- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Laporan terbaru Proyek Tangguh 2005
Down to Earth No 65 Mei 2005
Situasi proyek: 'keputusan terakhir investasi' untuk melanjutkan Tangguh datang pada tanggal 7 Maret, setelah terjadi banyak penundaan. Tahap konstruksi senilai 5 milyar dollar Amerika menurut rencana akan dimulai akhir tahun 2005. Tangguh akan beroperasi tahun 2008, dengan dua unit produksi atau 'kereta' (Reuters 7/Mar/05, TIAP 2004)
Salah satu penundaan terjadi karena keperluan untuk memperpanjang kontrak lapangan. Proyek ini direncanakan untuk mengeksploitasi tiga situs blok kontrak produksi-bersama (PSC) di Teluk Bintuni - Muturi, Weriagar dan Berau. PSC ini akan berakhir antara tahun 2017 dan 2023 namun kontrak penjualan akan berakhir lebih lama, antara 2026 dan 2028. Pada bulan Januari tahun ini, Reuters melaporkan bahwa pemerintah pusat telah menyetujui perpanjangan kontrak lapangan gas agar Tangguh bisa memenuhi kontrak penjualan jangka panjangnya (Reuters 13/Jan/05).Tapi laporan selanjutnya dari Jakarta Post mengatakan bahwa perpanjangan masih memerlukan persetujuan presiden (JP 27/Jan/05). Laporan ini juga merujuk kepada 'negosiasi alot' beberapa klausula Persetujuan Prinsip antara pemerintah Indonesia dan BP, termasuk jaminan atas resiko keuangan kalau ada perubahan kebijaksanaan yang menghalangi pabrik untuk memenuhi komitmen suplainya. Masalah berikutnya berhubungan dengan otonomi daerah dan kemungkinan adanya peningkatan wewenang dari para kepala daerah (JP 27/Jan/05)
Keputusan terakhir BP untuk meneruskan proyek ini semula diharapkan terjadi bulan Oktober tahun lalu, lalu pada akhir tahun, kemudian tertunda lagi sampai bulan Januari 2005, dan akhirnya dikeluarkan pada bulan Maret 2005.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari proyek ini telah disetujui pada tahun 2002. Pada bulan Oktober 2004, sebuah tim dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melakukan kunjungan pertama ke lapangan untuk menilai sejauh mana komitmen sudah dijalankan. Menurut Laporan triwulan Pemangku Kepentingan Proyek LNG Tangguh (Q4, 2004), hasil laporan menemukan bahwa 'Tangguh telah melakukan kemajuan yang memuaskan dalam memenuhi tugas sosial AMDAL', hal yang berlawanan dengan LSM yang mengatakan bahwa komitmen-komitmen pada isu hak asasi manusia tidak ditindaklanjuti.
Pimpinan perusahaan (CEO) BP Lord Browne mengunjungi Tangguh pada bulan November 2004, lalu menemui presiden Yudhoyono dan 'anggota pemimpin nasional lainnya' (Q4, 2004).
Kegiatan persiapan (Rencana Kerja Awal Tahap A) seharusnya selesai bulan Januari 2005. Termasuk pembangunan kemah pokok base camp untuk kontraktor pabrik LNG, KJP, di tempat pembangunan pabrik. Pengerjaan konstruksi sudah selesai termasuk landasan terbang sepanjang 1300 meter di kota terdekat Babo, yang memungkinkan penerbangan komersil masuk ke daerah tersebut, dan juga dermaga baru di Babo. KJP adalah konsorsium dari KBR (Amerika), JGC Corporation (Jepang) dan PT Pertafenikki Engineering (kerja sama Indonesia-Jepang) yang menang tender untuk keahlian teknik, pengadaan barang dan konstruksi untuk kompleks LNG Tangguh yang bernilai sekitar 1,4 milyar dollar Amerika.
