- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Fenomena global perampasan tanah
DTE 89-90, November 2011
Laporan di bawah ini, ditulis oleh periset independen Anna Bolin,[1] mengupas tren global dan pengaruhnya di balik mega proyek pertanian seperti proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke (MIFEE) di Papua.
Berita tentang fenomena perampasan tanah (land-grab) muncul dari seluruh dunia. Perampasan tanah dapat digambarkan sebagai suatu proses di mana kepemilikan tanah yang dianggap “kosong”, “tidur” atau “tidak produktif” berpindah tangan dengan transaksi yang menggiurkan, untuk dikembangkan menjadi perkebunan skala besar untuk menghasilkan pangan atau agrofuel, atau keduanya. Jumlah kesepakatan dan luas kawasan yang tercakup meningkat pesat. Berbagai kajian menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini antara 20-80 juta hektare tanah[2] telah “dirampas”, meskipun sulit dipastikan karena sebagian besar kesepakatan itu dibuat dengan diam-diam. Afrika tampaknya merupakan target utama bagi investasi skala besar ini, walaupun juga banyak laporan masuk dari seluruh penjuru negara berkembang.
Pendukung perampasan tanah mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah investasi yang sangat diperlukan di sektor pertanian. Meskipun jelas bahwa investasi diperlukan di daerah pedesaan dan pertanian, pertanyaannya adalah apakah transaksi tanah skala besar seperti ini akan menghasilkan jenis pembangunan yang kemungkinan besar akan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Jika diamati lebih dekat, jelas bahwa yang terjadi bukannya pembangunan pertanian, tetapi pembangunan ‘agribisnis’ terus meningkat.[3] Perbedaan keduanya jelas dan seharusnya tak ada lagi kebingungan mengenai siapa yang akan menerima manfaat dan siapa yang akan dirugikan oleh transaksi-transaksi itu.
Pelaku di balik akuisisi tersebut adalah perusahaan transnasional besar atau pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah “tidur” untuk mengamankan ketahanan pangan dan energi dalam negeri. Kenyataannya, tanah itu tidaklah “kosong”, melainkan seringkali merupakan tempat tinggal warga setempat atau masyarakat adat yang telah hidup di sana turun-menurun, tetapi hak mereka atas tanah itu tidak diakui atau dihormati.
Untuk memahami fenomena global perampasan tanah ini kita akan melihat lebih jauh sejumlah faktor yang mendorong akuisisi, pelaku kunci di balik transaksi tersebut dan motivasi mereka, serta apa yang sebetulnya terjadi di lapangan.
Apakah faktor pendorongnya dan siapa pelaku di balik perampasan tanah?
Terdapat sejumlah faktor yang mendorong perampasan tanah ini. Faktor-faktor ini dapat dianalisis dalam konteks keuangan, pangan, energi dan krisis iklim global. Krisis pangan global 2007-2008, yang mendorong kenaikan harga pangan, menciptakan momentum politik dan ekonomi bagi akuisisi tanah. Demikian juga, perubahan iklim dan krisis energi menciptakan kebutuhan mendesak baru untuk mencari tanah bagi produksi tanaman energi terbarukan.
Semua krisis global ini menumbuhkan persepsi bahwa—karena jumlah penduduk diperkirakan meningkat sementara sumber daya terbatas— permintaan akan pangan dan bioenergi akan terus meningkat. Pada gilirannya, volatilitas harga komoditas menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan energi. Meskipun kekhawatiran akan ketahanan pangan mungkin tidak sebesar kekhawatiran ketahanan energi, tetapi keduanya menimbulkan kebutuhan atas tanah.
Ada sejumlah pelaku utama yang tindakannya mendorong kenaikan pangan dan akuisisi tanah. Secara umum mereka berasal dari sektor bisnis, keuangan dan pemerintahan. Krisis keuangan global dan krisis pangan global tahun 2007-2008 yang saling terkait turut menumbuhkan persepsi bahwa tanah dan pangan perlu diamankan dan didapatkan. Kedua krisis itu meningkatkan akuisisi tanah secara dramatis.
