- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Ketika Masyarakat Adat Memperjuangkan Hak Atas Tanahnya
DTE 93-94, Desember 2012
Konflik atas tanah yang berkepanjangan di Aceh, yang melibatkan komunitas, perusahaan perkebunan serta pertarungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Oleh Zulfikar Arma, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh (JKMA Aceh).
Sengketa, konflik dan perkara pertanahan sepertinya tidak pernah surut, bahkan cenderung terus meningkat baik intensitas maupun keragamannya, seiring dengan semakin sulitnya akses untuk memiliki tanah dan bertambahnya kesenjangan posisi tawar-menawar antara ketiga aktor pembangunan yakni pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
Penyebab terjadinya permasalahan itu biasanya bermula dari penanganan persoalan yang kurang tepat atau tidak tuntas pada waktu yang lalu. Kenaikan harga tanah yang meningkat menimbulkan banyak pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun tanpa didukung oleh bukti kepemilikan yang kuat dan jelas. Persoalan menjadi bertambah rumit bila ada campur tangan pihak ketiga yang tidak beritikad baik. Masalah akan sulit diselesaikan apabila para pihak merasa paling benar dan tidak mau bermusyawarah.
Masalah pertanahan yang disengketakan meliputi obyek tanah, batas-batas, luas, status tanah, menyangkut subyek, hak yang membebani, pemindahan haknya dan lain sebagainya. Terkait dengan instansi pemerintah atau swasta biasanya masalah menyangkut penunjukan lokasi dan penetapan luas tanah, pelepasan atau pembebasan, pengosongan tanah, ganti rugi atau imbalan lainnya, pembatalan hak dan pencabutan hak.
Jika diidentifikasi, permasalahan tanah meliputi masalah penggarapan rakyat atas areal kehutanan, pelanggaran ketentuan landreform, akses penyediaan tanah untuk pembangunan, sengketa tanah perdata dan tuntutan masyarakat terhadap hak tanah adat baik ulayat maupun perseorangan. Penyebab lainnya adalah kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan di bidang pertanahan.
Konflik Pertanahan di Bumi Hamzah Fansuri
Kabupaten Aceh Singkil memiliki luas wilayah 3.578 km2 dan terdiri dari 10 kecamatan, 23 mukim, serta 190 gampong (desa). Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Singkil adalah : Kecamatan Pulau Banyak, Kecamatan Singkil, Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Kuala Baru, Kecamatan Kota Baharu, Kecamatan Suro, Kecamatan Singkil Utara, Kecamatan Danau Paris, Kecamatan Gunung Meuriah dan Kecamatan Singkohor.
Sebagian besar wilayah yang ada di Kabupaten Aceh Singkil dikuasai oleh para pemilik modal (perusahaan kelapa sawit). Tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masih aktif di sana adalah: PT Socufindo di Kecamatan Gunung Meriah dengan luasan konsesi 4.414,18 ha, PT Lembah Bakti terletak di Kecamatan Singkil Utara dengan luas 6.570 ha, PT Delima Makmur di Kecamatan Danau Paris dengan luas 12.173,47 ha, PT Ubertraco di Kecamatan Kota Baharu dengan luas 13.924,68 ha, PT Lestari Tungggal Pratamadi di Kecamatan Danau Paris dengan luas 1.861 ha, PT Telaga Zamzam di Kecamatan Gunung Meriah dengan luas 100,05 ha dan PT Jaya Bahni Utama di Kecamatan Danau Paris dengan luas 1.800 ha. Dari ketujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut di atas perusahaan PT Ubertraco hingga kini masih berkonflik dengan masyarakat.
Konflik lahan antara masyarakat dengan PT Ubertraco/Nafasindo yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil memiliki kesamaan dengan konflik-konflik lahan di daerah lainnya di Indonesia. Kesamaan ini didasari dengan persoalan yang dialami, yaitu penelantaran HGU (hak guna usaha) yang berlangsung sekian lama.
Sejak diberikan HGU oleh pemerintah, perusahaan tidak memanfaatkan dan mempergunakannya secara baik. Sekitar belasan tahun perusahaan menelantarkan HGU. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan fisik di lapangan bahwa sebagian lahan HGU perusahaan tidak digarap dan ditelantarkan begitu saja. Demikian juga dengan bunyi pernyataan Muspida Kabupaten Aceh Singkil dan PT Ubertraco pada Rabu tanggal 30 Agustus 2006 yang menegaskan ...”jika ada lahan masyarakat di dalam HGU dikeluarkan karena lahan tersebut lama ditelantarkan selama 20 tahun.” Pihak perusahaan PT Ubertraco, yang diwakili oleh Bahagia Bukit SH, telah mengakui secara tegas dengan ikut menandatangani surat tersebut. Selain itu, surat Bupati Aceh Singkil pada tanggal 31 Agustus 2007 juga menegaskan bahwa, “selama kurun waktu yang cukup lama ternyata PT Ubertraco hanya mengelola sebagian lahan HGU tersebut, sehingga sebagian besar lahan tersebut menjadi terlantar dan sebagian sudah dikelola oleh masyarakat karena memang tidak ada patok batas”.