KBR, sebelumnya bernama Kellogg Brown and Root, adalah bagian ahli mesin dari Halliburton, yang dikepalai oleh wakil presiden Amerika Dick Cheney dari tahun 1995 sampai 2000. Seperti yang ditulis oleh Asia Times, Cheney adalah pemain utama kesuksesan pemerintahan Bush dalam usaha memperoleh pendanaan untuk program pelatihan militer Amerika (IMET) dengan Indonesia. Kongres sempat menghentikan pendanaan untuk IMET karena terbunuhnya dua warga Amerika pada tahun 2002, dimana dugaan atas keterlibatan militer Indonesia amat besar. (Pemerintahan Bush mengumumkan pada bulan Februari tahun ini bahwa Indonesia memiliki kondisi yang memuaskan untuk menjalankan IMET, lihat Buletin Tapol 178:14 dan Asia Times 4/Des/04 untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini). Halliburton juga mendapatkan banyak kontrak penting pasca-invasi Irak - lihat misalnya www.corpwatch.org and www.warprofiteers.com untuk informasi lebih lanjut.
Perusahaan teknik Italia, Saipem, yang diawasi oleh perusahaan minyak ENI, memenangkan kontrak untuk membangun instalasi lepas pantai Tangguh (Reuters 7/Mar/05)
Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dan Bebas (FPIC) dan hak-hak adat
Prinsip FPIC - dimana masyarakat adat mempunyai hak untuk mengambil keputusan dalam menerima atau menolak proyek di tanah mereka - tak pernah terlaksana di Tangguh. Sebaliknya setelah daerah pabrik sudah ditentukan, kemudian masyarakat setempat diberitahu mengenai manfaat proyek seperti pendidikan, kesehatan dan program pengembangan lainnya.
Perusahaan menawarkan penggantian perumahan kepada penduduk desa yang harus pindah untuk membuka jalan bagi pabrik LNG (Tanah Merah), yang ternyata dibangun di tanah adat yang dimiliki oleh orang lain dan selalu terjadi ketegangan mengenai hak atas kepemilikan tanah dalam jangka panjang.
Bagian dari permasalahan terletak pada kenyataan bahwa pemerintah Indonesia tidak memberikan pengakuan yang cukup terhadap hukum adat atas tanah dan sumber daya, sehingga kepentingan bisnis besar menjadi prioritas lebih utama daripada matapencarian masyarakat setempat.
Tanah untuk pabrik LNG diklasifikasikan oleh pemerintah Indonesia sebagai 'hutan produksi'. Menurut BP, tanah tersebut telah dilepaskan ke pemerintah oleh masyarakat pada tahun 1999, sebelum keterlibatan BP dalam proyek ini, dan BP lah yang memegang hak guna usaha yang berlaku selama 30-50 tahun. Setelah itu, tanah akan dikembalikan ke pemerintah, yang mana, menurut BP, telah berjanji untuk mengembalikannya ke pemilik adat asli (lihat DTE 57). Masalah mengenai pertanahan terus memburuk sejak dimulainya proyek, karena pengalihan tanah yang sebenarnya tidak terjadi dengan sukarela dan terjadi banyak perselisihan antara masyarakat yang terlibat (lihat pernyataan masyarakat diatas)
Menurut laporan tahun 2005 oleh wakil daerah dari jaringan advokasi pertambangan JATAM, reaksi BP atas usaha masyarakat untuk mendapatkan kembali tanah mereka, adalah dengan memotong pembayaran untuk para anggota Panitia Pembangunan Desa Saengga. Ketika masyarakat meminta agar BP menyelesaikan perselisihan ini, perusahaan tersebut menjawab bahwa mereka hanya kontraktor pemerintah dan tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan dalam permasalahan yang berhubungan dengan tanah. Kemudian, pada kesempatan yang lain, BP menawarkan Rp 1 milyar (100.000 dollar Amerika) dalam bentuk uang tunai kepada ketiga suku pemilik tanah, bila hal ini bisa diterima sebagai penyelesaian akhir dari masalah. Masyarakat menolak tawaran itu. (Laporan singkat Proyek Tangguh dan Isu Hak Asasi Manusia Teluk Bintuni, Papua Barat, Bustar Maitar JATAM, wakil daerah untuk Papua Barat, 2005)
Proyek Tangguh masih tidak memperdulikan hak-hak adat penduduk desa di pantai utara Teluk Bintuni yang menuntut hak kepemilikan atas gas. Proyek Pengolahan LNG akan dibangun di pantai selatan teluk, tapi sebagian dari lahan gas berada di bawah pantai utara. TIAP mengatakan bahwa "penduduk desa pantai utara cemburu dengan pembangunan Tanah Merah, Saengga dan Onar yang menunjukkan dengan sangat dramatis ketidakseimbangan manfaat yang mereka peroleh dari BP. Alasan kecemburuan dan kegelisahan antara warga desa pantai utara karena ketidakseimbangan ini bisa dimengerti." Laporan TIAP mengatakan bahwa mereka melihat sedikitnya bukti langkah tambahan yang diambil BP untuk mengurangi ketegangan (TIAP, hal130).