Krisis keuangan
Tahun 2008 dunia dilanda krisis keuangan. Krisis ini menuntut re-evaluasi sektor keuangan. Praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti preferensi atas investasi berisiko tinggi yang memberikan keuntungan dalam waktu singkat, telah membuat sektor keuangan terpuruk. Sebagai reaksi, investor mulai mencari opsi investasi yang lebih aman, seperti tanah, yang dianggap berisiko rendah dengan keuntungan jangka panjang.
Tanah pertanian menjadi investasi yang menarik khususnya karena tiga alasan mendasar. Pertama, harga tanah tidak berubah sesuai dengan harga komoditas, tetapi mengikuti inflasi, sehingga memberikan keuntungan dengan arus pendapatan yang bervariasi yang dapat menyeimbangkan risiko dalam portofolio investasi.[4] Kedua, prakiraan keuangan untuk harga pangan dan energi menunjukkan harga dan permintaan yang terus meningkat. Ketiga, di berbagai tempat di dunia, khususnya di Afrika, tanah yang luas masih dapat disewa atau dibeli dengan harga rendah. Jadi, hukum ekonomi dasar ‘ada permintaan, ada penawaran’ mendorong meningkatnya minat atas tanah pertanian.
Faktor pendorong penting lainnya adalah keuntungan investasi yang diharapkan. Perusahaan ekuitas, manajer hedge fund dan aset mengucurkan modal untuk akuisisi tanah pertanian. Sebagai contoh, Emergent Asset Management, perusahaan yang berkantor di London dan bergerak dalam hedge fund dan private equity fund, menjanjikan investor keuntungan hingga 270% untuk investasi tanah pertanian di Afrika untuk jangka waktu lima tahun.[5] Meskipun semakin banyak laporan yang mengungkapkan bahwa akuisisi tanah berskala besar menimbulkan konflik dan dampak negatif di tingkat lokal, tetapi investasi terus meningkat karena tingginya keuntungan keuangan yang diharapkan.
Krisis pangan
Krisis harga pangan global 2007 - 2008. Sumber: von Braun et al (2008)[6]
Antara Oktober 2007 dan Oktober 2008, harga pangan melonjak ke tingkat yang tak terduga; harga beras mencapai 300% di atas harga rata-rata sejak 2003 dan harga gandum serta jagung berlipat ganda.[7] Tahun 2008 juga merupakan tahun dengan harga minyak global tertinggi; dan penyebab krisis dihubungkan dengan volatilitas baik di pasar keuangan maupun pasar energi.
Harga komoditas dunia, Januari 2000 – April 2008. Sumber: von Braun et al. (2008)[8]
Biofuel terkait dengan krisis pangan, karena tanah yang diperuntukkan bagi produksi pangan diubah menjadi untuk produksi biofuel. Menurut penelitian Institut Riset Kebijakan Pangan (Food Policy Research Institute, IFPRI) meningkatnya permintaan atas biofuel berkontribusi atas peningkatan rata-rata harga pangan sebesar 30%.[9] Faktor lain yang berperan adalah spekulasi keuangan dalam komoditas pangan.
Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Olivier de Schutter, mengatakan dalam laporan yang dibuat tahun 2010 bahwa “sejumlah besar kenaikan harga dan volatilitas komoditas pangan pokok hanya dapat dijelaskan oleh munculnya gelembung spekulatif”.[10]
Krisis pangan memicu protes yang diwarnai kekerasan di seluruh dunia. Gelombang protes tersebut menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan pangan – tak hanya terkait dengan impor, tapi juga keresahan sosial. Untuk menanggapinya, sejumlah negara pengimportir pangan mulai melakukan sistem outsourcing untuk produksi pangan mereka dengan tujuan untuk mengamankan harga dan pasokan jangka panjang. Negara-negara Teluk (Arab Saudia, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain), di bawah bendera Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council, GCC), menerapkan strategi bersama dan bermaksud untuk menerapkan sistem outsourcing produksi pangan mereka untuk dipertukarkan dengan modal dan kontrak minyak.[11] Sejak itu negara-negara anggota atau konsorsium industri di bawah GCC telah membebaskan jutaan hektare tanah pertanian di seluruh dunia.[12]
Krisis iklim
Produksi agrofuel cair merupakan faktor pendorong di balik akuisisi tanah belakangan ini. Perluasan industri biofuel berkaitan dengan krisis iklim dan energi serta kebutuhan yang tak terelakkan akan sumber energi terbarukan. Untuk menangani perubahan iklim dan untuk memenuhi target pengurangan emisi di Eropa, Uni Eropa (UE) kini menerapkan kebijakan dan peraturan baru. Pedoman Energi Terbarukan (RED, 2009) menyatakan bahwa 20% dari semua energi yang digunakan di UE harus berasal dari sumber terbarukan pada tahun 2020, dan bahwa 10% dari bahan bakar transportasi harus berasal dari sumber terbarukan pada tahun yang sama. Contoh lain adalah Pedoman Kualitas Bahan Bakar (FQD, 2009), yang mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 6% (dari tingkat 2010) yang mengikat, yang harus dicapai pada akhir 2020 (untuk informasi mengenai RED dan FQD, harap lihat Info Terbaru DTE mengenai Agrofuel Januari 2011).