Selain persoalan penelantaran oleh pemegang HGU, ketiadaan tanda batas atau patok HGU dan berbagai batas lain juga menjadi persoalan. Tidak jelas mana lahan yang masuk dalam wilayah HGU dan mana yang menjadi lahan negara yang tidak terpakai.
Seiring dengan kebutuhan lahan pertanian untuk menunjang kehidupan, sebagian besar lahan yang ditelantarkan oleh perusahaan sudah digarap oleh masyarakat. Saat ini, lahan sengketa telah dikuasai oleh banyak masyarakat yang berasal dari 22 desa di Aceh Singkil. Dari sekian banyak yang mengaku pemilik lahan, ada berbagai bukti yang dimiliki oleh masyarakat, mulai dari surat keterangan tanah hingga bukti sertifikat BPN dan bahkan putusan Mahkamah Agung pada tahun 2009 lalu.
Peran pemerintah dalam penyelesaian konflik pertanahan
Sejak mulai dilaporkan oleh masyarakat kepada pemerintah Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2006, berbagai pertemuan dan kegiatan telah dilakukan yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dengan berbagai unsur seperti Kantor BPN Aceh Singkil, PT Ubertraco/Nafasindo, masyarakat 22 desa, Pemerintah provinsi Aceh serta Kanwil BPN Aceh. Berbagai kesepakatan telah dicapai, berbagai keputusan telah dikeluarkan. Tindakan-tindakan yang telah dilakukan antara lain inventarisasi masalah, verifikasi masyarakat 22 desa, pengumpulan dokumen penguasaan hak tanah,serta pelaksanaan pengukuran ulang di areal HGU. Semua kegiatan tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, dengan melibatkan berbagai unsur pemerintah kabupaten dan propinsi, lembaga teknis Kantor Tanah Kabupaten dan Kanwil BPN Aceh, serta masyarakat dan perusahaan.
Dari serangkaian kegiatan penyelesaian konflik pertanahan ini, berdasarkan kewenangannya, akhirnya Pemerintah Aceh melalui Gubernur Aceh Drh. Irwandi Yusuf mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh Singkil perihal penyelesaian sengketa/konflik HGU PT Ubertraco/Nafasindo dengan masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil. Isi dari surat ini memberikan solusi dengan tiga opsi, yakni:
- Bahwa tanah yang sudah ditanami sawit atau digarap oleh pihak PT Ubertraco/Nafasindo yang setelah dilakukan pengembalian tapal batas oleh Kantor Wilayah BPN Aceh berada di luar HGU PT Ubertraco/Nafasindo, maka tanah tersebut diserahkan kepada masyarakat yang bersengketa melalui Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil yang didampingi oleh LSM Gempa dan dibawah pengawasan Pemerintah Aceh.
- Bahwa fasilitas umum, aset negara dan pemukiman penduduk serta tanah-tanah yang digarap oleh masyarakat yang berada dalam areal HGU PT Ubertraco/Nafasindo agar dienclave oleh PT. Ubertraco/Nafasindo.
- Bahwa perlu segera dibuat patok permanen atas patok sementara hasil pengembalian batas HGU PT Ubertraco/ Nafasindo yang telah dilaksanakan oleh Kantor Wilayah BPN Aceh dengan biaya ditanggung sepenuhnya oleh PT Ubertrcao/Nafasindo yang akan dienclave oleh PT Ubertraco/Nafasindo seperti yang tercantum pada huruf b di atas.
Atas surat ini, pihak PT Ubertraco/Nafasindo keberatan dan mengajukan gugatan ke PTUN, namun PTUN telah menolak gugatan PT Ubertraco/Nafasindo pada pertengahan tahun 2011 lalu.
