendukung pasar progresif seperti Meja Bundar Minyak Sawit Berkelanjutan (Round Table of Sustainable Palm Oil – RSPO). FPP sangat terlibat di RSPO. Dan dalam hal perluasan perkebunan kelapa sawit, FPP benar-benar memastikan agar pemerintah Indonesia atau pemberi pinjaman mengikuti kebijakan, hukum dan peraturan. Jadi perluasan itu mengikuti aturan yang telah disepakati masyarakat. Ketika hal tersebut tidak terjadi, maka FPP akan memastikan adanya perhatian diberikan terhadap hal itu. Jadi menurut saya di situlah tempat berlangsungnya kerja di aspek permintaan (pasar).
Sekali lagi dengan kerja resolusi konflik dan kerja di tingkat masyarakat, semua itu guna memastikan bahwa orang-orang yang tinggal di dalam dan di sekitar daerah-daerah tersebut benar-benar sadar terhadap intervensi apapun yang datang. Dengan bekal informasi lengkap kemudian mereka dapat mengambil keputusan-keputusan berdasarkan pengetahuan tersebut dan dengan demikian posisi mereka menjadi sederajat untuk terlibat dalam jenis negosiasi apapun.
REDD-Monitor: Walaupun CLUA tidak bekerja secara langsung dengan masyarakat lokal, dapatkah Anda menjelaskan lebih lanjut tentang proses persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan yang dipromosikan CLUA.
Chip Fay: Para penerima hibah itu tengah meneliti proyek-proyek demonstrasi REDD tertentu dengan pendekatan berbasis hak dan mitra-mitra mereka sedang melakukan pengorganisasian seputar padiatapa. Banyak pekerjaan Institut Samdhana ditujukan pada kesiapan masyarakat. Bagian tersulit dalam proses persetujuan adalah saat masyarakat harus diinformasikan tentang apa yang sedang mereka hadapi. Dalam kenyataannya kami seringkali melihat dalam situasi konflik bahwa upaya mendapatkan persetujuan tersebut terjadi setelah fakta tersebut terjadi.
Steve Rhee: Yang pertama-tama dan yang terpenting, kami adalah badan pemberi hibah, jadi saya akan mengatakan itulah garis kerja utama kami lalu selain itu pemberi bantuan teknis seperti yang dibicarakan Chip. Dan terkadang hal itu tidak terlalu teknis, kadang-kadang hanya. memrakarsai pertemuan sejumlah mitra, karena sedikit banyak kita memiliki pandangan yang relatif luas tentang siapa melakukan apa dan dengan demikian jadi masuk akal untuk sesekali mengumpulkan orang bersama-sama tanpa peduli apakah mereka penerima hibah atau tidak. Misalnya, di bulan Maret 2011, kami mengadakan lokakarya sehari penuh di Ford Foundation di Jakarta mengenai tindakan pengaman (safeguards).
Jadi menurut saya dengan kerja padiatapa, yang saat itu tengah mendanai FPP untuk melakukan penelitian itu, Patrick [Anderson dari FPP] menulis sebuah buku mengenai padiatapa dengan dukungan CLUA. Kami juga berhubungan dengan kelompok seperti HuMa yang bekerja pada sisi tindakan pengaman – Bank Dunia, ADB, setiap institusi memiliki tindakan pengamannya sendiri.
REDD-Monitor: Dapatkah Anda menceritakan sedikit latar belakang Anda di Indonesia?
Chip Fay: Saya bekerja secara regional untuk Friends of the Earth dan Survival International, Environmental Policy Institute, yang berbasis di Filipina. Lalu saya bergabung dengan Ford Foundation pada tahun 1991 dan datang ke Indonesia. Saya bekerja selama empat sampai lima tahun dan kemudian bergabung dengan ICRAF, dengan melanjutkan pekerjaan yang persis sama mengenai penggunaan lahan dan hak-hak masyarakat.
