- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Dampak Terhadap Perempuan
Down to Earth Nr 64 Maret 2005
Jumlah perempuan, anak-anak dan orang tua yang meninggal dunia dalam gempa-tsunami jauh lebih banyak dibandingkan remaja dan laki-laki. Di desa Lambada, hanya tinggal 105 orang yang selamat dari lebih 2100 jumlah penduduknya; dari jumlah itu hanya ada 5 orang perempuan. Ini tidak lazim. Kesetimbangan gender secara keseluruhan di Aceh mungkin berubah 20 % atau lebih.
Alasan mengapa ada begitu banyak perempuan yang meninggal tidak pernah diketahui. Banyak diantara mereka yang tetap bertahan untuk menyelamatkan anak-anak mereka ketika tsunami pertama kali menerjang. Sedangkan yang lainnya tidak dapat lari cukup cepat untuk mencapai dataran yang lebih tinggi dengan membawa bayi dan anak-anak yang baru saja bisa berjalan. Yang lainnya lagi tidak cukup kuat secara fisik untuk bertahan dari hantaman gelombang puing-puing dan reruntuhan.
Mereka, perempuan dewasa dan remaja yang berhasil selamat berada dalam posisi yang rentan dalam masyarakat dimana laki-laki secara tradisional dihormati sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama keluarga. Para pekerja relawan menyatakan secara tertutup (off the record) tentang insiden-insiden kekerasan, intimidasi, dan pelecehan seksual dalam kamp pengungsian, tapi tak dapat melaporkannya kepada pihak yang berwajib bila pelakunya adalah anggota militer. Mereka kini benar-benar prihatin dengan kondisi tempat-tempat penampungan pengungsi yang baru yang dijaga oleh patroli keamanan.
Remaja perempuan khususnya, menanggung resiko. Banyak badan bantuan yang lebih besar, seperti UNICEF, hanya menyediakan bantuan kepada anak-anak berusia sampai dengan enam belas tahun. Mereka yang berusia lebih dari itu yang telah kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya hanya punya sedikit kesempatan untuk melanjutkan sekolah atau mendapatkan pelatihan keterampilan. Perdagangan perempuan muda ke Jawa, Malaysia, dan Timur Tengah untuk transaksi seks dan sebagai pembantu rumah tangga sudah disadari sebagai masalah di Aceh sebelum terjadinya bencana tsunami. Risiko lainnya adalah dijual untuk dikawinkan dalam usia muda, mengingat jumlah lelaki lajang dan duda yang lebih banyak dibandingkan perempuan. Ada ketakutan pihak-pihak jahat berkeliaran mengincar para perempuan yang masih trauma atas bencana dan tak memiliki siapapun yang melindungi mereka.
Perempuan hamil punya kebutuhan yang khusus yang mudah terlewatkan oleh pelayanan standar bagi pengungsi. Pemberi bantuan baik nasional maupun internasional berusaha keras untuk memperkirakan kebutuhan itu diantara penduduk yang terlantar dan menyediakan pakaian, vitamin, obat-obatan dan fasilitas sanitasi yang diperlukan bagi ibu-ibu yang mengandung.
Dengan diprakarsai OXFAM dan UNICEF, isu jender gender muncul dalam agenda manajemen bencana. Pedoman dari PBB mengenai perlindungan perempuan dan anak-anak telah dibagikan, dalam bahasa Indonesia, kepada seluruh otoritas sipil dan militer yang bekerja di Aceh dan kode etiknya tengah dipersiapkan.
Organisasi perempuan di Aceh, seperti Flower Aceh, RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), LBH-Apik (Lembaga Bantuan Hukum-Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), dan Abiyuka, nasibnya kurang beruntung. Mereka hanya punya sedikit kebebasan untuk menjalan pekerjaan mereka selama tahun-tahun pelaksanaan darurat sipil dan darurat militer, dan sekarang staf dan koordinator proyek lokal mereka hilang disapu tsunami. Kantor-kantor Flower Aceh di Banda Aceh dan LBH-Apik di Lhokseumawe telah hancur. Sebagian besar LSM telah menghentikan program mereka kemudian bekerja bersama badan-badan internasional untuk memberi bantuan kemanusiaan, melakukanpenjajakan kebutuhan (need assessment) , dan konseling trauma bagi perempuan dan anak-anak di kamp yang lebih kecil dan tempat penampungan.
LSM perempuan Aceh, dengan dukungan dari organisasi-organisasi nasional seperti, Solidaritas Perempuan, juga berusaha untuk memastikan bahwa pendapat perempuan benar-benar didengarkan dalam proses konsultasi penyusunan rencana-rencana yang mempengaruhi masa depan mereka, termasuk pemukiman kembali dan rekonstruksi. Mereka melobi Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta selama kunjungan kerjanya di Banda Aceh pada bulan Januari, dan mendesak diberikannya perhatian yang lebih besar terhadap hak-hak dan kebutuhan perempuan korban yang selamat.