Related categories
Region
Publication
Related Stories
- “REDD jadi atau tidak?” tokoh masyarakat adat mengeluhkan kurangnya informasi mengenai proyek Ulu Masen
- Aktor-aktor REDD di Indonesia: Sepuluh Wawancara
- Wawancara dengan Bank Dunia di Indonesia: “REDD+ telah membuka ruang untuk dialog mendalam tentang isu yang sulit terkait kebijakan dan tenurial sektor hutan”
Down to Earth Newsletter
Subscribe to DTE's quarterly newsletter
Wawancara dengan Budhi Sayoko, Laksmi Banowati dan Rogier Klaver, UN-REDD Indonesia: “REDD+ adalah hal yang cukup menjanjikan untuk mengatasi deforestasi”
Bagian kesepuluh dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE
Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org
Oleh Chris Lang, 21 April 2012
Wawancara dengan Budhi Sayoko (Asisten Direktur Negara, Kepala Unit Lingkungan, UNDP), Laksmi Banowati (Manajer Program Nasional, UN-REDD) dan Rogier Klaver (Petugas Program UN-REDD Indonesia, FAO). Maret 2012.*
REDD-Monitor: Tolong ceritakan latar belakang singkat tentang kerja UN-REDD di Indonesia.
Budhi Sayoko: UN-REDD merupakan sebuah program bersama antara UNDP, FAO dan UNEP di tingkat global serta di tingkat negara uji coba. Program ini dimulai di Indonesia pada tahun 2009-2010, dengan permohonan mengenai apakah Indonesia tertarik menjadi bagian dari Program UN-REDD. Saya memperoleh penawaran itu dan menemui serta mendiskusikannya dengan kementerian-kementerian terkait. Saya mendiskusikannya dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Dewan Nasional untuk Perubahan Iklim.
Kementerian Kehutanan tertarik. Untuk menindaklanjuti ketertarikan dari Pemerintah Indonesia, sebuah analisis kesenjangan kesiapan REDD dilakukan oleh UNDP Indonesia. Lalu kami mengadakan serangkaian misi, tentu saja, yang mengidentifikasi di mana kesenjangan-kesenjangan yang mungkin ada untuk kesiapan REDD. Kami melakukan analisis kesenjangan dan mempresentasikannya kepada para pemangku kepentingan, termasuk Dewan Perubahan Iklim dan Kementerian Kehutanan serta Kementerian Lingkungan Hidup, dan Ornop-ornop seperti AMAN. Secara paralel, kami melakukan serangkaian misi gabungan (UNDP, FAO, UNEP dan Bank Dunia) untuk mendiskusikan lebih lanjut hasil dari analisis kesenjangan di atas.
Dalam program itu, fase pertama adalah pembangunan konsensus di tingkat nasional, karena pada saat itu tidak ada REDD+, tidak ada FCPF (Forest Carbon Partnership Facility – Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan), dan menurut saya bahwa kementerian-kementerian terkait masih memperkuat diri mereka sendiri. Jadi pembangunan konsensus sangatlah penting.
Yang kedua adalah MRV [Measurement, Reporting and Verification – Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi] dan REL [Reference Emission Level – Referensi Tingkat Emisi] yang merupakan ranah dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Rogier Klaver: FAO terutama bekerja pada isu-isu teknis Pemantauan (Monitoring), MRV (Pengukuran, untuk Pelaporan dan untuk Verifikasi) dan REL (Referensi Tingkat Emisi). Melalui program UN-REDD Indonesia kami bekerja dengan Kementerian Kehutanan dan para pemangku kepentingan lain (Satuan Tugas REDD+, Dinas Kehutanan, universitas) untuk mengembangkan metodologi untuk isu-isu ini dan mengujinya dalam provinsi uji coba kami yakni Sulawesi Tengah.
Budhi Sayoko: Dan yang ketiga adalah mengenai pembuatan sebuah demo dan memperkuat pemerintah daerah, yang akan menjadi uji coba dari inisiatif ini. Jadi ada tiga hal. Di tingkat nasional, pertama adalah pembangunan konsensus, konsultasi berbasis-luas dan seterusnya, kedua MRV dan REL, dan yang ketiga adalah kesiapan pemerintah daerah.
REDD-Monitor: Berapa orang yang dipekerjakan oleh UN-REDD di Indonesia secara keseluruhan?
