- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional (LKI) Bersekutu dengan Swasta untuk Mempromosikan Tanaman Transgenik (Genetically Moddified, GM)
Down to Earth Nr 49 Mei 2001
Perusahaan-perusahaan bioteknologi telah membentuk persekutuan yang kuat dengan bank-bank pembangunan multilateral, agen-agen PBB, pemerintahan negara maju di Utara, lembaga-lembaga penelitian, organisasi dana besar dan agen-agen “independen” untuk mempromosikan pertanian bioteknologi dan benih-benih transgenik (GM) di negara-negara berkembang. Jaringan kerja mereka meluas mulai dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB atau Food and Agricuture Organization (FAO) melalui lembaga-lembaga penelitian seperti Lembaga Penelitian Beras Internasional atau International Rice Research Institute (IRRI) sampai dengan pemerintahan-pemerintahan tingkat nasional yang mana tokoh-tokoh kunci dan lembaga penelitian menjadi target pelatihan dan kerjasama pendanaan.
Lembaga kunci mereka di wilayah Asia adalah International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA – Pelayanan Internasional untuk Akuisisi Penerapan Pertanian Biotek). ISAAA membangun citra diri sebagai “perantara jujur” dengan tugas membantu terbangunnya kerjasama bioteknologi antara sektor swasta di negara-negara maju di Utara dan sektor publik di negara-negara berkembang di Selatan. Dalam menjalankan kegiatannya, lembaga ini mendapatkan dukungan perusahaan-perusahaan biotek seperti Syngenta, Monsanto dan AgrEvo. Tidak ketinggalan juga USAID dan Yayasan Rockefeller di Amerika Serikat. Sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh koalisi LSM-LSM di Asia Tenggara tentang kegiatan-kegiatan ISAAA menyimpulkan bahwa “[m]elalui dukungan dan pembentukan elit-elit lokal, ISAAA bertugas memperlancar agenda yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan Transnasional, dengan mengatasnamakan kaum miskin di Asia.”
Di Indonesia, ISAAA memfasilitasi kerjasama antara Lembaga Penelitian Buah-Buahan, Lembaga Pusat Penelitian Tanaman Hortikultura dan perusahaan-perusahaan yang berbasis di Utara, termasuk di dalamnya adalah Monsanto dan Novartis (sekarang ini bernama Syngenta). Kerjasama tersebut berjalan dalam proyek pengembangan buah pepaya, kacang hijau dan tomat. Dalam struktur Dewan Pengurus ISAAA, masing-masing perusahaan memiiki orang yang mewakili kepentingan mereka. Sebagai contoh, salah seorang anggota dewan pengurus organisasi tersebut, yaitu Gabrielle Persley yang mewakili AusBiotech dari Australia, juga merupakan seorang penasihat Bank Dunia.
Selain cara di atas, ada pula cara-cara yang “lebih halus” untuk mengembangkan pertanian bioteknologi. Menurut informasi salah satu organisasi LSM dari Inggris,GeneWatch, Monsanto juga terlibat dalam kampanye skala global untuk mempromosikan makanan transgenik (GM) dengan mempengaruhi proses pemilihan para ilmuwan untuk menjadi anggota berbagai Komite Ilmiah Internasional. Dalam sebuah laporan internal perusahaan yang dibocorkan kepada GeneWatch, terungkap modus di mana perusahaan tersebut berusaha mempromosikan pandangan-pandangan mereka melalui orang-orang yang dianggap sebagai ilmuwan independen. Selain itu, mereka juga berupaya mendapatkan pengaruh dengan para pembuat kebijakan di dalam departemen pemerintahan negara-negara berkembang.
(ISAAA in Asia – Promoting corporate profits in the name of the poor – lihat juga boks informasi untuk keterangan lebih lengkap.
GMOs in brief 3/10/00 – www/ictsd.org/html/weekly/story7.03-10-00.htm).
