- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Tema
Kawasan
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Negara Mangkir
DTE 99-100, Oktober 2014
Oleh Mia Siscawati [1]
Artikel ini dipersiapkan untuk Komnas HAM sebagai sebagian Inkuiri Nasional Komnas HAM Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayah di Dalam Kawasan Hutan.[2]
Banang adalah gadis cilik berusia sepuluh tahun yang tinggal di sebuah rumah betang (rumah panjang) di sebuah kampung adat di pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saat ini ia duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Cita-citanya sungguh mulia: ingin menjadi guru. Sahabat Banang bernama Galu, seorang gadis cilik yang bertetangga pintu dengan Banang di rumah betang, ingin menjadi bidan. Namun, jalan penuh liku menghadang Banang dan Galu dalam menggapai cita-cita mereka. Bukan tidak mungkin langkah mereka terhenti setelah menyelesaikan sekolah dasar. Kakak-kakak perempuan mereka hanya berpendidikan sekolah dasar dan menikah pada usia sangat muda. Ketika seusia Banang dan Galu, mereka punya cita-cita tinggi. Namun apa daya, berbagai rintangan menjegal mimpi mereka. Sekolah menengah terdekat berjarak tempuh enam jam perjalanan pulang pergi setiap hari. Walaupun pihak sekolah tidak memungut biaya, keluarga mereka terlalu miskin untuk membayar biaya perjalanan maupun biaya indekos. Keluarga mereka juga tidak siap melepas anak-anak perempuannya melanjutkan pendidikan karena berbagai alasan. Tradisi menikahkan anak-anak perempuan di usia sangat muda kembali terulang. Masa depan serupa menghadang Banang dan Galu.
Orangtua Banang dan Galu, juga orangtua gadis-gadis cilik lain sahabat mereka berdua, harus berjuang melawan kemiskinan dan kerasnya kehidupan di kampung halaman mereka sendiri. Sebuah kampung adat yang sesungguhnya memiliki sumberdaya hutan dan kekayaan alam lain yang cukup berlimpah, yakni hutan rimba, kebun-kebun tua, termasuk tembawang (kebun campur berisi beragam jenis pohon buah dan pohon berkayu lainnya), kebun-kebun karet, ladang, kebun sayur, dan sungai. Sumber-sumber agraria tersebut telah dikelola warga kampung sejak beberapa generasi terdahulu dan menjadi sumber-sumber kehidupan. Pengetahuan lokal, tradisi dan hukum adat menjadi pijakan pengaturan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan tersebut. Perempuan-perempuan di kampung tersebut memiliki pengetahuan tersendiri dan peran penting dalam mengelola sumber-sumber kehidupan. Namun demikian, warga tidak memiliki kuasa atas sumber-sumber kehidupan.
Negara menetapkan seluruh wilayah hidup masyarakat adat di kampung tersebut sebagai kawasan hutan negara yang berfungsi sebagai hutan produksi. Kementrian Kehutanan memberikan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (dahulu dikenal sebagai Hak Pengusahaan Hutan/HPH) kepada perusahaan. Seiring berjalannya waktu, ijin telah diberikan kepada beberapa perusahaan yang berbeda. Kedatangan perusahaan-perusahaan pembalak hutan mengubah tatanan kehidupan di kampung tersebut. Warga perempuan dan laki-laki tidak dapat mengolah ladang, berbagai jenis kebun, dan sumberdaya hutan yang terdapat dalam cakupan wilayah adat mereka seperti sedia kala. Akibatnya, ladang-ladang mereka tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Kerusakan hutan akibat pembalakan oleh pihak perusahaan membuat para perempuan mengalami kesulitan untuk mencari berbagai tanaman hutan yang merupakan bahan pangan dan obat-obatan. Mereka tidak bisa lagi mengakses kebun-kebun mereka sendiri, termasuk kebun karet, kebun campur berisi berbagai pepohonan yang diambil buah maupun kayunya. Kebun-kebun tersebut sebelumnya merupakan sumber keuangan keluarga. Kehidupan semakin sulit ketika anggota keluarga jatuh sakit dan memerlukan biaya pengobatan. Sebagian keluarga mulai terlilit hutang pada rentenir yang datang dari luar kampung. Tertutupnya akses atas ruang hidup beserta sumber-sumber kehidupan di dalamnya serta kerusakan lingkungan yang terjadi menjerumuskan warga kampung dalam jerat kemiskinan. Para perempuan dari keluarga miskin, termasuk perempuan kepala keluarga, remaja dan anak perempuan memiliki posisi lebih rentan. Gadis-gadis muda dan anak-anak perempuan dari keluarga-keluarga miskin juga rentan terhadap bujukan untuk merantau keluar kampung menjadi pekerja anak. Mereka juga berisiko menjadi korban perdagangan perempuan dan anak yang mulai marak terjadi.
