- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Laut untuk Keadilan Iklim
Down to Earth No.83, December 2009
Oleh M. Riza Damanik dan Abdul Halim
Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) dan Prakarsa Segitiga Karang (Coral Triangle Initiative/CTI) yang dilangsungkan di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 11-15 Mei 2009 terbukti tak memberikan perbaikan berarti pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sedari awal, komunitas masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Manado telah mengingatkan pemerintah Indonesia untuk lebih strategis dalam memposisikan diri menyangkut tahapan penanganan dampak perubahan iklim yang terjadi di laut dan pesisir Indonesia.
Berkaca pada sumber historis, pada abad ke-XVI dan XVII telah terjalin komunikasi antarnelayan dan lalu lintas antarkepulauan Indonesia melalui jaringan hubungan maritim yang lebih baik dan didukung oleh kemajuan teknologi kapal, keahlian navigasi, dan spirit kebaharian yang besar. Dengan penguasaan itulah nelayan Indonesia memperoleh pengakuan dunia. Ironisnya, hal ini tak terjadi dalam pelaksanaan WOC-CTI. Diplomasi Indonesia diarahkan sebatas perumusan model penggalangan dana dari pelbagai pihak, tanpa memperdulikan pentingnya menegosiasikan agenda kelautan dan perubahan iklim demi kepentingan nasional, khususnya perlindungan terhadap hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.
Akar masalah
Krisis kelautan dan perikanan yang terus memburuk mestinya menjadi pertimbangan pokok bagi pemerintah Indonesia. Pertimbangan pertama adalah laporan Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO, 2007) yang menyebutkan, "Kondisi sumber daya ikan di sekitar perairan Indonesia, meliputi perairan sekitar Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sudah menunjukkan kondisi eksploitasi melebihi ambang batas dan berlebih." Sementara itu, kuota permintaan ikan dan produk perikanan dunia merangkak naik.
Sumber daya perikanan yang kian terbatas menunjukkan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran di wilayah perairan Indonesia tidak lagi dimungkinkan. Di lain sisi, konsumsi ikan masyarakat Indonesia terus naik: dari 21 kg/kapita/tahun (2002) menjadi 30 kg/kapita/tahun (2009). Berpijak pada fakta ini, seyogianya pemerintah melakukan upaya antisipatif guna meminimalkan krisis ikan nasional di tahun 2015.
Pertimbangan lain adalah buruknya model pengelolaan wilayah konservasi yang sudah dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Persoalannya tak hanya berkutat pada kualitas pengelolaan, melainkan kuantitas wilayah kelola yang banyak bertabrakan dengan hajat hidup nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Permasalahan ini kian rumit saat Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjabarkan kewenangan pengelolaan sumber daya laut disahkan oleh DPR. Disharmonisasi produk hukum ini selanjutnya memberi dampak buruk bagi masyarakat.
Di Indonesia, pengelolaan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) rentan oleh konflik yang melibatkan masyarakat dengan pengelola kawasan konservasi. Ironisnya, sejumlah lembaga konservasi asing turut terlibat di dalamnya. Konflik ini dipicu oleh dicabutnya hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir untuk mengakses, menangkap, dan mengelola wilayah perairan tradisionalnya. Di Taman Nasional Komodo, misalnya, nelayan tradisional mengalami intimidasi dan bahkan penembakan. Mereka dianiaya, dipukul, diancam, dan ditangkap tanpa proses hukum. Sejak diberlakukan, perlakuan kekerasan terhadap nelayan oleh Patroli Gabungan Balai Taman Nasional Komodo, The Nature Conservancy, dan Satuan Polairut Polsek Labuan Bajo, Manggarai, telah mengambil nyawa lebih dari 15 orang.
Melihat fakta krisis ikan dan pengelolaan kawasan konservasi yang tak berpihak pada nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, Aliansi Manado mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keterlibatannya dalam Prakarsa Segitiga Karang (CTI). Dalam kertas posisi bertajuk "Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim: Sisi Gelap dan Bahaya WOC-CTI," Aliansi Manado menyebutkan tiga dampak dan bahaya CTI, yakni forum internasional ini bakal mengancam hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, serta mengancam kedaulatan negara; lemahnya diplomasi pemerintah bakal menggiring Indonesia dalam perdagangan bebas konservasi yang mengancam keanekaragaman hayati dan keselamatan penduduk lokal; serta berisiko memperburuk krisis kelautan dan perikanan nasional.
Peringatan yang disampaikan oleh Aliansi Manado ini didasarkan pada kondisi aktual krisis kelautan dan perikanan nasional lainnya. Pertama, dalam 15 tahun terakhir, praktek pencurian ikan ilegal di wilayah Indonesia terus dilakukan oleh kapal-kapal dari Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Kedua, reklamasi pantai di Padang (Sumatera Barat), Jakarta Utara, Makassar (Sulawesi Selatan), dan Manado (Sulawesi Utara) telah menimbun lebih dari 5 ribu hektare ekosistem hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang. Lebih dari 10 proyek reklamasi pantai terus digalakkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Ketiga, ekspansi lahan oleh industri pertambakan (juga reklamasi pantai) terus meluas sepanjang 25 tahun terakhir. Akibatnya, luasan hutan bakau menyusut dari 4,25 juta hektare pada tahun 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta hektare. Penyusutan luasan hutan bakau ini diperparah oleh keterlibatan lembaga finansial global, seperti Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia yang turut mendanai proyek konversi lahan lewat skema hutang. Jika dirata-rata, kontribusi hutang luar negeri dari sektor pertambakan mencapai Rp39,5 miliar per tahun selama periode 1983-2013 mendatang.