Pepohonan Biotek Monfori Nusantara, salah satu anak cabang Monsanto, tengah mengembangkan "pohon super" untuk industri kehutanan, yang dinyatakan mampu mengatasi masalah kekurangan pasokan kayu di Indonesia. Benih-benih pohon jati, akasia dan pinus yang secara genetis identik sedang dibuat berdasarkan metode yang dilakukan dalam proses cloning atau kertas tisu. – suatu teknik bioteknologi yang berbeda dengan tanaman transgenik dalam pengertian bahwa pengolahan genetis pepohonan tersebut tidak berubah atau "direkayasa". Tujuannya adalah menghasilkan pepohonan "elit", mempercepat periode pertumbuhan dan meningkatkan jumlah pasokan pada pasar pengolahan kayu –termasuk pertumbuhan pasar kayu eko-label yang tidak ditebang dari hutan alam. Pabrik Monfori senilai 6.1 juta dolar di Parung, Bogor, didirikan pada tahun 1997 untuk menghasilkan sepuluh juta benih setiap tahunnya. Para LSM merasa prihatin bahwa penanaman pohon biotek akan lebih rentan terhadap penyakin dibandingkan tanaman monokultur biasa – yang memiliki daya tahan rendah di Indonesia. Lebih mendasar lagi, kebijakan kehutanan –termasuk ekstrasi kayu—membutuhkan perbaikan mendasar untuk mengatasi masalah-masalah struktural jangka panjang terhadap pemilikan hutan dan akses terhadap sumber daya hutan oleh masyarakat pedesaan. Meningkatkan pasokan kayu akan menguntungkan industri perkayuan yang bertanggungjawab atas perusakan hutan dan mengabaikan dimensi-dimensi sosial ekonomi penting bagi pengelolaan hutan. Pembentukan perkebunan kayu komersial, apapun jenis pohon yang ditanam—akan menyebabkan kebutuhan lahan dan menyingkirkan masayrakat pedesaan. Penyelesaian teknis dari Monsanto terhadap masalah pasokan kayu mungkin hanya akan memberikan keuntungan lebih besar bagi perusahaan. Namun cara tersebut juga berarti akan menciptakan pelanggaran-pelanggaran hak hak atas tanah serta marjinalisasi lebih lanjut rakyat pedesaan. Pepohonan transgenik (GM) –yang merupakan langkah lanjutan dari kloning—sedang diujicoba di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Selandia Baru dan kemungkinan juga Cina. Varietas tanaman yang sekarang ini sedang diuji adalah pepohonan buah-buahan dengan daya tolak terhadap hama, pepohonan yang akan mengurangi lignin yang akan memudahkan pengolahan bubur kayu lebih mudah untuk membuat kertas industri, pepohonan yang tahan serangan herbisida dan pohon yang lebih cepat menyerap karbon –yang akan digunakan sebagai "penyerap" karbon. Di Indonesia, terdapat isu bahwa pepohonan transgenik sedang dikembangkan, tetapi tidak ada informasi publik yang tersedia tentang masalah ini. Sebuah laporang yang dibuat oleh kelompok asal Inggris, Corner House, mengungkapkan persoalan-persoalan lingkungan dan sosial yang akan disebabkan oleh perkebunan pepohonan GMO, termasuk penyingkiran orang-orang dari lahan mereka dan "gene drift" terhadap pepohonan non-GMO melalui proses penyerbukan. |
Pertemuan Bank Dunia dengan CEO Biotech
Bank Dunia telah mengadakan serangkaian pertemuan yang bertujuan “Mengetahui pandangan-pandangan sektor swasta tentang cara bagaimana meningkatkan ketahanan pangan dan daya produksi yang berkelanjutan, baik dalam pengertian lingkungan maupun sosial kemasyarakatan.”