TIAP mengatakan bahwa akar dari ketegangan terletak pada keyakinan warga desa pantai utara, berdasarkan hukum adat, bahwa mereka adalah pemilik gas. 'Walaupun pernyataan ini tidak memiliki kekuatan hukum dibawah hukum Indonesia, namun perlu dipertimbangkan oleh BP.'
Pemukiman kembali: Pembangunan pabrik Tangguh LNG melibatkan relokasi desa Tanah Merah. Pembangunan desa baru dimulai bulan Februari 2003 dan pemindahan akan dilakukan pada pertengahan tahun 2004. Dari 127 keluarga di Tanah Merah, 101 memilih untuk pindah ke penempatan baru dekat desa Saengga (3 km dari daerah lama), sedangkan 26 keluarga memilih pindah ke dekat desa Onar (12 km dari pemukiman lama). Daerah baru tersebut dibuka secara resmi pada tanggal 17 Juli 2004 (Laporan Terbaru Pemangku Kepentingan Q3).
TIAP menilai pemukiman kembali masyarakat desa dari tempat yang dipilih untuk pabrik LNG, jika dilihat secara tersendiri terlepas dari faktor-faktor lain,, sebagai ' kesuksesan gemilang'. Dilaporkan bahwa kondisi kehidupan warga desa Tanah Merah sangat maju pesat, dengan dibangunnya rumah-rumah dan fasilitas baru di Tanah Merah dan Onar. Perbaikan di desa Saengga (desa yang memiliki tanah untuk desa baru) juga memperlihatkan kemajuan pesat, menurut TIAP. Rumah-rumah baru memiliki aliran listrik, air serta fasilitas memasak dan kamar kecil, di lokasi yang dipilih keluarga Tanah Merah sebagai rumah baru mereka.
TIAP menyatakan kekhawatirannya bahwa keberhasilan dari pemukiman kembali ternyata memperburuk ketegangan lainnya dan merupakan "gambaran yang menyolok dari ketidakadilan terhadap warga desa pantai utara yang terdiri dari desa-desa yang terkena dampak langsung". Juga dikatakan adanya kekhawatiran dari sebuah LSM Jayapura dan beberapa wakil yang dipilih bahwa rumah-rumah baru tersebut terlalu mewah dan tidak sesuai.
Direkomendasikan agar BP menyediakan dana terpisah untuk masyarakat pantai utara dan bersama wakil setempat dan propinsi mencari kemungkinan untuk mendukung program bantuan perumahan (TIAP, hal22).
Laporan singkat dari peninjauan hak-hak asasi manusia dan keamanan mengingatkan bahwa kecemburuan dan kebencian atas perumahan dan kompensasi, terutama antara penduduk desa pantai utara, ditambah ' seringnya kesalahpahaman mengenai peraturan sewa, tunjangan serta permasalahan yang berhubungan dengan proyek lainnya' bisa menimbulkan terjadinya bahaya keamanan yang serius.
TIAP juga menunjukkan adanya bahaya ketergantungan warga desa Tanah Merah terhadap tunjangan yang diberikan BP untuk membiayai pembangkit listrik dan persediaan makanan, yang dalam waktu dekat dihapus. 'Warga desa khawatir dengan penghentian tunjangan ini'. TIAP menyarankan BP untuk tetap mengikuti jadwal penghapusan demi menghindari ketergantungan yang berlebihan. Dinyatakan bahwa BP harus meneruskan program masyarakat agar desa baru dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Ini termasuk proyek pertanian, hak untuk memancing ikan, pembangunan perahu, pelatihan pengolahan hasil laut pasca-panen, pengembangan usaha kecil dan membangun usaha koperasi desa untuk mengambil alih pelaksanaan fasilitas dan keperluan desa lainnya (TIAP, hal17).