Meskipun pedoman kebijakan ini dimaksudkan untuk menangani perubahan iklim dan mendorong konsumsi energi yang berkelanjutan di Utara, pedoman itu memberikan insentif bagi perubahan fungsi tanah yang tidak berkelanjutan di Selatan. Ini mencakup akuisisi tanah berskala besar dan pembukaan hutan untuk perkebunan; memindahkan emisi gas rumah kaca ke Selatan dan lebih lanjut lagi mengurangi kemampuan penduduk setempat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Tinjauan Bank Dunia
Seiring meningkatnya jumlah akuisisi tanah di dunia mulai tahun 2008, meningkat pula laporan di media dan dari ornop mengenai penggusuran dan pengusiran – bukan penciptaan lapangan kerja dan pembangunan. Tahun 2009 Bank Dunia memiliki agenda riset yang ambisius untuk mengetahui apa yang sebetulnya terjadi, dan apakah ini merupakan kasus perampasan tanah atau apakah itu merupakan kesempatan pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin. Kajian itu merupakan yang paling komprehensif sejauh ini, memberikan ikhtisar akan sifat perampasan tanah di seluruh dunia dan sejauh mana hal itu dilakukan.
Laporan Bank Dunia[13] didasarkan atas pangkalan data (database) yang dikembangkan oleh organisasi independen (lihat www.grain.org) dan pemeriksaan silang atas temuan resmi di lapangan, termasuk kunjungan lapangan, dalam periode Oktober 2008 – Agustus 2009. Ini meliputi 464 proyek, 203 diantaranya meliputi informasi tentang area seluas 56,6 juta ha di 81 negara.[14]
Laporan itu mengungkapkan bahwa 48 persen dari proyek, meliputi dua pertiga dari seluruh area (39,7 juta ha) berada di Afrika Sub-Sahara, berikutnya adalah Asia Timur dan Selatan (8,3 juta ha), Eropa dan Asia Tengah (4,3 juta), serta Amerika Latin dan Karibia (3,2 juta ha).[15] Laporan itu juga menegaskan besarnya ambisi investasi: rata-rata proyek meliputi area seluas 40.000 ha, sedangkan seperempat dari seluruh proyek luasnya melebihi 200.000 ha. Hanya seperempat dari jumlah proyek yang di bawah 10.000 ha. Data komoditas tersedia untuk ke-405 proyek itu, menunjukkan bahwa 37 persen berfokus pada pangan, 21 persen pada tanaman industri atau tanaman dengan nilai ekonomi tinggi, 21 persen pada biofuel, dan sisanya terbagi atas area konservasi dan taman perburuan, peternakan, perkebunan dan kehutanan.
Gambar: Frekuensi distribusi proyek dan luas total area disandingkan dengan kawasan tujuan dan kelompok komoditas. Sumber: Bank Dunia 2010 (lihat catatan akhir).
