- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Penyiksaan di perkebunan kelapa sawit
Down to Earth 87, Desember 2010
Kisah Seorang Pekerja Kebun Sawit Di Kalimantan
“Semakin lama kami bekerja, semakin kami menambah hutang.”
Itulah keluhan yang diucapkan oleh pak Suroso yang merasakan bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur selama 4,5 bulan. Wawancara ini dilakukan di kantor Sawit Watch pada awal Nopember 2010. Pada saat yang bersamaan Sawit Watch dan masyarakat korban perkebunan kelapa sawit tengah mempersiapkan laporan ke Komnas HAM atas masalah yang mereka hadapi.
Berawal dari keinginan untuk merubah nasib, Suroso warga desa Mlarang, Kabupaten Purworejo, Jawa tengah memutuskan untuk mencoba mendaftar menjadi pekerja kebun sawit melalui seorang ”kontraktor”. Kontraktor ini adalah warga desa tetangga yang ditugasi oleh bos (demikian mereka memanggil pemilik kebun) untuk mencari orang sebanyak-banyaknya
Keinginan untuk menjadi pekerja kebun sawit timbul karena tergiur dengan ucapan yang disampaikan oleh bos, bahwa di Kalimantan itu mudah untuk mendapatkan uang. Kalau cuma Rp100.000 per hari pasti bisa didapat dengan mudah dan itu hanya berlaku untuk mereka yang malas bekerja, kalau rajin pasti bisa mendapatkan lebih dari itu. Pertimbangan lain yang membuatnya ingin berangkat adalah karena anaknya yang pertama akan masuk sekolah lanjutan atas (SLTA) tentunya akan perlu biaya yang banyak.
Selain itu, mereka juga dijanjikan bahwa akan mendapatkan upah kerja borongan sebesar Rp400.000/ha, naik pesawat udara ke tempat tujuan, disediakan fasilitas sekolah, rumah ibadah dan tempat tinggal yang nyaman. Pekerjaan yang dilakukan sebagai perintis di perkebunan juga tidak berat, mereka hanya diminta untuk membabat kayu-kayu yang hanya sebesar ibu jari.
Ada13 orang dari desa Suroso yang mendaftarkan diri ke kontraktor, ditambah 7 orang kerabat kontraktor yang ikut serta menjadi pekerja kebun. Keberadaan kerabat kontraktor meyakinkan mereka bahwa pekerjaan ini baik untuk mereka.
Dari Purworejo mereka berangkat ke Surabaya dengan menggunakan bus, terus naik kapal laut menuju Samarinda. Sepanjang perjalanan dari Purworejo ke Surabaya mereka tidak mendapatkan makanan ataupun minuman. Mereka baru mendapatkan makanan ketika di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Setibanya di Samarinda, mereka naik mobil menuju pelabuhan ke Bulungan terus naik speed boat ke Sekatak. Disana sudah menunggu mobil perusahaan. Mereka dibawa naik mobil ke kebun, dan jaraknya terasa jauh sekali, sepertinya disengaja agar mereka tidak tahu jalan keluar dari kebun.
Kenyataan tidaklah seperti yang diceritakan. Lahan perkebunan masih gundul, hanya ada sisa tebangan pohon. Mereka juga harus membuat tempat tinggal mereka sendiri (biasanya disebut camp). Untuk penyediaan kebutuhan tempat tinggal dan peralatan bekerja, seperti terpal (untuk tenda), lampu tempel, lampu petromax, tikar untuk tidur, sarung tangan, parang, dsb disediakan oleh perusahaan tapi dihitung sebagai hutang yang akan dipotong ketika pembayaran hasil borongan nanti.
Baru tiga hari kerja di kebun Suroso sudah ingin berhenti karena tahu dibohongi. Sayangnya ia belum bisa keluar karena jarak kebun ke jalan besar cukup jauh. Pihak perusahaan melakukan pengamanan di setiap pos untuk memastikan tidak ada pekerja yang melarikan diri, karena ternyata seringkali pekerja di perkebunan ini melarikan diri. Ada yang berhasil dan ada yang harus kembali lagi ke kebun karena tertangkap oleh pihak perusahaan.
