- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Masyarakat Adat dan Kawasan Lindung - Kemenangan dalam tingkat global
Down to Earth Nr 59 November 2003
Dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003, gerakan masyarakat adat mengalami kemajuan pesat. Lebih dari 130 wakil-wakil masyarakat adat menghadiri pertemuan besar tersebut. Pertemuan itu sendiri dilaksanakan oleh IUCN yang mengumpulkan organisasi-organisasi konservasi setiap sepuluh tahun sekali.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat adat dalam kongres itu menekankan fakta bahwa hak-hak mereka yang telah diakui secara tradisional 'secara sistematis telah dilanggar di kawasan-kawasan lindung, termasuk hak hidup.” Pernyataan ini mengacu pada kebijakan membangun kawasan rlindung yang mengabaikan rakyat. Kebijakan itu bahkan terkadang dilakukan dengan kekerasan dengan cara memindahkan secara paksa penduduk, atau menempatkan mereka dalam suatu wilayah dengan batasan ketat penggunaan sumber daya alam dan tanah.
Pernyataan yang dikeluarkan menegaskan: “Masyarakat Adat adalah pemilik hak, bukan sekedar rekanan.” Wakil-wakil masyarakat adat berhasil melakukan tekanan untuk mendapat pengakuan tentang hak-hak mereka dan kawasan-kawasan lindung yang diusulkan.
Kongres itu telah menyepakati Rencana Aksi dengan target yang kongkrit serta kebijakan untuk mencapai apa yang disebutnya sebagai 'paradigma baru untuk kawasan-kawasan rlindung.” Kongres itu juga mengadopsi sejumlah Rekomendasi berkaitan dengan Masyarakat Adat, termasuk dalam pasal 5.24 tentang Masyarakat Adat dan Kawasan-kawasan Lindung. Termasuk di dalam pasal itu adalah rekomendasi-rekomendasi bahwa pemerintah, organisasi-organisasi intra-pemerintah, ornop, komunitas lokal dan masyarakat sipil, harus:
- MENJAMIN bahwa kawasan lindung yang sekarang ini ada dan yang akan dibuat kemudian akan menghargai hak-hak masyarakat adat;
- MENGHENTIKAN pemukiman dan pengusiran paksa masyarakat adat dari tanah mereka dalam kaitannya dengan kawasan lindung, juga pemaksaan penghentian mobilitas masyarakat adat;
- MENJAMIN bahwa pembentukan kawasan lindung didasarkan pada persetujuan tanpa paksaan (prior informed consent) dari masyarakat adat, selain juga didasarkan pada perhitungan dampak sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang pelaksanaannya melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat;
- MENERAPKAN undang-undang dan kebijakan yang mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat adat terhadap tanah nenek moyang dan sumber mata air...”
Ganti Rugi
Rekomendasi 5.24 juga memasukkan usulan yang diajukan kelompok-kelompok masyarakat adat dan diterima oleh Kongres, untuk membahas masalah ketidak adilan pada masa lampau, dengan pembentukan:
“mekanisme-mekanisme partisipatoris untuk ganti rugi lahan-lahan masyarakat adat, wilayah dan sumber daya mereka yang telah diambil untuk kawasan lindung tanpa kesepakatan sukarela ataupun persetujuan mereka, serta menyediakan kompensasi yang layak dan adil yang didasarkan pada cara-cara yang layak secara budaya dan transparan.”
Selain juga pembentukan:
“Komisi Kebenaran dan Rekonsialisi tingkat tinggi yang mandiri tentang Masyarakat Adat di kawasan-kawasan lindung.”
