Switch to English


Down to Earth No.84, March 2010

Indonesia mempersiapkan perluasan perkebunan tanaman sebagai strategi penurunan emisi

Menteri Kehutanan Indonesia telah mengumumkan bahwa jutaan hektar 'hutan baru' bakal ditanam.Tujuannya adalah untuk membantu negara memenuhi komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY] untuk memangkas tingkat emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020. Tetapi perluasan penanaman pohon secara besar-besaran itu dapat merugikan ketimbang bermanfaat bagi masyarakat setempat dan juga bagi iklim.


Setengah juta hektar hutan baru akan ditanam setiap tahun mulai sekarang hingga 2020 dengan biaya Rp 2,5 triliun (USD$269 juta) per tahun, menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ia mengatakan bahwa Indonesia dapat menambah tutupan hutan hingga 21 juta hektar pada tahun 2020 (lihat tabel 1).1

Secara resmi, terdapat 130 juta hektar hutan di Indonesia, tetapi menurut pengakuan menteri kehutanan itu sendiri, hanya 48 juta hektar yang berada dalam kondisi baik.2

Pada bulan September tahun lalu, Presiden SBY berjanji bahwa Indonesia akan mengurangi emisi sebesar 26% dari proyeksi 'aktivitas seperti biasa' (business as usual) pada tahun 2020 . Ia mengatakan bahwa pengurangan itu dapat mencapai 41% dengan dukungan internasional.3

Dokumen yang baru dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bagaimana komitmen SBY akan ditindaklanjuti dan juga memberikan sebagian rincian dari pengumuman menteri kehutanan pada bulan Januari tentang hutan baru. Berdasarkan target-target pengurangan emisi, fokus utamanya adalah tujuan untuk mencapai sejumlah sub-program kementerian kehutanan, yang dibagi menurut provinsi, tahun dan lahan yang ditargetkan untuk ditanami. Hasil akhirnya berupa lautan angka.


Angka emisi

Tahun Lalu Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) memperkirakan tingkat emisi 2005 sebesar 2,3 miliar ton (Gt) setara karbon dioksida (CO2e). Angka terakhir yang diserahkan Indonesia ke UNFCCC lebih rendah, yaitu emisi tahun 2005 sejumlah 1,99Gt.i Kedua angka ini dapat saja di bawah perkiraan - kajian Bank Dunia & DFID tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah emisi Indonesia adalah sebesar 3Gt per tahun.ii Menurut DNPI, deforestasi, degradasi hutan dan kebakaran hutan menyebabkan 38% dari jumlah sebesar 2,3Gt (850 Mt CO2e), sementara oksidasi gambut, kebakaran dan deforestasi serta degradasi hutan gambut menyebabkan adanya lebih banyak lagi emisi, yaitu sebesar 45% dari jumlah itu (1 Gt CO2e).iii

DNPI memperkirakan bahwa tingkat emisi karbon dalam skenario 'beraktivitas seperti biasa' akan berjumlah 2,8Gt pada tahun 2020 dan 3,6Gt tahun 2030.iv Dewan ini menghitung bahwa diambilnya tindakan untuk mengurangi emisi dalam sektor-sektor utama penghasil GRK akan mengurangi tingkat yang diproyeksikan menjadi 2,3 Gt pada tahun 2030 - kembali ke tingkat resmi untuk tahun 2005.

i Summary for Policy Makers: Indonesia Second National Communication under the United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dokumen ini mengacu pada perkiraan sebelumnya mengenai perubahan penggunaan tanah dan kehutanan (LUCF) dan kebakaran gambut serta menjelaskan mengapa perkiraannya lebih rendah (halaman 5).
ii DTE 83
iii DTE 83
iv DNPI dalam DTE 83


Pendekatan dari atas ke bawah yang berorientasi pada target ini tidak sesuai dengan kenyataan setempat yang kompleks di lapangan, di mana tanah yang dikategorikan sebagai hutan oleh kementerian kehutanan di Jakarta mungkin merupakan bagian dari wilayah ulayat masyarakat adat, atau di mana klaim yang tumpang tindih lainnya atas akses dan sumber daya dapat membuat program kehutanan menjadi sangat sulit diterapkan atau dipertahankan di lapangan. Pendekatan itu tampaknya juga sulit mengakomodasi tuntutan akan konsultasi dan partisipasi dari masyarakat sipil serta untuk memenuhi kewajiban internasional dari negara yang terkait dengan HAM (termasuk hak-hak adat) dan hak ekonomi dan sosial.4

