- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Agrofuel: pendorong utama dalam gelombang baru perampasan tanah
DTE 93-94, Desember 2012
Agrofuel atau bahan bakar nabati seringkali dipromosikan oleh industri bahan bakar nabati, investor dan pejabat pemerintah sebagai cara untuk menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat pedesaan, tetapi bagaimana hal ini cocok dengan kenyataan bahwa bahan bakar nabati adalah bagian dari masalah perampasan tanah di negara-negara seperti Indonesia?
Argumentasi yang mendukung bahan bakar nabati atau agrofuel adalah bahwa tanaman yang ditanam untuk bahan bakar dapat membantu mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon karena tanaman itu dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil untuk energi dan transportasi. Tanaman itu juga dapat memerangi kemiskinan, menurut pendapat tersebut, dengan menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat petani.
Bagaimanapun juga, nyatanya, bahan bakar nabati memiliki dampak merugikan terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Kerap kali, dampaknya merusak terhadap petani kecil, masyarakat lokal dan lingkungan hidup. Banyak bahan bakar nabati juga buruk bagi iklim karena hutan dan lahan gambut yang kaya karbon dibabat (secara langsung atau tak langsung) untuk digantikan dengan tanaman pemasok agrofuel.[1] Namun, seperti banyak penyusunan kebijakan yang memposisikan kepentingan bisnis dan politik bertentangan dengan kepentingan lingkungan hidup dan sosial dari kaum miskin, dampak-dampak agrofuel kerap diukur secara tidak akurat atau dengan mudahnya diabaikan.
RED-UE mendorong ledakan permintaan minyak sawit
‘Ledakan’ minyak sawit yang berlangsung lama[2] telah menjadi unsur penting dalam pendapatan nasional Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Pada tahun 2008, ekspor/penjualan/pendapatan kelapa sawit berjumlah 2,8% dari PDB nasional.[3] Sejak krisis ekonomi Indonesia pada 1997-1998, minyak sawit telah menjadi aset komoditas utama yang didorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meningkatkan investasi asing. Ekspor minyak sawit mentah, minyak sawit olahan dan minyak biji sawit telah meningkat dari USD8,7 milyar pada tahun 2007 menjadi USD20,4 milyar pada 2011. India, Cina dan Malaysia adalah negara tujuan utama untuk ekspor minyak sawit.[4]
Belakangan ini, ledakan minyak sawit telah didorong oleh perluasan pasar bahan bakar nabati akibat munculnya Panduan Energi Terbarukan (RED) dari Uni Eropa[5]. RED mewajibkan setiap Negara Anggota UE untuk memastikan bahwa 10% dari konsumsi bahan bakar transportasi mereka dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan pada tahun 2020.[6] Prospek dari pasar bahan bakar nabati Eropa yang menguntungkan secara jangka panjang telah menimbulkan kepercayaan investor pada minyak sawit dan memberikan insentif yang kuat bagi investasi komersial untuk mendapatkan lahan bagi pembangunan perkebunan bahan bakar nabati.[7] Produksi minyak sawit untuk pasar komoditas global terus menjadi jalur pembangunan ekonomi yang menarik bagi Indonesia[8] dan target pemerintah telah ditetapkan untuk meningkatkan produksi minyak sawit sebesar 15 juta ton pada 2020, dari 25 juta ton pada 2012 menjadi 40 juta ton.[9]
Bahan bakar nabati: pendorong kunci
