- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua Barat
Down to Earth Nr 51 November 2001
Secara terpisah, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan undang-undang otonomi khusus untuk Aceh dan Papua Barat. Ia merupakan suatu bentuk otonomi yang dirancang dengan suatu tawaran melebihi dan diatas otonomi 'biasa'. Tujuannya adalah meredam gerakan kemerdekaan yang menginginkan pemisahan menyeluruh dari Indonesia dengan memberikan daerah otoritas yang lebih besar untuk mengatur pemerintahan sendiri. Meskipun demikian, masih ada keraguan terhadap Megawati dan apakah aturan-aturan yang telah Ia setujui berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Persoalannya, terdapat kecenderungan yang menunjukkan pertanda keinginan pemerintah untuk menggunakan kekuatan militer untuk memaksakan kesatuan dibandingkan menerapkan pendekatan damai yang telah ditempuh pendahulu Megawati sebelumnya.
Aceh
Dalam Undang-Undang Otonomi Aceh yang disahkan pada bulan Agustus lalu, daerah itu mendapat nama baru sebagai 'Naggroe Aceh Darussalam' (NAD). Peraturan dalam undang-undang itu memberikan Aceh kekuasaan lebih besar untuk menentukan sistem pengadilan dan pendidikannya sendiri, selain juga pendapatan yang lebih besar dari sumberdaya minyak dan gas sampai 70%. Ketetapan itu melebihi otonomi biasa yang mengatur pembagian pendapatan di mana pemerintah propinsi hanya mendapatkan 15% dari minyak dan 35% pendapatan dari gas. Namun, masih belum jelas kapan tepatnya undang-undang otonomi Aceh akan diterapkan.
Menurut para aktivis HAM di Aceh, otonomi memiliki relevansi kecil bagi kepentingan rakyat banyak di wilayah tersebut, dan nampaknya sulit diterapkan sepanjang militer terus melakukan aksi-aksi penyiksaan, teror dan penghilangan paksa. Belum lagi dengan adanya Instruksi Presiden No. 4/2001 yang ditetapkan pada awal tahun ini dan diperbaharui lagi pada akhir Oktober tahun ini. Instruksi presiden itu telah melicinkan jalan pengiriman pasukan lebih banyak lagi dan peningkatan kekerasan di Aceh. Oleh karena itu, penghentian kekerasan adalah tuntutan utama rakyat Aceh. Namun, sampai sekarang pengesahan undang-undang otonomi khusus belum memberikan perbedaan yang berarti di lapangan.
Meskipun demikian, negara-negara asing –yang menunjukkan dukungan penuh bersemangat terhadap Megawati- menekankan pentingnya otonomi khusus sebagai jalan terbaik bagi Aceh, seperti dukungan yang diberikan oleh pemerintah Australia, Amerika Serikat dan Inggris terhadap kebijakan Megawati dalam menjaga integritas teritorial Indonesia. Tetapi organisasi-organisasi HAM merasa sangat prihatin bahwa fokus otonomi hanya akan mengalihkan perhatian dari persoalan yang lebih penting, yaitu tuntutan mendesak untuk mengadakan gencatan senjata antara gerakan kemerdekaan bersenjata, GAM, dan militer Indonesia, atau untuk menghentikan kekerasan militer terhadap penduduk sipil serta negosiasi penyelesaian damai yang melibatkan setiap pihak dibandingkan sekedar ketetapan yang hanya diputuskan oleh Jakarta.
