- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Tema
Kawasan
Publikasi
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Gagal menghargai hak, melindungi penghidupan dan mendukung keadilan iklim
Arahan DTE menyongsong kunjungan Presiden SBY ke Inggris, Oktober - November 2012
Arahan lengkap dengan kontribusi oleh DTE dan organisasi masyarakat sipil lainnya (hanya dalam Bahasa Inggris), klik di sini.
Berbagai kebijakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjurus ke arah perampasan tanah dan sumber daya alam Indonesia oleh para pebisnis besar. Proses ini semakin meminggirkan masyarakat adat dan komunitas lokal Indonesia.
Pola induk ekonomi MP3EI yang diluncurkan pemerintah pusat tahun lalu mendukung proyek-proyek swasta skala besar dan sektor publik yang nyaris tidak menghiraukan persoalan-persoalan hak asasi manusia (HAM), lingkungan atau dampak terhadap iklim. Rencana besar tersebut mencakup proyek energi besar, infrastruktur, industri dan agribisnis di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat setempat MP3EI sama saja dengan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan seperti yang dialami di zaman rezim Suharto. Hal ini karena sejak jatuhnya rezim Suharto hampir tidak ada kemajuan dalam hal perlindungan hak-hak masyarakat adat atau dalam reformasi hukum yang terkait dengan tanah dan sumber daya alam.
Akibatnya, konflik soal tanah marak karena komunitas melawan untuk mempertahankan tanah dan penghidupan mereka dari cengkeraman pengembang perkebunan sawit, perusahaan tambang dan penebangan kayu serta pengembang bisnis agribisnis. Beberapa di antara mereka mendapat dukungan dana dari pemodal Inggris. Archipelago Resources, misalnya, adalah perusahaan Inggris yang berkonflik dengan komunitas terkait dengan operasi tambang emas mereka di Sulawesi Utara.
Sementara itu pembangunan yang merusak di Indonesia terus didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Inggris dan Uni Eropa yang menciptakan kebutuhan akan bahan bakar nabati termasuk di antaranya minyak sawit dari Indonesia.
Perusahaan-perusahaan publik di Inggris terlibat dalam pengerukan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan di Indonesia, seperti BHP Biliton dan Bumi plc yang terlibat dalam proyek pengerukan batubara besar-besaran di Kalimantan. Bumi dan pemegang saham Indonesianya tersangkut banyak kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, seperti penyerangan brutal terhadap karyawan yang mogok kerja di tambang KPC bulan Maret tahun ini. Jardine Matheson yang menguasai banyak perusahaan sawit di Indonesia dituduh menyebabkan deforestasi dan perusakan keanekaragaman hayati.
Di Papua pasukan militer ditempatkan dalam jumlah besar, terjadi pembiaran pelanggaran HAM oleh aparat keamanan dan pembatasan kebebasan sipil dan politik, semua ini berarti bahwa dampak perampasan tanah dan sumber daya alam lebih parah lagi dialami oleh masyarakat setempat. Pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan, seringkali terkait dengan aktivitas penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan sawit. Sementara itu masalah bertambah dengan masuknya pendatang dari bagian Indonesia lainnya yang semakin mendesak keberadaan penduduk asli Papua dan sumber daya alam mereka. Dua perusahaan yang terdaftar di Inggris, BP dan Rio Tinto, terlibat jauh dalam pengerukan sumber daya alam di Papua pada proyek Tangguh dan Grasberg.
Kebijakan yang mendorong penggunaan bahan bakar fosil, konversi hutan menjadi perkebunan dan agribisnis serta perusakan sumber daya alam masyarakat yang mereka gunakan secara lestari merupakan malapetaka bagi iklim dan melecehkan komitmen Presiden Indonesia kepada dunia internasional untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sedikitnya 26% dari skenario ‘business-as-usual’ pada tahun 2020.
Rekomendasi
Down to Earth meminta kepada Pemerintah Inggris untuk:
- mereformasi peraturan Pemerintah Inggris mengenai perusahaan-perusahaan publik dengan memasukkan soal tanggung gugat (akuntabilitas) terhadap masalah-masalah etika, lingkungan dan hak asasi manusia;
- memastikan bahwa hak-hak asasi manusia dan keanekaragaman hayati dimasukkan sebagai kriteria utama dalam peraturan agrofuel yang berkelanjutan di Inggris dan Uni Eropa;
- memastikan bahwa kebijakan-kebijakan, program-program dan dukungan Pemerintah Inggris terhadap investasi Inggris di Indonesia memperhatikan seruan masyarakat sipil Indonesia untuk memenuhi keadilan iklim dan menghargai kelestarian sumber daya alam serta penghidupan masyarakat adat dan komunitas setempat.
Kontak: Andrew Hickman (indonesiandrew@yahoo.com; 07504 738 696)