Switch to English |
Penelitian terbaru oleh ahli-ahli kehutanan Indonesia dan internasional melontarkan keraguan terhadap aspek legalitas dari sebagian besar hak penebangan hutan yang "legal" di Indonesia. Sebuah dokumen pembahasan yang disiapkan untuk dialog pada bulan Januari 2003 tentang penerapan dua prinsip Forest Stewardship Council (FSC) di Indonesia, memasukkan suatu tinjauan ulang yang rinci terhadap catatan-catatan Departemen Kehutanan di bagian Planologi. Tim tersebut mengungkapkan penemuan yang mengejutkan "[b]arangkali, sebagian besar ijin hak penebangan hutan, termasuk opsi hutan masyarakat, yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dapat dipertanyakan legalitasnya akibat berbagai kelemahan besar dalam proses penerbitan gazette (lembaran negara) lahan-lahan hutan. Sebagai akibat kegagalan prosedural ini, setidaknya sekitar 90% "lahan hutan" tidak pernah dialihkan dengan benar ke dalam jurisdiksi Departemen Kehutanan."
Sebelumnya, telah diberitakan pula bahwa hanya 68% lahan yang diklaim oleh departemen kehutanan telah diproses sebagai lembaran negara secara resmi dan diberitakan sesuai dengan aturan (lihat Fay and Sirait, dikutip dari Forests People and Rights. Hal. 5).
Persoalan legalitas adalah salah satu yang harus diselesaikan jika kesepakatan internasional tentang pengawasan ketat perdagangan kayu benar-benar akan diterapkan, karena apa yang dianggap illegal oleh komunitas-komunitas adat bisa dianggap legal oleh pemegang hak penebangan. DFID, badan bantuan luar negeri Pemerintah Inggris yang menyusun draft MoU Indonesia-Inggris tentang perdagangan ilegal yang ditandatangani pada bulan April tahun lalu, telah mengakui kebutuhan definisi yang tepat tentang penebangan ilegal, dan pada tahun lalu menyetujui untuk mendanai kebutuhan konsultasi. Meskipun demikian, semuanya sampai sekarang belum terlaksana. (lihat juga DTE 53/54).
(Sumber: The Application of FSC Principles 2&3 in Indonesia: Obstacles and Possibilities, a Discussion Document, oleh Marcus Colchester, Martua Sirait dan Boedhi Wijardjo, dengan sumbangan tulisan dari Silvester Tomas Daliman dan Herbert Pane, Januari 2003.)
Catatan: Dalam terbitan DTE selanjutnya, kami berharap dapat menyertakan laporan lengkap dialog serta temuan-temuan penting tentang masalah ini, berikut rekomendasi tentang hak-hak masyarakat adat.