Budhi Sayoko: Kurang dari sepuluh.
REDD-Monitor: Dan semuanya berbasis di Jakarta?
Budhi Sayoko: Ya, selain Kementerian Kehutanan. Ada kantor proyek UN-REDD di bawah Kementerian Kehutanan di Manggala Wanabakti.
REDD-Monitor: Bisakah Anda terangkan apa yang telah dicapai oleh UN-REDD di Indonesia sejauh ini?
Budhi Sayoko: Ada sejumlah pencapaian. Pertama, pada komponen pertama, pembangunan konsensus, UN-REDD dan tim mengembangkan sebuah draf Strategi Nasional untuk REDD+. Draf itu telah dikoordinasikan dengan BAPPENAS (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional). Pada saat yang sama, ada LoI (Surat Pernyataan Kehendak) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia. Kami menyerahkan strategi nasional untuk REDD+, setelah konsultasi luas, kepada Satuan Tugas REDD+, yang dikepalai oleh Pak Kuntoro (Mangkusubroto). Menurut saya Strategi Nasional akan diluncurkan lebih cepat, bukan ditunda-tunda.
Kedua, di bawah komponen nomor dua tentang MRV dan REL, apa yang saya pahami adalah bahwa tim (FAO) telah membuat sebuah draf mengenai kerangka MRV. Draf itu akan diuji coba dalam provinsi penguji UN-REDD, tapi sebenarnya merupakan kerangka nasional. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan dokumen ini ketika sudah diselesaikan.
Ketiga adalah bahwa telah diseleksi dan disetujui bahwa Sulawesi Tengah akan menjadi provinsi uji coba. Tim UN-REDD bertemu dengan gubernur. Gubernur telah berkomitmen, gubernur pergi ke Durban dan kemudian mengumumkan bahwa mereka berkomitmen untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan dan seterusnya. Beliau sangat berkomitmen walaupun ini merupakan target yang ambisius, pemotongan emisi sebesar 3%.
Keempat, proyek tersebut telah mengembangkan pedoman FPIC (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan) yang akan dibagikan kepada semua segera setelah diselesaikan.
Rogier Klaver: Kami memang mengembangkan sesuatu dalam kerangka MRV, walau untuk tepatnya ini merupakan sebuah rekomendasi mengenai Informasi, Pemantauan dan MRV untuk REDD+ di Indonesia. Dokumen ini diserahkan kepada Satuan Tugas REDD+ pada bulan Juni tahun lalu. Meski demikian dokumen ini tidak dikembangkan secara resmi oleh UN-REDD Indonesia, melainkan oleh program UN-REDD global. Tentu saja dalam praktik keduanya bekerja bersama-sama dengan erat dan UN-REDD Indonesia memang mendukung proses konsultasi untuk rekomendasi tersebut. Rekomendasi ini bukanlah semacam dokumen teknis. Rekomendasi ini lebih berfokus pada sisi operasional dalam membangun sistem MRV. Ini mencakup kesepakatan-kesepakatan berikutnya yang dicapai di CoP 16 di Cancun untuk mengimplementasikan REDD+ dalam tiga fase. Rekomendasi tersebut menguraikan apa arti hal itu bagi implementasi MRV di Indonesia. Rekomendasi itu juga mencakup sebuah usulan pengaturan kelembagaan. Tentu saja ini adalah isu yang sulit, tapi memang selalu baik untuk memiliki titik awal di mana diskusi bisa berlanjut.