Pekerjaan pertama mereka adalah merintis kebun, yaitu membersihkan lahan dari semak dan rumput sebelum ditanami kelapa sawit. Satu kelompok mereka terdiri dari 13 orang yang berangkat bersama-sama dari kampung. Mereka mengerjakan 1 blok lahan seluas 60 ha selama ±48 hari dengan upah Rp12 juta. Berarti pekerjaan mereka hanya dihargai Rp200.000 per hektare. Dari jumlah tersebut Rp10 juta dipotong oleh perusahaan untuk pembayaran hutang dan sisanya barulah dibagi diantara mereka. Jadi masing-masing mereka hanya mendapatkan ±Rp150.000.
PT Sanjung Makmur Perusahaan ini berlokasi di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Mereka mendapatkan izin lahan seluas hampir 20.000 ha dan baru ditanami seluas 2.300 ha yang terdiri dari 236 hektare (ha) kebun plasma dan 2.064 ha kebun inti perusahaan. Sejumlah LSM, diantaranya Elsam, Pil-Net, Demos dan HuMA, menyatakan bahwa perusahaan ini merupakan satu dari 12 perusahaan yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Selain melakukan pelanggaran HAM, perusahaan ini juga mendapat tuntutan dari masyarakat Sekatak, pemilik kebun buah yang ditebang dan lahan yang digusur oleh perusahaan tanpa ada perundingan terlebih dulu dengan pemilik lahan. |
Selama empat bulan bekerja di kebun kelapa sawit hanya satu kali mereka bisa mengirimkan uang ke keluarga di kampung. Itu pun setelah mereka meminjam uang dari perusahaan sebesar Rp1 juta per orang. Uang yang dikirim kepada keluarga hanya Rp600.000 untuk biaya lebaran September lalu, sisanya digunakan untuk membeli kebutuhan pangan di kebun sawit karena pak Suroso tidak mau terlalu banyak berhutang di koperasi perusahaan.
Setelah sekian lama berada di perkebunan tanpa tahu kapan bisa melarikan diri, akhirnya Suroso dan adiknya menemukan jalan keluar. Mereka bertemu dengan organisasi internasional pemerhati satwa yang sedang melakukan survey dampak kebun sawit terhadap satwa hutan yang ada di Kalimantan Timur. Dibantu oleh peneliti tersebut mereka berhasil melarikan diri sampai ke Balikpapan dan kemudian dipertemukan dengan teman-teman di Sawit Watch yang mengangkat kasus mereka ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Menurut Suroso, ada banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan hal ini kepada para pekerja kebunnya di Kalimantan Timur. Dia hanyalah satu dari beberapa orang yang berhasil melarikan diri dari siksaan di perkebunan kelapa sawit. Suroso berharap teman-temannya yang masih ada di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Berau yang tersiksa dapat segera diselamatkan.
Analisa Hukum Sawit Watch Dalam lembar fakta yang dikeluarkan oleh Sawit Watch berjudul ’Perbudakan di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur’, disebutkan bahwa apa yang dialami oleh Suroso dan pekerja lainnya adalah bentuk baru dari perbudakan. Modusnya adalah dengan menjebak orang untuk berhutang sehingga mereka terpaksa harus bekerja terus menerus untuk orang yang memberikan hutang. Paling tidak ada beberapa ketentuan hukum yang sudah dilanggar oleh perusahaan perkebunan, diantaranya adalah UUD khususnya pasal 28I tentang hak untuk tidak disiksa; deklarasi universal HAM yang diratifikasi menjadi UU No. 39/1999; kovenan hak-hak sipil dan politik yang diratifikasi dengan UU No 12/2006; kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekososbub) yang diratifikasi melalui UU No. 11/2006; kovenan menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang diratifikasi oleh UU No. 5 Tahun 1998. |