- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Megaproyek Perbatasan
Down to Earth Nr 68 Februari 2006
Pemerintah mengumumkan rencananya kepada pers untuk membangun perkebunan sepanjang perbatasan Indonesia – Malaysia, meskipun muncul kekhawatiran dari kalangan Ornop Indonesia dan Internasional dan para peneliti kehutanan serta para donor.
Ornop Indonesia Greenomics menyatakan bahwa pada bulan Februari, Kalimantan Timur telah mengalokasikan lahan seluas 215.000 hektare di tiga kabupaten sebagai bagian dari perkebunan itu. Area tersebut mencakup 17.000 hektare perkebunan rakyat yang didanai oleh pemerintah. Kalimantan Barat tidak mengumumkan rencananya kepada publik.
Luas keseluruhan perkebunan yang akan mencakup 1,8 juta hektare diperkirakan akan menelan investasi sekitar Rp6,45 triliun (sekitar US$645 juta), 98 persen diantaranya didanai oleh investor swasta.
Organisasi pelestarian alam khawatir bahwa megaperkebunan ini akan berdampak serius paling tidak terhadap dua taman nasional di sepanjang perbatasan Malaysia - Betung Kerihun in Kalimantan Barat dan Kayan Mentarang. WWF telah melansir kampanye 'Heart of Borneo' mereka untuk melindungi 22 juta hektare area perbatasan beberapa bulan sebelum proyek perkebunan itu diumumkan tahun lalu.
Pada lokakarya akbar 'Heart of Borneo' yang diadakan di Jakarta bulan Desember, Menteri Kehutanan MS Kaban mengumumkan bahwa dia tidak akan mengijinkan pengalihan fungsi hutan untuk skema perkebunan apapun di sepanjang perbatasan, meskipun para investor menghendaki untuk memanfaatkan lahan gundul, menanami kembali 40%-nya dengan tanaman komersial – termasuk kelapa sawit – dan menghutankan kembali sisanya. Hak konsesi diberikan untuk jangka waktu 25-35 tahun dan setelah itu perusahaan harus memulihkan area yang mereka gunakan untuk perkebunan.
Menteri Pertanian, Anton Apriantono, juga mengatakan kepada pers pada awal Februari bahwa pemerintah akan menggunakan 'tanah yang terlantar' untuk ditanami kelapa sawit di sepanjang perbatasan Kalimantan. "Terdapat sekitas 2 juta hektare lahan seperti itu, dan itu yang akan kami prioritaskan," katanya. Organisasi masyarakat adat di Kalimantan Barat khawatir yang dimaksud pemerintah itu adalah "lahan tidur" seluas 1,5 juta hektare termasuk lahan adat luas yang merupakan tanah bera (lahan yang sengaja dibiarkan tidak ditanami untuk pemulihan kesuburannya) sebagai bagian dari pola pengolahan tanah tradisional.
Perbukitan curam yang terdapat di banyak bagian perbatasan Kalimantan terlalu terjal atau tinggi untuk perkebunan sawit. Sebuah studi CIFOR menunjukkan bahwa 200 tempat di kabupaten Malinau Kalimantan Timur tidak cocok ditanami kelapa sawit. Sejumlah besar infrastruktur mahal, yang berupa jalan, juga akan dibutuhkan untuk mengakses daerah terpencil ini. Studi dari Greenomics menyebutkan bahwa motif sesungguhnya dari proyek ini bagi investor bisa jadi adalah kayu yang dihasilkan dari pembersihan lahan, yang nilainya diperkirakan Rp237,8 triliun (US$23,78 juta). Faktor lain yang mendorong megaproyek ini adalah prospek memasok minyak sawit dalam jumlah besar untuk biodiesel, ditengah kemarahan publik atas kenaikan harga BBM.
(Sumber: Jakarta Post 1/Des/05, 9/Des/05, 28/Des/05; Bisnis Indonesia 7/Feb/06)