- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Dampak pertambangan
DTE 99-100, Oktober 2014
Artikel ini disarikan dari esai dua bagian oleh Siti Maimunah dari Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Esai diterbitkan oleh Etnohistori pada bulan Mei 2014.[1]
Di Indonesia kemiskinan karena pertambangan dialami paling parah oleh perempuan. Mengapa perempuan menjadi kelompok paling miskin saat eksploitasi sumber daya alam besar-besaran dilakukan oleh perusahaan bersama pemerintah? Sebab perusahaan merampok ruang hidup perempuan dan keluarganya, merusaknya hingga tak bisa dipulihkan setelah segala yang produktif di dalam dan di atasnya diambil habis.
Apa dan di mana ruang hidup yang dimiskinkan tersebut? Sejak ruang domestik hingga ruang sosial politik. Perempuan dalam keseharian kehidupan bermasyarakat memiliki beberapa peran, mulai domestik, peran produktif, reproduktif dan peran sosial politik, yang satu sama lainnya tak bisa dipisahkan.
Di kawasan pedesaan, peran produktif perempuan biasanya ditandai dengan pemilikan dan pengelolaan lahan pertanian oleh perempuan. Satar misalnya, perempuan Dayak Siang di Puruk Cahu, Kalimantan Tengah, memiliki ladang seluas 10–15 hektare di tanah adat keluarganya. Ia juga memiliki lubang tambang emas tradisional yang ia dapat dari orang tuanya. Sementara ia mengurus ladangnya, sang suami Atak Lidi, menggali emas di lubang tambang itu. Dari panen padinya, Satar tak perlu membeli beras untuk makan keluarga, panen gabahnya cukup untuk setahun, bahkan berlebih. Belum lagi, hasil dari tambang emasnya. Satar memiliki tanah dan mandiri secara ekonomi. Tapi sejak PT Indo Muro Kencana masuk, merampas lahan dan lubang tambangnya, lahannya makin sempit, kegiatan ekonominya macet. Ia dimiskinkan.
Sementara peran domestik merupakan peran keseharian perempuan dalam menyediakan pangan, air bersih, energi dan kebutuhan dasar lain khususnya untuk keluarga. Peran-peran mengharuskan perempuan lebih banyak bersentuhan dengan sumber daya alam, tanah, hutan dan sumber-sumber air. Peran ini tak bisa dipisahkan dengan peran reproduktif perempuan, di antaranya peran melahirkan dan merawat anak. Semua itu dialami Sofia Ba’un, perempuan Molo.
Sofia Ba’un tinggal di sekitar Gunung Batu Naitapan, Desa Tunua, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Ia bangun jam 5 pagi, menyiapkan makan untuk anaknya dan pergi mengambil air bersih. Biasanya, ia tinggal pergi ke mata air yang mengalir dekat gunung batu untuk mendapatkan air bersih. Warga di sana percaya, gunung batu ini, yang dinamai Fatu Naitapan, menyimpan air dan sumber mata air di bawahnya. Sofia hanya membutuhkan waktu 15 menit pulang pergi jalan kaki mendapatkan air bersih.
Tapi sejak Gubernur Nusa Tenggara Timur, Piter Tallo, mengeluarkan izin menambang untuk PT Teja Sekawan pada 2003, semuanya berubah. Hanya empat bulan setelah perusahaan menebangi pohon dan menggergaji gunung batu, kebun Sofia Ba’un tertimbun longsor bersama 25 kebun warga lainnya. Tak hanya itu, limbah tambang marmer juga mencemari mata air sekitar batu. Ia kehilangan kebun dan sulit mendapatkan air bersih. Ia harus berjalan ke bawah gunung batu lainnya di desa tetangga, namanya Fatulik. Ia membutuhkan waktu hingga 2 jam pulang pergi setiap harinya.