Laporan itu juga menegaskan bahwa sebagian besar proyek dalam pangkalan data itu berasal dari sejumlah kecil negara, yaitu Negara-negara Teluk, Afrika Utara (Libya dan Mesir), Rusia dan negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. Pelaku utamanya adalah pemegang dana agribisnis dan investasi. Bertentangan dengan standar preferensi investasi langsung asing (mis. tata kelola pemerintahan yang kuat dan hak properti yang didefinisikan dengan jelas), menurut laporan itu, investor tampaknya justru lebih lebih berminat pada negara dengan indikator tata kelola pemerintahan yang lemah dengan hak atas tanah setempat yang tidak dilindungi. Sebagian besar proyek tidak memiliki Amdal meskipun terdapat risiko tinggi. Walaupun beberapa negara, termasuk Indonesia, mensyaratkan pengembang proyek untuk melakukan Amdal, pada kenyataannya peraturan ini diabaikan atau kalaupun dijalankan, kepatuhannya jarang dipantau.
Temuan menarik lainnya adalah, berbeda dengan apa yang sering dilaporkan di media, sebagian besar investor berasal dari dalam negeri, bukan luar negeri. Akhirnya, laporan itu menemukan hal yang bertentangan dengan apa yang sering dijanjikan, yakni tingkat penciptaan lapangan kerja dan investasi fisik seringkali sangatlah rendah.
Kesempatan pembangunan atau ancaman?
Kajian Bank Dunia menyimpulkan bahwa banyak dari investasi itu tidak memenuhi harapan dalam hal penciptaan lapangan kerja dan manfaat yang berkelanjutan, tetapi justru malahan memperburuk kondisi masyarakat dari sebelumnya. Temuan serupa diungkapkan dalam studi sebelumnya oleh Cotula dkk, 2009, yang juga menyelidiki sifat dan implikasi tren transaksi tanah saat ini. Tetapi meskipun terdapat kontroversi dan temuan yang cukup jelas, tampaknya masih ada ketidakpastian mengenai apakah akuisisi tanah berskala besar ini betul-betul dapat membawa manfaat bagi masyarakat setempat.[16] Bank Dunia (2010) memberikan sejumlah prinsip panduan bagi investor dan pemerintah negara berkembang untuk menghindari hasil negatif proyek. Tetapi, seperti yang disebutkan dalam temuan mereka, investasi skala besar terkonsentrasi di negara dengan tata kelola pemerintahan yang lemah dan penegakan peraturan yang rendah. Dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaan apakah prinsip-prinsip panduan itu akan memberikan dampak yang diharapkan.
Papua, Indonesia
Salah satu perampasan tanah yang paling kontroversial di Indonesia saat ini adalah Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Integrated Food and Energy Estate, MIFEE), yang tengah dikembangkan di bagian selatan Papua, di Kabupaten Merauke. MIFEE adalah mega proyek yang meliputi 1,28 juta hektare perkebunan komersial yang diklaim sebagai bagian dari visi Presiden Yudhoyono yang meragukan, yaitu “pangan untuk Indonesia, pangan untuk dunia”.
Sejauh ini paling sedikit 36 investor sudah mendapatkan ijin konsesi. Sebagian besar investor berasal dari Indonesia, tetapi perusahaan Jepang, Korea, Singapura dan Timur Tengah kelihatannya juga terlibat.[17] Komoditas utama yang akan diproduksi oleh MIFEE adalah kayu, sawit, jagung, kedelai dan tebu. Hingga pertengahan 2011, lebih dari setengah lusin investor yang mendapatkan ijin untuk MIFEE tampaknya sudah mulai bekerja di area konsesi mereka, termasuk perusahaan yang terkait dengan Medco dan kelompok Rajawali yang berpengaruh. Meskipun MIFEE masih dalam tahap awal, terdapat kekhawatiran serius akan implikasi sosial dan lingkungan dari proyek ini terhadap penduduk setempat dan penghidupan mereka.
MIFEE digembar-gemborkan sebagai kesempatan pembangunan, yang akan menciptakan lapangan pekerjaan tidak hanya untuk warga Papua setempat, tapi juga pekerja transmigran. Proyek itu juga disebut-sebut akan mendorong ketahanan pangan nasional, serta ketahanan energi. Tetapi pada kenyataannya sebagian besar konsesi tanah dialokasikan untuk perkebunan kayu industri (lebih dari 970.000 ha), sementara sawit (lebih dari 300.000 ha) dan tanaman pangan (69.000 ha) berada pada urutan kedua dan ketiga.[18] Data ini menunjukkan bahwa motivasi utama MIFEE bukanlah demi ketahanan pangan dan energi, tetapi kepentingan ekonomi.