Mengenai hak-hak, hal itu betul-betul terbagi menjadi dua. Ada hak-hak bersyarat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan dan kemudian ada hak-hak yang diakui pemerintah melalui, dalam hal ini BPN (Badan Pertanahan Nasional), atau melalui peraturan daerah atau akhirnya legislasi nasional. Kami telah bekerja dalam kedua hal itu, tapi peluang-peluang saat ini ada dalam instrumen-instrumen kehutanan, hutan masyarakat, hutan sosial. Saya melanjutkan kerja tersebut dengan menulis tentang kerangka legal dimana kebijakan dan sains bertemu, serta pengelolaan daerah aliran sungai dan hak-hak masyarakat setempat dan sistem pengelolaan penggunaan lahan.
Saya mulai bekerja paruh waktu di Packard Foundation pada tahun 2007. Packard memandang mereka tak bisa mengabaikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Itu membawa saya kembali ke Indonesia. Itu menuntun saya pada CLUA, di mana kami berada hari ini.
Steve Rhee: Saya telah bekerja di Indonesia putus sambung selama sekitar 15 tahun, sejak 1996, dalam kapasitas yang berbeda. Saya mulai bekerja untuk CARE di sini. Afiliasi terlama saya adalah saat bekerja sama dengan CIFOR ketika saya melakukan penelitian PhD saya di Indonesia mengenai peran bantuan internasional dan penelitian sains di sektor kehutanan di Indonesia.
Kemudian saya kembali akhir tahun 2009 untuk bekerja di Ford Foundation. Jadi selama 15 tahun, saya mungkin secara fisik berada di Indonesia selama tujuh atau delapan tahun dalam kapasitas yang berbeda, yang menjangkau dari Jakarta ke Kalimantan ke Sulawesi ke Jogja.
REDD-Monitor: Banyak hal yang tengah terjadi pada REDD di Indonesia. Saat ini telah berlangsung empat atau lima tahun diskusi-diskusi REDD. Ada beberapa proyek-proyek pilot dan presiden telah mengatakan dengan sangat meyakinkan bahwa ia mendukung REDD. Tetapi laju deforestasi di Indonesia masih sangat tinggi. Apakah Anda pesimis atau optimis?
Chip Fay: Saya optimis secara hati-hati. Kita harus jelas mengenai apa yang kita maksud dengan REDD. Saya harus kembali ke arti harfiahnya, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, dan untuk di Indonesia hal itu benar-benar kebanyakan adalah deforestasi dan pengelolaan lahan gambut yang lebih baik. Jadi Anda mengurangi emisi dengan mengurangi deforestasi dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Itulah yang telah kita coba lakukan selama bertahun-tahun.
Ini bukanlah hal baru. Yang baru adalah pemahaman global bahwa embel-embelnya adalah sebuah transfer dana besar-besaran dari Utara ke Selatan dengan maksud untuk membantu apa yang telah coba dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dan masyarakat lokal Indonesia selama 20 tahun di sini. Begitu kontribusi Indonesia terhadap emisi global berbasis lahan menjadi jelas, banyak peluang yang terbuka di sini untuk menangani penyebab-penyebab mendasar dari deforestasi. Kita terlibat tapi menghindari pendekatan berbasis proyek. Ada banyak proyek demonstrasi REDD dan kami tengah mengikuti isu-isu hak dalam lanskap tertentu di mana terdapat aktivitas-aktivitas REDD. Tapi yang jelas adalah ketika proyek-proyek melalui sebuah proses seperti Standar Karbon Sukarela (VCA), setiap orang masih belajar berapa banyak waktu dan pendanaan yang diperlukan dan metodologi-metodologi masih dikembangkan. Yang tidak jelas adalah bagaimana mekanisme pendanaannya nanti. Masih banyak ketidakjelasan.
Semua hal itu menarik dalam kaitan dengan proyek-proyek REDD, tapi kami tidak memandang dunia dan Indonesia seperti itu. Kami melihat upaya-upaya untuk mengubah paradigma pembangunan pedesaan melalui rasionalisasi penggunaan lahan berdasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat setempat. Kami yakin hal itu akan menuntun pada pengurangan emisi. Pelepasan CO2 akan menurun jika perubahan ini berlangsung.
