Switch to English |
Setengah juta hektar hutan baru akan ditanam setiap tahun mulai sekarang hingga 2020 dengan biaya Rp 2,5 triliun (USD$269 juta) per tahun, menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ia mengatakan bahwa Indonesia dapat menambah tutupan hutan hingga 21 juta hektar pada tahun 2020 (lihat tabel 1).1
Secara resmi, terdapat 130 juta hektar hutan di Indonesia, tetapi menurut pengakuan menteri kehutanan itu sendiri, hanya 48 juta hektar yang berada dalam kondisi baik.2
Pada bulan September tahun lalu, Presiden SBY berjanji bahwa Indonesia akan mengurangi emisi sebesar 26% dari proyeksi 'aktivitas seperti biasa' (business as usual) pada tahun 2020 . Ia mengatakan bahwa pengurangan itu dapat mencapai 41% dengan dukungan internasional.3
Dokumen yang baru dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bagaimana komitmen SBY akan ditindaklanjuti dan juga memberikan sebagian rincian dari pengumuman menteri kehutanan pada bulan Januari tentang hutan baru. Berdasarkan target-target pengurangan emisi, fokus utamanya adalah tujuan untuk mencapai sejumlah sub-program kementerian kehutanan, yang dibagi menurut provinsi, tahun dan lahan yang ditargetkan untuk ditanami. Hasil akhirnya berupa lautan angka.
Angka emisiDNPI memperkirakan bahwa tingkat emisi karbon dalam skenario 'beraktivitas seperti biasa' akan berjumlah 2,8Gt pada tahun 2020 dan 3,6Gt tahun 2030.iv Dewan ini menghitung bahwa diambilnya tindakan untuk mengurangi emisi dalam sektor-sektor utama penghasil GRK akan mengurangi tingkat yang diproyeksikan menjadi 2,3 Gt pada tahun 2030 - kembali ke tingkat resmi untuk tahun 2005.
i Summary for Policy Makers: Indonesia Second National Communication under the United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dokumen ini mengacu pada perkiraan sebelumnya mengenai perubahan penggunaan tanah dan kehutanan (LUCF) dan kebakaran gambut serta menjelaskan mengapa perkiraannya lebih rendah (halaman 5).
|
Pendekatan dari atas ke bawah yang berorientasi pada target ini tidak sesuai dengan kenyataan setempat yang kompleks di lapangan, di mana tanah yang dikategorikan sebagai hutan oleh kementerian kehutanan di Jakarta mungkin merupakan bagian dari wilayah ulayat masyarakat adat, atau di mana klaim yang tumpang tindih lainnya atas akses dan sumber daya dapat membuat program kehutanan menjadi sangat sulit diterapkan atau dipertahankan di lapangan. Pendekatan itu tampaknya juga sulit mengakomodasi tuntutan akan konsultasi dan partisipasi dari masyarakat sipil serta untuk memenuhi kewajiban internasional dari negara yang terkait dengan HAM (termasuk hak-hak adat) dan hak ekonomi dan sosial.4
Apakah menanam hutan baru dapat membantu mengurangi emisi juga merupakan hal yang sangat meragukan: perusahaan perkebunan masih mendapatkan izin untuk mengembangkan perkebunan di hutan yang masih ada, jadi mereka sebetulnya merusak efisiensi sistem penyimpanan karbon dan bukannya menciptakan yang baru. Melihat pengalaman di masa lalu, tingkat keberhasilan pengembangan perkebunan kayu yang baru sangatlah rendah, sehingga kapasitas serapan karbon asli bahkan tidak tergantikan barang sedikitpun. Bahkan, tampaknya penyimpanan karbon yang sudah banyak berkurang ini tak akan dibiarkan saja. Pertama-tama, tanaman-tanaman itu akan digunakan untuk industri (bubur kayu, kayu lapis, produk kayu lainnya, energi biomassa) dan tak ada jaminan bahwa mereka akan ditanam kembali, jika tak lagi menguntungkan pihak pengembang.