Laporan dari desa-desa yang terimbas selama ini menunjukkan bawa MIFEE merupakan ancaman serius bagi masyarakat setempat. Masyarakat adat yang terlibat dalam kesepakatan dengan perusahaan telah ditipu dengan pembayaran kompensasi yang sangat rendah sebagai ganti rugi ‘penyerahan’ tanah warisan turun-menurun dan menjadi bagian dari warisan budaya mereka. Proses akuisisi tanah bersifat tidak transparan, dengan intimidasi dan ancaman akan keamanan terutama karena kehadiran militer di sana. Informasi mengenai potensi dampak proyek atas hidup mereka dan hak apa saja yang mereka miliki untuk menolak atau menerima tawaran perusahaan hanya sedikit yang sampai ke warga desa. Organisasi masyarakat sipil setempat juga melaporkan bahwa pertemuan untuk meningkatkan kapasitas diwarnai dengan interupsi oleh militer, yang menggunakan keamanan nasional sebagai alasan untuk mengancam warga dan menghentikan pertemuan. Jadi, dalam banyak hal, MIFEE adalah perampasan tanah dengan motivasi politik dan ekonomi dengan lebih banyak ancaman daripada kesempatan bagi masyarakat yang terimbas.
Sierra Leone
Di Sierra Leone, perusahaan bioenergi dari Swiss, Addax bioenergy Sierra Leone Ltd, anak perusahaan Addax & Oryx Group, melakukan investasi di perkebunan tebu untuk produksi ethanol, sebagian besar untuk pasar Eropa. Perusahaan itu mendapatkan ijin sewa (leasing) selama 50 tahun untuk proyek seluas 20.000 hektare[19] di area Makeni, menjanjikan sedikitnya 7.000 lapangan pekerjaan baru selama 5 tahun pertama (2010-2015). Proyek itu dipromosikan dengan “dukungan penuh pemerintah” dan disebut sebagai transaksi tanah yang paling maju di Sierra Leone.[20] Paling tidak proyek ini “sempurna” di atas kertas. Dengan dukungan Lembaga Keuangan Eropa dan Bank Pembangunan Afrika, proyek itu mengikuti prinsip-prinsip Ekuator[21] dan harus tunduk pada prinsip-prinsip Bank Pembangunan Afrika. Addax adalah anggota Roundtable on Sustainable Biofuels dan Better Sugar Initiative (BSI).
Proyek itu dirancang untuk membawa manfaat sosial dan ekonomi dan untuk menghormati lingkungan setempat. Salah satu kondisi yang ditentukan oleh pimpinan lokal adalah bahwa rawa-rawa setempat yang ditanami padi, yang disebut bolis, tidak akan dikeringkan.[22] Selanjutnya, Nota Kesepahaman dan Analisa Dampak Lingkungan, Sosial dan Kesehatan proyek itu menyatakan bahwa ketahanan pangan di daerah itu harus dijamin melalui pembentukan Program Pengembangan Petani. Pada kenyataannya, ketika lahan dibuka untuk ditanami tebu, tanaman pangan tradisional seperti singkong dan sawit liar (yang menghasilkan minyak goreng) dihancurkan, saluran irigasi yang dibangun menyebabkan sebagian rawa-rawa kering dan tak ada tanda-tanda Program Pengembangan Petani.
Sejauh ini tampaknya proyek meningkatkan kerawanan pangan di daerah itu. Hal ini dapat diatasi jika petani memperoleh penghasilan untuk membeli makanan di pasar. Tetapi pekerjaan yang ada sangatlah sedikit (angkanya bervariasi antara 50-200 lapangan kerja) dibandingkan dengan apa yang dijanjikan, dan pekerja dibayar hanya US$2,25 sehari dan bukan dibayar bulanan seperti yang dijanjikan. Menurut Addax Bioenergy, tidak ada pihak yang akan dirugikan oleh proyek itu, dan warga yang rentan seperti penggarap tanah akan diberi ganti rugi yang memadai atau diberi tanah alternatif untuk menggembalakan ternak atau untuk ditanami. Tetapi janji-janji itu belum dipenuhi. Proyek itupun tidak meningkatkan kondisi setempat, tetapi tampaknya malah menambah beban kemiskinan masyarakat setempat.
