Switch to English |
Ketika RIO TINTO melangsungkan RUT di London dan Perth, muncul gelombang protes bersama dari berbagai negara, seperti Indonesia, Australia dan Inggris. Mereka yang melakukan protes mengungkapkan prestasi buruk perusahaan gabungan Inggris dan Australia tersebut berkaitan dengan masalah lingkungan dan sosial. Terdapat daftar panjang dari berbagai negara, termasuk di Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Zimbabwe, Papua Nugini, Kanada dan Bougainville. Sementara itu, Sir Robert Wilson, pimpinan Rio Tinto yang akan pensiun, berpidato di hadapan para pemegang saham tentang keberhasilan perusahaan sepanjang tahun 2002. Robert Wilson mengatakan sepanjang tahun itu pihak perusahaan berhasil menuai tingkat pendapatan terbaik kedua senilai 4.000 juta dolar. Keberhasilan tersebut menurutnya didasarkan pada strategi perusahaan yang konsisten terhadap penanaman modal untuk proyek-proyek berskala besar dengan periode waktu panjang dan biaya rendah. Namun, dengan memperhatikan gelombang protes dalam dua rapat tahunan tersebut, jelas terlihat ketidakpuasan dari mereka yang mengalami akibat langsung strategi tersebut, yaitu komunitas lokal tempat berlangsungnya proyek dan juga buruh tambang.
Di Sulawesi Tengah, tempat Rio Tinto memiliki konsesi tambang emas Poboya, komunitas-komunitas lokal dan LSM mengirimkan pesan pedas yang ditujukan kepada dewan direksi dan para pemegang saham saat RUT berlangsung di London. Pesan itu tercantum dalam spanduk raksasa berukuran 20m x 20m, dengan latar belakang cahaya 200 obor yang menerangi pesan berbunyi: "Tolak Rio Tinto". Pada saat yang sama, pada tanggal 14 April terdapat sekelompok masyarakat yang berkemah dan berjaga semalaman guna memperingati Hari Bumi yang jatuh pada tanggal tersebut. Mereka membahas masalah tentang bagaimanakah cara terbaik menghentikan penambangan emas di hutan adat Poboya Paneki. Esok paginya, mereka menggelar demonstrasi di luar kantor gubernur dan mengajukan tuntutan agar gubernur turut menandatangani petisi untuk menolak tambang emas tersebut.
Sesungguhnya, pemerintah pusat dan propinsi telah menolak ijin pertambangan di taman hutan Poboya-Paneki. Namun masyarakat ternyata masih merasa khawatir dengan kemungkinan perubahan sikap pemerintah. Dengan memperhatikan kemungkinan tekanan kuat perusahaan-perusahaan pertambangan internasional terhadap pemerintah Indonesia, besar kemungkinan pemerintah akan mengubah undang-undang yang telah ditetapkan dan kemudian mengijinkan penambangan di wilayah hutan lindung tersebut. Kemungkinan bahwa perusahaan tersebut akan kembali menguasai wilayah mereka menjadi kekhawatiran terbesar komunitas itu. Pada tanggal 17 April saat berlangsungnya RUT Rio Tinto di London, Yuyun Indradi dari DTE/AMAN, mengajukan tuntutan yang ditujukan kepada dewan direksi Rio Tinto. Intinya adalah sebuah desakan kapan Rio Tinto akan mengembalikan konsesi lahan mereka kepada pemilik yang berhak—yaitu komunitas-komunitas adat yang tinggal di wilayah penambangan. Tuntutan ini diajukan dua hari sebelumnya saat digelarnya demonstrasi terhadap Rio Tinto. Dalam kesempatan itu, Yuyun membacakan pernyataan komunitas yang diwakilinya.
Meskipun demikian, mantan pimpinan Rio Tinto, Robert Wilson, sekali lagi menolak menyebutkan bahwa perusahaan yang diwakilinya memiliki kepentingan untuk melakukan kegiatan penambangan di wilayah Poboya. Menurut Wilson, Rio Tinto sudah tidak beroperasi di wilayah itu sejak tahun 1999. Namun, sesungguhnya Rio Tinto telah menandatangani sebuah kesepakatan yang mengijinkan perusahaan Australia, Newcrest, untuk menggunakan konsesi Poboya. Rio Tinto hanya dapat menjual bunga sahamnya kepada Newcrest, begitu ijin penambangan disetujui. Jelas Rio Tinto masih memiliki tanggungjawab terhadap masa depan Poboya dan masih memiliki kepentingan agar larangan kegiatan penambangan di wilayah itu dicabut. (Untuk informasi latar belakang, lihat DTE 56:14).