Artikel yang ditulis pada bulan Agustus 2009 oleh Chris Lang, editor www.redd-monitor.org berfokus pada argumentasi penting lainnya mengenai perkebunan sebagai penyimpanan karbon- risiko kebakaran.
"Bayangkan situasi berikut: perusahaan yang mencemari di Utara membayar penjual 'netral karbon' yang berjanji untuk melakukan 'offset' (pengimbang) atas emisinya dengan menanam pohon. Mari kita asumsikan bahwa pohon-pohon itu betul ditanam dan mereka menyerap seluruh karbon yang dikeluarkan oleh perusahaan pencemar itu. Enam tahun kemudian, perkebunan itu terbakar. Akibatnya perkebunan yang terbakar itu akan mengeluarkan seluruh karbon yang seharusnya mengalami 'offset'. Itu berarti bahwa satu-satunya kegunaan perkebunan itu adalah untuk memungkinkan perusahaan pencemar itu menghindari melakukan investasi yang paling dibutuhkan dari perspektif iklim: menurunkan emisi."5
Tentu saja hutan tak dapat begitu saja dipandang sebagai tempat penyimpanan karbon: memandangnya dengan cara seperti ini berarti melakukan kesalahan seperti yang pernah dibuat di masa lalu, yang menganggapnya hanya sebagai tegakan batang kayu. Jika seluruh fungsi sosial, ekonomi, keanekaragaman hayati dan ekologi dipertimbangkan, akan tampak semakin jelas betapa pentingnya segera melakukan pencegahan agar semua itu tidak hancur sejak permulaan. Kalau mereka tak ada lagi, dampaknya terhadap komunitas setempat sangatlah besar dan beragam - selain hilangnya karbon yang terkait. Tetapi kehancuran yang lebih parah terkandung dalam rencana kementerian kehutanan, termasuk lahan seluas 420.000 hektar per tahunnya yang akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan peruntukan lainnya (lihat di bawah).
Kapan hutan tak lagi hutan?Beberapa hari kemudian, seorang pejabat senior kementerian kehutanan mengumumkan bahwa Indonesia tengah mempersiapkan peraturan baru untuk memasukkan perkebunan kelapa sawit dalam sektor kehutanan, dan mendefinisikan perkebunan kelapa sawit sebagai hutan. Tindakan ini bermaksud untuk mengantisipasi pelaksanaan skema REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), kata pejabat itu.ii Meskipun Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan membantah adanya rencana tersebut beberapa hari kemudian, berita tersebut mengundang kecaman keras di Indonesia seperti halnya kebocoran dokumen UE di Eropa. Kelompok lingkungan hidup WALHI dan Greenpeace mengungkapkan keprihatinan mereka akan meluasnya deforestasi yang akan terjadi. Menurut makelar karbon seperti yang dikutip oleh Point Carbon News, Indonesia akan kesulitan untuk menjual kredit karbon yang dihasilkan oleh perkebunan sawit, jika disepakati bahwa perkebunan ini memenuhi syarat bagi skema REDD. "Saya sungguh meragukan bahwa ada negara, khususnya negara Eropa, yang bersedia mendukung pengembangan perkebunan sawit sebagai bagian REDD, atau membeli kredit karbon dari perkebunan sawit melalui REDD", kata Paul Butarbutar dari South Pole Carbon Asset Management.iii Definisi hutan merupakan salah satu isu yang kontroversial dalam pertemuan di Kopenhagen pada bulan Desember, dan tetap tak terpecahkan. UNFCCC menggunakan definisi hutan yang digunakan oleh FAO, yang mencakup perkebunan tanaman. Definisi Indonesia menurut hukum (misalnya dalam UU Kehutanan 1999) tidak mencakup perkebunan, meskipun pekebunan kayu dan pohon untuk bubur kayu dianggap sebagai bagian dari kawasan hutan.v Organisasi-organisasi Masyarakat Sipil Indonesia juga mengecam keras rencana yang dibuat terpisah oleh kementerian kehutanan untuk mengenakan biaya sebesar Rp 1 juta bagi setiap hektar hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit.v
i Siaran pers FoE 3/Feb/10
|
Informasi berikut diambil dari dokumen diskusi Kementerian Kehutanan berjudul: Program Kehutanan Untuk Mitigasi Perubahan Iklim & Pengukuran, Pelaporan serta Verifikasinya. Dokumen itu dimuat dalam situs webnya pada tanggal 8 Januari, dengan komentar yang diundang masuk sebelum 12 Januari, sebagai persiapan untuk pertemuan antara presiden dan para gubernur pada akhir bulan itu.6
Informasi itu dipaparkan sebagi tindak lanjut Kementerian Kehutanan atas komitmen SBY mengenai pengurangan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dengan tidak menerapkan aktivitas seperti biasa (BAU, business as usual). Sektor kehutanan telah diminta untuk mengurangi emisi BAU sebesar 14% (=52% dari target sebesar 26%).