Etiopia
Di Ethiopia, Saudi Star Agriculture Development Plc, yang dimiliki oleh miliarder Saudi Al Almoudi, telah menguasai 10.000 ha sawah di wilayah Gambella.[23] Kontrak sewa-menyewa menyebutkan bahwa perusahaan dibebaskan dari sewa tanah selama 60 tahun, yang mendorong perusahaan untuk merencanakan perkebunan baru seluas 500.000 ha di Gambella dan tempat-tempat lain guna menghasilkan 1 juta ton beras, jagung, teff (semacam gandum), gula dan biji minyak untuk ekspor.
Pejabat pemerintah daerah mengklaim bahwa pengembangan proyek tak diijinkan mengganggu konservasi atau area hutan, atau tanah yang sudah ditanami. Tetapi, Otoritas Konservasi Satwa Liar Ethiophia memperkirakan bahwa sekitar 438.000 ha lahan yang sudah dibuka berada di area yang sebelumnya adalah Taman Nasional Gambella, meskipun tidak resmi tercatat dalam lembaran negara. Area lahan basah yang rentan telah diubah untuk ditanami padi, sejumlah besar kawasan hutan di dekatnya telah dibuka, dan ada rencana untuk membendung sungai Alwero. Sejauh ini kegiatan dilakukan tanpa ada analisa mengenai dampak lingkungan atau konsultasi dengan masyarakat setempat.
Seperti halnya dengan contoh lainnya, Saudi Star berjanji untuk membuka lapangan pekerjaan baru di daerah itu karena kegiatan mereka memerlukan 4.000-5.000 pekerja. Yang tidak jelas dari awal adalah bahwa pekerjaan ini bersifat musiman jangka pendeks. Periset melaporkan bahwa di salah satu perkebunan (kebun wijen seluas 500 ha), meskipun setiap tahun ada 900 lapangan pekerjaan, tetapi total pekerjaan hanya selama tiga minggu, dan hanya 50 posisi yang purna waktu.
Untuk membuka jalan bagi terlaksananya proyek, pemerintah memperkenalkan kembali program ‘desanisasi (villagisation)’, yang menguak pengalaman buruk dari masa lampau. Program tersebut melibatkan pemukiman kembali sekitar 45.000 keluarga di wilayah Gambella ke desa-desa yang lebih kecil di tempat lain dengan penduduk 400-500 keluarga. Ketika berbicara dengan periset dari Institut Riset Oakland, warga menunjukkan rasa takut mereka atas dampak pemukiman kembali terhadap ketahanan pangan, dan menegaskan bahwa mereka tidak ingin pindah, tetapi merasa dipaksa oleh pemerintah.
Di daerah Gambella, 1,1 juta ha tanah pertanian yang subur, hampir sepertiga dari luas total tanah yang subur, telah disewakan dan dalam tiga tahun terakhir 896 perusahaan telah datang ke wilayah itu. Meskipun terdapat hubungan yang jelas antara program “desanisasi” yang baru diperkenalkan kembali dan meningkatnya minat atas tanah pertanian, pejabat setempat bersikeras bahwa ini adalah kebetulan, dan bahwa pemukiman kembali itu bersifat sukarela dan dilakukan demi kepentingan masyarakat, untuk memberi mereka akses yang lebih baik atas layanan sosial dan infrastruktur.[24] Di sini, di Sierra Leone, penerima manfaat dari investasi ini tampaknya menduduki jabatan tinggi di pemerintahan dan perusahaan mendapatkan keuntungan besar dari tanah yang boleh dikatakan diperoleh dengan cuma-cuma.
Tanda bahaya
Tren saat ini mengenai perluasan pertanian berskala besar tidak boleh dicampuradukkan dengan pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin. Ini bukanlah soal penolakan investasi pertanian dan daerah pedesaan yang sangat diperlukan; melainkan merupakan tanda bahaya bahwa pembangunan ini tidak membawa manfaat, dan bahkan merugikan lingkungan maupun masyarakat setempat. Krisis pangan baru-baru ini semakin memberikan penekanan atas perlunya meningkatkan produksi pangan dan ketahanan pangan, tetapi, seperti yang dikatakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Olivier de Schutter, persoalannya bukanlah mengenai peningkatan alokasi dana untuk pertanian, melainkan “pemilihan model pembangunan pertanian mana yang mungkin memberikan dampak yang berbeda dan memberikan manfaat bagi berbagai kelompok secara berbeda”.[25] Artikel ini menunjukkann bahwa model yang ada saat ini pertama-tama memberi keuntungan bagi agribisnis dan mitra bisnis mereka, bukan bagi mereka yang rentan akan kelaparan dan harga pangan yang tinggi.