Cerita Satar dan Sofia Ba’un di atas membuktikan, saat wilayah kelola perempuan menyempit bahkan hilang, hal itu memaksa perempuan yang semula memiliki lahan dan mandiri secara ekonomi, dimiskinkan, akhirnya bergantung secara ekonomi kepada laki-laki, - baik ayah, suami, kakak maupun saudara laki-laki. Itu pula yang terjadi pada perempuan di sekitar tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC) milik keluarga Bakrie di Sekerat, Sekurau, Kalimantan Timur. Ini cerita pada tahun 2002, saat lahan-lahan penduduk dirampas sepihak oleh perusahaan. Akibatnya mata pencaharian lelaki berubah, banting setir menjadi nelayan dan buruh senso[2] kayu. Perempuan lebih ironis, setelah tak mungkin bertani, mata pencaharian yang tersisa hanyalah membuat gula merah. Jika berproduksi gula merah tak memungkinkan lagi, praktis penghasilan mereka raib. Akibatnya, kehidupan mereka sepenuhnya bergantung pada laki-laki.
“Dulu kami tidak pernah pusing jika laki-laki sedang pergi, kami tetap bisa makan, beras ada, sayur ada, kalau ingin ikan, tinggal ambil di empang. Bahkan tetangga yang butuh ikan boleh ambil sendiri. Sering di kampung, jika ada selamatan, mereka bisa ambil ikan di empang kami, tanpa bayar. Tetapi setelah tanah kami diambil KPC, semua milik kami tidak ada lagi. Perempuan tidak bisa makan kalau laki-laki tidak pergi bekerja senso kayu, atau kerja lain yang menghasilkan uang. Semua sekarang harus dibeli. Sungguh susah hidup sekarang.” begitu tutur Ibu Mar, salah seorang ibu di Sekurau Bawah.
Perusakan lahan dalam skala luas serta pembuangan limbah di lingkungan sekitar dalam skala masif, selain merusak tubuh perempuan, juga memiskinkan, bahkan mematikan. Pada pertambangan modern, 95 hingga 99,9 persen dari batuan bijih logam dasar yang digali dan diproses akan dibuang jadi limbah, dikenal sebagai tailing. Tailing bisa sangat reaktif dan menimbulkan risiko lingkungan yang serius dari drainase batuan asam dan pelepasan logam beracun, serta reagen beracun yang dipakai saat pengolahan (Mining Watch Canada, 2009).
Namun, meski sumber-sumber airnya tercemar limbah, keterbatasan ekonomi serta jauhnya jarak ke sumber air membuat perempuan tidak mempunyai pilihan, selain memanfaatkan air yang tercemar. Di Teluk Buyat, perempuan dan anak-anak terpaksa menggunakan Sungai Buyat yang berlumpur dan tercemar untuk mandi dan mencuci. Sementara kebutuhan minumnya dipasok Newmont, yang belakangan diketahui juga telah terkontaminasi arsenik (Tim Terpadu, 2004). Laporan Komisi Nasional Perempuan tentang kondisi kesehatan terakhir menyebutkan gangguan kesehatan yang dialami perempuan Buyat antara lain benjolan-benjolan muncul di daerah payudara, ketiak dan leher.[3] Selain sakit kepala dan gatal-gatal di seluruh tubuh, para nelayan perempuan juga mengalami gangguan pada siklus menstruasi yang menjadi tak teratur. Seorang ibu, Puyang (alm.), meninggal dunia setelah payudaranya pecah, yang diduga kuat akibat tercemar logam berat.
Di sekitar pertambangan PT Freeport, masalah yang dihadapi perempuan bahkan multidimensi, pelakunya korporasi, pemerintah, aparat keamanan, juga laki-laki, suami mereka. Saat PT Freeport masuk, lahan-lahan berubah fungsi menjadi kawasan tambang, mama-mama pun tergusur karena sumber penghidupan keluarga diambil dan dirusak PT Freeport. Negara tak pernah menanyakan pendapat perempuan tentang tambang tersebut, mereka juga tidak mendapatkan hak menerima, maupun mengelola dana kompensasi. Belakangan, mereka justru menjadi korban kekerasan akibat dana kompensasi itu.
Pemberian kompensasi 1% dari PT Freeport kepada suku Amungme di Papua pada 1989 berujung pada kekerasan terhadap perempuan. Aksi berkepanjangan yang membuat perusahaan berhenti beroperasi beberapa kali memaksa PT Freeport bersedia berunding. Warga diwakili Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) yang 100 persen pengurusnya adalah laki-laki. PT Freeport bersepakat menggulirkan dana kompensasi 1% dari penghasilan kotor mereka, yang jatuh kepada kepala keluarga, laki-laki. Alhasil, dana kompensasi itu tak sampai ke rumah, justru digunakan para lelaki untuk minum bermabuk-mabukan, yang menyebabkan konsumsi alkohol merebak di Timika. Pun kunjungan ke bar-bar serta lokalisasi pekerja seks meningkat.