Menurut dokumen itu, tindak lanjut ini mencakup:
Target peningkatan stok karbon diuraikan per tahun dan per skema kehutanan (lihat tabel 1) dan kemudian juga per provinsi per tahun per skema. Angka-angka itu menunjukkan bawa HTI dan HTR memiliki target tertinggi untuk tahun 2020 yaitu sejumlah 5,8 juta hektar, diikuti dengan restorasi konsesi penebangan (5,75 juta hektar), dan hutan kemasyarakatan dan hutan desa (5,5 juta hektar).
| ||||||
Tahun | Hkm & Hutan Desa (ha) | Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS (ha) | Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat (ha) | Restorasi HPH - RE (Hak Pengelolaan Hutan Restorasi Ekosistem) (ha) | Hutan Rakyat Kemitraan (ha) | Jumlah (ha) |
2010 | 500,000 | 300,000 | 450,000 | 300,000 | 50,000 | 1,600,000 |
2011 | 500,000 | 300,000 | 550,000 | 350,000 | 50,000 | 1,750,000 |
2012 | 500,000 | 300,000 | 500,000 | 450,000 | 50,000 | 1,800,000 |
2013 | 500,000 | 350,000 | 600,000 | 650,000 | 50,000 | 2,150,000 |
2014 | 500,000 | 350,000 | 550,000 | 750,000 | 50,000 | 2,200,000 |
2015 | 500,000 | 300,000 | 450,000 | 300,000 | 50,000 | 1,600,000 |
2016 | 500,000 | 300,000 | 550,000 | 350,000 | 50,000 | 1,750,000 |
2017 | 500,000 | 300,000 | 500,000 | 450,000 | 50,000 | 1,800,000 |
2018 | 500,000 | 350,000 | 600,000 | 650,000 | 50,000 | 2,150,000 |
2019 | 500,000 | 350,000 | 550,000 | 750,000 | 50,000 | 2,200,000 |
2019 | 500,000 | 350,000 | 550,000 | 750,000 | 50,000 | 2,200,000 |
2020 | 500,000 | 350,000 | 500,000 | 750,000 | 50,000 | 2,150,000 |
Jumlah (ha) | 5,500,000 | 3,550,000 | 5,800,000 | 5,750,000 | 5,750,000 | 21,150,000 |
| |||||||
No | Provinsi | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | Jumlah 5 tahun |
1 | Riau | 50,000 | 50,000 | 45,000 | 45,000 | 50,000 | 240,000 |
2 | Jambi | 47,000 | 42,500 | 52,000 | 46,500 | 41,000 | 229,000 |
3 | South Sumatra | 85,000 | 84,550 | 79,000 | 84,500 | 79,500 | 412,550 |
4 | Lampung | 11,500 | 41,000 | 31,500 | 36,550 | 36,500 | 157,050 |
5 | West Kalimantan | 125,000 | 120,000 | 100,000 | 120,000 | 120,000 | 585,000 |
6 | South Kalimantan | 22,000 | 37,400 | 17,500 | 47,550 | 42,500 | 166,950 |
7 | East Kalimantan | 50,000 | 50,000 | 50,000 | 40,000 | 50,000 | 240,000 |
8 | West Nusa Tenggara | 10,500 | 10,400 | 10,450 | 20,450 | 15,400 | 67,200 |
9 | East Nusa Tenggara | 25,000 | 25,000 | 25,000 | 40,000 | 25,000 | 140,000 |