Apakah menanam hutan baru dapat membantu mengurangi emisi juga merupakan hal yang sangat meragukan: perusahaan perkebunan masih mendapatkan izin untuk mengembangkan perkebunan di hutan yang masih ada, jadi mereka sebetulnya merusak efisiensi sistem penyimpanan karbon dan bukannya menciptakan yang baru. Melihat pengalaman di masa lalu, tingkat keberhasilan pengembangan perkebunan kayu yang baru sangatlah rendah, sehingga kapasitas serapan karbon asli bahkan tidak tergantikan barang sedikitpun. Bahkan, tampaknya penyimpanan karbon yang sudah banyak berkurang ini tak akan dibiarkan saja. Pertama-tama, tanaman-tanaman itu akan digunakan untuk industri (bubur kayu, kayu lapis, produk kayu lainnya, energi biomassa) dan tak ada jaminan bahwa mereka akan ditanam kembali, jika tak lagi menguntungkan pihak pengembang.

Artikel yang ditulis pada bulan Agustus 2009 oleh Chris Lang, editor www.redd-monitor.org berfokus pada argumentasi penting lainnya mengenai perkebunan sebagai penyimpanan karbon- risiko kebakaran.

"Bayangkan situasi berikut: perusahaan yang mencemari di Utara membayar penjual 'netral karbon' yang berjanji untuk melakukan 'offset' (pengimbang) atas emisinya dengan menanam pohon. Mari kita asumsikan bahwa pohon-pohon itu betul ditanam dan mereka menyerap seluruh karbon yang dikeluarkan oleh perusahaan pencemar itu. Enam tahun kemudian, perkebunan itu terbakar. Akibatnya perkebunan yang terbakar itu akan mengeluarkan seluruh karbon yang seharusnya mengalami 'offset'. Itu berarti bahwa satu-satunya kegunaan perkebunan itu adalah untuk memungkinkan perusahaan pencemar itu menghindari melakukan investasi yang paling dibutuhkan dari perspektif iklim: menurunkan emisi."5

Tentu saja hutan tak dapat begitu saja dipandang sebagai tempat penyimpanan karbon: memandangnya dengan cara seperti ini berarti melakukan kesalahan seperti yang pernah dibuat di masa lalu, yang menganggapnya hanya sebagai tegakan batang kayu. Jika seluruh fungsi sosial, ekonomi, keanekaragaman hayati dan ekologi dipertimbangkan, akan tampak semakin jelas betapa pentingnya segera melakukan pencegahan agar semua itu tidak hancur sejak permulaan. Kalau mereka tak ada lagi, dampaknya terhadap komunitas setempat sangatlah besar dan beragam - selain hilangnya karbon yang terkait. Tetapi kehancuran yang lebih parah terkandung dalam rencana kementerian kehutanan, termasuk lahan seluas 420.000 hektar per tahunnya yang akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan peruntukan lainnya (lihat di bawah).


Kapan hutan tak lagi hutan?

Kontroversi baru mengenai apa itu hutan telah muncul di Eropa dan di Indonesia. Pada awal Februari, sebuah dokumen Komisi Eropa bocor. Dokumen itu menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat dianggap hutan. Hal ini segera menimbulkan cemooh dan kemarahan diantara para pelaku kampanye lingkungan hidup dan banyak dipandang sebagai manipulasi terminologi untuk menampilkan minyak sawit sebagai bahan bakar yang berkelanjutan (lihat artikel terpisah). Dokumen itu menunjukkan, kata Friends of the Earth Eropa," usaha yang memalukan untuk menggalakkan minyak sawit melalui undang-undang Eropa yang dirancang untuk mencegah kehancuran hutan..." Menurut FoE, mengubah hutan hujan menjadi perkebunan kelapa sawit menciptakan 'utang karbon' yang amat besar. Akan diperlukan 86 tahun bagi satu perkebunan kelapa sawit untuk dapat mengganti emisi yang dikeluarkan melalui deforestasi.i

Beberapa hari kemudian, seorang pejabat senior kementerian kehutanan mengumumkan bahwa Indonesia tengah mempersiapkan peraturan baru untuk memasukkan perkebunan kelapa sawit dalam sektor kehutanan, dan mendefinisikan perkebunan kelapa sawit sebagai hutan. Tindakan ini bermaksud untuk mengantisipasi pelaksanaan skema REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), kata pejabat itu.ii Meskipun Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan membantah adanya rencana tersebut beberapa hari kemudian, berita tersebut mengundang kecaman keras di Indonesia seperti halnya kebocoran dokumen UE di Eropa. Kelompok lingkungan hidup WALHI dan Greenpeace mengungkapkan keprihatinan mereka akan meluasnya deforestasi yang akan terjadi.