Pertemuan pertama dilaksanakan bersama Gordon Conway, yang mewakili Yayasan Rockefeller – sebuah lembaga yang turut memberi dana bagi ISAAA dan dan juga memberi sebagaian dana untuk upaya-upaya pengembangan tanaman-tanaman transgenik (GMO), termasuk beras “”emas”. (lihat uraian tentang beras emas). Sedangkan pertemuan kedua yang dilangsungkan pada bulan Desember 2000 melibatkan para pimpinan eksekutif tiga belas perusahaan-perusahaan agribisnis seperti Aventis, BASF, dan Bayer (Jerman); Merial (Inggris); Seminis (Meksiko) dan Mahyco (India). “Pokok utama” yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah pernyataan bahwa “penelitian dan ilmu pertanian, tidak hanya terbatas, tetapi juga termasuk bioteknologi ilmiah sebagai komponen kunci dalam mengatasi masalah ketahanan pangan.” Meskipun demikian, dinyatakan pula bahwa sektor swasta “nampaknya tidak bisa memenuhi semua kebutuhan penelitian pertanian di negara-negara berkembang.” Pertemuan itu juga membahas persoalan pembentukan kelompok kerja yang melibatkan “wakil para partisipan yang berkepentingan” dengan tujuan “menciptakan lingkungan yang mendukung” pelaksanaan “penilaian yang ilmiah tentang peluang dan resiko teknologi baru.” (Seminar Agricultural Science & Technology dengan Sektor Swasta – lihat boks informasi).
Beras "Emas" Beras ini telah mengalami perubahan genetis dengan memasukan vitamin A ke dalam beras tersebut (Beta-carotene). Para pemegang paten produk ini – termasuk Syngenta dan Monsanto—telah mengajukan produk ini sebagai jalan keluar kekurangan vitamin A di antara orang-orang miskin di Asia. Contoh-contoh pertama beras tersebut pada bulan Januari tahun ini telah dikirim dari Swiss kepada para peneliti di Filipina, meskipun terdapat penentangan yang keras terhadap upaya penerapan produk tersebut di Filipina. Indonesia kemungkinan akan menjadi target yang paling mudah. Menteri Pertanian M. Prakosa, mengatakan bahwa dalam bulan Agustus tahun lalu, departemennya akan menerapkan beras GMO jika para petani telah menerimanya melalui berbagai percobaan. Sebuah laporan terbaru dari LSM-LSM di Asia Tenggara dengan judul "Grains of Delusion: Golden rice seen from the Ground" mengungkapkan kelemahan-kelemahan serius dalam janji-janji yang diberikan pihak industri kepada para petani dan konsumen. Terdapat skeptisisme yang meluas terhadap pertanyaan apakah beras "emas" dapat mengatasi masalah kekurangan gizi, meskipun beras-beras tersebut memberikan kadar vitamin A yang tinggi, seperti yang dinyatakan oleh pembuatnya, atau apakah produk itu akan mengatasi masalah kemiskinan. |
Bioteknologi dan Kemiskinan
LSM-LSM dan kelompok-kelompok petani merasa sangat prihatin terhadap keterlibatan Bank Dunia dengan perusahaan-perusahaan di atas yang mendorong tekanan lebih besar terhadap pemerintahan negara-negara yang terbelit dengan hutang untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan pertanian nasional yang memberi peluang pengembangan pertanian biotek dan tanaman-tanaman transgenik (GMO). Monsanto dan lainnya mengklaim bahwa bahwa tanaman-tanaman transgenik dapat meningkatkan produksi dan meningkatkan hasil pangan yang lebih besar dari lahan yang ada. Mereka mengatakan pula bahwa tanaman-tanaman transgenik memiliki sifat keberlanjutan secara lingkungan. Argumentasinya, lahan yang digunakan untuk penanaman tanaman pangan tidak perlu diperluas. Dengan demikian, praktek ini akan mengurangi perusakan hutan dengan tidak tersentuhnya lahan hutan. Selain itu, tanaman itu juga direkayasa secara genetis untuk menahan penyakit-penyakit tanaman, sehingga mengurangi kebutuhan terhadap pestisida dan insektisida kimiawi. Kesimpulan logisnya, menurut industri tersebut, bahwa praktek tersebut akan menjadi jalan keluar terbaik terhadap masalah pasokan pangan secara global – serta kemiskinan - melalui intensifikasi pertanian melalui penerapan bioteknologi.