Seorang pemrotes dari kalangan pemegang saham, Richard Harkinson, menegaskan pentingnya para manajer Rio Tinto untuk berpegang teguh pada prinsip HAM. Ia melontarkan pertanyaan bagaimanakah perusahaan itu bisa terkait dengan pelanggaran-pelanggaran HAM di pertambangan Freeport di Papua Barat, yang mana perusahaan tersebut memiliki saham minoritas. Ia menyerukan sebuah kajian mandiri tentang situasi hak asasi manusia di Papua Barat, khususnya berkait dengan terungkapnya informasi dari para operator pertambangan, Freeport McMoran, bahwa pada tahun lalu perusahaan itu telah membayar jutaan dolar kepada pihak militer Indonesia.
Dalam siaran persnya, juru kampanye Friends of the Earth, Ed Matthew, menyatakan catatan hak asasi manusia dan lingkungan Rio Tinto yang "teramat buruk." Namun, "Undang-undang perusahaan Inggris membiarkan mereka lolos begitu saja". Oleh karena itu, Ed Matthew mengemukakan agar pemerintah Inggris seharusnya mengubah sistem undang-undang perusahaan yang sekarang berlaku sehingga para - direktur perusahaan yang tidak bertanggungjawab seperti Rio Tinto dapat dituntut dan dikenakan sanksi hukum atas tindakan mereka yang merusak di luar negeri. Ini adalah satu-satunya cara agar mereka benar-benar memperhatikan tanggungjawabnya dengan serius."
Sementara itu, pada tanggal 1 Mei, sekitar 2000 buruh menggelar demonstrasi di Perth saat berlangsungnya Rapat Tahunan Rio Tinto. Demonstrasi itu dilakukan sebagai dukungan bagi wakil-wakil serikat buruh dari Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Seorang mantan pekerja pertambangan tembaga Rio Tinto di Keenecot, Utah, Amerika Serikat, Wayne Holland, mengajukan protes tentang ancaman hilangnya fasilitas kesehatan bagi keluarga pekerja, termasuk juga bagi mereka yang pensiun. Apabila ancaman itu benar-benar terlaksana, Wayne Holland menyebutkan kemungkinan kesulitan yang akan mereka hadapi, seperti sakit dan kematian dini di kalangan pekerja dan pensiunan buruh tambang. Holland juga mengemukakan suatu gambaran kontras antara kondisi hidup keluarga-keluarga pekerja tambang di Kennecot dibandingkan dengan prospek masa depan kesehatan Sir Robert Wilson yang akan pensiun dan mendapat pesangon sebesar 23,8 juta dolar.
Sir Robert Wilson sendiri sudah bekerja selama lebih tiga puluh tahun di Rio Tinto. Pada tahun 1991 ia menjabat sebagai ketua eksekutif Rio Tinto plc dan kemudian diangkat sebagai ketua eksekutif pada tahun 1997. Posisi Robert Wilson akan digantikan oleh Paul Skinner yang sebelumnya menjabat sebagai direktur pelaksana Shell Group. Sementara itu, Liegh Clifford, direktur Freeport McMoran, sampai kini tetap menjabat sebagai pimpinan eksekutif Rio Tinto.
(Sumber: catatan-catatan DTE dari Rapat Tahunan London, Siaran Media CFMEU, 1/Mei/03; Siaran Pers MPI/WALHI/JATAM 17/April/03; Komite Hari Bumi Sulawesi Tengah, Tolak Rio Tinto; terjemahan 16/April/2003; Siaran Pers FoE 17/April/03).
Laporan terbaru WALHI tentang Rio Tinto
Setelah RUT London, wakil Friends of the Earth memberikan anugerah kepada Robert Wilson sebuah cendera mata yang memang layak diterimanya: laporan terbaru berisi kritik WALHI berkaitan dengan kepentingan-kepentingan Rio Tinto di Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat. Laporan itu berjudul: 'Undermining Indonesia: Adverse social and environmental impacts of Rio Tinto's mining operations in Indonesia'. (Menghancurkan Indonesia: Dampak Sosial dan Lingkungan yang Merugikan dari Operasi Pertambangan Rio Tinto di Indonesia). Laporan ini akan menjadi kenangan yang mengingatkan Robert Wilson tentang berbagai kerusakan yang dilakukan Rio Tinto selama kepemimpinannya.