Menurut makelar karbon seperti yang dikutip oleh Point Carbon News, Indonesia akan kesulitan untuk menjual kredit karbon yang dihasilkan oleh perkebunan sawit, jika disepakati bahwa perkebunan ini memenuhi syarat bagi skema REDD. "Saya sungguh meragukan bahwa ada negara, khususnya negara Eropa, yang bersedia mendukung pengembangan perkebunan sawit sebagai bagian REDD, atau membeli kredit karbon dari perkebunan sawit melalui REDD", kata Paul Butarbutar dari South Pole Carbon Asset Management.iii

Definisi hutan merupakan salah satu isu yang kontroversial dalam pertemuan di Kopenhagen pada bulan Desember, dan tetap tak terpecahkan. UNFCCC menggunakan definisi hutan yang digunakan oleh FAO, yang mencakup perkebunan tanaman. Definisi Indonesia menurut hukum (misalnya dalam UU Kehutanan 1999) tidak mencakup perkebunan, meskipun pekebunan kayu dan pohon untuk bubur kayu dianggap sebagai bagian dari kawasan hutan.v

Organisasi-organisasi Masyarakat Sipil Indonesia juga mengecam keras rencana yang dibuat terpisah oleh kementerian kehutanan untuk mengenakan biaya sebesar Rp 1 juta bagi setiap hektar hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit.v

i Siaran pers FoE 3/Feb/10
ii The Jakarta Post 02/Feb/2010
iii www.pointcarbon.com 16/Feb/10
iv Lihat juga DTE 79
v Siaran pers AMPUH 23/Feb/10


Rincian lebih lanjut mengenai rencana Kementerian Kehutanan

Informasi berikut diambil dari dokumen diskusi Kementerian Kehutanan berjudul: Program Kehutanan Untuk Mitigasi Perubahan Iklim & Pengukuran, Pelaporan serta Verifikasinya. Dokumen itu dimuat dalam situs webnya pada tanggal 8 Januari, dengan komentar yang diundang masuk sebelum 12 Januari, sebagai persiapan untuk pertemuan antara presiden dan para gubernur pada akhir bulan itu.6

Informasi itu dipaparkan sebagi tindak lanjut Kementerian Kehutanan atas komitmen SBY mengenai pengurangan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dengan tidak menerapkan aktivitas seperti biasa (BAU, business as usual). Sektor kehutanan telah diminta untuk mengurangi emisi BAU sebesar 14% (=52% dari target sebesar 26%).

Menurut dokumen itu, tindak lanjut ini mencakup:

Target peningkatan stok karbon diuraikan per tahun dan per skema kehutanan (lihat tabel 1) dan kemudian juga per provinsi per tahun per skema. Angka-angka itu menunjukkan bawa HTI dan HTR memiliki target tertinggi untuk tahun 2020 yaitu sejumlah 5,8 juta hektar, diikuti dengan restorasi konsesi penebangan (5,75 juta hektar), dan hutan kemasyarakatan dan hutan desa (5,5 juta hektar).


Tabel 1: Peningkatan stok karbon melalui HKm & Hutan Desa, RHL-DAS, HTI & HTR, Restorasi HPH, Hutan Rakyat Kemitraan
Tahun Hkm & Hutan Desa (ha) Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS (ha) Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat (ha) Restorasi HPH - RE (Hak Pengelolaan Hutan Restorasi Ekosistem) (ha) Hutan Rakyat Kemitraan (ha) Jumlah (ha)
2010 500,000 300,000 450,000 300,000 50,000 1,600,000
2011 500,000 300,000 550,000 350,000 50,000 1,750,000
2012 500,000 300,000 500,000 450,000 50,000 1,800,000
2013 500,000 350,000 600,000 650,000 50,000 2,150,000
2014 500,000 350,000 550,000 750,000 50,000 2,200,000
2015 500,000 300,000 450,000 300,000 50,000 1,600,000
2016 500,000 300,000 550,000 350,000 50,000 1,750,000
2017 500,000 300,000 500,000 450,000 50,000 1,800,000
2018 500,000 350,000 600,000 650,000 50,000 2,150,000
2019 500,000 350,000 550,000 750,000 50,000 2,200,000
2019 500,000 350,000 550,000 750,000 50,000 2,200,000
2020 500,000 350,000 500,000 750,000 50,000 2,150,000
Jumlah (ha) 5,500,000 3,550,000 5,800,000 5,750,000 5,750,000 21,150,000


Rincian skema HTI & HTR menunjukkan bahwa untuk lima tahun pertama (2010-2014) sejumlah total 2.698.800 hektar lahan ditargetkan untuk ditanami. Dari 19 provinsi yang ditargetkan, Kalimantan Barat sejauh ini alokasinya paling tinggi, yaitu 585.000 hektar, diikuti Papua dengan 250.000 hektar, Sumatra Selatan 412.550 hektar, dan kemudian Kalimantan Timur dan Riau sebanyak masing-masing 240.000 hektar (lihat Tabel 2).9