Papua Barat
Undang-Undang Otonomi khusus Papua Barat disahkan pada bulan Oktober dan akan diterapkan pada bulan Januari 2002. Undang-Undang itu mengatur masalah:
- 70% dari royalti pertambangan minyak dan gas akan disalurkan kepada wilayah tersebut (yang akan dikaji ulang dalam periode 25 tahun kemudian);
- pendapatan royalti sebesar 80% dari hutan dan perikanan
- pendapatan dana yang berasal dari Alokasi Dana Umum Nasional –seperti juga yang lainnya dalam otnomi 'biasa';
- Alokasi Dana Umum sebesar 2% untuk pendidikan dan kesehatan;
- Dana tambahan (jumlahnya belum ditentukan) untuk pembangunan infrastruktur;
- Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terdiri dari kelompok masyarakat adat, gereja, dan pimpinan perempuan yang dirancang untuk melindungi hak-hak adat masyarakat adat Papua;
- Penggunaan bendera Papua sebagai simbol budaya dan bukan ekspresi kedaulatan Papu sebagai negara merdeka
Selama beberapa bulan terakhir, pembicaraan-pembicaraan tentang apa arti otonomi khusus bagi Papua Barat seharusnya semakin kencang. Konsultasi-konsultasi antara elit politik Papua, gereja, mahasiswa Papua, LSM dan anggota gerakan kemerdekaan menghasilkan suatu rancangan bagi undang-undang otonomi khusus yang diajukan ke Jakarta pada awal tahun ini. Rancangan awal tersebut –yang dapat dianggap sebagai batu loncatan menuju kemerdekaan dibandingkan otonomi sebagai tujuan akhir—mengalami perubahan mendasar di Jakarta di mana semua unsur yang dianggap kontroversial dihapuskan. Termasuk juga penghapusan terhadap kontrol atas kepolisian; investigasi masuknya Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia (yang telah diterima secara internasional berdasarkan Pepera tahun 1969); investigasi terhadap kekejaman pelanggaran HAM di masa lalu oleh militer Indonesia; dan pengadilan terhadap para pelaku yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM.
Pendapatan
Dalam rancangan awal yang diserahkan ke Jakarta, jumlah pembagian pendapatan ditetapkan 80% bagi Papua dan 20% bagi pemerintah pusat. Ketegangan terhadap pembahasan aspek-aspek dalam undang-undang itu tak terhindarkan karena Jakarta sangat bergantung pada pendapatan yang diperolah dari proyek-proyek di Papua barat –khususnya tambang emas dan tembaga Freeport/Rio Tinto – untuk menyeimbangkan budget mereka.
Menurut Mendagri Hari Sabarno, pembagian 70-30 akan menggandakan pendapatan Papua Barat, dan tanpa diragukan lagi, akan membuat perbedaan besar bagi keuangan pemerintahan lokal. Meskipun demikian, belum ada jaminan bahwa sejumlah besar dana tersebut akan mengalir bagi masyarakat lokal. Terdapat keprihatinan besar bahwa kemungkinan peningkatan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan asing sebaliknya akan memiskinkan penduduk lokal karena mereka kehilangan perangkat yang diperlukan untuk melindungi tanah dan hak-hak atas sumber daya.
Sepanjang militer masih terus bertindak tanpa hukuman, sedikit sekali peluang untuk memperkuat demokrasi di tingkat lokal yang berperan untuk mengawasi proyek-proyek pembangunan yang merusak. Seperti di Aceh, di mana kekejaman militer terus berlangsung dan iklim ketakutan dengan sengaja dipertahankan, ketidakpercayaan masayrakat lokal terhadap segala sesuatu yang berasal dari Jakarta akan terus berlangsung.
Presidium Menolak Otonomi
Dewan Presidium Papua (DPP) yang pro-kemerdekaan telah menolak undang-undang otonomi khusus dengan mengatakan bahwa itu tidak akan "memajukan solusi damai yang komprehensif dalam mengatasi konflik politik di Papua." Dalam suatu pernyataan yang ditandatangani oleh pemimpin DPP pada bulan Oktober, DPP mengatakan bahwa undang-undang itu merupakan "suatu contoh lain di mana nasib rakyat Papua ditentukan oleh orang lain ..." DPP akhirnya telah menjadi target upaya-upaya peredaman gerakan kemerdekaan oleh militer Indonesia dan agen-agen intelejen. Bebarapa anggota dewan tersebut sekarang ini tengah menjalani proses pengadilan atas tuduhan subversi.
(Buletin Infoprada 4/Sep/01, 22/Sep/01; Tapol Bulletin Oct/01; Media 26/Oct/01; Jakarta Post 26/Oct/01, 2/Nov/01; Statement by Papuan Presidium Council, 20/Oct/01)