Munculnya peluang pasar bagi produksi energi-hayati (bioenergy) menciptakan “gelembung baru” untuk investasi yang bersifat spekulatif atau perampasan tanah.[10] Kehausan Uni Eropa akan biodiesel dari minyak sawit untuk memenuhi target RED-UE untuk energi terbarukan menjadi ancaman yang mendorong lebih banyak lagi pengambilalihan lahan di Indonesia. Lebih dari tiga perempat konsumsi bahan bakar nabati UE akan dipenuhi oleh biodiesel,[11] 20 persen di antaranya diproyeksikan berasal dari minyak sawit yang diproduksi di Indonesia dan Malaysia.[12] Pada saat yang sama, bahan bakar nabati secara mencolok terus menjadi bagian penting dalam rencana pembangunan pemerintah Indonesia,[13] dengan prediksi peningkatan produksi biodiesel dari 1,8 milyar liter pada tahun 2012 menjadi 2,2 milyar liter pada 2013 dan proyeksi secara konservatif peningkatan ekspor menjadi 1,5 milyar liter pada 2013.[14]
Diterjemahkan ke dalam angka-angka lahan, lebih dari 60 juta hektare – wilayah sebesar hampir lima kali luas Inggris – dapat dikonversi untuk produksi minyak sawit (baik pemanfaatan bahan bakar dan non-bahan bakar) maupun bahan bakar nabati pada tahun 2030.[15] Menurut International Land Council atau Dewan Tanah Internasional (2011), 60 persen lahan yang dirampas digunakan untuk bahan bakar hayati.[16]
Sebagaimana dikatakan Santurino et al (2012), “Tidak ada konsensus menyangkut berapa banyak lahan yang telah berpindah tangan dan tentang metodologi pengidentifikasian, penghitungan, dan pengkuantifikasian perampasan tanah”. Hal ini yang khususnya terjadi ketika mencoba menilai dampak yang lebih kompleks dari perampasan tanah di Indonesia yang secara langsung diakibatkan oleh permintaan UE terhadap minyak sawit untuk biodiesel. Sebagian besar ini karena minyak sawit adalah ‘tanaman serbaguna’ yang memiliki pasar maupun pemanfaatan berganda sehingga sulit untuk memisahkan pada saat tertentu apakah tanaman seperti minyak sawit sedang ditanam untuk pasar bahan bakar ataukah non-bahan bakar.[17]
Namun, secara umum disepakati bahwa perampasan tanah sedang berlangsung dan terbukti signifikan (White et al. 2012)[18] serta ada bukti bahwa ketergantungan Eropa pada biodiesel untuk memenuhi target energi terbarukan dapat memiliki dampak signifikan terhadap tata guna lahan. Memang, bukti baru-baru ini mengungkapkan bahwa secara global, dua pertiga dari kesepakatan terkait lahan besar dalam sepuluh tahun terakhir adalah untuk menanam tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar hayati, seperti minyak sawit dan jatropha.[19]
Tantangan dalam mengaitkan bahan bakar nabati dengan perampasan tanah “Satu implikasi dari fenomena tanaman/komoditas ‘serbaguna’ adalah kompleksitas dalam memahami perampasan tanah.”(i) Mengidentifikasi dampak perampasan tanah secara langsung dari bahan bakar nabati yang diakibatkan oleh RED Uni Eropa adalah kompleks karena beberapa alasan: minyak sawit adalah suatu ‘tanaman serbaguna’ (flex-crop), yakni tanaman yang memiliki manfaat ganda yang dapat dipertukarkan secara fleksibel. Minyak sawit memiliki manfaat yang menonjol sebagai bahan pangan, biodiesel dan juga mempunyai manfaat komersial/industri. Oleh karena itu, perampasan tanah untuk minyak sawit dipengaruhi oleh faktor-faktor ganda (strategi pangan, energi/bahan bakar dan tekanan kebijakan/mitigasi perubahan iklim) yang “diartikulasikan melalui rantai nilai komoditas global yang semakin membelit sehingga menjadikannya mustahil untuk mereduksi seluruh dinamika heterogen ini menjadi sebuah pendorong tunggal dari perampasan tanah”.(ii)
|