10 | Maluku | 5,000 | 10,000 | 10,000 | 30,000 | 10,000 | 65,000 |
11 | Papua | 40,000 | 50,000 | 50,000 | 60,000 | 50,000 | 250,000 |
12 | North Sumatra | 4,000 | 4,500 | 4,000 | 4,550 | 4,500 | 21,550 |
13 | West Sumatra | 1,500 | 1,000 | 1,000 | 1,500 | 1,250 | 6,500 |
14 | Central Kalimantan | 2,500 | 2,000 | 2,200 | 2,000 | 2,250 | 10,950 |
15 | Yogyakarta | 100 | 150 | 100 | 100 | 100 | 550 |
16 | South Sulawesi | 5,000 | 5,500 | 6,000 | 6,500 | 6,500 | 29,500 |
17 | Southeast Sulawesi | 12,000 | 11,000 | 11,000 | 10,500 | 10,000 | 54,500 |
18 | North Sulawesi | 3,000 | 2,500 | 2,000 | 2,500 | 2,000 | 12,000 |
19 | North Maluku | 1,500 | 2,000 | 2,000 | 2,500 | 2,500 | 10,500 |
Jumlah (ha) | 500,600 | 549,500 | 499,000 | 600,700 | 549,000 | 2,698,800 |
Tak dijelaskan dalam dokumen apakah sasaran HTI menggantikan atau tumpang tindih dengan target sebelumnya sebesar 9 juta hektar hutan tanaman hingga tahun 2013 untuk mendukung industri bubur kayu.10
Dokumen itu juga memberikan perkiraan bagi "penggunaan kawasan hutan" untuk emas, nikel, minyak & gas, batubara, timah dan mineral lainnya, ditambah penggunaan lahan untuk kegiatan non-tambang seperti jalan, fasilitas komunikasi dan pertahanan, serta fasilitas keamanan untuk militer Indonesia.
Luas hutan untuk penggunaan semacam ini pada tahun 2004-2009 diperkirakan sebesar 1.197.727 hektar dan perkiraan untuk 2010-2020 adalah 200.000 hektar per tahun, sehingga jumlah keseluruhan mencapai 3.397.727 hektar. Dengan demikian Kemenhut bekerja atas dasar bahwa tambahan sejumlah 2,2 juta hektar akan disediakan untuk penggunaan seperti itu antara sekarang sampai akhir dekade ini.
Kebakaran hutan juga diharapkan akan berkurang dengan penurunan "hotspot" yang diperkirakan berjumlah 25.566 pada tahun 2010 menjadi hanya 2.745 pada tahun 2020. Sedangkan penurunan CO2e diperkirakan akan mengalami pengurangan secara bertahap dari 0,8 juta ton CO2e pada tahun 2009 menjadi 0,2 juta ton CO2e pada tahun 2015.
Secara menyeluruh, skenario Kemenhut menunjukkan bagaimana sektor kehutanan menjadi "net carbon sink" (penyerap karbon) ketimbang "net emitter" (pelepas emisi), jika rencana strategis Kemenhut itu diikuti. Jumlah emisi dari hutan diperkirakan sebesar 1,24 Gigaton CO2e, sementara hutan akan dapat menyerap 1,31 Gigaton menurut rencana ini.