Jika rekomendasi itu diterapkan maka ia akan memberikan pengaruh besar bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di Indonesia yang hidup mereka telah dirusak oleh penerapan taman-taman nasional dan kawasan lindung lainnya. Namun, kendala utama penerapan kebijakan itu di Indonesia tetap saja disebabkan oleh kegagalan pemerintah untuk mengakui secara layak hak-hak ulayat masyarakat adat dan sumber daya mereka. Ujian sesungguhnya bagi badan-badan konservasi yang bekerja di Indonesia adalah apakah mereka akan mengakui hak-hak adat, serta menjalankan kebijakan-kebijakan yang mengungkap ketidak adilan pada masa lalu berdasarkan klaim-klaim hak adat. Atau sebaliknya, apakah nantinya mereka malah menerapkan pilihan yang secara politik 'aman' dengan memberikan konsesi-konsesi kepada masyarakat adat yang tidak akan bertentangan dengan posisi pemerintah Indonesia.
Pertambangan di Kawasan Lindung Para eksekutif utama perusahaan-perusahaan pertambangan, gas dan minyak, termasuk Shell, BP dan mantan ketua Rio Tinto, Sir Robert Wilson, telah ikut ambil bagian dalam diskusi panel WPC mengenai kawasan-kawasan lindung dan industri-industri ekstraktif. Ini adalah bagian dari inisiatif sekretariat IUCN untuk mengadakan diskusi formal dengan industri-industri ekstraktif-sebuah langkah yang ditentang oleh beberapa anggota IUCN seperti ornop dan kelompok masyarakat adat. Dalam pernyataan penutupan mereka di kongres tersebut, wakil-wakil masyarakat adat mengatakan: "Lobi pihak-pihak pertambangan terus menerus menolak usulan bahwa mereka seharusnya menghargai hak kami untuk mengatakan Tidak. IUCN seharusnya mendengar tuntutan ini. |
Rakyat dan Taman Nasional
Dalam laporan terbaru yang disusun oleh WRM dan FRP berjudul “Salvaging Nature, Indigenous Peoples, Protected Areas and Biodiversity Conservation,” terdapat analisis mengenai ketegangan antara kebijakan konservasi dan hak-hak masyarakat adat.
Laporan itu menjelaskan bahwa sejak tahun 1990-an, organisasi-organisasi konservasi telah mencoba melanjutkan penerapan suatu model konservasi keragaman hayati negara-negara Utara. Sementara itu, pada saat bersamaan mereka juga berupaya mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan masyrakat adat yang memiliki, menggunakan atau mengklaim mayoritas lahan-lahan yang dijadikan wilayah konservasi di negara-negara dunia ketiga. Upaya-upaya tersebut-dengan hanya menunjukkan sedikit keberhasilan-terdiri dari pembentukan kebijakan wilayah penyangga, pembentukan cagar alam dan lingkungan manusia, pemberian kesempatan kerja bagi masyarakat lokal sebagai penjaga hutan dan juga pemandu ekowisata dan upaya yang terbaru adalah manajemen bersama kawasan-kawasan rlindung dengan komunitas-komunitas lokal.
Laporan itu mendokumentasikan adopsi secara bertahap, yang terjadi sejak tahun 1970-an, bahasa baru yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi konservasi dengan memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat sesuai dengan hukum internasional. Laporan itu menegaskan bahwa prinsip-prinsip baru itu-dalam berbagai kasus-belum diterapkan dalam praktek. Argumentasi ini didasarkan pada bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Forest People Programe selama lebih dari tujuh tahun dalam berbagai konferensi di Amerika Latin, Asia Tenggara, Afrika Selatan dan Tengah. Dalam konferensi tersebut terungkap berbagai kasus yang disampaikan secara langsung oleh komunitas-komunitas adat tentang pengalaman mereka tinggal di kawasan-kawasan lindung.
Laporan itu juga mengritik organisasi-organisasi konservasi besar di dunia dan menguraikan bagaimana keterkaitan pencarian dana (fundraising) dan hubungan-hubungan keuangan dengan perusahaan lebih menjadi prioritas dibandingkan penerapan komitmen mereka untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.
