- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Mengenang Abah Nawi, pemimpin adat yang memberi inspirasi
Down to Earth Nr 68 Februari 2006
Afnawi Noeh, yang biasa dipanggil dengan Abah Nawi, pemimpin Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia BPRPI, meninggal dunia pada bulan Februari 2006 di usia 69 tahun. Ia bersama keluarganya berjuang untuk pengakuan hak atas tanah untuk petani di Sumatra Utara selama lebih dari 50 tahun.
Abah adalah anggota terkemuka dari gerakan masyarakat adat Indonesia, menghadiri konferensi pengukuhan AMAN di tahun 1999 dan menjadi anggota Dewan. BPRPI sekarang bertindak sebagai sekretariat AMAN di Sumatra, serta sebagai anggota dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, WALHI. Sebelum ia meninggal, Abah tengah menyiapkan konggres ke tujuh BPRPI, di bulan April 2006.
Sejak setahun lalu, Abah juga hadir dalam Dewan Penasihat Provinsi Sumatra Utara untuk Partai Persatuan Pembangunan.
Tahun lalu, Abah adalah anggota delegasi AMAN ke PBB. Pernyataan mereka kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB di bulan Maret yaitu, "Masyarakat adat telah diabaikan serta dilanggar hak-hak mereka oleh negara dan aparaturnya, termasuk perampasan tanah adat yang menjadi milik BPRPI oleh perusahaan milik negara di Deli Serdang...".
Banyak dari pekerjaan BPRPI berkenaan dengan 350.000 hektare tanah adat, yang dikontrak oleh Belanda sejak abad 19 untuk perkebunan tembakau dari Sultan Deli (sebagai wakil dari masyarakat setempat). Namun, setelah kemerdekaan, hak masyarakat tidak pernah diakui oleh pemerintah Indonesia. Selama bertahun-tahun, area tanah yang terus diperebutkan itu telah menyusut. Ketika peraturan membolehkan investasi asing pada perusahaan negara mulai masuk, beberapa lahan sudah dijual - terutama kepada perusahaan Jepang dan Korea. Sebagian lainnya diambil alih oleh industri dan tidak lagi cocok untuk pertanian. Kini lebih kurang 40.000 hektare lahan masih dalam perselisihan.
Tanah adat dimiliki secara komunal, bukan individual, oleh komunitas adat yang tinggal antara sungai Wampu dan sungai Ular yang kini menjadi bagian dari kota Medan, Kabupaten Langkat, Bijai, Deli dan Serdang. Selama masa kolonial, tembakau ditanam pada suatu tempat selama tujuh tahun, kemudian perkebunan berpindah ke desa lain. Ketika petak lahan mereka ditanami tembakau, penduduk desa berpindah ke desa tetangga - kadang lebih jauh lagi. Relokasi yang konstan ini tidak menimbulkan masalah serius karena terjadi dalam satu wilayah adat sehingga struktur adat masih dapat terjaga. Selalu tersedia lahan yang mencukupi bagi penduduk untuk meningkatkan hasil panen beras atau sayuran - tergantung kondisi tanahnya.
Sistem tersebut benar-benar kacau pada akhir tahun 1960-an, ketika pemerintah Soeharto membagi-bagikan tanah kepada perusahaan dan industri dengan Hak Guna Usaha (HGU) selama 35 tahun atau lebih. Masyarakat adat menjadi tidak lagi punya akses pada tanah adat mereka. Maka terjadilah konflik antara masyarakat dengan 'pemilik baru'.
BPRPI kini bekerja bersama 67 komunitas (kampong) dan memiliki keanggotaan ribuan petani. Di Langkat misalnya, BPRPI punya anggota 17 kampong dengan masing-masing terdiri dari 100-700 keluarga. Organisasi ini mendapatkan pemasukan mereka terutama dari komunitas yang bisa bertani. Kontribusi mereka menyokong perjuangan dan juga menggalang solidaritas, misalnya dengan membayar biaya rumah sakit bila ada anggota mereka yang sakit. Struktur organisasi juga didasarkan pada hukum adat: pemimpin adat dari tiap kampong memilih wakil daerah. Ada pengurus umum, (sampai 6 Februari dijabat Abah Nawi), dan Dewan Adat dengan wakil dari tiap kampong yang mengurusi organisasi.