Meskipun demikian, terdapat penolakan yang luas terhadap pola berpikir dan argumentasi yang pada akhirnya lebih mengarah pada kontrol pemasokan pangan dunia oleh segelintir perusahaan-perusahaan multinasional. Kalangan LSM-LSM justru mempersoalkan asumsi-asumsi dasar tentang kemiskinan dan konsep keberlanjutan di balik argumen-argumen yang dilontarkan oleh industri bioteknologi. Persoalannya dikarenakan bahwa kemiskinan yang ada sekarang ini berakar pada masalah struktur sosial, politik dan ekonomi – seperti ketiadaan hak atas tanah bagi para petani. Oleh karena itu, “jalan keluar teknis” yang dikemukakan oleh industri biotek menjadi tidak layak. Bahaya dari penerapan bioteknologi terhadap para petani adalah - seperti juga dialami dalam penerapan kebijakan revolusi hijau pada tahun 1970-an - mereka akan semakin kehilangan otonomi lebih besar dan akan semakin tersingkirkan. Menurut kalangan LSM-LSM tersebut, proses pembuatan keputusan yang ada dalam tanaman biotek senantiasa bersifat dari atas ke bawah atau top-down. Proses penentuan benih-benih apa saja yang perlu direkayasa ditentukan sendiri oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Sedangkan penentuan tentang apakah benih-benih tersebut perlu ditanam ditentukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dari tingkat nasional sampai dengan lokal. Kalangan LSM itu menegaskan bahwa model pembangunan berkelanjutan yang sejati dan proses pengentasan kemiskinan haruslah dimulai dari bawah, atau bottom-up. Dengan demikian, proses pertama yang harus dilakukan adalah menanyai terlebih dahulu kepada para petani apa saja yang menjadi masalah-masalah utama mereka dan bagaimana jalan keluar yang menurut mereka layak diambil.
Minyak Goreng Transgenik Dewan BPPT bersama dengan Mistubishi dari Jepang dan pengusaha konglomerat Indonesia, Bakri, sekarang ini sedang mengembangkan sejenis minyak goreng transgenik. Mereka menyatakan bahwa produk itu akan mengurangi jumlah asam palmitic – suatu campuran kimiawi yang dicurigai sebagai penyebab peningkatan kadar kolestrol dalam tubuh. Dibutuhkan kurang lebih enam tahun sebelum produk tersebut menjadi produksi komersial, dengan uji coba lapangan dimulai selama dua tahun. Pengumuman tersebut dinyatakan pada seminar tentang keragaman hayati dan penerapan bio-teknologi di bidang pertanian yang diorganisir oleh BBPT dan badan pemberi dana Jepang, JICA, pada bulan Maret. |
Menurut Riza Tjahjadi dari PAN Indonesia, tanaman-tanaman transgenik tidak dengan serta merta akan meningkatkan pendapatan petani. “Kita bisa melihat ini karena masalah “alur usaha” para petani skala kecil di Indonesia terbukti tidak mengalami peningkatan sejak diterapkannya kebijakan Revolusi Hijau. Kebijakan itu sendiri telah memfokuskan diri pada upaya peningkatan hasil panen beberapa tanaman tertentu. Dalam kenyataan, kita tetap menghadapi pertandingan tidak seimbang ketika orang hanya berpikir tentang target dan teknologi pertanian sebagai jalan keluar. Para petani menelan begitu saja retorika yang diberikan kepada mereka, sementara itu, peningkatan kesejahteraan terbukti tidak berjalan.” (Dikutip dari “Grains of Delusion”. Lihat boks beras “emas”).