Tabel 2: Sasaran HTI dan HTR 2010-2014 (hektar)
No Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah 5 tahun
1 Riau 50,000 50,000 45,000 45,000 50,000 240,000
2 Jambi 47,000 42,500 52,000 46,500 41,000 229,000
3 South Sumatra 85,000 84,550 79,000 84,500 79,500 412,550
4 Lampung 11,500 41,000 31,500 36,550 36,500 157,050
5 West Kalimantan 125,000 120,000 100,000 120,000 120,000 585,000
6 South Kalimantan 22,000 37,400 17,500 47,550 42,500 166,950
7 East Kalimantan 50,000 50,000 50,000 40,000 50,000 240,000
8 West Nusa Tenggara 10,500 10,400 10,450 20,450 15,400 67,200
9 East Nusa Tenggara 25,000 25,000 25,000 40,000 25,000 140,000
10 Maluku 5,000 10,000 10,000 30,000 10,000 65,000
11 Papua 40,000 50,000 50,000 60,000 50,000 250,000
12 North Sumatra 4,000 4,500 4,000 4,550 4,500 21,550
13 West Sumatra 1,500 1,000 1,000 1,500 1,250 6,500
14 Central Kalimantan 2,500 2,000 2,200 2,000 2,250 10,950
15 Yogyakarta 100 150 100 100 100 550
16 South Sulawesi 5,000 5,500 6,000 6,500 6,500 29,500
17 Southeast Sulawesi 12,000 11,000 11,000 10,500 10,000 54,500
18 North Sulawesi 3,000 2,500 2,000 2,500 2,000 12,000
19 North Maluku 1,500 2,000 2,000 2,500 2,500 10,500
Jumlah (ha) 500,600 549,500 499,000 600,700 549,000 2,698,800


Tak dijelaskan dalam dokumen apakah sasaran HTI menggantikan atau tumpang tindih dengan target sebelumnya sebesar 9 juta hektar hutan tanaman hingga tahun 2013 untuk mendukung industri bubur kayu.10


Hutan untuk pertambangan, perkebunan dan fasilitas militer

Dokumen Kementrian Kehutanan (Kemenhut) mencakup perkiraan alih fungsi hutan produksi menjadi penggunaan non-kehutanan. Proyeksinya adalah sebesar 420.000 hektar per tahun dari 2010 hingga 2019 - dengan jumlah total 4,2 juta hektar. Disebutkan bahwa 8,9 juta hektar wilayah hutan Indonesia dikategorikan sebagai hutan produksi konversi (HPK), dan 4,7 juta hektar telah dilepas. Dari jumlah ini, 2,4 juta hektar memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Jadi, proyeksi 2010-2019 atas 4,2 juta hektar berarti pengalih-fungsian semua yang hutan produksi yang dikategorikan untuk konversi yang masih tersisa.11

Dokumen itu juga memberikan perkiraan bagi "penggunaan kawasan hutan" untuk emas, nikel, minyak & gas, batubara, timah dan mineral lainnya, ditambah penggunaan lahan untuk kegiatan non-tambang seperti jalan, fasilitas komunikasi dan pertahanan, serta fasilitas keamanan untuk militer Indonesia.

Luas hutan untuk penggunaan semacam ini pada tahun 2004-2009 diperkirakan sebesar 1.197.727 hektar dan perkiraan untuk 2010-2020 adalah 200.000 hektar per tahun, sehingga jumlah keseluruhan mencapai 3.397.727 hektar. Dengan demikian Kemenhut bekerja atas dasar bahwa tambahan sejumlah 2,2 juta hektar akan disediakan untuk penggunaan seperti itu antara sekarang sampai akhir dekade ini.

Kebakaran hutan juga diharapkan akan berkurang dengan penurunan "hotspot" yang diperkirakan berjumlah 25.566 pada tahun 2010 menjadi hanya 2.745 pada tahun 2020. Sedangkan penurunan CO2e diperkirakan akan mengalami pengurangan secara bertahap dari 0,8 juta ton CO2e pada tahun 2009 menjadi 0,2 juta ton CO2e pada tahun 2015.

Secara menyeluruh, skenario Kemenhut menunjukkan bagaimana sektor kehutanan menjadi "net carbon sink" (penyerap karbon) ketimbang "net emitter" (pelepas emisi), jika rencana strategis Kemenhut itu diikuti. Jumlah emisi dari hutan diperkirakan sebesar 1,24 Gigaton CO2e, sementara hutan akan dapat menyerap 1,31 Gigaton menurut rencana ini.