Kebanyakan tanah komunitas diambil alih oleh perusahaan perkebunan milik negara PTP IX, yang kemudian menjadi PT Perkebunan Nasional II. Beberapa jenis tembakau asli diganti dengan tanaman tebu. Sekarang, sebaliknya, tebu tengah diganti dengan tanaman kelapa sawit. Anggota BPRPI menebangi tanaman kelapa sawit di beberapa tempat karena, tidak seperti tembakau, kelapa sawit punya masa tanam 20-30 tahun, waktu dimana masyarakat tidak bisa menggarap tanah mereka. Terdapat beberapa kasus dimana masyarakat membabati perkebunan milik perusahaan, tanaman tebu, kakao atau kelapa sawit agar mereka bisa menanam tanaman mereka sendiri, dan para pendukung BPRPI dari desa lain - termasuk Abah Nawi - telah menjadi sasaran perlakuan brutal dari petugas keamanan dan ditahan selama beberapa bulan, kadang tanpa proses pengadilan.
Contoh yang paling baru adalah kasus dari Tanjung Morawa dimana anggota BPRPI mengambil alih kembali tanah 6 tahun lalu, setelah perginya perusahaan perkebunan milik negara. Tiga puluh empat keluarga tinggal dan bercocok tanam di sana. Kini seorang pengusaha mengklaim telah membeli tanah tersebut untuk dibangun gudang. Ia telah mengusir seluruh penduduk, mendirikan pagar tinggi di sekeliling area tersebut dan memakai preman lokal untuk menjaganya. Keluarga yang merasa para preman telah merampas harta milik mereka lalu merobohkan pagar tersebut. Akibatnya 3 orang ditahan, termasuk seorang perempuan dan kini menghadapi tuntutan kriminal atas perusakan. Warga kampong lainnya tidak punya akses terhadap tanah ataupun tanaman mereka.
Pengadilan melarang para petani untuk membongkar pagar sampai dengan turunnya putusan pengadilan, maka mereka menggunakan tangga untuk memanjat pagar itu. Respon dari si pengusaha adalah memperkuat dan meninggikan pagar - kini tingginya 4 meter - dan menghancurkan sebagian besar rumah yang berada di dalam pagar. Dalam keputusasaan, beberapa petani membuat terowongan di bawah pagar "seperti kelinci" dan menempati kembali dua rumah yang tersisa. Abah Nawi berangkat ke Jakarta pada bulan Desember untuk membela orang-orang tersebut dari tuduhan kriminal karena ingin menggunakan tanah dan rumah mereka. Persengketaan tanah yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Sebetulnya, BPRPI menginginkan seluruh 350.000 hektare tanah adat milik para anggotanya diakui oleh pemerintah. Namun, saat ini yang sudah dipersiapkan adalah pengakuan hak atas tanah adat seluas 40.000 hektare. BPRPI tidak tertarik untuk bernegosiasi tentang kapling tanah bagian demi bagian karena bertentangan dengan sifat komunal tanah-tanah adat mereka. Sebagai contoh, anggota BPRPI mengadakan demonstrasi di luar kantor gubernur dan DPRD provinsi Sumatra Utara di bulan April 2005 untuk menolak tawaran tanah 450 hektare. "Kami tidak sekedar meminta tanah; kami menghendaki pengembalian tanah adat kami, atau paling tidak pengakuan atas hak-hak adat kami, mulai sungai Wampu di Langkat sampai sungai Ular di Deli Serdang", kata putra bungsu Abah Nawi. Monang seorang sarjana pertanian yang berusia dua puluh-an, adalah salah satu anggota BPRPI yang berencana untuk meneruskan jejak langkah Abah Nawi dan melanjutkan perjuangan beliau demi keadilan.
(Lebih lanjut tentang BPRPI, lihat DTE 63)