Migrasi ke dalam dan lapangan kerja: TIAP mengatakan bahwa perumahan baru serta fasilitasnya di desa pemukiman kembali akan menarik imigran. Dikatakan bahwa hal tersebut sudah terjadi di desa Onar. Warga desa yang dimukimkan kembali kemungkinan akan menjual atau menyewa rumah mereka untuk mendapatkan uang. Walau kepemilikan dan migrasi harus diserahkan pada penduduk dan para pemimpinnya, namun BP harus dengan hati2 mengawasi perkembangan 'untuk mengetahui bila terjadi ketegangan.' Juga dikatakan dalam sebuah laporan terpisah Panel Pemukiman Kembali mengusulkan sebuah kegiatan penerangan untuk mengurangi migrasi (hal 18).
BP menjawab bahwa ia akan menjalankan kegiatan pendidikan dan penyadaran bersama pejabat desa dan pemerintah setempat tahun ini untuk membantu anggota masyarakat agar berhati-hati dengan dampak yang mungkin terjadi dengan adanya migrasi ke dalam.
Laporan tahun 2005 wakil daerah JATAM menyebutkan bahwa warga desa yang dimukimkan kembali mempertanyakan diri mereka sendiri bagaimana cara mereka meneruskan hidupnya begitu bantuan makanan dihentikan, karena mereka tidak punya tanah pertanian yang cukup untuk bercocok tanam dan mereka tidak diperbolehkan untuk memancing ikan di laut sekitar proyek. Dari diskusi dengan masyarakat desa, tampaknya rumah-rumah baru tidak akan lama berada ditangan keluarga yang berhak, tapi akan dijual ke orang luar. Laporan tersebut memperkirakan bahwa pihak luar yang lebih pandai menggunakan kesempatan yang ditawarkan oleh proyek gas ini akan menjadikan masyarakat setempat semakin tersisih.
Sekitar 150 orang dari luar desa (sebagian besar dari Sulawesi) datang ke desa Saengga untuk mencari kerja di BP, ketika laporan ini sedang disusun. Sejak itu, masih banyak yang berdatangan, karena tahap konstruksi semakin dekat, menurutnya. Para imigran ini mendapatkan pekerjaan atas rekomendasi dari kepala desa dan panitia pengembangan desa dan dengan demikian dianggap oleh BP sebagai penduduk setempat. Para pekerja ini menyewa kamar-kamar di Saengga untuk sementara sekitar Rp. 500.000,- per bulan. Para pekerja pendatang membayar kepala desa sejumlah Rp. 50.000 sampai Rp. 1.000.000 - (5-100 dollar Amerika) dan memberi rokok kepada pemimpin panitia pengembangan sebagai imbalan atas rekomendasi.
Laporan menyatakan bahwa dominasi ekonomi oleh pendatang sudah terjadi di sekitar daerah proyek dan 'strategi diversifikasi pengembangan' BP gagal menghindari hal ini. Usaha perusahaan untuk meningkatkan kemajuan ekonomi di Sorong, Manokwari dan Fak-fak dengan mengalihkan buruh pendatang dari Tangguh, tampaknya tidak berhasil.
TIAP melaporkan lebih dari 500 warga Papua kini telah dipekerjakan oleh BP dan kontraktornya, mulai dari anggota Community Affairs Field Teams (CAFT), satuan keamanan (dinamakan Shield Security Guard Force) dan bantuan untuk base camp Babo dan lokasi proyek. Diusulkan agar BP memastikan bahwa komitmen perusahaan untuk memberikan lapangan kerja bagi paling sedikit satu anggota dari setiap keluarga yang tinggal di desa yang terkena dampak langsung dipenuhi oleh kontraktor dan subkontraktornya dan semua pegawai Papua mendapat perlakuan yang adil (hal 19).
BP mengatakan bahwa ia sedang melatih 28 warga Papua di fasilitas LNG Bontang di Kalimantan Tengah, yang akan memungkinkan mereka untuk menjadi pelaksana lapangan di pabrik LNG Tangguh. Lebih dari 100 orang Papua telah dilatih untuk bergabung dengan Satuan Keamanan Berdasarkan Rakyat Terpadu milik proyek - jumlah yang diharapkan oleh BP akan meningkat dua kali lipat dalam waktu dekat.
Akan terdapat sekitar 3.500-5.000 pekerja di Tangguh selama tahap pembangunan 3 tahun, setelah itu akan berkurang menjadi beberapa ratus orang.