Skema REDD

Pendanaan luar negeri bagi salah satu elemen rencana Kemenhut-Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)- disambut baik oleh pemerintah Indonesia. Jakarta telah menyepakati proyek REDD dengan beberapa pemerintah asing dan juga dengan PBB, dan masih dalam negosiasi dengan Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) Bank Dunia.12 Sejauh ini telah ada komitmen sebesar US$18 juta dan dari jumlah itu FCPF akan memberikan kontribusi sebanyak US$3,6 juta.13

Tiga buah legislasi REDD telah dikeluarkan 14 dalam dua tahun terakhir dan lima proyek percontohan (dari lebih dari 20 proyek REDD yang direncanakan di seluruh Indonesia) telah dicatat secara resmi oleh Kemenhut (lihat boks). Lima skema ini secara resmi telah diluncurkan pada bulan Januari 2010.

Tetapi, terdapat perlawanan sengit dari organisasi masyarakat sipil terhadap REDD terkait dengan perdagangan karbon dan pengimbangan atau offset, juga terhadap rencana pemerintah bagi pengelolaan proyek REDD di Indonesia. Selain kekhawatiran yang serius atas korupsi uang REDD,15 ada juga kekhawatiran mendalam bahwa kondisi masyarakat setempat dapat memburuk akibat skema REDD itu.

Bernadinus Steni, dari sebuah organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Jakarta, HuMa, mengunjungi satu proyek percontohan REDD di Kalimantan Barat belum lama ini. Ia melaporkan bahwa keadaan di sana menjadi "berantakan", dengan "janji-janji akan adanya aliran uang dan pembangunan infrastruktur yang menciptakan baik harapan besar maupun keprihatinan yang ekstrem di antara masyarakat setempat."16

"Tak ada REDD tanpa (pemenuhan) hak!" adalah slogan kampanye aktivis masyarakat adat dan masyarakat sipil dari seluruh dunia dalam perbincangan iklim UNFCCC di Bangkok dan Kopenhagen tahun lalu, dan hal ini tepat khususnya bagi situasi di Indonesia. Salah satu kekhawatiran mendasar atas REDD adalah bahwa hak-hak adat kelihatannya akan dikesampingkan, atau diabaikan sama sekali, karena pada tingkat nasional, pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ini masih sangatlah kurang. Peraturan REDD Indonesia secara teori memungkinan masyarakat adat untuk mengelola proyek REDD, tetapi dalam praktiknya, kurangnya perundang-undangan pada tingkat nasional untuk mengakui masyarakat itu berarti bahwa dalam praktik, hal itu tidaklah mungkin.17


Proyek percontohan resmi

Proyek percontohan berikut ini secara resmi telah diakui oleh Kemenhut:
  • Kegiatan pemeragaan di tingkat provinsi di Kalimantan Tengah, sebagai bagian dari Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan dengan Australia. Dalam tahap awal pelaksanaan.
  • Kegiatan pemeragaan di tingkat kabupaten, 2 di Kalimantan Timur dan 1 di Kalimantan Barat. Pada tahap awal pelaksanaan, didukung oleh KfW Germany.
  • Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, bekerja sama dengan The Nature Conservancy. Dalam tahap awal pelaksanaan.
  • REDD dan konservasi terpadu di Taman Nasional Meru Betiri (Jawa Timur). Proyek ini dalam tahap perencanaan dan didanai oleh Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO).
  • Proyek REDD skala kecil. Ini adalah kemitraan Indonesia-Korea yang masih pada tahap identifikasi lokasi.i
i Lihat http://www.whrc.org/policy/pdf/AnOverviewofReadinessforREDD.pdf#search="Readiness"

Latar belakang mengenai proyek lain dapat dilihat dalam DTE 79 dan DTE 82, termasuk kecaman terhadap rencana REDD Australia yang berfokus pada perdagangan dan offset karbon. Laporan yang baru oleh Friends of the Earth (FoE) Australia dan Aid/Watch juga mengecam keras rencana itu - lihat 'New Report exposes Australia's REDD offsets scam' di www.redd-monitor.org, yang secara berkala menyediakan informasi mengenai berita termutakhir tentang proyek-proyek REDD di Indonesia dan tempat lain.

Pada bulan Februari, Australia mengumumkan proyek pemeragaan lebih lanjut di Jambi, Sumatra (REDD dalam berita: 1-7 Maret 2010), www.redd-monitor.org). Proyek itu segera dikecam oleh FoE Australia dan Indonesia (WALHI) sebagai usaha untuk melakukan offset atas emisi karbon Australia (Siaran Pers 11/Mar/2010).