“Sensasi Jatropha” Jatropha, sejenis tanaman perdu penghasil biji minyak dari Amerika Tengah baru-baru ini menjadi lebih disukai sebagai bahan mentah alternatif yang potensial dalam produksi biodiesel. Salah satu kualitas penting jatropha adalah kemampuannya untuk tumbuh di tanah kritis (lihat artikel terpisah). Komunitas bisnis dan pemerintah yang mendukung perluasan bahan bakar hayati generasi pertama, secara aktif telah mempromosikan jatropha sebagai solusi potensial terhadap kritik yang menolak bahan pangan dijadikan bahan bakar nabati. Sayangnya, banyak ciri positif jatropha, termasuk klaim mengenai hasil panen yang tinggi dengan masukan rendah, toleran terhadap kemarau serta tahan hama dan penyakit, belum terbukti kebenarannya secara ilmiah.[20] Sebagaimana halnya kasus pada kebanyakan bahan mentah bahan bakar nabati, berbagai penilaian terhadap dampak sosial dan lingkungan hidup dari jatropha kerap tidak memadai karena hal itu didasarkan oleh proyeksi dari ekstrapolasi dan perkiraan ketimbang penelitian ilmiah yang independen, observasi dan bukti empiris. Penilaian itu tidak cukup mempertimbangkan faktor-faktor penting agronomi dan ekologis dari kinerja jatropha sebagai sebuah tanaman skala industri. Penanaman uji coba skala kecil tidak memberikan konteks yang realistis yang dapat menilai kinerja jatropha sebagai tanaman skala industri. Saat ditanam pada skala besar sebagai tanaman monokultur (atau sebagai bagian dari sistem tumpang sari), jatropha bersaing dengan tanaman-tanaman lain untuk sumber daya alam seperti radiasi (panas dan cahaya dari matahari), air serta bahan gizi dan kemudian berperilaku berbeda dibandingkan pada penanaman skala kecil. Tapi tidak ada kajian agronomi yang realistis, detail dan berjangka panjang yang pernah dilakukan terhadap hasil dan efisiensi sumber daya dari jatropha pada skala industri atau dalam suatu model bisnis. Menghindari ‘kebenaran tak menyenangkan’ Ada kecenderungan berulang untuk menghindari ‘kebenaran tak menyenangkan’ dalam sektor bahan bakar nabati, dengan mengabaikan data yang mengidentifikasi dampak sosial dan lingkungan yang negatif dan memfokuskan pada data yang mendukung kepentingan bisnis dan politik. Hingga saat ini, ratusan juta dolar dana publik dan pribadi mungkin telah diinvestasikan dalam uji coba dan penelitian tanaman jatropha – uang yang sebaliknya mungkin telah dapat diinvestasikan dalam solusi energi yang lebih efektif. Jatropha justru menunjukkan kekurangan yang signifikan pada persyaratan mendasar akan hasil panen. Tampaknya dibutuhkan bertahun-tahun pemuliaan selektif atau modifikasi untuk memperbaiki kondisi panen, dan lebih banyak lagi dana. Sudahkah pemerintah-pemerintah di seluruh dunia belajar dari kesalahan yang dibuat dengan menginvestasikan modal politis, komersial dan finansial secara besar-besaran dalam bahan bakar hayati generasi pertama yang merusak? Jika ya, jatropha harus diizinkan masuk pasar bahan bakar nabati hanya jika ia dapat melewati uji lingkungan hidup, sosial dan ekonomi yang ketat. Jika itu gagal, klaim tentang potensi jatropha sebagai bahan mentah agrofuel unggulan akan diungkap sebagai sensasi dagang. Teks ini berdasarkan informasi dalam: Peter Baker & Zoheir Ebrahim, Jatropha – An Update Part 5: A systemic knowledge failure, CABI UK, 2012 |
Perampasan tanah secara ‘virtual’ – mengeruk keuntungan dari lahan ‘kosong’
Kelapa sawit memiliki sejarah memberikan laba yang tinggi sehingga menjadikannya sebagai sebuah produk investasi yang menarik dan dapat diandalkan. Tenggat tahun 2020 untuk target energi terbarukan dari RED-UE telah memicu pedagang bergegas merampas bidang-bidang tanah yang sangat luas. Hal ini sering berakibat kegagalan memperoleh izin dari masyarakat lokal yang penghidupan, keanekaragaman hayati lokal serta kesejahteraan sosial dan budaya mereka bergantung pada tanah tersebut. Situasi ini selanjutnya diperparah oleh kurangnya kebijakan negara Indonesia dan kriteria keberlanjutan sosial dari RED-UE yang dapat diberlakukan untuk memastikan bahwa hak-hak tanah dari masyarakat lokal diakui dan hak mereka untuk memberi atau menolak memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA) terhadap proyek-proyek yang menargetkan wilayah mereka dihormati.