”Mereka laki-laki mendapat uang kompensasi dari PT Freeport. Mereka beli miras, minum mabuk dan pukul kami,” kata Yosepha Alomang. Akhirnya perempuan kena getahnya, saat suami pulang dalam keadaan mabuk, habis main gila dengan perempuan lain, rumah menjadi pelampiasan kekerasan. Dana kompensasi ini membuat angka kekerasan dalam rumah tangga naik.
Dalam tatanan sistem budaya patriarki, sejak lama perempuan telah dimiskinkan melalui peminggiran perannya. Namun masuknya eksploitasi sumber daya alam, membuat laju proses pemiskinan dipercepat. Jika dirunut, awalnya pemiskinan yang terjadi diakibatkan penghilangan hak warga atas wilayah kelolanya, saat pemerintah memutuskan memberikan konsesi pertambangan pada sebuah perusahaan. Proses perubahan fisik dan ekologi bentang lahan terjadi bersama pembongkaran lahan yang merusak sumber air, lahan, batu, hutan, dan laut. Kesemuanya diatur dalam nilai-nilai norma adat, yang kemudian menjadi rusak, hancur bahkan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Selanjutnya terjadi perubahan tata perekonomian, mulai dari tata produksi, tata konsumsi dan tata distribusi keluarga, dipicu oleh kerusakan bentang alam, sehingga sistem pengelolaan bersumber dari alam hilang, dipaksa berubah ke pasar. Corak produksi setempat berubah, dari non-tunai menjadi ekonomi tunai, bergantung pada mekanisme pasar. Sementara ekonomi biaya tinggi dan masuknya pendatang, mengubah gaya hidup warga baik secara sosial budaya dan ekonomi. Ikatan-ikatan sosial budaya di antara keluarga hingga anggota komunitas runtuh, yang terjadi setelah tanah dan kekayaan alam direnggut dari mereka. Gaya hidup konsumtif merajalela dan daya ingat sosial menjadi berkurang. Mutu kesehatan pun merosok akibat dari limbah tambang ataupun karena penyakit bawaan para penambang.
Terakhir, secara politik, perempuan akan berhadapan dengan runtuhnya sistem kepemimpinan lokal. Seharusnya pemimpin lokal memberikan perlindungan terhadap komunitas, tetapi mereka berubah mendukung korporasi. Dalam ranah ini, perempuan juga tak diakui keberadaannya di ruang-ruang pengambilan keputusan, saat ruang-ruang perundingan hanya tersedia untuk lelaki, sebagai kepala keluarga.
Gerakan perempuan dan konflik sumber daya alam
Di mana konflik sumber daya alam terjadi, di sana ada jejak perempuan melakukan perlawanan bersama laki-laki. Satu-dua dari mereka bahkan memimpin di depan, sementara kehadiran perempuan lainnya tak banyak diberitakan oleh media arus utama. Sebut saja Aleta Baun di pulau Timor yang memimpin pengusiran tambang marmer, dan bersama masyarakat adat Tiga Batu Tungku mentransformasi perlawanannya menjadi perjuangan memulihkan kedaulatan masyarakat adat.[4]
Banyak lagi perempuan lainnya, yang tampil menyuarakan sisi lain daya rusak tambang saat semua laki-laki bicara ganti rugi. Lihatlah Satariah yang melawan tambang Australia – Aurora Gold di Puruk Cahu Kalimantan Tengah.[5] Juga Natasya Rireq, perempuan Dayak yang bersama 5 perempuan lainnya diperkosa oleh manajer Rio Tinto di tambang emasnya di Kalimantan Timur.[6] Secara tak langsung mereka mengingatkan kita tentang tanah dan tubuh perempuan. Juga Surtini Paputungan dan Johra Lombonaung di Sulawesi Utara, yang menyuarakan masalah-masalah keluarga dan lingkungan yang tak mampu dijawab oleh Newmont, perusahaan tambang asal Amerika Serikat.