Berita termutakhir tentang proyek-proyek REDD juga dimuat di situs web REDDI: redd-indonesia.org/en/


Forum Masyarakat Sipil Indonesia bagi Keadilan Iklim (CSF) menuduh delegasi resmi Indonesia untuk Kopenhagen lebih tertarik untuk mencari dana daripada menangani dampak perubahan iklim atau menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa bagi rakyatnya sendiri. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan dalam KTT Kopenhagen, CSF mengimbau Jakarta agar berhenti menggunakan COP15 sebagai kesempatan mencari dana dan berhenti menggunakan hutan sebagai komoditi. CSF mengatakan bahwa delegasi harus "berhenti mempermalukan rakyatnya sendiri dengan berjanji untuk mengurangi emisi melalui REDD sementara masalah kehutanan di dalam negeri yang ada saja belum diselesaikan."18

Catatan buruk atas Indonesia dalam penegakan hak-hak adat, dan dalam melakukan konsultasi dengan masyarakat adat serta komunitas setempat yang terpengaruh oleh skema pembangunan juga mendapat sorotan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil tahun lalu. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan jaringan advokasi minyak sawit, Sawit Watch, menulis ke FCPF, berargumentasi bahwa R-PP Indonesia (rencana yang menunjukkan bahwa suatu negara telah siap untuk REDD) tidak memenuhi kriteria FCPF dan seharusnya tidak diterima sampai ada perbaikan lebih lanjut.19 Mereka juga mengecam proses persetujuan FCPF yang gagal untuk mempertimbangkan kebijakan perlindungan utama Bank Dunia yang menawarkan sejumlah perlindungan bagi komunitas-komunitas.20

Sebuah organisasi masyarakat sipil Indonesia, HuMa, juga menulis kepada FCPF guna menggarisbawahi kegagalan R-PP dalam mengakui kurangnya pengakuan atas hak-hak adat dalam undang-undang kehutanan Indonesia. Kelompok itu juga mengungkapkan keprihatinan atas mandat Kemenhut, mengingat catatannya yang terkenal buruk dalam penatakelolaan dan kekeras-kepalaannya dalam meneruskan kebijakan yang merusak yang merupakan warisan dari era Soeharto.

Rencana R-PP Indonesia masih belum diterima, meskipun organisasi-organisasi masyarakat sipil curiga bahwa FCPF berencana untuk menerimanya segera setelah prosedur kompromi dibuat sehingga mempermudah kasus-kasus kontroversial seperti Indonesia untuk memenuhi kriteria penerimaan. Terdapat tanda-tanda bahwa FCPF menginginkan Indonesia dalam skemanya walaupun adanya keberatan dan masalah, karena Indonesia merupakan pemain yang terlalu penting untuk tidak diikutsertakan.

Laporan kemajuan baik dari FCPF maupun Menhut yang dimuat dalam situs web FCPF mengindikasikan bahwa isu utama yang belum diselesaikan termasuk konsultasi dengan masyarakat yang terpengaruh. Menurut FCPF, isu yang masih ada termasuk perjanjian mengenai apa yang akan tercakup dalam dana hibah FCPF, perjanjian mengenai penerapan Kesepakatan dan Penilaian Sosial dan Lingkungan yang Strategis mengenai rencana bagi konsultasi dan partisipasi. Pada bagian yang disebut "isu utama yang masih ada" FCPF melaporkan daftar partisipasi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, dan mengatakan bahwa hak ulayat dan hak akses akan tanah telah mendapat sorotan dari kelompok itu sebagai isu utama. Juga disebutkan permintaan atas partisipasi yang lebih bersifat kualitatif, pembangunan kapasitas dan koordinasi kegiatan.21 Laporan Kemenhut yang berkaitan dengan hal tersebut hanya menyebutkan bahwa komunikasi pemangku kepentingan tengah "berjalan".22


REDD di Kopenhagen

Apakah ada perjanjian mengenai REDD di Kopenhagen?

Persetujuan Kopenhagen, adalah hasil resmi yang paling menonjol-meskipun sangat kontroversial dan sangat lemah-- dari UNFCCC yang mengecewakan pada bulan Desember 2009. Persetujuan itu mengacu pada pembentukan secepatnya suatu mekanisme yang mencakup REDD+.