Perampasan tanah juga merupakan tindakan yang sangat spekulatif yang dapat menuai imbalan yang signifikan bagi pelaku usaha yang lihai. Bagi mereka yang kekurangan modal untuk melaksanakan suatu proyek yang telah ditunjuk atau mereka yang melihat potensi untuk ‘beli sekarang, bangun kemudian’, memperoleh lahan untuk pengembangan kelapa sawit bisa menjadi bisnis yang cerah. Cara perolehan lahan seperti ini diberi istilah ‘perampasan tanah secara virtual’.[21]
Apa yang diistilahkan McCarthy et al sebagai ‘perampasan tanah secara virtual’ bercirikan adanya “kesenjangan antara rencana yang disampaikan dan skema yang diterapkan”. Perusahaan-perusahaan dapat mengklaim mereka mengambil lahan untuk produksi bahan bakar nabati, dan mengatakan mereka sedang berkontribusi terhadap upaya global untuk menyelamatkan iklim dan krisis energi. Pada kenyataannya, wilayah lahan yang luas diambil lalu dibabat dengan cepat setelah itu dibiarkan kosong sebagai sebuah investasi modal untuk pengembangan atau penjualan yang menguntungkan di masa depan. Perolehan lahan ini adalah sebuah strategi mitigasi risiko investasi yang memungkinkan perusahaan mengejar kepentingan mereka sendiri dengan mengamankan wilayah tersebut untuk ekspansi di masa depan, menghasilkan modal di depan (sebagian besar melalui penjualan kayu) dan menutup biaya investasi perkebunan.[22] Diperkirakan perusahaan-perusahaan Eropa telah mengklaim lebih dari lima juta hektare lahan untuk pengembangan agrofuel di seluruh wilayah Selatan.[23]
Menurut John McCarthy (2012), “perolehan lahan secara virtual yang terkait dengan kelapa sawit sekarang berlangsung sangat ekstensif: pada tahun 2010, izin perkebunan kelapa sawit seluas 26 juta ha telah dikeluarkan, meskipun kapasitas menanam hanya sekitar 500.000 ha kebun kelapa sawit setiap tahun”.[24] Otoritas negara berhak mencabut konsesi jika lahan dibiarkan tidak produktif selama jangka waktu yang lama, tetapi umumnya ketentuan tersebut tidak digunakan.[25] Akibatnya, jutaan hektare lahan hutan atau tanah kritis [26] yang sebelum diambil alih sangat penting sebagai penyimpan karbon, untuk keanekaragaman hayati dan konservasi sumber daya alam atau sebagai lahan pertanian untuk tanaman pangan, dibiarkan terlantar, bahkan dalam beberapa kasus hingga satu dekade atau lebih.[27]
Perampasan tanah untuk minyak sawit di Kalimantan, Sumatera dan Papua Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa hingga saat ini kebanyakan konsesi perkebunan telah habis diberikan di Kalimantan dan Sumatera. Pada 2011, hampir 11 juta ha lahan telah dialokasikan untuk perusahaan kelapa sawit di kedua pulau tersebut (lihat Tabel). Rata-rata, nyatanya kurang dari setengah wilayah ini yang telah dikembangkan menjadi perkebunan produktif. Terlepas dari itu, permohonan baru untuk konsesi perkebunan kelapa sawit masih terus didorong dengan target utama di wilayah timur Indonesia, khususnya Papua, di mana wilayah lahan yang diperoleh untuk perkebunan komersial telah meningkat secara signifikan. Kelapa sawit sejauh ini adalah komoditas perkebunan yang dominan untuk lahan yang diambilalih. Pada tahun 2010, menurut CIFOR, 142.000 ha lahan dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Papua, di mana 38.000 ha di antaranya telah dikembangkan menjadi perkebunan produktif. Izin-izin perkebunan baru seluas sekitar 1,5 juta ha sedang diproses oleh otoritas pemerintah, menurut Dinas Perkebunan Provinsi Papua, sementara tambahan perkebunan kelapa sawit seluas 2,1 juta ha dan perusahaan tebu seluas 0,4 juta ha masih pada tahap proposal.[28] |
Kriteria keberlanjutan yang mengikat
Siapa pemenang dan pecundang dalam lonjakan popularitas bahan bakar nabati, jelas pedagang berada di posisi yang paling diuntungkan. Selama tanaman pangan, seperti minyak sawit, dilegitimasi sebagai pembangkit energi, ketersediaan lahan untuk produksi pangan dan penghidupan pedesaan akan digerogoti.