Pengembangan masyarakat: Laporan TIAP tahun 2004 mengatakan bahwa dana BP untuk pengembangan masyarakat di sembilan desa yang terkena dampak langsung proyek - 30.000 dollar Amerika per tahun per desa* - telah memberikan manfaat yang nyata bagi setiap desa dan telah mulai memberikan manfaat pengembangan sosial dan ekonomi di daerah Teluk Bintuni. Sejauh ini proyek-proyek termasuk tempat penampungan air bersih, klinik kesehatan, peralatan sekolah dan buku, sebuah dermaga dan perbaikan tempat beribadah (hal 19).
Pendidikan, sejalan dengan kesehatan dan perhatian terhadap keamanan, tampak merupakan perhatian utama masyarakat setempat dalam konsultasi yang dilakukan BP dengan masyarakat beberapa tahun yang lalu. Namun, yang tampak nyata dari laporan terakhir TIAP, masih banyak tindakan nyata yang perlu dilakukan. Laporan menyatakan bahwa hanya 'sedikit manfaat yang nyata dalam pendidikan walau dalam kenyataan disetiap tingkat pemerintahan di Papua pendidikan selalu menjadi sorotan utama' (hal 20).
TIAP melaporkan bahwa di desa baru Tanah Merah, telah dibangun sekolah menengah dan asrama, namun pada waktu panel berkunjung, bangunan tetap kosong dan tak digunakan karena kurangnya guru dan murid. TIAP menyatakan ini sebagai sebuah 'kegagalan dalam melakukan koordinasi antara pembangunan dan pengoperasian sekolah dengan pejabat kabupaten Bintuni' (hal 17). Disarankan agar BP mempertimbangkan pemberian bea siswa untuk para murid dari desa lain yang terkena dampak langsung sebagai alat menyebarluaskan tunjangan pendidikan dari Tangguh untuk semua desa di daerah tersebut (hal 18).
Untuk penggunaan dana masyarakat, TIAP menitikberatkan perlunya pengawasan ketat dan akuntansi yang transparan, dimana baik BP maupun warga desa berhak untuk tahu.
TIAP tidak memperdulikan perempuan
Jaringan Advokasi Pertambangan Indonesia, JATAM, dan yang lainnya mengatakan bahwa perempuanlah yang paling menderita dengan adanya perubahan lingkungannya, karena merekalah yang memancing ketam, sumber utama protein dan juga pendapatan - dan sangat tergantung oleh hutan bakau Teluk Bintuni. Tidak ditemukan dalam laporan TIAP atau laporan singkat terakhir hak asasi manusia yang memberikan perhatian pada perbedaan dampak proyek terhadap pria dan perempuan. Tidak ada indikasi, misalnya, apakah lapangan kerja setempat akan mempertimbangkan keseimbangan jenis kelamin, atau sampai sejauh mana para perempuan disertakan dalam pengambilan keputusan ditingkat desa, daerah atau propinsi.
Kegagalan TIAP dalam menyampaikan permasalahan keadilan jenis kelamin (gender) tampak nyata dari pernyataannya bahwa BP harus bekerja sama dengan pemerintah 'untuk meningkatkan dukungan pemerintah terhadap para nelayan pria dalam bentuk kapal pemancing ikan dan peralatan yang lebih memadai...' (hal 30).
Bagaimana dengan nasib nelayan perempuan dan aktivitas memancing mereka yang spesifik?
Mata pencarian dan lingkungan setempat
Seperti tahun-tahun sebelumnya laporan TIAP tahun 2005 menyatakan keprihatinannya atas kemungkinan gangguan aktivitas nelayan setempat di Teluk Bintuni, saat konstruksi pabrik LNG dimulai. Mengutip dari laporan para peneliti dari Universitas Papua di Manokwari (UNIPA) dikatakan bahwa persediaan udang kemungkinan akan menurun sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan oleh kapal pukat non-Papua (kapal pukat moderen berhasil meraup 95% dari seluruh tangkapan udang), juga erosi dan sedimentasi dari konsesi penebangan hutan. TIAP mengusulkan lagi agar BP melanjutkan usahanya untuk bekerja dengan pemerintah setempat dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk membangun perencanaan pengelolaan perikanan guna menghindari penangkapan yang berlebihan oleh kapal-kapal pukat besar (hal 30).