Negosiasi REDD berlanjut dalam sub-kelompok di bawah AWG-LCA (Kelompok Kerja Adhoc bagi Aksi Kerja Sama Jangka Panjang) dan menyetujui banyak bagian dari teks negosiasi, termasuk referensi pada Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) -suatu terobosan besar. Tetapi tiga isu yang "keras kepala"-target global dan rezim pembiayaan, pelaporan atas perlindungan dan perhitungan & kebocoran karbon nasional/subnasional-tetap ada dan tak ada perjanjian akhir yang dicapai dalam Sidang Paripurna COP.i

Pertemuan UNFCCC mendatang terkait dengan REDD termasuk pertemuan di Bonn, Jerman, pada bulan April dan Mei-Juni 2010. Untuk rincian lebih lanjut lihat situs web UNFCCC di unfccc.int/files/methods_science/redd/application/msexcel/20100112_redd_meetings_events_calendar.xls.

i Lihat: Forest talks at a standstill as Copenhagen ends without agreement (Perbincangan tentang hutan tak mencapai kemajuan dengan berakhirnya pertemuan Kopenhagen tanpa mencapai perjanjian), Laporan Khusus Forest Watch, FERN Januari 2010, dalam www.redd-monitor.org


Tanda kemajuan akan adanya pengakuan?

Terdapat indikasi bahwa tekanan atas Indonesia mungkin akan memberikan ruang bagi negosiasi mengenai hambatan hukum yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.

Setelah adanya usaha melakukan lobi yang terus-menerus, KTT iklim di Poznan (COP 14) tahun 2008 untuk pertama kali mendengar ketua delegasi Indonesia Rachmat Witoelar menyebutkan pentingnya menghargai hak-hak masyarakat adat dalam skema penghentian deforestasi, meskipun hal ini tidak direalisasikan dalam tindakan di tingkat nasional. 23

Dalam suatu lokakarya yang berlangsung pada bulan Desember 2009 mengenai hak ulayat yang diadakan bersama-sama oleh AMAN dan Kementerian Lingkungan Hidup, disebutkan oleh Menteri Lingkungan Hidup bahwa pemerintah kemungkinan besar akan mengakui hak ulayat dan peran masyarakat adat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.24 Langkah itu sesuai dengan UU Lingkungan Hidup Indonesia yang baru (No 32/2009), yang menyebutkan bahwa perhatian harus diberikan bagi pengakuan atas masyarakat adat serta pengetahuan tradisional dan hak-hak mereka dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.25

Dalam bulan berikutnya, AMAN dan Menteri Lingkungan Hidup menandatangani perjanjian yang merupakan komitmen AMAN dan Menteri Lingkungan Hidup untuk bekerja sama guna "meningkatkan peran masyarakat adat dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup". Kerja sama itu meliputi: identifikasi masyarakat adat dan hak-hak mereka, memberdayakan masyarakat adat dan bertukar informasi mengenai mereka.26 Perjanjian itu ditandatangani di hadapan 35 pimpinan masyarakat adat, menurut siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup. Juga disebutkan bahwa tindak lanjut perjanjian itu akan mencakup pembuatan kebijakan untuk memberdayakan dan mengakui keahlian setempat; mengembangkan kriteria dan metode untuk mengidentifikasi masyarakat adat; membuat pangkalan data masyarakat adat dan pengetahuan lokal mereka, serta sejumlah kegiatan untuk memberdayakan masyarakat adat.27


Badan Registrasi Wilayah Adat

Langkah lain menuju pengakuan yang lebih baik atas wilayah masyarakat adat telah diambil oleh AMAN, dengan bekerja sama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Forest Watch Indonesia (FWI). Pada awal Maret, AMAN, JKPP dan FWI meluncurkan badan independen untuk melakukan registrasi wilayah masyarakat adat yang dikelola secara tradisional. AMAN mengatakan bahwa dalam dekade terakhir ini masyarakat adat telah membuat peta partisipatif atas wilayah adat mereka yang mencakup jutaan hektar di seluruh nusantara. Tetapi hasil usaha ini sama sekali tak mendapat tempat dalam sistem administrasi tanah nasional, badan perencanaan pembangunan nasional, atau dalam kementrian kehutanan (yang tidak memiliki bagian yang berhubungan dengan data hutan adat).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan meskipun ketentuan bagi pengakuan hak-hak adat terdapat dalam UU Kelautan (No 27/2007). Jadi, AMAN dan para pendukungnya mengambil keputusan untuk membentuk badan registrasi ini dan mengembangkan sistem registrasi dengan biaya ringan dan mudah digunakan oleh masyarakat adat, serta yang memudahkan adanya pengakuan bersama atas klaim-klaim. Yang menjadi harapan adalah bahwa di masa mendatang, negara juga akan mengakui klaim-klaim itu. AMAN meluncurkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada Hari Masyarakat Adat Nusantara, 17 Maret 2010. Situs web BRWA adalah www.brwa.or.id/.28

Terima kasih kepada Bernadinus Steni dari HuMa, www.huma.or.id yang telah memberikan saran untuk artikel ini. Ia tengah membuat laporan mengenai REDD di Indonesia bagi pertemuan Accra Caucus mendatang.