Gubernur pada 26 Desember 2011 telah mengirimkan surat kepada Kapolda Aceh perihal pemasangan tapal batas permanen lahan HGU PT Ubertraco/Nafasindo yang berisi antara lain: setelah pelaksanaan pemasangan tapal batas permanen lahan HGU PT Ubertraco/Nafasindo pada tanggal 23 November 2011 gagal dilaksanakan, maka Gubernur kembali meminta kepada Kapolda Aceh untuk memberikan bantuan pengamanan kepada petugas BPN Singkil dalam melaksanakan pemasangan tapal batas permanen pada tanggal 4 Januari 2012. Pelaksanaan ini mengikutsertakan dua orang unsur Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan Aceh, dua orang dari unsur Tim Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan Kabupaten Aceh Singkil, dua orang dari unsur masyarakat Kabupaten Aceh Singkil dan dua orang dari pihak PT Ubertraco/Nafasindo.
Sebagai tanggapan, Kapolda Aceh pada tanggal 2 Januari 2012 membalas surat yang ditujukan kepada Kanwil BPN Aceh yang isinya antara lain: menyarankan agar pemasangan tapal batas dimaksud dapat dilaksanakan setelah pemilukada Aceh, mengingat personel Polda Aceh/Polres Aceh Singkil saat ini sedang dipersiapkan untuk berkonsentrasi dalam rangka pengamanan pemilukada Aceh pada tanggal 16 Februari 2012.
Mendapat tembusan surat Kapolda Aceh di atas, Gubernur Aceh pada tanggal 10 Januari 2012 kembali mengirimkan surat kepada Kanwil BPN Nomor 590/571 yang isinya mengharapkan agar BPN menjadwalkan ulang pemasangan tapal batas pada tanggal 19 Januari 2012. Melalui surat nomor:51/18-11.600/I/2012 tanggal 16 Januari 2012, Kepala BPN Aceh membalas surat Gubernur Aceh yang isinya sesuai hasil koordinasi dengan Polda Aceh pemasangan tapal batas akan dijadwal ulang setelah Pilkada Aceh dan setelah adanya kesiapan Polda Aceh dan Polres Singkil.
Kemudian pada 23 April 2012, BPN Aceh kembali mengirimkan surat kepada Kapolda Aceh nomor 455/18-11.600/I/2012 menyatakan bahwa BPN Aceh menjadwalkan akan melakukan penunjukan batas koordinat yang telah disepakati para pihak (pemasangan patok permanen) pada Selasa 22 Mei 2012 dan mengharapkan agar Kapolda dapat memberi pengamanan terhadap pelaksanaan itu.
Temuan TAKPAS (Tim Advokasi Konflik Pertanahan Aceh Singkil )
BPN Pusat melakukan pemasangan patok permanen pada hari Kamis, 21 Juni 2012. Pemasangan patok tersebut ditolak oleh masyarakat karena tidak berdasarkan hasil ukur ulang pada tahun 2010 yang telah disepakati oleh masyarakat Aceh Singkil dan PT Ubertraco/Nafasindo. Berkenaan dengan hal tersebut maka Tim TAKPAS melakukan investigasi langsung ke lapangan yang menghasilkan beberapa temuan. Fakta-fakta temuan lapangan atas pemasangan tapal batas BPN Pusat terhadap konflik lahan antara masyarakat Kabupaten Singkil 22 Desa, diantaranya adalah:
- Hak Guna Usaha Ubertraco diterbitkan sejak tahun 1988 dengan jumlah lahan 10.917 ha, akan tetapi sebagian besar lahan tersebut baru dikerjakan pada tahun 2004. Sebelum adanya HGU PT. Ubertraco masyarakat sudah mengelola dan mengusahakan hutan dengan memanfaatkan hasil hutan non-kayu seperti rotan, damar, gaharu, cendana, bahan baku obat nyamuk, madu, ikan, lokan dll. Ketika HGU dikeluarkan untuk PT Ubertraco, awalnya banyak masyarakat yang tidak mengetahui karena ketiadaan tapal batas dan lahannya ditelantarkan. Lahan HGU ini sudah diterlantarkan selama + 20 tahun. Dalam rentang waktu tersebutlah sebagian lahan sengketa digarap oleh masyarakat karena sudah ditelantarkan dan tidak ada patok batas. (Sesuai pernyataan Bupati Singkil dan PT Ubertraco pada Rabu 30 Agustus 2006)
- Pematokan permanen sudah mulai lakukan oleh BPN Pusat tanpa melibatkan pemerintah Kabupaten Singkil, masyarakat Singkil yang bersengketa, dan BPN Singkil. Secara teknis pemasangan tapal batas permanen hanya dilakukan oleh karyawan perusahaan Ubertraco/Nafasindo tanpa adanya petugas dari BPN (kecuali pemasangan 2 buah tapal batas secara simbolis). Bahkan pemasangan beberapa tapal batas tersebut dilakukan pada waktu yang tidak patut (malam hari) dengan alasan yang tidak jelas.