Tiga buah legislasi REDD telah dikeluarkan 14 dalam dua tahun terakhir dan lima proyek percontohan (dari lebih dari 20 proyek REDD yang direncanakan di seluruh Indonesia) telah dicatat secara resmi oleh Kemenhut (lihat boks). Lima skema ini secara resmi telah diluncurkan pada bulan Januari 2010.
Tetapi, terdapat perlawanan sengit dari organisasi masyarakat sipil terhadap REDD terkait dengan perdagangan karbon dan pengimbangan atau offset, juga terhadap rencana pemerintah bagi pengelolaan proyek REDD di Indonesia. Selain kekhawatiran yang serius atas korupsi uang REDD,15 ada juga kekhawatiran mendalam bahwa kondisi masyarakat setempat dapat memburuk akibat skema REDD itu.
Bernadinus Steni, dari sebuah organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Jakarta, HuMa, mengunjungi satu proyek percontohan REDD di Kalimantan Barat belum lama ini. Ia melaporkan bahwa keadaan di sana menjadi "berantakan", dengan "janji-janji akan adanya aliran uang dan pembangunan infrastruktur yang menciptakan baik harapan besar maupun keprihatinan yang ekstrem di antara masyarakat setempat."16
"Tak ada REDD tanpa (pemenuhan) hak!" adalah slogan kampanye aktivis masyarakat adat dan masyarakat sipil dari seluruh dunia dalam perbincangan iklim UNFCCC di Bangkok dan Kopenhagen tahun lalu, dan hal ini tepat khususnya bagi situasi di Indonesia. Salah satu kekhawatiran mendasar atas REDD adalah bahwa hak-hak adat kelihatannya akan dikesampingkan, atau diabaikan sama sekali, karena pada tingkat nasional, pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ini masih sangatlah kurang. Peraturan REDD Indonesia secara teori memungkinan masyarakat adat untuk mengelola proyek REDD, tetapi dalam praktiknya, kurangnya perundang-undangan pada tingkat nasional untuk mengakui masyarakat itu berarti bahwa dalam praktik, hal itu tidaklah mungkin.17
Proyek percontohan resmi
Latar belakang mengenai proyek lain dapat dilihat dalam DTE 79 dan DTE 82, termasuk kecaman terhadap rencana REDD Australia yang berfokus pada perdagangan dan offset karbon. Laporan yang baru oleh Friends of the Earth (FoE) Australia dan Aid/Watch juga mengecam keras rencana itu - lihat 'New Report exposes Australia's REDD offsets scam' di www.redd-monitor.org, yang secara berkala menyediakan informasi mengenai berita termutakhir tentang proyek-proyek REDD di Indonesia dan tempat lain. Pada bulan Februari, Australia mengumumkan proyek pemeragaan lebih lanjut di Jambi, Sumatra (REDD dalam berita: 1-7 Maret 2010), www.redd-monitor.org). Proyek itu segera dikecam oleh FoE Australia dan Indonesia (WALHI) sebagai usaha untuk melakukan offset atas emisi karbon Australia (Siaran Pers 11/Mar/2010). Berita termutakhir tentang proyek-proyek REDD juga dimuat di situs web REDDI: redd-indonesia.org/en/
|
Forum Masyarakat Sipil Indonesia bagi Keadilan Iklim (CSF) menuduh delegasi resmi Indonesia untuk Kopenhagen lebih tertarik untuk mencari dana daripada menangani dampak perubahan iklim atau menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa bagi rakyatnya sendiri. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan dalam KTT Kopenhagen, CSF mengimbau Jakarta agar berhenti menggunakan COP15 sebagai kesempatan mencari dana dan berhenti menggunakan hutan sebagai komoditi. CSF mengatakan bahwa delegasi harus "berhenti mempermalukan rakyatnya sendiri dengan berjanji untuk mengurangi emisi melalui REDD sementara masalah kehutanan di dalam negeri yang ada saja belum diselesaikan."18