TIAP menyatakan dalam laporannya bahwa para LSM lingkungan yang ditemuinya menghargai pekerjaan BP bersama Global Development Alliance milik USAID serta dukungannya dalam menerbitkan atlas lingkungan untuk daerah. Namun, dikatakan bahwa diperlukan penanganan segera dampak lingkungan tahap pembangunan dan produksi proyek. BP perlu mengawasi dan mengatur limbah dan kotoran lainnya baik di darat maupun lepas pantai, dan bekerja sama dengan pihak berwenang yang sesuai, menurut TIAP, untuk menghindari 'permasalahan' yang dihadapi perusahaan Amerika, Newmont (lihat bagian lain, dibawah), (TIAP hal 33).
Cagar Alam Teluk Bintuni, 80 km ke timur dari Tangguh, bila berhasil dilindungi dengan dukungan BP, akan, menurut TIAP, 'merupakan prestasi ekologis yang nyata dan akan selalu dihubungkan dengan proyek Tangguh.'
TIAP menyarankan BP untuk bersedia berkomunikasi dengan seksama bila terjadi kecelakaan atau insiden yang merugikan lainnya (hal 34).
BP berkata ia bekerja sama dengan proyek yang didanai USAID, Coastal Resources Management Partnership (COREMAP), UNIPA, The Nature Conservacy, Institut Pertanian Bogor, para pejabat kehutanan dan pemerintah, ditambah dengan 'berbagai lembaga lingkungan dan kelompok-kelompok masyarakat' dalam Perencanaan Pengelolaan Hutan Bakau Bintuni untuk 'mengembangkan daerah yang mengandung kepentingan global sambil memenuhi kebutuhan masyarakatnya' (hal 12).
Cadangan Gas: Menurut BP, Tangguh memegang hak atas 14,4 triliun kubik kaki cadangan gas yang terjamin. Ada kemungkinan cadangan bisa mencapai 24-25 triliun kubik kaki.
Pemegang saham dan Pendanaan:
Pemegang saham Tangguh adalah sebagai berikut (pada bulan Mei 2004): BP -37,16%; MI Berau BV (yang dimiliki oleh Mitsubishi Corporation dan INPEX Corporation) - 16,30%; CNOOC ltd - 16,96%; Nippon Oil Exploration Berau - 12,23%; KG Companies (yang dimiliki oleh Japan National Oil Corporation, Kanematsu Corporation dan Overseas Petroleum Corporation) - 10.0% dan LNG Japan Corporation (dimiliki oleh Nissho Iwai Corporation dan Sumitomo Corporation) - 7,35% (www.hydrocarbons-technology.com/projects/tangguh/).
Perkiraan terbaru menyatakan bahwa biaya Tangguh mencapai 5-5,5 milyar dollar Amerika, dimana BP dan mitra kerjanya akan menanggung 2 milyar - termasuk pendanaan untuk tahap awal konstruksi. 3 -3,5 Milyar dollar Amerika, yang lainnya diharapkan akan berbentuk pinjaman. Pada bulan Oktober 2004, Jakarta Post melaporkan bahwa para mitra kerja proyek memperoleh persetujuan pinjaman dari bank-bank asing termasuk Japan Bank of International Corporation (JBIC) (JP20/Okt/04). Bank Belanda ABN AMRO mungkin akan dipakai untuk mengasuransikan pinjaman dari bank-bank Jepang dan Cina, katanya. Direktur ABN AMRO di Asia mengkonfirmasikan ketertarikan bank bersangkutan (Reuters 26/Jan/05).
Penjualan LNG:
Tangguh diharapkan untuk berproduksi antara 7 juta dan 8 juta ton gas alam cair (LNG) per tahun pada tahap pertama produksi - cukup untuk mensuplai sekitar 6% dari kebutuhan dunia saat ini. Sekarang telah diperoleh 4 kontrak pembelian besar untuk mensuplai sejumlah 7,6 juta ton. Yang terakhir ditandatangani bulan Oktober 2004 dengan perusahaan enerji Amerika, Sempra Energy LNG Corp, selama 20 tahun suplai LNG ke pasaran di Amerika dan Meksiko. Persetujuan tersebut adalah untuk 3,7 juta ton gas per tahun dari Tangguh selama 15 tahun, dimulai tahun 2007, untuk terminal LNG re-gasifikasi Energia Costa Azul yang menurut rencana akan dibangun di Baja California, Mexico. (Laporan Pemangku Kepentingan Q4, Reuters 27/Jan/05).
Perusahaan yang lainnya adalah dari Korea Selatan, K-Power Co; pabrik baja Korea Selatan Posco dan dari propinsi Cina, Fujian. (Asia Times 4/Des/04 dan DTE 60).