Kecenderungan perkebunan berskala besar dan pertanian kontrak yang terkonsentrasi di kantong-kantong kemiskinan yang kronis merupakan isu yang telah dibicarakan sejak lama dalam kajian agraria dan sudah didokumentasikan dengan baik.[26] Sementara asumsi yang umum dalam lingkungan Bank Dunia adalah bahwa Investasi Langsung Asing mengalir ke daerah dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan hak properti yang didefinisikan dengan jelas, riset yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri menegaskan bahwa modal mengalir ke daerah di mana tenaga kerja dan hak atas tanah tidak pasti dan tidak dilindungi oleh sistem perundang-undangan dan pemerintah.[27] Ketika upah di mana-mana rendah, maka eksploitasi kapitalis dan maksimalisasi keuntungan menjadi tinggi. Dalam kondisi yang rentan ini, proyek yang menggunakan lahan berskala besar menjadi sangat problematik kalau menggusur masyarakat dan membuat mereka kehilangan aset dan ketahanan mereka yang paling berharga, yaitu tanah mereka.
Studi kasus yang dipaparkan di sini menceritakan soal kehilangan kepemilikan dan tak adanya pemberdayaan. Alih-alih memberikan kesempatan bagi warga miskin, transaksi tanah ini tampaknya semakin membuat mereka terpuruk, bukan hanya sekarang, tapi juga untuk generasi berikutnya. Terlebih lagi, akuisisi berskala besar ini memiliki konsekuensi yang lebih jauh karena mengambil banyak lahan subur dan menggunakannya untuk produksi bahan pangan yang diekspor. Di negara seperti Etiopia, di mana kelaparan merupakan masalah yang terus berulang, dan pemerintah masih tergantung pada bantuan pangan, hal ini khususnya menjadi isu yang problematik dan kontroversial.
Sumber |
Catatan
[1] Anna Bolin adalah periset independen mengenai iklim, tanah dan REDD, yang baru-baru ini magang di DTE dan Tapol.
[2] Kajian tahun 2009 yang dilakukan oleh International Food Policy Research Institute memperkirakan 20 juta ha, angka itu naik menjadi 45 juta ha dalam kajian Bank Dunia (2010) dan akhirnya International Land Coalition memperkirakan 80 juta ha.
[3] GRAIN (2008) ‘Seized: The 2008 land grab for food and financial security’, Barcelona. GRAIN, http://www.grain.org/article/entries/93-seized-the-2008-landgrab-for-food-and-financial-security
[4] GRAIN (2011) ‘Pension funds: key players in the global farmland grab’ Against the Grain, June 2011, dapat dilihat di:
http://www.grain.org/article/entries/4287-pension-funds-key-players-in-the-global-farmland-grab
[5] Forbes 8 Juli 2011 ‘Will African farmland yield the elusive alpha for portfolios’ oleh Maureen Farrell, dapat dilihat di:
[6] von Braun, J., Ahmed, A., Asenso-Okyere, K., Fan, S., Gulati, A., Hoddinott, J., Pandya-Lorch, R., Rosegrant, M.W., Ruel, M., Torero, M., van Rheenen, T., and von Grebmer, K., (2008) ‘High Food Prices: The What, Who and How of Proposed Policy Actions’, Washington DC, International Food Policy Research Institute (IFPRI), Policy Brief, http://www.ifpri.org/pubs/ib/foodprices.asp.
[7] von Braun (2008) seperti di atas.
[8] von Braun, J., (2008a) ‘Food and Financial Crises: Implications for Agriculture and the Poor’, Washington DC, International Food Policy Research Institute (IFPRI), Food Policy Report No. 20, http://www.ifpri.org/PUBS/agm08/jvbagm2008.asp.