Catatan buruk atas Indonesia dalam penegakan hak-hak adat, dan dalam melakukan konsultasi dengan masyarakat adat serta komunitas setempat yang terpengaruh oleh skema pembangunan juga mendapat sorotan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil tahun lalu. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan jaringan advokasi minyak sawit, Sawit Watch, menulis ke FCPF, berargumentasi bahwa R-PP Indonesia (rencana yang menunjukkan bahwa suatu negara telah siap untuk REDD) tidak memenuhi kriteria FCPF dan seharusnya tidak diterima sampai ada perbaikan lebih lanjut.19 Mereka juga mengecam proses persetujuan FCPF yang gagal untuk mempertimbangkan kebijakan perlindungan utama Bank Dunia yang menawarkan sejumlah perlindungan bagi komunitas-komunitas.20
Sebuah organisasi masyarakat sipil Indonesia, HuMa, juga menulis kepada FCPF guna menggarisbawahi kegagalan R-PP dalam mengakui kurangnya pengakuan atas hak-hak adat dalam undang-undang kehutanan Indonesia. Kelompok itu juga mengungkapkan keprihatinan atas mandat Kemenhut, mengingat catatannya yang terkenal buruk dalam penatakelolaan dan kekeras-kepalaannya dalam meneruskan kebijakan yang merusak yang merupakan warisan dari era Soeharto.
Rencana R-PP Indonesia masih belum diterima, meskipun organisasi-organisasi masyarakat sipil curiga bahwa FCPF berencana untuk menerimanya segera setelah prosedur kompromi dibuat sehingga mempermudah kasus-kasus kontroversial seperti Indonesia untuk memenuhi kriteria penerimaan. Terdapat tanda-tanda bahwa FCPF menginginkan Indonesia dalam skemanya walaupun adanya keberatan dan masalah, karena Indonesia merupakan pemain yang terlalu penting untuk tidak diikutsertakan.
Laporan kemajuan baik dari FCPF maupun Menhut yang dimuat dalam situs web FCPF mengindikasikan bahwa isu utama yang belum diselesaikan termasuk konsultasi dengan masyarakat yang terpengaruh. Menurut FCPF, isu yang masih ada termasuk perjanjian mengenai apa yang akan tercakup dalam dana hibah FCPF, perjanjian mengenai penerapan Kesepakatan dan Penilaian Sosial dan Lingkungan yang Strategis mengenai rencana bagi konsultasi dan partisipasi. Pada bagian yang disebut "isu utama yang masih ada" FCPF melaporkan daftar partisipasi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, dan mengatakan bahwa hak ulayat dan hak akses akan tanah telah mendapat sorotan dari kelompok itu sebagai isu utama. Juga disebutkan permintaan atas partisipasi yang lebih bersifat kualitatif, pembangunan kapasitas dan koordinasi kegiatan.21 Laporan Kemenhut yang berkaitan dengan hal tersebut hanya menyebutkan bahwa komunikasi pemangku kepentingan tengah "berjalan".22
REDD di KopenhagenPersetujuan Kopenhagen, adalah hasil resmi yang paling menonjol-meskipun sangat kontroversial dan sangat lemah-- dari UNFCCC yang mengecewakan pada bulan Desember 2009. Persetujuan itu mengacu pada pembentukan secepatnya suatu mekanisme yang mencakup REDD+. Negosiasi REDD berlanjut dalam sub-kelompok di bawah AWG-LCA (Kelompok Kerja Adhoc bagi Aksi Kerja Sama Jangka Panjang) dan menyetujui banyak bagian dari teks negosiasi, termasuk referensi pada Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) -suatu terobosan besar. Tetapi tiga isu yang "keras kepala"-target global dan rezim pembiayaan, pelaporan atas perlindungan dan perhitungan & kebocoran karbon nasional/subnasional-tetap ada dan tak ada perjanjian akhir yang dicapai dalam Sidang