Apa yang kami lakukan di bawah program nasional adalah mengerjakan metodologi untuk komponen-komponen Pemantauan, MRV dan REL. Melalui kerja sama kami dengan Kementerian Kehutanan kami memusatkan perhatian terutama pada Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory), yang merupakan bagian penting dari pengukuran. Bagian lainnya adalah Pemantauan Satelit. Untuk menghindari duplikasi dengan inisiatif-inisiatif lain kami memilih untuk memusatkan perhatian pada inventarisasi hutan dan memfasilitasi kerja sama untuk bagian Pemantauan Satelit. Inventarisasi hutan tengah diperbaiki untuk memenuhi persyaratan REDD+. Ini berarti bahwa lebih banyak sampel petak tanah yang dibutuhkan dan parameter-parameter yang diukur dalam petak-petak tanah itu diperluas. Rancangannya sekarang selesai dikerjakan. Pengukuran masih ditunda karena beberapa masalah administratif. Di Sulawesi Tengah kami akan mengukur sekitar 50 sampel petak tanah (selain petak tanah yang ada yang sedang diukur oleh Kementerian Kehutanan) mengikuti rancangan yang diperbaiki. Selain pengukuran tersebut kami juga memasukkan komponen kendali mutu. Hasil-hasil dari pengukuran ini akan dimasukkan ke dalam sistem pengelolaan data yang baru dikembangkan yang sekali lagi akan mendukung kualitas data tersebut dan kemudahan penggunaannya. Data ini kemudian digabungkan dengan data Satelit dari Kementerian Kehutanan dan Lapan dan dilaporkan dengan mengikuti metodologi yang serupa dengan yang digunakan negara-negara untuk membuat laporan ke UNFCCC. Laporan itu kemudian diverifikasi lagi mengikuti metodologi yang serupa seperti yang digunakan UNFCCC. Melalui pendekatan ini kami melakukan simulasi proses keseluruhan yang juga akan digunakan dalam pelaporan di masa mendatang kepada UNFCCC.
Sebagaimana yang Anda lihat, pekerjaannya cukup teknis. Kami meyakini bahwa ini tidak hanya akan menguntungkan REDD+ tapi juga kapasitas pemantauan hutan secara umum dari Kementerian Kehutanan dan para pemangku kepentingan lain yang terlibat.
Kerja REL memusatkan perhatian pada pengembangan metodologi yang diuji di Sulawesi Tengah. Kami sekarang berada pada tahap di mana kekuatan dan kelemahan dari metodologi-metodologi yang berbeda telah dianalisis berdasarkan penggunaan aktual. Laporan tersebut akan didiskusikan dengan para pakar lokal segera. Ini akan membantu Pemerintah Indonesia untuk memutuskan penggunaan metodologi untuk REL di Indonesia. Segera setelah suatu metodologi dipilih kami akan menerapkan metodologi itu di Sulawesi Tengah dengan data yang paling mutakhir yang ditetapkan untuk membangun suatu REL, yang akan dilakukan penelaahan sejawat oleh para ilmuwan.
REDD-Monitor: Berapa banyak uang yang telah dihabiskan UN-REDD di Indonesia?
Budhi Sayoko: Sebenarnya tidak banyak, hanya USD5,6 milyar, karena ini merupakan kesiapan awal REDD. Menurut saya uang tersebut secara rata dibagi antara FAO, UNEP dan UNDP.
REDD-Monitor: Sudah adakah uang dari UN-REDD yang mengalir ke Sulawesi Tengah, provinsi uji coba UN-REDD?
Budhi Sayoko: Tujuannya sebenarnya adalah untuk mendapatkan komitmen dari pemerintah lokal atau sub-nasional. Uangnya lebih bersifat sebagai bantuan teknis, pengembangan peraturan-peraturan, pembangunan kapasitas, dll. Gubernur Sulawesi Tengah sekarang memiliki sebuah kelompok kerja REDD+ dan proyek tersebut telah membantu kabupaten-kabupaten yang terpilih untuk REDD+. Dan memfasilitasi para pemangku kepentingan, termasuk Ornop. AMAN juga sangat terlibat di Sulawesi Tengah.
Dalam hal intervensi-intervensi di masa mendatang, kita harus melihat keputusan-keputusan yang dibuat dalam rapat dewan proyek tersebut, mungkin sekitar April atau Juni.
REDD-Monitor: Berapa lama lagi program UN-REDD berjalan di Indonesia? Di laman dikatakan program itu berjalan sampai Juni 2012.
Budhi Sayoko: Ya, Juni 2012. Itu berarti lebih kurang dua tahun. Strategi pengakhirannya sangatlah penting. Dalam rapat terakhir dewan proyek didiskusikan dan diputuskan kemungkinan perpanjangan selama beberapa bulan tergantung pada justifikasi yang kuat, lini waktu, hasil-hasil target yang jelas dan tonggak capaian. Ini akan dipresentasikan dan didiskusikan dalam rapat Dewan Proyek berikutnya. Diharapkan akan terlihat aktivitas-aktivitas untuk upaya yang berkesinambungan untuk Sulawesi Tengah sebagai provinsi uji coba UN-REDD.