RED-UE ditetapkan ketika dampak dari bahan bakar nabati generasi pertama pada masyarakat dan lingkungan hidup masih kurang banyak diteliti, dipahami atau diantisipasi. Akibatnya, aturan itu menjadi penyulut yang mengubah lahan menjadi komoditas global – dengan mengorbankan iklim, lingkungan hidup dan masyarakat. Komisi Eropa bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan kebijakan dengan memasukkan kriteria keberlanjutan sosial yang mengikat untuk produksi bahan bakar nabati dan mengambil tindakan tegas untuk mengeluarkan bahan bakar nabati generasi pertama dari target energi terbarukan Uni Eropa.
[1] Lihat Info Terkini DTE tentang Agrofuel, Desember 2011.
[2] Casson, A. 2000. The hesitant boom: Indonesia’s oil palm sub-sector in an era of economic crisis and political change. Occasional Paper No. 29. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
[3] Rizaldi Boer, Dodik Ridho Nurrochmat, M. Ardiansyah, Hariyadi, Handian Purwawangsa, dan Gito Ginting. Reducing agricultural expansion into forests in Central Kalimantan Indonesia:Analysis of implementation and financing gaps. Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim. Institut Pertanian Bogor 2012.
[4] Statistik Kementerian Perdagangan Indonesia di http://www.kemendag.go.id/en/economic-profile/indonesia-export-import/export-growth-hs-6-digits, dan http://www.kemendag.go.id/en/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-main-commodities.
[5] The Global Land Grab: A Primer. Transnational Institute Agrarian Justice Programme, Oktober 2012. Tersedia di: http://www.tni.org/sites/www.tni.org/files/download/landgrabbingprimer_0.pdf.
[6] Pasal 3, (4). Panduan Energi Terbarukan. Lihat Info Terkini DTE tentang Agrofuel untuk detail lebih lanjut tentang RED dan kebijakan UE.
[7] The Global Land Grab: A Primer. Transnational Institute Agrarian Justice Programme,, Oktober 2012. Tersedia di: http://www.tni.org/sites/www.tni.org/files/download/landgrabbingprimer_0.pdf.
[8] Stockholm Environment Institute. Studies reveal palm oil impacts in Southeast Asia, propose EU policy changes. 16 Oktober 2012. Tersedia di: http://www.sei-international.org/-news-archive/2491?format=pdf.
[9] Rizaldi Boer, Dodik Ridho Nurrochmat, M. Ardiansyah, Hariyadi, Handian Purwawangsa, dan Gito Ginting. Reducing agricultural expansion into forests in Central Kalimantan Indonesia:Analysis of implementation and financing gaps.. Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim. Institut Pertanian Bogor 2012.
[10] De Schutter, O. 2011. How not to think of land-grabbing: three critiques of large-scale investments in farmland. Journal of Peasant Studies, 38(2), 249–79.
[11] Stockholm Environment Institute. Studies reveal palm oil impacts in Southeast Asia, propose EU policy changes. 16 Oktober 2012. Tersedia di: http://www.sei-international.org/-news-archive/2491?format=pdf.