Laporan itu menguraikan tentang empat kepentingan Rio Tinto di Indonesia: Kelian, Kaltim Prima, Freeport dan Poboya. Menurut WALHI, tambang emas PT Kelian Equatorial Mining (PT KEM) di Kalimantan Timur (90% sahamnya dikuasai oleh RT) akan menimbun 100 juta ton limbah batu di lingkungan sekitarnya ketika perusahaan itu menyelesaikan operasi pertambangan mereka. Laporan itu menuduh perusahaan mendorong terciptanya situasi yang memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang lingkungan di Indonesia. Selain itu, laporan itu menekankan pula keprihatinan terhadap penggunaan sianida dan drainase batu asam.
Laporan itu juga menguraikan tentang sejarah pelanggaran HAM di pertambangan Kelian. Seperti kasus penggusuran paksa penduduk setempat yang dilakukan oleh aparat militer dan polisi. Sekitar 444 keluarga telah digusur dari tempat tinggal mereka tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu. WALHI juga mengemukakan bahwa sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani organisasi masyarakat LKMTL dan Rio Tinto, perusahaan akan mengakui secara terbuka tanggungjawab mereka atas terjadinya pelanggaran HAM, khususnya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan yang di dalamnya terdapat juga kasus perkosaan. Tetapi, dalam siaran pers mereka, perusahaan hanya mengatakan bahwa "PT KEM menyatakan kepedulian mendalam terhadap berbagai pelecehan seksual yang dilakukan para pekerja dan kontraktor serta prihatin dengan keluhan dan penderitaan yang dialami oleh korban."
Dalam laporannya, WALHI menunjukkan juga prosedur penutupan tambang yang tidak adil dengan mengabaikan begitu saja kepentingan masyarakat. Selain itu, perusahaan gagal menyediakan informasi mendasar bagi masyarakat. Dengan menyatakan adanya kesulitan teknis, Rio Tinto mengabaikan kewajiban mereka memperbaiki kembali 450 hektar lubang tambang dan penumpukan limbah ke dalam kondisi sediakala sebagai wilayah hutan. Namun, WALHI berpendapat bahwa persoalan utamanya lebih terletak pada perhitungan beban biaya tinggi yang harus dikeluarkan perusahaan dalam melakukan reklamasi seperti itu.
Kaltim Prima
Berkaitan dengan pertambangan Kaltim Prima Coal (yang mana 50% saham dimiliki oleh Rio Tinto dan 50% lagi oleh BP—sebuah perusahaan yang menyatakan diri sebagai perusahaan yang 'bertanggungjawab'), WALHI menyebutkan tentang perampasan lahan yang mempengaruhi kehidupan 287 orang dan masalah sengketa tanah yang muncul sekarang ini. Disebutkan juga kualitas air di Sungai Sangatta yang semakin memburuk: sungai itu tersumbat dengan kapur yang digunakan untuk menetralkan zat asam. Akibatnya masyarakat lokal tidak bisa menangkap ikan di sungai itu. Diramalkan bahwa tiga sungai lainnya akan terpengaruh aktivitas penambangan batu bara Kaltim Prima.
Laporan itu juga menguraikan masalah tambang Freeport di Papua Barat yang mana Rio Tinto memiliki saham sebanyak 15% dan 40% lagi dalam rencana pengembangan; selain juga konsesi penambangan Poboya (90% dilmiliki oleh Rio Tinto) di Sulawesi Tengah.
Laporan berjudul "Undermining Indonesia's" tersebut menyerukan tuntutan kepada pemerintah Indonesia untuk:
"Industri-industri ekstraktif ternyata tidak memiliki sifat berkelanjutan. Kegiatan mereka sangat tergantung pada eksploitasi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Meskipun disebutkan bahwa mereka menjadi penyumbang pendapatan besar bagi pemerintah Indonesia, kegiatan industri-industri itu telah menutup-nutupi pengaruh negatif yang ditimbulkan atas kehidupan jutaan rakyat Indonesia dan generasi yang akan datang."