Keempat, kegiatan industri ekstraksi dan pertambangan juga mendorong percepatan krisis kelautan. Tak hanya membawa hasil sedimentasi ke muara, dua kegiatan ini juga membuang limbah tambang beracunnya ke laut. Nelayan pun menerima getahnya. Di kota Baru, Kalimantan Selatan, misalnya, sekitar 3.697 jiwa nelayan Rampa pencari udang dan ikan terancam mata pencahariannya karena pembuangan limbah batuan dari pabrik semen. Sementara itu, biaya operasional meningkat sampai 67 persen dan penghasilan menurun hingga 50 persen.
Keadilan Iklim
Selang tiga pekan pasca WOC dan CTI, ratusan nelayan Pantai Karangria, Manado, Sulawesi Utara memblokade jalan pantai di Kelurahan Karangria, pada Kamis (4/6) lalu. Aksi ini dilatari oleh penolakan masyarakat atas pembangunan jalan pantai Boulevard II hingga kawasan Molas. Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa tema yang diusung dalam WOC, yakni "Dampak Perubahan Iklim Terhadap Laut dan Peran Laut untuk Perubahan Iklim" bak jauh panggang dari api pada tataran pelaksanaannya di lapangan.
Lebih parah lagi, sebulan menjelang WOC, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Freddy Numberi mengklaim bahwa laut dan pantai Indonesia mampu menyerap karbon sebesar 66,9 juta ton per tahun dan karbondioksida sebesar 245,6 juta per tahun. Padahal, pelbagai penelitian yang telah dilangsungkan menyimpulkan bahwa lautan bukan penyerap karbon (carbon sink), melainkan pelepas karbon (carbon source). Mekanisme perdagangan karbon yang disuarakan oleh Freddy Numberi jelas mengancam dan melemahkan eksistensi dan kontrol pemerintah terhadap wilayah perairannya lewat CTI, sebuah sistem administrasi baru dalam konteks perdagangan bebas karbon di luar negara.
Kemiskinan dan nelayan seolah dua sisi dari satu keping mata uang. Fenomena ini belum hilang. Berbagai studi menunjukkan, kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Studi-studi tersebut menyimpulkan, tekanan yang dialami keluarga para nelayan buruh, nelayan kecil, atau nelayan tradisional relatif lebih intensif dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di desa pertanian atau perkampungan-perkampungan kumuh di daerah perkotaan pasca merebaknya efek bawaan perubahan iklim.
Ketergantungan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan sumber daya perikanan pasca perubahan iklim menghadapi kesulitan berarti. Berkurangnya hasil tangkapan setali tiga uang dengan makin terhimpitnya pola penyesuaian mereka terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karenanya, pemerintah harus mengupayakan tiga hal penting, yakni mengembangkan sumber nafkah baru yang tidak bergantung pada hasil penangkapan, mewujudkan skema pendanaan yang fleksibel dengan kebutuhan nelayan, dan mengintensifkan program diversifikasi teknologi bagi nelayan.
Ketiga tahapan di atas tak berarti jika pemerintah menunda pencabutan Permen No.5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dan Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasalnya, kedua produk hukum ini terang-terangan menunjukkan ketidakpekaan pemerintah dalam merespons krisis kelautan dan perikanan yang tengah terjadi dan kebutuhan akan pengelolaan berbasis masyarakat dalam merespons dampak buruk perubahan iklim, bukan berbasis kluster usaha perikanan dan hak pengusahaan perairan pesisir.
Upaya menyejahterakan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam rangka meminimalkan efek bawaan perubahan iklim bakal terwujud jika keempat prinsip keadilan perikanan dijalankan dengan komitmen politik utuh. Keempat prinsip itu adalah: pertama, negara harus mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya ikan tanpa utang, dengan tetap memprioritaskan pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik; kedua, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap perairan tangkap tradisional; ketiga, negara harus memberikan dan menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusi nelayan sebagai warga negara maupun hak-hak khusus mereka sebagai nelayan tradisional; dan keempat, negara harus memahami kegiatan perikanan tradisional secara utuh, dengan memaknai bahwa keterlibatan perempuan nelayan dalam kegiatan perikanan merupakan unsur penting.
Dalam kondisi begini, laporan FAO (2009) yang menyebutkan bahwa, "24.000 nelayan meninggal di laut" seyogianya menjadi cerminan yang patut ditindaklanjuti dalam rupa kebijakan pusat-daerah yang melibatkan peran dan partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam menanggulangi 'mimpi buruk' perubahan iklim. Dengan jalan inilah, negeri ini tetap dikenang sebagai negeri kelautan terbesar di dunia.
Sumber Bacaan:
Adrian B. Lapian, 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu.
Riza Damanik, dkk., 2008. Menjala Ikan Terakhir: Sebuah Fakta Krisis di Laut Indonesia. Jakarta: WALHI.
Riza Damanik, dkk., 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. Jakarta: WALHI.
Riza Damanik, 2009. Gerak Mundur Kelautan Kita. Jakarta: KIARA. M. Riza Damanik dan Muhammad Karim, Perdebatan Belum Usai: Apakah Laut Penyerap atau Pelepas Karbon?. Jakarta: KIARA & COMMIT.
M. Riza Damanik adalah Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jakarta.
A Abdul Halim adalah Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA, Jakarta.