- BPN Singkil menerbitkan sertifikat yang tumpang tindih di atas lahan sengketa, antara sertifikat hak milik atas nama perseorangan dengan sertifikat HGU atas nama Ubertraco/Nafasindo. Bahkan beberapa lahan hak milik masyarakat sudah ada yang memiliki putusan kasasi dari Mahkamah Agung.
- Sertifikat Hak Milik Nomor 513 tahun 2009 Desa Ketapang Indah, luas 14.445 m2, atas nama Kaharudin Pandan
- Sertifikat Hak Milik Nomor 514 tahun 2009 Desa Ketapang Indah, luas 11.347 m2, atas nama Kaharudin Pandan
- Sertifikat Hak Milik Nomor 48 tahun 2009 Desa Sebatang, luas 4.222 m2, atas nama Pukak Kedek
- Sertifikat Hak Milik Nomor 14 tahun 2009 Desa Sebatang, luas 19.934 m2, atas nama Teruteh
- Putusan Mahkamah Agung No 1193/K/PDT/2009 Perkara Kasasi Perdata antara Darlin Chaniago melawan PT Ubertraco yang memenangkan Darlin Chaniago terhadap lahan seluas 1,48 ha.
- Patok ukur ulang yang dilakukan di luar titik koordinat yang diambil pada saat pengukuran ulang tahun 2010.
- Lahan perkebunan sawit baik yang dimiliki/dikuasai oleh warga masyarakat maupun perusahaan-perusahaan budidaya perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Singkil adalah lahan rawa gambut (kedalaman rata-rata lebih dari 2 meter) yang merupakan bagian integral dari bentangan alam suaka marga satwa rawa singkil.
- Sebagian dari lahan HGU Ubertraco adalah merupakan hak milik adat masyarakat singkil yang telah sejak lama dikuasai baik secara perseorangan, maupun penguasaan secara komunal/ulayat oleh komunitas masyarakat adat Galagala (sesuai isi Surat Penyerahan Hak Milik Tanah Adat/Tanah Ulayat Masyarakat adat Galagala).
- Di atas lahan HGU budidaya perkebunan sawit Ubertraco terdapat sumber mata air Danau Lae Bungara di Desa Lentong Kecamatan Kuta Baharu. Sekitar 5 meter dari pinggiran danau telah ditanami pohon sawit.
- BPN Pusat telah menganulir semua proses penyelesaian yang telah dilakukan tim Pemerintah Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil. BPN Pusat juga menyatakan bahwa peta yang dibuat oleh Kanwil BPN Aceh yang merupakan hasil ukur ulang pada tahun 2010 dinyatakan ilegal untuk digunakan.
Upanya penyelesaian sengkata tanah yang ada di Kabupaten Aceh Singkil sudah dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah kabupaten maupun provinsi, akan tetapi hingga saat ini belum ada kata kesepakatan antara masyarakat dengan perusahaan yang terlibat dalam konflik pertanahan ini.
Yang menjadi permasalahan terbesar dari konflik ini adalah konflik kepentingan (kebijakan). Apa yang telah dilakukan oleh BPN Pusat merupakan tindakan tidak menghargai otonomi Aceh. Hal yang paling ditakutkan adalah tentang dibuatnya patok permanen saat ini yang merupakan sebuah bom waktu karena pelaksanaannya tidak berdasarkan hasil kerja pemerintah Aceh dan Aceh Singkil yang telah disepakati para pihak.
Dengan terpilihnya pemimpin baru di Aceh kita semua berharap agar konflik pertanahan di kabupaten Aceh Singkil segera terselesaikan. dimana Adanya pemimpin yang baru menumbuhkan semangat baru dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Aceh khususnya di bumi Hamzah Fansuri.
Ketika pemerintah ingin mengeluarkan izin HGU, terlebih dahulu pemerintah harus melihat langsung kondisi di lapangan, sehingga nantinya tidak menjadi masalah. Sebagian besar data yang dimiliki oleh pemerintah sudah lama sehingga diperlukan pemutakhiran data. Setiap perusahaan ataupun pemerintah yang akan melakukan kegiatan atau program/proyek pembangunan yang nantinya akan berdampak terhadap masyarakat (berdampak baik atau buruk) seharusnya melalui proses persetujuan awal tanpa paksaan (padiatapa) atau FPIC untuk mencegah konflik di kemudian hari. Zulfikar Arma |