Uraian lengkap laporan WALHI bisa didapat melalui http://www.walhi.or.id/English/reports/riotinto2003.pdf
Pengajuan Kasus Kelian di EIR
Pemimpin LKMTL, Pius Nyompe, dalam pertemuan masyarakat adat di Oxford yang berlangsung pada bulan April lalu, menguraikan bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh perusahaan pertambangan Kelian terhadap kehidupan penduduk setempat. Diserukan juga dalam pertemuan itu suatu langkah kajian ulang keterlibatan Bank Dunia dalam industri-industri ekstraktif dan pengaruhnya terhadap masyarakat adat di seluruh dunia, selain juga bukti yang disodorkan langsung kepada Emil Salim, yang pernah menjadi menteri lingkungan di bawah presiden Suharto dan sekarang menjadi tokoh terkemuka (Eminent Person) yang memimpin Kajian Industri Ekstraktif (EIR) Bank Dunia. Pertemuan itu juga membuat suatu rekomendasi tentang masa depan Bank Dunia dalam kegiatan industri-industri ekstraktif.
Kasus Kelian menjadi penting mengingat dalam skema Pengembangan Kemitraan Usaha Bank Dunia, Kelian telah menjadi model praktek terbaik tentang penutupan usaha pertambangan.
Dalam "Deklarasi Oxford", masyarakat adat yang hadir dalam pertemuan tersebut menyerukan moratorium terhadap kegiatan proyek-proyek penambangan, minyak dan gas yang mempengaruhi kehidupan mereka sampai terpenuhinya jaminan perlindungan HAM.
Dalam pertemuan konsultasi regional EIR se Asia-Pasifik pada tanggal 27 April lalu, beberapa organisasi masyarakat sipil telah menarik diri dari proses EIR. Alasan dasar pengunduran diri tersebut didasarkan pada diabaikannya persoalan yang menjadi kepedulian mereka (Lihat juga Pernyataan Pengunduran Diri Kelompok Masyarakat Sipil Asia-Pasifik dari Proses Kajian Industri Ekstraktif, 27/Apr/03).
Mengenai Deklarasi Oxford oleh perwakilan masyarakat adat, lihat
LKTML, organisasi yang mewakili komunitas-komunitas yang terkena dampak kegiatan pertambangan Kelian, telah mengundurkan diri dari keanggotaan dalam komite pengarah penutupan tambang. Setelah berpartisipasi selama hampir dua tahun, kelompok itu mengatakan bahwa Rio Tinto ternyata tidak menanggapi keluhan masyarakat secara serius dan mereka merasa perusahaan telah memanfaatkan keikutsertaan organisasi mereka sebagai upaya memberikan gambaran tentang proses penutupan yang seolah-olah berlangsung secara adil.
Dalam surat yang ditujukan kepada Rio Tinto dan PT KEM tertanggal 19 Maret, LKMTL menyatakan perusahaan itu tidak menanggapi permintaan mereka untuk mendapatkan salinan kontrak penambangan perusahaan di Kelian, walau sudah diajukan berkali-kali. Selain itu, perusahaan juga tidak menanggapi saran-saran perlunya tenaga ahli yang mandiri untuk mengawasi tingkat polusi sekarang ini maupun setelah tambang itu ditutup. Perusahaan itu juga menolak untuk merehabilitasi tempat penambangan dengan menimbun kembali lubang-lubang penggalian penambangan. Lebih lanjut, seperti yang dituntut oleh LKMTL, perusahaan itu tidak menjelaskan tanggungjawab Rio Tinto terhadap berbagai masalah yang mungkin muncul setelah penutupan penambangan. Permintaan masyarakat untuk adanya jaminan apabila terdapat kasus polusi saat penambangan maupun setelah tambang itu ditutup juga belum dijawab oleh perusahaan. Selain itu, permintaan adanya rumah sakit gratis untuk memonitor kesehatan rakyat juga tidak dipenuhi. Akhirnya, PT KEM juga tidak memenuhi permintaan untuk memberikan laporan yang jujur tentang kematian 2 orang penduduk lokal di tempat penambangan. LKMTL menginginkan adanya laporan tersebut sehingga masyarakat mengerti bahayanya mendulang emas di waduk limbah tailing tambang dan bagian-bagian lain dari dari tempat penambangan yang telah terkontaminasi bahan-bahan kimia.
(Surat LKMTL, 19 Maret 2003. Salinan surat ini telah diberikan kepada Ketua Rio Tinto, Sir Robert Wilson, setelah Rapat Umum Tahunan di London).