Terima kasih juga kepada Patrick Anderson atas komentarnya.

Catatan: artikel ini telah sedikit diubah dari versi cetaknya dan dari edisi PDF dalam laporan berkalanya.


Catatan

1 Reuters 6/Jan/10
2 Reuters 6/Jan/2010
3 Lihat DTE 83
4 Lihat dokumen DTE yang baru megnenai kewajiban Indonesia sesuai dengan hukum internasional di http://dte.gn.apc.org/ilaw.pdf.
5 Plantations as sinks: the carbon fraud at its worst (Perkebunan sebagai penyerap karbon: tipu daya karbon terburuk), Chris Lang, 25/Agt/09 on www.redd-monitor.org.
6 www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6036
7 Lihat juga www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/23065/Pemerintah-Kembangkan-Hutan-Rakyat-Kemitraan diakses 2/Mar/2010. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Bambang Jaka Wibawa mengatakan bahwa upaya perluasan hutan tanaman rakyat berbasis kemitraan dilakukan untuk menutup defisit bahan baku kayu sebesar kurang lebih 71,85 juta m3 per tahun. Saat ini kebutuhan kayu nasional diperkirakan sebesar 80 juta m3 pertahun sementara rata-rata jatah penebangan tahunan yang ditetapkan pemerintah sebesar 8.152.250 m3 per tahun. Defisit bahan baku itu telah mengakibatkan banyak industri kehutanan berbasis kayu yang hancur bahkan harus gulung tikar.
8 Laporan baru-baru ini dari Greenpeace memaparkan mitos bahwa skema pengelolaan berkelanjutan bagi hutan seperti pengurangan dampak penebangan dapat mencapai pengurangan emisi - lihat rangkuman dalam buletin WRM No 151, 25/Feb/10.
9 Untuk uraian selengkapnya lihat lampiran PDF di www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6036
10 Lihat DTE 80/81 untuk target tanaman untuk bubur kayu.
11 Data Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa sejumlah 32,1 juta hektar hutan disediakan bagi alih fungsi selama tahun 1980-an, dan dari jumlah itu tinggal 13,8 hektar yang masih ada, tidak termasuk provinsi Kalimantan Tengah, Riau dan Kepulauan Riau yang masih dalam proses padu serasi -yang peta hutannya terpadu dengan departemen lain, rencana-rencana pembangunan pada tingkat provinsi dan kabupaten. (Bisnis Indonesia 21/Jan/10)
12 Lihat DTE 82 & 83 untuk latar belakang lebih lanjut dte.gn.apc.org/news.htm
13 Seperti yang dilaporkan dalam dokumen FCPF: Kemajuan dengan pekerjaan uji tuntas di Indonesia, 27-28 Oktober, 2009.
14 Lihat redd-indonesia.org/en/laws-regulations/
15 Laporan CIFOR baru-baru ini merekomendasikan bahwa Indonesia membentuk mekanisme baru untuk memantau uang yang mengalir ke REDD dan memperkuat badan pengawas yang ada seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan itu menyebutkan bahwa masalah signifikan yang berlangsung sejak korupsi skala besar pada zaman Soeharto menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai bagaimana skema pembayaran REDD di masa mendatang akan dikelola. Pejabat kehutanan senior termasuk mereka yang dicurigai menerima suap, menurut KPK. Sumber: Reuters 6/Nov/09. Untuk latar belakang lebih lanjut mengenai kehutanan dan korupsi lihat, misalnya DTE dalam Forests, People & Rights (Hutan, Rakyat & Hak) di http://dte.gn.apc.org/srf1.htm#fnd
16 B. Steni, komentar pers.
17 Lihat juga DTE 79 untuk latar belakang lebih lanjut
18 Siaran pers CSF 10/Des/09.
19 Sebagian dari dokumen ini dimuat dalam situs web FCPF www.forestcarbonpartnership.org.
20 lihat DTE 82
21 Perkembangan kegiatan uji tuntas di Indonesia, 27-28 Oktober, 2009, di www.forestcarbonpartnership.org
22 Perkembangan Kesiapan REDD di Indonesia: laporan bagi pertemuan FCPF-PC ke-4, 28/Okt/2009 tentang www.forestcarbonpartnership.org
23 B.Steni, komentar pers.
24 The Jakarta Post 4/Des/09, dirangkum dalam DTE 83
25 B. Steni; untuk informasi mengenai undang-undang lingkungan hidup yang baru lihat www.menlh.go.id
26 Nota Kesepahaman ada di www.aman.or.id
27 www.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=4392%3Atigapuluh-lima-tokoh-adat-nusantara-hadiri-mou-klh-aman&catid=43%3Aberita&Itemid=73&lang=id
28 www.aman.or.id



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link