Pertanian ‘Berkelanjutan’
Studi-studi yang dilakukan oleh Centre for Environment and Society di Universitas Essex, Inggris, menemukan bahwa metode pertanian berkelanjutan memiliki potensi yang besar untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan penduduk secara global. Apa yang dimaksud sebagai “pertanian berkelanjutan” adalah suatu “cara memanfaatkan barang-barang alamiah dan jasa yang tidak merusak lingkungan” dan “memanfaatkan pengetahuan serta ketrampilan para petani yang pada akhirnya meningkatkan kemandirian dan kemampuan mereka.” Cara ini juga memanfaatkan penggunaan secara produktif “modal sosial” – yaitu kemampuan orang untuk bekerja bersama dalam memecahkan permasalahan seperti hama, banjir, irigasi dan manejemen hutan dan kredit.
Database CES tentang pertanian berkelanjutan – suatu hasil penelitian skala dunia tentang pertanian berkelanjutan - memasukan system Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Indonesia. Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1986 pada masa kekuasaan Suharto memperluas dalam upayanya menjaga swasembada beras pada saat perawatan kimiawi terhadap tanaman gagal menghadapi masalah hama. Pada saat yang sama, 56 merek pestisida dilarang untuk digunakan dalam pertanian padi dan Sekolah-Sekolah Pertanian Lapangan PHT (SPLPHT) dibentuk. Hasil program-program tersebut cukup menggembirakan karena telah mendorong hasil tanaman padi yang lebih tinggi dan mengurangi kebutuhan akan pestisida. CES juga melaporkan bahwa “[k]ebanyakan SPLPHT telah berlanjut menjadi kelompok-kelompok petani SPLPHT yang aktif, mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas persoalan pertanian; memantau hama dan predator lainnya di desa mereka; melakukan kampanye pengontrolan tikus; memperluas kegiatan SPLPHT ke desa-desa tetangga; dan menjalankan program-program kredit dan tabungan.” Program tersebut didanai oleh Bank Dunia, FAO dan USAID.
Di Asia, Afrika dan Amerika Latin, CES memperkirakan bahwa pertanian berkelanjutan yang ada sekarang ini sedikitnya tinggal 3% dari tanah yang digunakan untuk tanaman keras dan tanaman semusim. Studi itu menemukan peningkatan yang cukup berarti dalam produksi pangan, menunjukkan “potensi luar biasa lahan pertanian kecil, dan tingkat sejauh mana mereka bisa meningkatkan ketahanan pangan.”
(Guardian 17/Jan/01; CES homepage: www2.essex.ac.uk/ces/ResearchProgrammes/ListofResProgs.htm)
Hibrida Anak perusahaan Monsanto, PT Monagro juga terlibat dalam pengembangan beraneka ragam benih-benih hibrida, yang diuji dan dijual kepada para petani. Pada bulan Desember tahun lalu, dilaporkan bahwa enam hektar uji coba jagung hibrida C-5 di Rawa Sekip, sebuah wilayah transmigrasi di Propinsi Riau, telah dilaksanakan dengan berhasil dan akan diterapkan dalam skala yang lebih luas. Meskipun jenis tanaman hibrida tidak menunjukkan potensi resiko terhadap keragaman hayati apabila dibandingkan dengan tanaman-tanaman transgenik (GMO), persoalan yang sama tetap muncul berkaitan dengan masalah kontrol terhadap benih dan penerapan pilihan para petani. Dengan penanaman hibrida, para petani tidak dapat menyimpan benih dari tanaman-tanaman yang sebelumnya mereka tanam untuk masa tanam selanjutnya seperti yang biasa mereka praktekan dalam penggunaan beragam jenis benih tradisional. Dengan demikian, para pemasok benih (dalam kasus ini adalah perusahaan multinasional) berada dalam posisi yang menentukan dalam proses kontrol dan membiarkan para petani kehilangan otonominya. Penanaman satu varietas tanaman dalam suatu lahan yang luas juga meningkatkan resiko terhadap penyakit. Hal ini justru akan menempatkan para petani dalam posisi yang semakin rentan dibandingkan jika mereka menanam jenis tanaman yang lebih beragam di lahan mereka. |