Ketika kita berupaya untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan hutan yang terdegradasi, kita membutuhkan sebuah rencana aksi. Sebuah rencana aksi nasional yang dikembangkan oleh semua pemangku kepentingan yang terkait yang dipimpin oleh BAPPENAS diumumkan tahun lalu. Rencana itu disebut Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, RAN-GRK. RAN-GRK terdiri dari berbagai sektor, salah satunya adalah kehutanan dan lahan gambut. RAN-GRK kemudian digunakan sebagai referensi untuk mengembangkan pedoman-pedoman RAD-GRK (Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca). Jadi ketika satu provinsi ingin menurunkan emisi mereka dengan menurunkan laju deforestasi, itu berarti bahwa aktivitas ini harus tercermin dalam RAD-GRK. RAD-GRK tersebut akan dikembangkan oleh provinsi.
Di tingkat nasional, BAPPENAS tengah melakukan sebuah presentasi keliling (road show) ke seluruh provinsi guna memasyarakatkan pedoman RAD-GRK. Hal itu sangat strategis dan tepat waktu karena Sulawesi Tengah juga sedang mengembangkan rencana aksi GRK Provinsi. Diharapkan bahwa rencana untuk memperpanjang proyek UN-REDD akan mencakup aktivitas-aktivitas strategis dengan bekerja sama dengan REDD+.
REDD-Monitor: Mengapa Sulawesi Tengah dipilih sebagai salah satu provinsi uji coba? Laju deforestasi jauh lebih tinggi di Sumatera, atau Kalimantan, atau Papua ketimbang di Sulawesi Tengah.
Budhi Sayoko: Tentu saja ada beberapa kriteria yang kami gunakan. Jika Anda lihat secara umum, ada sembilan provinsi REDD+ di Indonesia (Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua dan Papua Barat) yang dipilih oleh proyek REDD+, dan hanya Sulawesi yang tidak tercakup. Sulawesi memiliki keanekaragaman hayati yang sangat unik sehingga memilih Sulawesi Tengah sebagai Provinsi uji coba UN-REDD tentu saja akan memperkaya upaya untuk menurunkan laju deforestasi.
REDD-Monitor: Tolong jelaskan bagaimana UN-REDD bekerja di tingkat lokal dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat? Secara khusus tolong ceritakan bagaimana Anda memastikan berlangsungnya proses persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.
Budhi Sayoko: Saya tahu bahwa mereka bekerja dengan harmonis, bekerja bersama-sama dengan pemerintah daerah, masyarakat lokal, AMAN dan seterusnya. Saya tidak tahu apakah saya bisa menemukan pengalaman ini dalam inisiatif-inisiatif yang lain. Ada kerja sama yang sangat manis.
Laksmi Banowati: Untuk memastikan ketercakupan, membangun kapasitas pemangku kepentingan dan untuk menciptakan rasa memiliki dari para pemangku kepentingan, Program UN-REDD Indonesia dan pemerintah Sulawesi Tengah membentuk sebuah Kelompok Kerja untuk mengkoordinasi aktivitas REDD di Sulawesi Tengah. Untuk ini, masyarakat adat dan masyarakat lokal Sulawesi Tengah memilih sendiri perwakilan mereka untuk Kelompok Kerja REDD+ tersebut. Standar yang sama diterapkan pada Ornop-ornop yang memusatkan perhatiannya pada isu-isu perempuan dan gender; mereka menyeleksi sendiri perwakilan mereka untuk Kelompok Kerja itu. Sebagai hasil dari proses demokratis ini, ada 10 perwakilan dari masyarakat lokal, masyarakat adat dan LSM di dalam Kelompok Kerja.
Kelompok Kerja REDD+ Sulawesi Tengah telah aktif sejak pengukuhannya melalui Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah (Surat Keputusan no. 522/84/Dishutda – G.ST/2011) pada 18 Februari 2011, dan Program UN-REDD Indonesia sekarang secara aktif mendukung program Kelompok Kerja tersebut. Selanjutnya Kelompok Kerja itu baru saja melakukan sebuah uji coba padiatapa di salah satu lokasi pengujian di Sulawesi Tengah. Keseluruhan proses meliputi pengembangan pedoman padiatapa oleh Kelompok Kerja tersebut, pengembangan bahan-bahan komunikasi yang ditargetkan pada masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal dan uji coba itu sendiri yang berlangsung di Desa Lembah Mukti. Desa Lembah Mukti dipilih karena Unit Pengelolaan Hutan Dampelas Tinombo memiliki rencana untuk menerapkan sebuah program rehabilitasi hutan, dan ini akan mempengaruhi para penduduk desa yang mata pencahariannya bergantung pada hutan.
