- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Kawasan
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Gugatan Masyarakat Adat Kalah Di Pengadilan
Down to Earth No 58 Agustus 2003
PT. IMK terbukti menggusur lubang tambang, tetapi bebas dari kewajiban ganti rugi.
Oleh: Erma S. Ranik
Dengan alasan bahwa gugatan yang diajukan tidak lengkap, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan dari 29 orang penambang emas terhadap PT. Indo Muro Kencana (IMK), Selasa (17/6). Putusan ini dikeluarkan oleh majelis hakim, setelah beberapa kali penundaan pembacaan putusan.
Menurut Majelis hakim, seharusnya yang menjadi tergugat bukan hanya PT Indo Muro Kencana, tetapi juga pemerintah RI cq menteri pertambangan dan mineral. Alasannya, kontrak kerja itu dilakukan atas kesepakatan dua pihak yaitu antara PT Indo Muro kencana dan pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh menteri pertambangan. "Jadi jelas terlihat bahwa kedua pihak sangat erat kaitannya dalam pengambilalihan lubang tambang itu," kata Zainal Abidin.
Penolakan gugatan ini dengan alasan bahwa gugatan yang diajukan tidak lengkap, tampak sedikit aneh. Di satu sisi, Majelis hakim yang diketuai oleh Zainal Abidin didampingi I Dewa Gde Putra Jadnya dan Marsup berpendapat bahwa memang kenyataannya bahwa PT. IMK telah mengambil alih kepemilikan lubang-lubang tambang milik masyarakat adat. Namun di sisi lain majelis berpendapat bahwa gugatan tidak dapat diterima. "Gugatan ini tidak salah alamat. Namun gugatan tidak dapat kami terima," ujar Zainal.
Pendapat majelis hakim ini senada dengan eksepsi yang diajukan kuasa hukum PT Indo Muro Kencana bahwa gugatan masyarakat tidak lengkap. Putusan pengadilan ini dengan sendirinya merupakan kemenangan bagi PT. IMK.
Sejarah Konflik IMK vs Masyarakat
Perusahaan ini memulai tahap konstruksinya pada pertengahan tahun 1993 dan produksi perdana dimulai pada bulan November 1994, dengan produksi 137.986 ons emas dan 3.429.000 ons perak sepanjang tahun 1995.
Sejak tahun 1993, 90% saham PT. IMK dimiliki oleh Aurora Gold, sebuah perusahaan dari Australia. Sebelumnya, sahamnya dimiliki oleh PT. Gunung Muro Perkasa, Duval Corporation of Indonesia (Amerika), Pelsart Muro Pty, Ltd (Australia), dan Jason Mining (Australia). Tahun lalu PT IMK dijual kepada perusahaan Australia, Archipelago Resources, walaupun Aurora tetap bertanggung jawab atas reklamasi semua lubang tambang yang ada, yang telah berhenti berproduksi Juni tahun lalu.
PT. IMK memperoleh Kontrak Karya yang diberikan oleh mantan Presiden Suharto bernomor: B-07/Pres/1/1985 tertanggal 21 Januari 1985. Implikasi dari KK ini adalah pemberian ijin dari pemerintah Indonesia pada PT. IMK untuk melakukan eksploitasi penambangan emas di kecamatan Permata Intan, Murung dan Tanah Siang, Kabupaten Barito Utara. Kontrak karya ini berlaku selama 30 tahun sejak Februari 1985 hingga tahun 2014.
Pemberian KK ini membuat konflik yang berkepanjangan antara PT. IMK dengan masyarakat adat setempat. Masyarakat adat yang sudah menjadi penambang emas ini telah mendiami dan menambang emas di sekitar Gunung Muro, Barito Utara Kalimantan Tengah sejak tahun 1982, sedikit demi sedikit digusur.
Penggusuran ini kental oleh aksi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat adat melakukan protes. Sebagian dari mereka yang tetap bertahan atas lahan tambang milik mereka mengalami berbagai kesulitan. Perusahaan tidak segan-segan menggunakan satuan Brigade Mobil (Brimob), sebuah satuan elit polisi, untuk membuat masyarakat adat meninggalkan lahan tambang mereka. Akibatnya berbagai korban jatuh. Dua orang masyarakat adat ditembak mati oleh pasukan Brimob (5/6/2001). Seorang remaja ditembak di kakinya (27/8/2001). Seorang laki-laki di tembak di kepalanya dengan peluru karet (19/1/2002).
Jalan Lain
Perlakuan perusahaan ini membuat masyarakat adat memilih cara lain. Dengan bantuan pihak NGO seperti Walhi dan JATAM, masyarakat adat mengadukan kasusnya ke berbagai pihak. Selain itu upaya mencari keadilan ditempuh dengan jalan membawa kasus ini ke pengadilan.
29 orang masyarakat adat yang menjadi penambang emas mengajukan gugatan sebesar membayar ganti rugi sebesar Rp 364 juta dan emas sebanyak 380 gram. Ganti rugi ini dituntut karena PT. IMK telah menggusur lubang tambang emas.
Tim Advokasi Tambang Rakyat (TATR) bersedia memperjuangkan kasus mereka. TATR menyatakan gugatan yang mereka lakukan bukan untuk menuntut ganti rugi atas tanam tumbuh masyarakat adat melainkan atas lubang tambang. "Semua saksi yang diajukan mengungkapkan bahwa PT. IMK tidak pernah membayar lubang tambang. " Yang diganti rugi baru sebatas rumah dan tanam tumbuh. Sedang lubang tambang, tempat mata pencaharian, belum diganti rugi," tegas Zen Smith dari TATR. Keluarnya putusan Majelis hakim yang menokak gugatan masyarakat, tentu saja mendatangkan kekecewaan bagi TATR. "Kami akan pikir-pikir dulu," kata Zen Smith. **** (esr)
Sumber : Minergynews.com, Jatam - www.jatam.org, Oxfam, Tempo Interaktif. Latar belakang masalah lebih lanjut dapat dibaca di DTE 55 dan 52)
Catatan DTE: Tanggal 1 Juli 2003, 29 penggugat itu dan pengacara mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. (Sumber: JATAM 29/Juli/03)
Ribuan masyarakat Dayak Siang, Murung dan Bakumpai kehilangan ladang mereka karena pertambangan PT IMK. Rencana penutupan tambang (yang dinyatakan tahun 2000) sangat tidak memadai. Lubang tambang utama akan diisi dengan air yang akan membentuk danau buatan sedalam 80m dan berdiameter 1 km. Keamanan dam tailing sangatlah diragukan. Begitu pula kemungkinan pencemaran air sungai dan air tanah akibat adanya perembesan. Hal ini dapat menimbulkan bencana. Terlebih lagi karena sejumlah masyarakat adat dan ratusan masyarakat pendatang bersikeras untuk menambang sisa-sisa emas dari bekas wilayah penambangan, termasuk kawasan lubang utama.
Masyarakat yang kehilangan tanahnya dan perkebunan karet hanya mendapat ganti rugi yang sangat minim - yang sudah lama telah habis terpakai - karena tanah mereka dinyatakan sebagai "tanah negara". Kini mereka tidak punya apa-apa lagi selain hidup dengan bertambang secara liar.