Untuk bertahan hidup sebagian laki-laki dewasa bekerja menjadi buruh murah bagi perusahaan tersebut, sebagian pergi merantau untuk mencari nafkah, dan sebagian lainnya mengadu nasib dengan mencoba menjelajah jauh ke tengah rimba untuk mengais hasil hutan bukan kayu yang masih tersisa. Kepergian para laki-laki dalam jangka waktu panjang menambah beban para perempuan. Situasi semakin rumit ketika warga mulai sering bersitegang dengan pihak perusahaan. Persitegangan tersebut berkembang menjadi konflik yang direspon oleh pihak perusahaan dengan pendekatan kekerasan yang mengancam keselamatan warga kampung tersebut. Kemiskinan dan berbagai ketidakadilan sosial yang mengiringinya, berbagai tradisi penomorduaan dan peminggiran perempuan yang dilanggengkan oleh dua hal tersebut, serta konflik agraria menempatkan perempuan, termasuk remaja dan anak perempuan, dalam posisi yang lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender.
Kisah serupa, dengan berbagai variannya, tersebar di banyak wilayah adat di tanah air yang ditetapkan secara sepihak sebagai hutan negara dan penguasaannya berada di tangan Kementrian Kehutanan. Data identifikasi desa hutan yang dikeluarkan Kementrian Kehutanan pada tahun 2007 (meliputi 15 propinsi) dan tahun 2009 (meliputi 17 propinsi yang lain) menunjukkan total jumlah desa yang berada di dalam kawasan hutan negara sebanyak 25.863 desa. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Pada bulan April 2013, Menteri Kehutanan menyatakan bahwa 21 persen masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat miskin. Namun demikian, tidak terjadi perubahan berarti dalam kebijakan terkait hutan dan kehutanan. Sembilan puluh tujuh persen ijin pengelolaan hutan negara berada di tangan korporasi.
Periksalah secara mendalam data statistik di wilayah-wilayah yang kaya (atau yang sebelumnya kaya) akan sumberdaya hutan, namun penguasaan atas tanah, wilayah, serta sumber-sumber kehidupan di dalamnya berada di tangan negara dan pengelolaannya berada di tangan korporasi atau institusi pemerintah. Sebagian besar wilayah tersebut tidak hanya memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, tapi juga tingkat pendidikan yang rendah, dan tingkat kesehatan yang rendah. Data statistik tentang pendidikan dan kesehatan tahun 2012 di kabupaten di mana kampung halaman Banang dan Galu menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah di sana adalah 7,18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa warga kabupaten tersebut hanya bersekolah sampai kelas 1 SMP. Masih terdapat 6,65 persen warga berusia di atas 10 tahun yang buta huruf. Tingkat buta huruf perempuan di atas usia 10 tahun lebih tinggi dibanding laki-laki pada kelompok usia yang sama. Data statistik tahun yang sama (2012) menunjukkan bahwa persentase penduduk perempuan yang kawin muda masih cukup tinggi, yakni 30,34 persen untuk usia 16-18 tahun, dan 6,75 persen untuk usia di bawah 15 tahun. Kesehatan reproduksi perempuan di kabupaten tersebut juga rendah, bahkan memiliki kecenderungan peningkatan angka kematian ibu melahirkan dalam empat tahun terakhir. Tingkat kematian neonatal, yakni kematian bayi yang lahir hidup dalam rentang waktu 28 hari sejak kelahiran bayi, di kabupaten ini juga cukup tinggi. Begitu juga dengan tingkat kematian bayi dari umur 29 hari hingga 11 bulan. Propinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki angka kematian ibu melahirkan yang tinggi. Pada tahun 2012 angka kematian ibu melahirkan di Kalbar mencapai 403 per 100.000 kelahiran hidup, hampir dua kali lipat bila dibandingkan dengan skala nasional yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Dua angka kematian lainnya, yakni kematian neonatal dan kematian bayi umur 29 hari hingga 11 bulan di propinsi ini juga tinggi. Kabupaten-kabupaten di propinsi ini yang tercatat sebagai wilayah yang kaya akan sumberdaya hutan memiliki angka tinggi untuk tiga angka kematian ini. Selain itu, propinsi ini juga termasuk salah satu propinsi yang memiliki data perdagangan perempuan yang cukup tinggi.