Kami tidak mendandaninya sebagai REDD, karena bebannya terlalu banyak. Apa yang kami perjuangkan masih tetap berpijak pada pesan bahwa ini bukan tentang proyek belaka, ini bukan hanya tentang aliran-aliran keuangan dari Utara ke Selatan, ini tentang reformasi tanah dan hutan yang berdasarkan pada pengakuan hak-hak kolektif masyarakat lokal.
CLUA juga mendukung pemahaman teknis mengenai lanskap, apa yang sebenarnya terjadi pada lanskap tersebut, dengan membawa masuk teknologi paling canggih dan memeriksanya secara lokal, bersama dengan jaringan lokal dan ornop, organisasi-organisasi masyarakat untuk membumikan kebenaran dan kemudian mengadvokasi penggunaan lahan yang lebih rasional yang berbasis pada pengakuan hak-hak kolektif.
Menurut saya penting sekali kita mulai berpikir lebih besar daripada REDD dalam hal apa yang mungkin menjadi sebuah proyek.
Steve Rhee: Untuk menggarisbawahi pandangan Chip sebelum ini, evolusi gagasan tentang REDD adalah penting, dengan membandingkan ketika hal itu baru mulai menarik perhatian, dengan apa yang dipandang orang sekarang. Menurut saya karena evolusi itu dan bawaan yang menyertainya, kita tidak merasakan REDD sebagai proyek yang idenya sangat berguna. Walau secara konseptual arti harfiah dari mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi merupakan sesuatu yang kita dukung. Selama masyarakat yang hidup di sekeliling wilayah itu benar-benar setuju, artinya bahwa mereka sepenuhnya menyadari, memahami informasi lengkap tersebut dan pilihan-pilihan yang mereka miliki.
Poin lainnya adalah bahwa strategi kami juga berkembang. Menurut saya mungkin itulah bagaimana kami memiliki sedikit kelenturan seperti itu ketimbang beberapa organisasi-organisasi bilateral dan multilateral. Jadi setiap enam bulan atau lebih, kami melakukan semacam refleksi, dalam posisi revisi.
Chip Fay: Menanggapi pertanyaan optimis/pesimis saya juga berpendapat bahwa laju degradasi dan deforestasi hutan Indonesia tetap tinggi dan statistik seputar pelanggaran hak asasi manusia meningkat. Jadi ada banyak alasan untuk putus harapan.
Yang menurut saya memberi kekuatan adalah ketika saya melihat pada apa yang saya sebut sebagai suara-suara reformis di Indonesia. Anda menemukan mereka di UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), dalam upaya untuk mendukung komitmen 41% dari presiden.
Surat Pernyataan Kehendak (LoI) Indonesia dengan Norwegia sangat mengesankan. Optimisme saya berdasarkan pada kekaguman terhadap upaya-upaya yang dilakukan orang-orang kunci. Ini termasuk orang-orang di Kemitraan dan terus sampai ke kantor Kuntoro Mangkusubroto, UKP4.
Itulah sebabnya saya berbesar harapan dan dalam pemberian hibah kami mendorong analisis yang canggih yang mengetahui di mana energi untuk reformasi di Indonesia berada dan bagaimana mendukung hal itu secara diam-diam. Jadi hal itu masuk dalam strategi komunikasi kami, kami membantu mengeraskan suara-suara itu. Dan kemudian mengeraskan suara-suara mereka yang dikenal publik dengan maksud untuk menginformasikan mereka yang melihat kelapa sawit serta pulp dan kertas sebagai satu-satunya pendorong pembangunan desa dan perekonomian desa.
Selama para kolega dan teman Indonesia saya optimis, maka saya tidak punya hak untuk tidak optimis.
REDD-Monitor: Bagaimana pandangan CLUA mengenai kesepakatan USD1 milyar dengan Norwegia?
Chip Fay: Rancangan yang bagus yang susah payah untuk diimplementasikan secara efektif.
REDD-Monitor: Khususnya mengenai fakta bahwa moratorium tersebut sedikit lebih baik dari ‘bisnis seperti biasa’?
