Switch to English |
Proyek tambang nikel dan kobalt yang kontroversial tengah dikembangkan oleh PT Weda Bay - perusahaan patungan Prancis, Jepang dan Indonesia.
Dua puluh satu persen wilayah pertambangan Weda Bay merupakan bagian dari sistem wilayah yang dilindungi dan mencakup Taman Nasional Lalobata serta Aketajawe. Tambang ini akan menebang habis 35.155 hektar hutan lindung.
Sekitar 17 juta ton bebatuan akan diambil setiap tahun dari pulau yang kecil dan rentan di Maluku Utara yang kaya akan keanekaragaman hayati ini. Dari jumlah itu, 5 juta ton biji besi akan diproses untuk menghasilkan 60.000 ton nikel dan 4.000 ton kobalt. Ekspor nikel dan kobalt dari tambang ini diharapkan akan mencapai 65.000 ton per tahun.
PT Weda Bay Nickel merencanakan untuk menggunakan proses pelindian timbunan asam sulfur yang kontroversial, dan mengembangkan pabrik asam sulfur yang akan memerlukan 1 juta ton sulfur setiap tahunnya.
Selain berdampak negatif pada tanah dan air dan mengkonsumsi sejumlah besar energi, limbah tambang akan dibuang ke Teluk Weda.
Sebuah petisi internasional, yang dikirim pada bulan Maret ke Badan Penjamin Investasi Multilateral (MIGA), badan asuransi Bank Dunia, menolak peran Bank itu serta institusi keuangan lain yang menyediakan asuransi dan dana bagi proyek berbahaya seperti tambang PT Weda Bay Nickel.
MIGA dijadwalkan melakukan penilaian kelayakan atas tambang ini pada tanggal 1 sampai 10 Maret untuk menentukan apakah badan ini harus menyediakan asuransi risiko politik bagi pembangunan tambang tersebut. Jika diteruskan, tambang ini akan merupakan tambang nikel terbesar kedua di Indonesia.
PT Weda Bay Nickel dimiliki oleh perusahaan yang berkantor pusat di Prancis, Eramet (56,5%), Mitsubishi dari Jepang (33,4%) dan perusahaan Indonesia PT Aneka Tambang (Antam) (10%).
Petisi itu juga meminta perhatian atas dampak perubahan iklim dari proyek itu: "Kami menolak proyek ini karena inimenghalangi komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020. Proyek menggunakan banyak bahan bakar fosil dan akan mengorbankan sumber daya hutan yang terdapat di daerah lindung Lalobata dan Aketajawe, yang meliputi 35.155 hektar."1
Pulau Gebe terletak dekat dengan Pulau Gag, di dekat Papua Barat, tempat tambang nikel besar direncanakan oleh BHP-Billiton, sampai kemudian dibatalkan di penghujung tahun 2008.5
Kegiatan pertambangan lain yang terkenal negatif di Pulau Halmahera sendiri dijalankan oleh PT Nusa Halmahera Minerals. Tahun 2004, perusahaan yang dimiliki Australia ini menghadapi protes dari masyarakat setempat setelah membuka hutan lindung Toguraci. Satu orang tewas setelah terkena peluru panas dari polisi Brimob, ratusan orang ditangkap, dan akhirnya tujuh orang ditahan tanpa proses hukum yang seharusnya. Penembakan itu tak pernah diselidiki dengan baik oleh pemerintah maupun kepolisian Indonesia.6
Nusa Halmahera dimiliki Newcrest dengan saham 82,5% sedangkan Aneka Tambang mempunyai saham minoritas sebesar 17,5%.7
PT Meares Soputan Mining (MSM) yang dimiliki oleh perusahaan penambangan yang terdaftar di Australia dan Inggris, Archipelago Resources, ingin mengembangkan tambang emas di bagian paling utara pulau itu. Proyek itu memiliki sejarah pertentangan yang panjang dari masyarakat setempat yang penghidupannya terancam oleh tambang itu. Dahulu, pihak setempat yang berwenang juga menentang pembangunan itu, tetapi tahun lalu AMDAL proyek akhirnya disetujui.8
Tiga bank yang menjadi target surat CSO itu adalah ANZ yang berbasis di Australia, Standard Bank (Afrika Selatan) dan BNP Paribas (Prancis).
Surat dari kelompok itu - yang terdiri dari Banktrack, Friends of the Earth Prancis, Lembaga Kebijakan Mineral dan Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMMALTA) Sulawesi Utara - mengimbau bank-bank itu agar menarik diri sepenuhnya dari proyek itu, menghentikan proses uji tuntas mereka dan menahan diri untuk tidak mempertimbangkan dukungan keuangan bagi proyek itu atau sponsor apa pun juga karena:
Surat itu menyebutkan bahwa ketiga bank tersebut telah mengadopsi kebijakan yang secara publik telah mengamanatkan mereka dengan standar tanggung jawab sosial dan lingkungan, seperti Prinsip-prinsip Ekuator. Dalam surat itu disebutkan bahwa pertimbangan mereka atas proyek Toka Tindung menimbulkan tanda tanya besar akan ketulusan komitmen mereka dan merusak reputasi mereka.9
Bank-bank lain telah menarik diri dari proyek itu, termasuk sebuah bank Jerman, WestLB, pada Desember 2007, setelah terdapat tekanan kuat dari pelaku kampanye internasional, yang dipimpin oleh organisasi non-pemerintah Jerman, Urgewald, dan Watch Indonesia.10
Informasi lebih lanjut dapat diperoleh di situs web Banktrack www.banktrack.org/