Sayangnya, kasus-kasus itu bagai gelombang, naik turun, suara-suara mereka tenggelam oleh isu-isu lain yang muncul beragam, dan menenggelamkan perjuangan para perempuan itu. Sementara di kota gerakan perlawanan perempuan, khususnya nasional cenderung mengarusutamakan hak-hak perempuan dalam kerangka hak sipil politik, atau dikenal sebagai hak sipol. Pemilihan agenda tersebut berbasis kepada kasus-kasus kekerasan negara dan sipil yang terorganisir, serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang diduga menjadi pemicu situasi politik dan ekonomi Indonesia, terutama di akhir tahun 1970-an.[7] Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan, baik di tingkat rumah tangga, komunitas maupun publik. Bahkan dalam proses penelusuran dan pemantauan korban kekerasan seksual, fisik atau verbal, mereka masih mengalami trauma dan membatasi diri menjawab siapa pelakunya. Biasanya jika ditelusuri, kekerasan tersebut ternyata memiliki hubungan dengan masalah-masalah sosial politik seperti contohnya kasus perkosaan perempuan saat kerusuhan tahun 1998.
Fakta-fakta di atas kemudian menginspirasi lahirnya Tim Kerja Perempuan Tambang Kalimantan Timur, di Banjar Baru, Kalimantan Selatan pada tahun 1999. Di awal kiprahnya TKPT banyak belajar dan melakukan penelitian terhadap kasus-kasus pertambangan skala besar di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Belakangan tim kerja ini kesulitan melakukan regenerasi. Tak banyak aktivis, apalagi perempuan yang tertarik pada isu-isu industri ekstraktif ini. Sepuluh tahun kemudian sesekali suara mereka masih terdengar merespon isu tambng Kalimantan Timur. Menurut Tim Kerja Perempuan Tambang Kalimantan Timur, penelusuran pelanggaran HAM melalui konflik sumber daya alam sebagai pemicu, masih sangat terbatas. Padahal, kekerasan seksual yang terjadi disekitar kawasan-kawasan eksploitasi kekayaan alam juga tak sedikit, dilatari perubahan politik ekonomi penguasaan sumber daya alam.
Masih banyak yang harus dilakukan untuk menghentikan pemiskinan perempuan oleh tambang. Dampak-dampak tambang yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan perlu diteliti lebih lengkap, didokumentasikan, dipahami dan diterima oleh pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil dan pengambil keputusan di semua tingkat, dari tingkat internasional hingga kampung, juga di dalam komunitas sendiri. Perempuan yang menentang tambang perlu didukung; keprihatinan mereka perlu didengarkan; dan hak-hak mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri perlu dijunjung.
[1] Tersedia di http://etnohistori.org/edisi-genealogi-gerakan-dan-studi-perempuan-indonesia-perempuan-di-wilayah-tambang-melawan-neo-kolonialisme-baru-bagian-1-oleh-siti-maimunah.html
[2] Senso berasal dari kata chainsaw, mesin gergaji yang digunakan untuk menebang pohon.
[3] Tambahan dari penulis: laki-laki juga mengalami dampak yang serupa.
[4] Untuk latar belakang kasus ini, lihat juga bagian ‘Women lead mining opposition’ pada artikel ‘Indigenous Women’s workshop at AMAN Congress’, DTE 74, Agustus 2007 di http://www.downtoearth-indonesia.org/story/indigenous-womens-workshop-aman-congress.
[5] Bersama komunitas dia melakukan ritual untuk menunjukkan bahwa tambang rakyat punya sejarah di sana, dia juga datang ke Jakarta untuk melakukan kampanye dan ikut menjadi penggugat di pengadilan.
[6] Dia berani menyampaikan bahwa dirinya diperkosa, dan menunjukkan ke publik anak yang lahir akibat perkosaan, dia bicara pada media, dia menolak menerima kompensasi di awal, tapi akhirnya menerima setelah dijanjikan anaknya akan diberi kompensasi. Belakangan, setelah mendengar tambang Rio Tinto akan ditutup dia datang ke Jakarta untuk berkampanye bersama warga lainnya menuntut tanggung jawab perusahaan.
[7] Karena ekstraksinya tak hanya minyak tapi juga kayu hutan. Ekstraksi terhadap bumi adalah awal kekerasan terhadap perempuan, karena menghancurkan ruang hidup perempuan.