Karena beberapa kontrak suplai dimulai tahun 2005-2007, mitra kerja Tangguh harus mencari sumber untuk pengiriman LNG dari pemasok gas lainnya sampai Tangguh dapat melakukannya sendiri.
Baru-baru ini, ada kontrak suplai Filipina sedang dalam taraf diskusi. Yang paling akhir, ada kemungkinan penjualan ke Chili seperti yang disebutkan oleh menteri pertambangan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro. Menurut laporan, Jakarta meminta BP untuk membangun unit produksi LNG ketiga sebagai usaha untuk memenuhi permintaan yang berkembang terhadap LNG (Asia Pulse/Antara 30/Nov/04).
Pendapatan untuk Papua
Menurut studi dampak lingkungan tahun 2002, BP memperkirakan bahwa aliran pendapatan untuk Papua akan meningkat setelah tahun 2012 dan, berdasarkan dua unit produksi (kereta) dibawah Otonomi Khusus, 'dapat mencapai sekitar 100 juta dollar Amerika per tahun pada tahun 2016… kemungkinan akan tetap ditingkat yang sama untuk beberapa tahun. Tertundanya aliran pendapatan untuk Papua adalah karena pengaturan keuangan Tangguh yang prioritasnya adalah membayar kembali kepada para penanam modal.
Perkiraan perolehan pemerintah Indonesia dari produksi-bersama dan pendapatan pajak adalah 12 milyar dollar Amerika dari perkiraan produksi 18 ton kubik kaki dari cadangan gas (ANDAL5-175).
Indonesia akan memperoleh bagian terbesar dari pendapatan ini. Menurut riset untuk Ethical Corporation tahun 2004, selama 30 tahun mendatang, diharapkan pemerintah pusat dapat menghasilkan lebih dari 8,7 milyar dollar Amerika dari Tangguh, dan pemerintah Papua akan dapat menerima 3,6 milyar dollar Amerika (rancangan laporan, 2004).
Dalam laporan keduanya (tahun 2003), TIAP mengingatkan bahwa pemecahan propinsi Papua dapat meningkatkan 'ketidakstabilan politik, yang dengan sendirinya akan memberi dampak terhadap proyek Tangguh.' Laporan tahun ini, ditulis setelah Papua dipecah dua, mengingatkan bahwa karena pemasukan dari Freeport akan, dalam waktu dekat, hanya akan mengalir ke bagian propinsi Papua, Irian Jaya Barat tidak akan mendapatkan banyak manfaat ekonomi dari Otonomi Khusus sampai pemasukan yang memadai dari Tangguh mulai mengalir ke propinsi ini. Dan ini akan memakan waktu paling sedikit 10 tahun (misalnya 2015 - atau lebih lama menurut AMDAL) (hal 13).
Begitu pemasukan dari Tangguh mulai mengalir, maka, Irian Jaya Barat akan mendapatkan lebih banyak dana dibandingkan seluruh anggaran tahunan dari Papua ketika belum dipecah. TIAP menganggap pendapatan ini merupakan'duri' - dana yang tiba-tiba melonjak sangat tinggi - yang perlu dihindari. TIAP menganjurkan (sekali lagi) agar dicari mekanisme untuk mempercepat aliran pendapatan dari Tangguh. Laporan menyebutkan bahwa menteri perencanaan (ketua Bappenas) sangat tertarik dengan hal yang satu ini dan para peminjam multinasional, seperti misalnya Bank Dunia, dapat menjalankan mekanisme kemudahan-pendapatan. BP dapat memainkan peran sebagai katalisator, menurut TIAP, dalam menjelaskan dampak keuangan terhadap ketidakseimbangan kepada para menteri berkepentingan dalam pemerintahan dan mengarahkan perhatian mereka pada mekanisme seperti itu (hal 27). Pada tahun 2003, dilaporkan bahwa Bank Dunia menyatakan ketertarikannya pada gagasan ini - kabar yang menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakannya dalam memainkan peran serta dampak politik jangka panjang untuk Papua Barat (lihat DTE 57).
Tentang pendapatan dari Tangguh.... '...siapakah Papua? Tidak ada pemerintahan yang sah dari masyarakat Papua yang bisa mewakili. 'Pemerintah pusat, propinsi dan setempat' yang akan mendapat uang dari BP semua melapor ke Jakarta. |