Selama uji coba padiatapa, fasilitator independen (yang sudah terlatih) meminta persetujuan penduduk desa atas program tersebut.
REDD-Monitor: Ada berbagai sistem pengaman yang telah diajukan atau dipromosikan oleh berbagai aktor dalam REDD. Walau demikian, Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat PBB belum secara eksplisit dipakai di tingkat UNFCCC. Sistem pengaman yang mana yang digunakan UN-REDD?
Budhi Sayoko: Sistem pengaman dalam hal apa? Karena padiatapa juga sebuah sistem pengaman.
REDD-Monitor: Ya. Tapi padiatapa tidak secara spesifik dicakup dalam sistem pengaman UNFCCC untuk REDD.
Budhi Sayoko: Kenyataannya kami menggunakan padiatapa.
Laksmi Banowati: Program UN-REDD telah mengurus sistem pengaman sosial, lingkungan hidup, tata kelola dan gender. Sistem pengaman padiatapa, tata kelola dan gender telah diusulkan agar tercakup dalam Strategi Nasional REDD+. Pedoman mengenai penerapan padiatapa dikembangkan dan diuji di lapangan.
REDD-Monitor: Laman UN-REDD secara ekplisit mengatakan bahwa REDD akan menjadi mekanisme perdagangan karbon. Pada bulan Oktober 2011, the Financial Times menulis bahwa pasar-pasar karbon sudah tidak bergerak. Sejak saat itu tidak banyak kemajuan. Dengan mempertimbangkan semua masalah dengan pasar-pasar karbon, apakah UN-REDD masih meyakini bahwa sebuah mekanisme perdagangan karbon merupakan cara terbaik membiayai REDD?
Budhi Sayoko: Ini pertanyaan yang sangat sulit dan menantang. Karena bahkan jika karbon tidak memiliki nilai di pasar, upaya melakukan konservasi atau meminimalkan laju deforestasi adalah suatu keharusan. Jadi hal ini harus dianggarkan oleh negara, entah anggaran nasional, atau anggaran daerah sub-nasional. Tapi karena sekarang ada pilihan karena karbon memiliki suatu nilai, orang berpikir, “Hey, saya bisa jual ini. Jadi saya harus melestarikan hutan.”
Kita juga tak seharusnya hanya memusatkan perhatian pada uang yang didapat dari perdagangan karbon. Kita harus melestarikan keanekaragaman hayati juga karena keanekaragaman memiliki sebuah nilai. Tidak hanya nilai saat ini dari keanekaragaman hayati penting tapi juga nilai-nilai masa depan seperti nilai-nilai pilihan, nilai-nilai warisan dll. Kami tidak tahu berapa nilainya sekarang tapi di masa depan saya rasa kita akan tahu.
REDD-Monitor: Tahun lalu Uni Eropa dan Indonesia menandatangani suatu Kesepakatan Kerjasama Sukarela mengenai illegal logging. Menurut Anda pelajaran-pelajaran apa yang dapat dipetik dari diskusi mengenai illegal logging dalam kaitan dengan diskusi-diskusi terkini mengenai REDD?
Budhi Sayoko: Sebenarnya, illegal logging merupakan bagian dari isu tata kelola, korupsi dan nepotisme dan seterusnya. Saya tidak tahu apakah upaya-upaya untuk menangani kerangka kerja semacam itu telah mampu menurunkan penebangan liar. Menurut saya tidak.
Kalau berkaitan dengan REDD, perbedaannya adalah mengenai ketaatan. Di bawah REDD+, menurut saya akan menjadi transparan. Petanya akan merupakan peta waktu-sebenarnya (real time) atau setidaknya yang mutakhir. Pemetaan garis dasar harus dikembangkan di semua provinsi penguji REDD. Jika sebuah area dimaksudkan sebagai zona penguji REDD, kita harus memahami petanya, kita harus memahami rencana spasialnya, kita juga harus memahami dimana sektor swasta sedang melakukan usaha mereka. Kita harus tahu juga area mana yang merupakan ranah Kementerian Kehutanan dan yang mana yang merupakan ranah Kementerian Pertanian. Dan dengan informasi itu di tangan kami, maka infrastruktur REDD+ dan blok-blok bangunan dapat dirancang dengan efektif.