[12] Holt-Gime´nez, E. 2007. Biofuels: myths of the agro-fuels transition. Food First Backgrounder, 13(2). Tersedia di: http://www.foodfirst.org/node/1711 [Diakses pada 19 Februari 2009].
[13] Caroko, W., Komarudin, H., Obidzinski, K. dan Gunarso, P. 2011. Policy and institutional frameworks for the development of palm oil–based biodiesel in Indonesia. Working Paper 62.. CIFOR, Bogor, Indonesia. Tersedia di: http://www.cifor.org/publications/pdf_files/WPapers/WP62Komarudin.pdf.
[14] USDA Foreign Agricultural Service (GRAIN), Indonesian Biofuels Annual 2012, Report No. ID1222. Disetujui oleh: Disiapkan oleh: Ali Abdi. Disiapkan oleh: Jonn P Slette/Ibnu E Wiyono.
[15] Vidal, John. The Guardian, Selasa 23 November 2010. Indonesia eyeing $1bn climate aid to cut down forests, says Greenpeace.Tersedia di: http://www.guardian.co.uk/environment/2010/nov/23/indonesia-climate-aid-forests-greenpeace.
[16] Ward Anseeuw, Liz Alden Wily, Lorenzo Cotula dan Michael Taylor. International Land Council, ILC, 2011. Hak-hak tanah dan perburuan terhadap lahan. Roma.
[17] Untuk informasi lebih jauh tentang tanaman serbaguna lihat M. Saturnino et al. 2012. Competing political tendencies in global governance of land grabbing. Transnational Institute.
[18] Saturnino M. Borras Jr., Jennifer Franco dan Chunyu Wang. Desember 2012. Competing political tendencies in global governance of land grabbing. Transnational Institute, Agrarian Justice Programme, Discussion Paper http://www.tni.org/sites/www.tni.org/files/different_responses_to_landgrabbing.pdf
[19] Ruth Kelly, Monique Mikhail, dan Marc-Olivier Herman. The Hunger Grains, Oxfam Briefing Paper 161. Oxfam International. 17 September 2012. Tersedia di: http://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/bp161-the-hunger-grains-170912-en.pdf.
[20] Achten WMJ, Nielsen LR, Aerts R, Lengkeek AG, Kjær ED, Trabucco A, Hansen JK, Maes WH, Graudal L, Akinnifesi FK, Muys B. (2010). Towards domestication of Jatropha curcas. Biofuels1(1), 91–107.
[21] John F. McCarthy, Jacqueline A.C. Vel dan Suraya Afiff, Trajectories of land acquisition and enclosure: development schemes, virtual land grabs, and green acquisitions in Indonesia’s Outer Islands. The Journal of Peasant Studies Vol. 39, No. 2, April 2012, 521–549.
[22] John F. McCarthy, Jacqueline A.C. Vel dan Suraya Afiff, ibid.
[23] Saturnino M. Borras Jr., Jennifer Franco dan Chunyu Wang. Desember 2012. Competing political tendencies in global governance of land grabbing. Transnational Institute Agrarian Justice Programme, Discussion paper.
[24] John F. McCarthy, Jacqueline A.C. Vel dan Suraya Afiff, ibid.
[25] John F. McCarthy, Jacqueline A.C. Vel dan Suraya Afiff, ibid.
[26] Lihat kotak “Jenis lahan apa?”, artikel terpisah mengenai diskusi tentang tanah ‘kritis’.
[27] Saturnino M. Borras Jr., Jennifer Franco dan Chunyu Wang. December 2012. Ibid.
[28] Caroko, W., Komarudin, H., Obidzinski, K. dan Gunarso, P. 2011. Policy and institutional frameworks for the development of palm oil–based biodiesel in Indonesia. Working Paper 62. CIFOR, Bogor, Indonesia. Tersedia di: http://www.cifor.org/publications/pdf_files/WPapers/WP62Komarudin.pdf.