Salvaging Nature mengidentifikasikan sejumlah kendala serius yang muncul seiring dengan upaya pengakuan secara efektif hak-hak masyarakat adat dalam praktek konservasi sebagai berikut:
- Sikap diskriminatif yang kental dalam lingkungan nasional terhadap masyarakat adat;
- Tidak adanya inisiatif pembaharuan terhadap kebijakan-kebijakan dan produk hukum pemerintah berkait dengan masyarakat adat (khususnya di Asia dan Afrika yang mana pemerintahan mereka telah menerapkan kebijakan integrasi dan asimilasi masyarakat adat);
- Undang-Undang dan kebijakan nasional yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengelola lahan mereka;
- Undang-Undang dan kebijakan-kebijakan konservasi nasional yang didasarkan pada prinsip lama kebijakan konservasi yang menyingkirkan masyarakat adat;
- Kurangnya pelatihan staf dan kemampuan badan-badan konservasi serta ornop untuk bekerja dengan komunitas (cabang-cabang nasional badan-badan konservasi besar kemungkinan besar tidak mendapatkan informasi mengenai kebijakan-kebijakan dan prinsip-prinsip baru yang berlaku dalam lingkungan internasional)
- Kegagalan badan-badan konservasi asal Amerika Serikat untuk menerapkan kebijakan bagi masyarakat adat.
Salah satu kesimpulan utama dalam laporan itu adalah perlunya tindakan segera dari para pemimpin dalam lingkungan konservasi untuk memperhitungkan persoalan-persoalan masyarakat adat.
“Sekarang ini adalah saatnya bagi badan-badan konservasi untuk memulai pekerjaan mereka di lingkungan hunian masyarakat adat berdasarkan asumsi bahwa mereka sedang berurusan dengan orang yang memiliki hak sah untuk memiliki dan menguasai sumber daya alam mereka.”
Meskipun demikian, terdapat juga peringatan terhadap gagasan yang menyatakan bahwa apabila suatu wilayah berada dalam kepemilikan dan kontrol masyarakat adat, maka semua persoalan akan selesai. Komunitas-komunitas masyarakat adat menyadari bahwa tekanan dari luar dan perubahan-perubahan dalam sistem ekonomi dan organisasi sosial mereka menuntut mekanisme-mekanisme baru untuk mengawasi dan menggunakan sumber daya mereka secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, dukungan dari luar tetap dibutuhkan. Namun, bantuan ini harus muncul dalam bentuk kemitraan dan bukan upaya untuk mengambil alih kontrol. Seperti yang dikemukakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Hutan-Hutan Tropis pada tahun 1996:
”Masyarakat adat mengakui bahwa keahlian yang dimiliki organsiasi konservasi tetap dibutuhkan untuk pengembangan diri mereka dan juga berupaya menciptakan hubungan yang saling menguntungkan atas dasar rasa saling percaya, transparansi dan akuntabilitas.”
(Sumber: The Durban Action Plan (Rencana Aksi Durban), World Park Congress. Lihat The Indigenous People's Declaration to the Vth World Park Congress, Durban, 8-17 September 2003, Sidang Penutupan WPC 8-17 September - Pernyataan Masyarakat Adat; Salvaging Nature)
Masyarakat Adat Menginginkan Ganti Rugi atas hilangnya hutan mereka Dalam Kongres Hutan Dunia ke XII pada bulan September lalu di Quebec, masyarakat-masyarakat adat telah menyerukan tuntutan ganti rugi dan kompensasi atas pencabutan hak-hak mereka serta hilangnya hutan. Tuntutan itu adalah bagian dari Wendake Action Plan (Rencana Aksi Wendake) yang disusun Forum Hutan Masyarakat Adat dalam Kongres Kehutanan. Untuk informasi lebih lengkap, lihat www.forestpeoples.org |
Salvaging nature, Indigenous Peoples, Protected Areas and Biodiversity ConservationOleh Marcus Colchester |