Chip Fay: Menurut saya kesepakatan Norwegia mengubah perdebatan secara keseluruhan di Indonesia. Hal itu membawa dialog tersebut keluar dari Kementerian Kehutanan. Presiden Indonesia di masa lalu tidak banyak tahu tentang berapa banyak hutan Indonesia yang telah diberikan sebagai konsesi. Orang-orang telah bekerja dalam isu ini selama bertahun-tahun tapi dalam lingkup yang sempit sekali, yang sebagian besar dikendalikan oleh Kementerian Kehutanan dan hampir tidak disorot media. Bahkan badan pertanahan tidak benar-benar memahami banyak pertanyaan mengenai peran mereka dan hak-hak masyarakat setempat di dalam kawasan hutan. Surat Pernyataan Kehendak membawa keluar semua itu dari kotak yang kecil itu. Itu membawa masuk orang-orang seperti Pak Kuntoro dan memaksa semua menteri terkait untuk menangani pertanyaan emisi melalui Satuan Tugas REDD+ dan sekarang melalui rencana aksi pengurangan emisi nasional.
Kesepakatan itu juga menarik banyak sorotan di media. Jadi semua isu (tentang kehutanan) yang telah digeluti bertahun-tahun oleh banyak orang Indonesia, tiba-tiba saja mendapat publisitas besar.
Dalam hal penerapannya, menurut saya situasinya telah berbicara sendiri sejak penandatanganan LoI. Penerapan aktualnya berjalan lambat dengan adanya penolakan dari lobi bisnis seperti biasa yang berlangsung kuat.
Terhadap moratorium itu sendiri, saya setuju dengan para kritikus yang mengatakan “sedikit lebih baik dari bisnis seperti biasa”, tapi pertanyaannya adalah seberapa banyak sedikit lebih baik itu? CIFOR telah menyiapkan sebuah analisis yang bagus, yang mengatakan bahwa moratorium itu meliputi 22,5 juta hektare. Jelas terdapat kebutuhan untuk mengawasi wilayah seluas 22,5 juta hektare itu, yang hampir sama dengan luas Inggris.
REDD-Monitor: Bagaimana posisi CLUA mengenai perdagangan karbon?
Chip Fay: CLUA tidak memiliki posisi walaupun kami telah berkontribusi dalam perdebatan tersebut, misalnya dengan dukungan terhadap kajian Proyek Munden. Kami sangat berkomitmen untuk membantu upaya-upaya yang bertujuan memperluas debat yang berdasarkan informasi.
Dukungan kami terhadap upaya-upaya di lapangan tidak ada yang bergantung pada pencapaian tujuan mereka melalui perdagangan kredit karbon.
REDD-Monitor: Bagaimana pendapat CLUA mengenai pendanaan REDD?
Chip Fay: CLUA sebagai sebuah komunitas tidak memiliki jawaban untuk itu, tapi menurut saya cukup aman untuk menyatakan bahwa CLUA meyakini bahwa harus ada tanggung jawab internasional untuk membantu Indonesia untuk memenuhi tujuannya. Dunia terdekat kami adalah filantropi AS.
Ketika kami menelaah Indonesia, dan kami melihat apa yang harus terjadi, kami dapat melihat bahwa ada sumber-sumber pendanaan di sini di Indonesia, seperti Dana Reboisasi dan program Gerhan (Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), program-program kehutanan yang besar yang dapat dijajarkan kembali guna mendukung jenis pekerjaan semacam ini.
Jadi banyak hal yang kami bantu, saat hal itu mendapatkan daya tarik dan momentum politik maka hal itu dapat didanai melalui anggaran Indonesia. Saya tidak melihat Indonesia memerlukan miliaran dalam bentuk transfer dana agar ada pengurangan emisi yang signifikan.
REDD-Monitor: Beberapa tahun lalu Jeffrey Hatcher dari Rights and Resources Initiative (Inisiatif Hak dan Sumber Daya) menulis laporan berjudul “Securing Tenure Rights and Reducing Emissions fromDeforestation and Degradation (REDD)" ["Mengamankan Hak-hak Tenurial dan Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD)”]. Dalam laporan tersebut, ia berargumen bahwa biaya-biaya REDD akan jauh lebih murah jika kita mendukung hak-hak adat dan tenurial lahan.