Paripurna COP.i Pertemuan UNFCCC mendatang terkait dengan REDD termasuk pertemuan di Bonn, Jerman, pada bulan April dan Mei-Juni 2010. Untuk rincian lebih lanjut lihat situs web UNFCCC di unfccc.int/files/methods_science/redd/application/msexcel/20100112_redd_meetings_events_calendar.xls. i Lihat: Forest talks at a standstill as Copenhagen ends without agreement (Perbincangan tentang hutan tak mencapai kemajuan dengan berakhirnya pertemuan Kopenhagen tanpa mencapai perjanjian), Laporan Khusus Forest Watch, FERN Januari 2010, dalam www.redd-monitor.org
|
Setelah adanya usaha melakukan lobi yang terus-menerus, KTT iklim di Poznan (COP 14) tahun 2008 untuk pertama kali mendengar ketua delegasi Indonesia Rachmat Witoelar menyebutkan pentingnya menghargai hak-hak masyarakat adat dalam skema penghentian deforestasi, meskipun hal ini tidak direalisasikan dalam tindakan di tingkat nasional. 23
Dalam suatu lokakarya yang berlangsung pada bulan Desember 2009 mengenai hak ulayat yang diadakan bersama-sama oleh AMAN dan Kementerian Lingkungan Hidup, disebutkan oleh Menteri Lingkungan Hidup bahwa pemerintah kemungkinan besar akan mengakui hak ulayat dan peran masyarakat adat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.24 Langkah itu sesuai dengan UU Lingkungan Hidup Indonesia yang baru (No 32/2009), yang menyebutkan bahwa perhatian harus diberikan bagi pengakuan atas masyarakat adat serta pengetahuan tradisional dan hak-hak mereka dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.25
Dalam bulan berikutnya, AMAN dan Menteri Lingkungan Hidup menandatangani perjanjian yang merupakan komitmen AMAN dan Menteri Lingkungan Hidup untuk bekerja sama guna "meningkatkan peran masyarakat adat dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup". Kerja sama itu meliputi: identifikasi masyarakat adat dan hak-hak mereka, memberdayakan masyarakat adat dan bertukar informasi mengenai mereka.26 Perjanjian itu ditandatangani di hadapan 35 pimpinan masyarakat adat, menurut siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup. Juga disebutkan bahwa tindak lanjut perjanjian itu akan mencakup pembuatan kebijakan untuk memberdayakan dan mengakui keahlian setempat; mengembangkan kriteria dan metode untuk mengidentifikasi masyarakat adat; membuat pangkalan data masyarakat adat dan pengetahuan lokal mereka, serta sejumlah kegiatan untuk memberdayakan masyarakat adat.27
Hal yang sama juga dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan meskipun ketentuan bagi pengakuan hak-hak adat terdapat dalam UU Kelautan (No 27/2007). Jadi, AMAN dan para pendukungnya mengambil keputusan untuk membentuk badan registrasi ini dan mengembangkan sistem registrasi dengan biaya ringan dan mudah digunakan oleh masyarakat adat, serta yang memudahkan adanya pengakuan bersama atas klaim-klaim. Yang menjadi harapan adalah bahwa di masa mendatang, negara juga akan mengakui klaim-klaim itu. AMAN meluncurkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada Hari Masyarakat Adat Nusantara, 17 Maret 2010. Situs web BRWA adalah www.brwa.or.id/.28
Terima kasih kepada Bernadinus Steni dari HuMa, www.huma.or.id yang telah memberikan saran untuk artikel ini. Ia tengah membuat laporan mengenai REDD di Indonesia bagi pertemuan Accra Caucus mendatang.
Terima kasih juga kepada Patrick Anderson atas komentarnya.
Catatan: artikel ini telah sedikit diubah dari versi cetaknya dan dari edisi PDF dalam laporan berkalanya.