[9] von Braun (2008) seperti di atas.
[10] The Guardian September 24th 2010 ‘UN warned of major new food crisis at emergency meeting in Rome’ oleh Johan Vidal, dapat dilihat di: http://www.guardian.co.uk/environment/2010/sep/24/food-crisis-un-emergency-meeting-rome
De Schutter, O. (2010) Report of the Special Rapporteur on the right to food. Laporan dipresentasikan di Sidang Umum PBB sesi ke-65, 11 Agustus 2010.
[11] GRAIN (2008) sda.
[12] GRAIN (2008) sda.
[13] World Bank (2010) Rising global interest in farmland: can it yield sustainable and equitable benefits? Washington, DC: World Bank.
[14] World Bank (2010) sda, hal. 51
[15] World Bank (2010) sda.
[16] World Bank (2010) sda.
Cotula, L., S. Vermeulen, R. Leonard, dan J. Keeley (2009) Land grab or development opportunity? Agricultural investments and international land deals in Africa. London, International Institute for Environment and Development (IIED).
[17] BAPINDA, Mei 2010 dan Warta Ekonomi, Maret 2010.
http://www.vhrmedia.com/MIFEE-Is-Damaging-Food-Security-in-Papua-news5751.html
[18] http://www.vhrmedia.com/MIFEE-Is-Damaging-Food-Security-in-Papua-news5751.html dan Longgena Ginting dan Oliver Pye, 2011. Resisting Agribusiness development: The Merauke Food and Energy Estate in West Papua, Indonesia. Land Deal Politics Initiative.
[19] Laporan lain tertanggal dua bulan sebelumnya menunjukkan bahwa luas area proyek itu 40.000 ha dan jumlah lapangan pekerjaan yang diciptakan adalah 50 dari 2,000. Tetapi, untuk menghindari kebingungan, kami menggunakan data dari catatan singkat Institut Riset Oakland (Oakland Research Institute) tertanggal Juni 2011.
[20] Oakland Institute (2011) “Understanding land investment deals in Africa: Adax and Oryx group bioenergy investment deals in Sierra Leone”, Land Deal brief Juni 2011, dapat dilihat di:
http://media.oaklandinstitute.org/land-deal-brief-addax-oryx-group-bioenergy-investment-sierra-leone
[21] Prinsip-Prinsip Ekuator (Equator Principles, EPs) adalah standar sukarela untuk bank dalam penentuan, penilaian dan pengelolaan risiko lingkungan dan sosial dalam transaksi keuangan proyek. Lihat http://www.equator-principles.com/
[22] Da Vía, E. (2011) ‘The Politics of “Win-Win” Narratives: Land Grabs as Development Opportunity?’ Conference paper presented at the international Global Land Grabbing Conference at the Institute for Development Studies (IDS), University of Sussex, UK, April 6-8, 2011.
[23] Oakland Institute (2011) ‘Understanding land investment deals in Africa: Saudi Star in Ethiopia’, Land Deal brief June 2011, dapat dilihat di:
http://media.oaklandinstitute.org/land-deals-africa/ethiopia. Lihat juga The Guardian, March 21st 2011 ‘Ethiopia at centre of global farmland rush’ by John Vidall, dapat dilihat di:http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/21/ethiopia-centre-global-farmland-rush
[24] The Guardian, Maret 21, 2011, sda.
[25] Vía Campesina (2009) pernyataan Olivier de Schutter (2009), dapat dilihat di :
[26] Beckford, G. (1972) Persistent poverty: underdevelopment in the plantation economies of the Third World. New York: Oxford University Press.
Little and Watts in Borras, S.M. Jr, Hall, R., Scoones, I., White, B. and W. Wolford (2011) ‘Towards a better understanding of global land grabbing: an editorial introduction’ Journal of Peasant Studies 38:2.
Li, T.M. (2011) ‘Centering Labor in the land grab debate’, The Journal of Peasant Studies, 38(2): 281–99.
[27] Li, T.M. (2011) ‘Centering Labor in the land grab debate’, The Journal of Peasant Studies, 38(2): 281–99.
Bernstein, H. (2010) Class dynamics of agrarian change. Halifax: Fernwood Publishing.