Bagi saya tampaknya REDD+ adalah hal yang cukup menjanjikan untuk mengatasi deforestasi. REDD+ juga bergantung pada siapa yang berada di belakang inisiatif ini dan siapa yang merancang REDD+. Saya memahami bahwa SBY [Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia) berada di belakang REDD, dan beliau adalah tipe orang yang anti-korupsi. Menurut saya semua praktik-praktik buruk di masa lalu dapat dikurangi secara substansial. Laju deforestasi tidak bisa menjadi nol, tapi deforestasi harus tidak boleh melampaui keberlanjutannya. Laju deforestasi di Indonesia sekarang kurang dari satu juta hektare per tahun. Sebelumnya 1,2 juta hektare per tahun. Jadi kita lihat saja. Juga ada moratorium, yang menurut saya adalah alat yang baik, walau kita masih harus melihat bagaimana hasilnya.
REDD-Monitor: Apa hubungan antara UN-REDD dan Norwegia?
Budhi Sayoko: UN-REDD didanai secara global oleh UN-REDD global, yang dibentuk seperti dana perwalian. Dan dana perwalian ini didanai oleh Norwegia. Dan REDD+ di Indonesia juga didanai oleh Norwegia, melalui Surat Pernyataan Kehendak antara pemerintah Indonesia dan Norwegia.
Jadi pertanyaan Anda adalah hubungan antara UN-REDD dan Norwegia?
REDD-Monitor: Dari pekan ke pekan Anda melakukan banyak pertemuan dengan para pendukung REDD lainnya, tidak hanya dengan Norwegia, tapi Bank Dunia memiliki sebuah program, Australia memiliki sebuah program, GIZ memiliki sebuah program, Inggris memiliki sebuah program, Jepang memiliki sebuah program. Bagaimana seluruh program REDD yang berbagai macam ini dikoordinasikan?
Budhi Sayoko: Ada rapat informal berkala dari pihak donor, paling tidak sekali sebulan. Pada sisi pemerintah ada juga rapat berkala, untuk koordinasi kebijakan.
Laksmi Banowati: Pertama, UN-REDD mendukung aktivitas Kementerian Kehutanan untuk mengadakan pertemuan Koordinasi Aktivitas Demonstrasi tahun lalu (Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia, GIZ – Badan Kerja Sama Internasional Jerman, Organisasi Kayu Tropis Internasional, … seluruhnya ada 11 proyek). Mereka duduk bersama dan saling mengabarkan perkembangan mereka. Kami membuat sebuah prosiding yang berisikan aktivitas-aktivitas terbaru dan perkembangan mereka.
Kedua, dalam topik-topik tertentu, misalnya mengenai mekanisme pendanaan, sistem pembayaran, kami juga mengadakan pertemuan dengan mitra-mitra Kementerian Kehutanan (Bank Dunia, Norwegia, Satuan Tugas REDD+, dll) untuk menyelaraskan kerja kami supaya tidak menduplikasi kerja satu sama lain.
REDD-Monitor: Apa yang Anda pandang sebagai risiko-risiko terbesar yang terkait dengan REDD? Dan bagaimana UN-REDD berupaya untuk menangani risiko-risiko tersebut?
Budhi Sayoko: Risikonya lebih pada keberlanjutan inisiatif ini. Kami bersama-sama, FAO, UNEP dan UNDP, mencoba membantu pemerintah sektoral dan pemerintah sedang membantu pemerintah daerah. Komitmennya memang ada, kelompok kerja telah dibentuk, tapi tentu saja diperlukan tindak lanjut dari komitmen ini. Kami mengadakan sebuah rapat dewan proyek, pada bulan Maret, untuk mencoba menangani hal ini. Norwegia ada di sana, para anggota satuan tugas REDD+ ada di sana, Kementerian Kehutanan, seluruh tiga badan PBB dan juga para perwakilan masyarakat adat untuk mendiskusikan ke mana kita akan menuju. Diskusi tersebut akan dilanjutkan dalam rapat dewan proyek sebelum proyek ini berakhir.