Apa makna data-data tersebut di atas? Pertama, data-data tersebut menunjukkan bahwa profil kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan ketidakadilan gender di wilayah-wilayah adat yang komunitasnya bergantung hidup pada sumberdaya hutan dan sumber-sumber agraria lainnya memiliki keterkaitan erat dengan ketimpangan penguasaan tanah yang dilanggengkan oleh kebijakan negara. Lebih jauh, data-data tersebut beserta beragam kisah pilu yang dialami masyarakat adat termasuk kisah kelam para perempuan dan warga rentan lain di dalam komunitasnya yang tidak tercakup di dalamnya, merupakan gambaran dari situasi negara yang mangkir. Mangkir dari kewajibannya untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil), dan melindungi (to protect) hak asasi manusia (HAM) khususnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat, termasuk perempuan dan anak perempuan. Berbagai bentuk peraturan perundangan, termasuk Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999, Undang-Undang Pemberantasan dan Pencegahan Kerusakan Hutan No. 21 tahun 2013, beberapa peraturan perundangan terkait lainnya, serta beragam kebijakan turunannya yang menjadi landasan bagi negara untuk merebut ruang hidup rakyat untuk kepentingan korporasi dan aktor-aktor politik lain dengan beragam kepentingan, menjadi gambaran konkrit dari negara yang mangkir atas kewajibannya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM masyarakat adat, termasuk perempuan, anak perempuan dan warga rentan dalam komunitas tersebut.
Konstitusi Indonesia telah mengatur rangkaian ketentuan perlindungan HAM. Ketentuan HAM lanjut diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Terdapat tiga kewajiban negara terkait dengan HAM. Pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) HAM. Kedua, kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) HAM yakni kewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis untuk menjamin pemenuhan HAM. Ketiga, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) HAM yakni kewajiban untuk melindungi HAM terhadap kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara sendiri atau pihak lain. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 35/PUU-X/2012 yang merevisi beberapa pasal dalam UU Kehutanan No. 41 1999 terkait dengan hutan adat sekaligus mengakui masyarakat adat sebagai penyandang hak, seharusnya dimaknai sebagai salah satu pintu masuk untuk menegakkan kewajiban negara dalam menghormati, memenuhi dan melindungi HAM masyarakat adat. Rancangan undang-undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang tengah digodok di DPR merupakan pintu penting lainnya bagi negara untuk melaksanakan tiga kewajiban utama tersebut.
Langkah-langkah penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM masyarakat adat, serta hak-hak khusus yang melekat pada perempuan adat, sudah dikembangkan oleh beberapa negara termasuk Filipina. Pada tahun 1997, tidak lama setelah rezim Ferdinand Marcos tumbang, Filipina menetapkan undang-undang tentang hak-hak masyarakat adat (Indigenous Peoples’ Rights Act/IPRA). Selain mengakui hak-hak masyarakat adat secara umum, undang-undang ini juga mengakui hak atas wilayah adat yang merupakan wilayah leluhur mereka. Sebagai tindak lanjut penetapan undang-undang ini, dibentuk Komisi Nasional Masyarakat Adat (National Commission on Indigenous Peoples/NCIP) yang berada di bawah Kantor Presiden. Komisi nasional ini menjadi institusi utama dalam pemerintah yang bertanggung jawab untuk melakukan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan rencana dan program untuk mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat di Filipina. Para penggiat gerakan masyarakat adat di Filipina yang memiliki perhatian pada perempuan adat terus-menerus mendorong agar pengakuan dan perlindungan hak-hak perempuan adat tidak ditinggalkan dan diabaikan.
Indonesia harus segera mengejar ketertinggalan dalam merumuskan langkah-langkah penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM masyarakat adat, serta hak-hak khusus yang melekat pada perempuan adat dan warga rentan dalam komunitas tersebut. Presiden terpilih dalam pemilu presiden 2014 harus segera mengambil tindakan politik untuk menghentikan tradisi negara mangkir atas kewajibannya terkait HAM masyarakat adat, termasuk perempuan dan warga rentan di dalam masyarakat adat. Pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta berbagai pihak lainnya perlu turut serta. Negara tidak bisa lagi melakukan pembiaran atas reproduksi pelanggaran HAM masyarakat adat, termasuk pelanggaran atas hak-hak perempuan adat dan warga rentan dalam komunitas adat. Negara tidak bisa lagi menutup mata atau bahkan menghancurkan masa depan Banang, Galu dan gadis-gadis cilik dari keluarga-keluarga miskin dan keluarga-keluarga marginal lainnya di berbagai wilayah adat di tanah air. Negara tidak boleh lagi mangkir dari kewajibannya.
[1] Ketua Program Studi Kajian Gender, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Peneliti pada Pusat Kajian Antropologi UI, dan pendiri RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment.
[2] Lihat http://inkuiriadat.org/wp-content/uploads/2014/05/Lembar-Fakta-03-Negara-Mangkir.pdf. Informasi lebih lanjut tentang Inkuiri Nasional Komnas HAM: http://inkuiriadat.org/Lihat http://inkuiriadat.org/