Chip Fay: Tepat sekali di Indonesia.
Juga ada kebutuhan beberapa pekerjaan teknis yang perlu dilakukan. Kami mendukung Sekala untuk melakukan pembangunan kapasitas dan manajemen informasi untuk membantu membangun sistem informasi di tingkat propinsi. Ini merupakan sebuah bagian penting dari proses pengakuan tersebut.
Perusahaan-perusahaan sering kali memiliki hak-hak yang tumpang tindih, siapakah perusahaan-perusahaan itu, dimana poligon-poligon itu di peta dan bagaimana Anda membedakan yang absah dan yang kurang absah. Sekala dan pemerintah daerah masih berada pada titik mencoba untuk mendapatkan semua informasi di atas meja di tingkat provinsi.
REDD-Monitor: Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi-diskusi REDD di UNFCCC? Bagaimana pendapat Anda tentang Kesepakatan Cancun dan bagaimana Anda memandang apa yang terjadi di Durban?
Chip Fay: Jelas sekali satu-satunya bagian dari proses internasional yang meraih semacam momentum adalah diskusi-diskusi seputar REDD dan tindakan pengaman REDD. Hal itu sebagian besar karena Tony La Viña, yang memimpin proses tersebut. Ia seorang fasilitator yang handal. Tindakan pengaman yang keluar dari Cancún adalah suatu permulaan yang cemerlang. Inilah apa yang Peter Riggs (dari Ford Foundation) dan Steve telah kerjakan di sini dengan suatu komunitas untuk memahami dengan lebih baik peluang-peluang yang lahir dari Cancún dan setidaknya menyadari keberadaannya.
Steve Rhee: Saya duga, jelas secara umum antusiasme orang berkurang. Tapi sebagai CLUA, kami masih terlibat, setidaknya satu atau dua orang senior CLUA masih terlibat di Durban. Tapi kecenderungan umumnya adalah berkurangnya antusiasme dan harapan.
REDD-Monitor: Pada bulan Mei 2012, setelah diskusi selama bertahun-tahun mengenai illegal logging, Indonesia menandatangani sebuah Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA) dengan Uni Eropa. Apakah menurut Anda ada pelajaran yang relevan bagi REDD dari proses perdebatan illegal logging?
Chip Fay: Itu pertanyaan yang penting. VPA bergantung pada definisi sempit dari legalitas. Kelemahan dari proses itu adalah bahwa mereka hanya melihat pada hukum dan peraturan perundang-undangan kehutanan.
Steve Rhee: Saya ingin mengatakan bahwa ada dua pelajaran yang dapat dipetik di sana. Pertama adalah bahwa hal-hal seperti VPA menunjukkan bahwa isu-isu menyangkut kontributor yang signifikan terhadap produk domestik bruto dan situasi tata kelola yang kita miliki akan memakan waktu yang sangat lama. Itu satu hal. Kedua, jelas terdapat dimensi internasional terhadap hal itu. Orang di AS suka sekali membeli barang di Walmart karena sangat murah, jadi harus ada perubahan-perubahan pada keseluruhan rantai pasokan. Intinya, harus ada perubahan tata kelola. Tidak hanya di sini di Indonesia, tapi di sepanjang rantai secara keseluruhan. Jika produk dibuat di Cina, maka di sana juga (harus ada perubahan tata kelola). Saya pikir ketika Lacey Act (Undang-undang Lacey) baru terbit, ada semacam gaung karena itu betul-betul mempengaruhi secara potensial keseluruhan rantai pasokan tidak hanya di negara sumber tersebut. Dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadapnya adalah para importir, sehingga mereka punya lebih banyak untuk dipertaruhkan saat melihat isu-isu ini.
Menurut saya dinamika umum tersebut, dinamika kelembagaan, politik dan ekonomi, berperan dalam inisiatif mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Menurut saya ada banyak yang dapat dipelajari dari pengalaman VPA. Dan masih banyak yang harus dilakukan. Maksud saya hal itu sudah ditandatangani, tapi kita masih punya beberapa tahun lagi untuk melihat bagaimana implementasinya berjalan.
Wawancara ini adalah yang ketiga dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.