Satu tanda yang baik adalah bahwa pemerintah (BAPPENAS dan yang lainnya) akan membantu dalam pengembangan RAD-GRK, rencana aksi GRK lokal.
REDD-Monitor: Menurut pendapat Anda, apa yang perlu terwujud agar REDD berhasil di Indonesia?
Budhi Sayoko: Pertama, kita harus mengandalkan pemetaan garis dasar yang mengidentifikasi isu sebenarnya di lapangan. Kedua, adalah untuk menetapkan kebijakan, strategi, instrumen pendanaan, kerangka dan sistem MRV (Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi), Badan REDD+, semua mekanisme yang terkait dan SOP yang koheren. Ketika infrastrukturnya dibangun dengan target yang jelas, indikator-indikator keberhasilan yang kuat dan dapat dipantau secara berkala, lalu meningkatkan kesadaran dan pembangunan kapasitas.
REDD-Monitor: Ini akan jadi badan-badan Pemerintah?
Budhi Sayoko: Ya, badan-badan pemerintah. Badan-badan REDD bisa menjadi sebuah kombinasi juga. Tapi mereka harus independen, itu sangat penting. Dan semua informasi mengenai implementasi REDD+ harus dapat diakses, jadi semua orang dapat melihat apakah ini benar atau salah. Kita harus menunggu sampai 2016, 17, 18 saat infrastrukturnya sudah dibangun. Menurut saya, saat itu Indonesia sudah akan berbeda!
REDD-Monitor: Banyak hal telah terjadi pada REDD dalam sekitar empat tahun terakhir di Indonesia. Presiden telah sering kali mengatakan bahwa beliau mendukung pengurangan deforestasi. Tapi masih berlangsung perluasan konsesi kelapa sawit, masih ada konsesi pertambangan, konsesi eksplorasi minyak, yang pada dasarnya skenario bisnis seperti biasa. Apakah Anda optimis atau pesimis mengenai apakah REDD dapat menangani deforestasi di Indonesia?
Budhi Sayoko: Walaupun kita memiliki alat yang sangat baik, walaupun kita memiliki mekanisme yang sangat baik, sebuah kerangka, atau institusi yang akan mampu menangani semua isu-isu REDD tersebut, menurut saya satu hal yang penting adalah lanskap politiknya, di dalam pemerintahan berikutnya. Jika kuat, maka isu-isu seperti peraturan yang tumpang-tindih, UU energi, UU kehutanan, UU pertanian, dan yang lainnya dapat diminimalkan.
Tentu saja kita tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, apakah terjadi transaksi-transaksi di lapangan. Kita tidak tahu. Tapi begitu strukturnya terbangun dan prosesnya transparan, maka semuanya menjadi jelas. Saya percaya pada sistemnya. Begitu Anda membangun sistem, dan ada orang-orang yang baik di belakangnya, maka sistem itu akan berhasil. Tentu saja, hal itu sangat menantang.
Laksmi Banowati: REDD+ adalah sebuah mekanisme untuk membangun kapasitas dan sebuah pendekatan untuk membuat pembangunan lebih sedikit merusak lingkungan hidup dan masyarakat. Saatnya tepat bagi Indonesia untuk mengatakan bahwa solusi untuk mengurangi deforestasi adalah pengelolaan hutan yang layak dan industri minyak sawit yang berkelanjutan, bukan hanya perluasan. Dalam konteks Indonesia, REDD+ jelas bergerak melampaui kesepakatan atau inisiatif apapun yang sedang berlangsung saat ini.
Indonesia sekarang mengeluarkan sebuah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Peraturan Presiden No. 61/2011) dan juga akan diikuti dengan pengembangan Rencana Aksi Provinsi. Salah satu aktivitasnya adalah mengenai kehutanan dan lahan gambut. Dengan hal ini, saya yakin bahwa ketetapan ini adalah suatu komitmen politik yang dilanjutkan dengan implementasi.
Ketetapan lainnya adalah mengenai Moratorium Lahan Gambut dan Hutan Alam. Ini juga akan menjadi instrumen untuk mengurangi degradasi dan deforestasi di Indonesia.
Wawancara ini adalah yang kesepuluh dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.
* Wawancara dengan Budhi Sayoko berlangsung di kantor UNDP di Jakarta. Tanggapan-tanggapan yang lain adalah melalui surat elektronik.