- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Perjuangan Merebut Tanah
Down to Earth No. 40, Februari 1999
Jatuhnya Suharto, krisis ekonomi dan kebutuhan mendesak untuk menanam tanaman pangan, semakin memperuncing ketegangan antara masyarakat desa di satu pihak dengan para pemilik modal dan negara di lain pihak. Masyarakat desa berjuang merebut kembali tanah yang dirampas pihak perkebunan negara dan pemodal swasta dengan melakukan aksi pendudukan kembali lahan-lahan tersebut di berbagai tempat.
Selain itu, tekanan kebutuhan akan pangan dan lahan di pedesaan juga meningkat akibat kembalinya para buruh yang terkena PHK ke pedesaan. Bersama dengan jutaan penduduk desa lainnya, mereka terpuruk dalam jurang kemiskinan yang dalam. Situasi ini diperparah dengan gagalnya target program "jaring pengaman sosial" dalam mengatasi jutaan orang Indonesia yang kelaparan. Malahan, bantuan itu sering tidak sampai pada orang yang benar-benar membutuhkannya.
Dalam mengatasi kesulitan ini, penjarahan sepertinya menjadi jalan keluar. Di berbagai tempat, bahan makanan, produk perkebunan, kayu jati, atau gudang-gudang beras menjadi obyek jarahan-- singkatnya adalah segala sesuatu yang bisa dijual dan dimakan. (Lihat DTE 39). Media pun banyak memberitakan pembajakan yang sering terjadi di rute-rute tertentu terhadap angkutan bahan makanan dan komoditi lainnya.
Tidak heran bila silang pendapat di media massa sering menunjukkan kekhawatiran bahwa masyarakat sepertinya akan menuju jurang kehancuran. Tetapi apakah benar demikian? Yang jelas, kekhawatiran terhadap anarki hanya akan memberi pembenaran bagi pemerintah Habibie untuk bergantung pada kekuatan militer dalam menjaga keamanan.
Dikaitkan dengan konteks pendudukan lahan oleh kaum tani, maka pengertiannya adalah kekerasan dan pasukan bersenjata akan siap menghadang kaum tani yang melakukan pendudukan tanah. Peristiwa di Tapos --wilayah perkebunan dekat Bogor -- dan Cimacan yang sekarang menjadi lahan golf (Lihat DTE38) adalah salah satu contoh tentang digunakannya kekerasan guna mengusir petani dari lahan yang telah mereka duduki. Kasus serupa terjadi di Sumatera Utara. Enam orang terluka oleh tembakan peluru karet saat aparat keamanan berusaha mengusir para petani yang melakukan aksi pendudukan lahan perkebunan tembakau dan kelapa sawit milik negara dan swasta. Tindakan keras aparat bersenjata dilakukan setelah pihak perusahaan gagal menggusur para petani dari lahan yang mereka duduki.
Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan bahwa rejim Habibie sekarang pada dasarnya tidak berbeda sama sekali dengan pendahulunya, khususnya dalam kaitan dengan masalah sengketa tanah.
IMF dan Sumber Daya Alam di Indonesia
Maksud utama bantuan sejumlah 43 juta dollar AS oleh IMF adalah agar pemerintah Indonesia dapat segera meningkatkan neraca keuangannya dengan mendorong eksploitasi besar-besaran sumber daya alam di Indonesia. Kebijakan ini jelas akan menyebabkan jutaan rakyat Indonesia semakin terpuruk dalam kemiskinan., baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Belum lagi resiko kerusakan hutan alam dan tercerabutnya identitas budaya serta mata pencaharian masyarakat adat di wilayah sekitarnya. Bahkan yang paling buruk adalah, program "jaring pengaman" Bank Dunia yang tidak dirancang untuk menjangkau rakyat banyak di bawah garis kemiskinan, gagal mencapai tujuan yang paling minimal. Sampai sekarang ini, sudah setengah dari jumlah penduduk Indonesia secara resmi diakui hidup di bawah garis kemiskinan. Upaya mendorong perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit adalah salah satu strategi IMF yang menyebabkan terjadinya pengalihan lahan para petani kecil ke tangan pengusaha besar serta pengusiran masyarakat ada dari tanah adat tempat mereka tinggal dan mencari penghidupan. Belum lagi dengan pencabutan larangan eksport kayu gelondongan yang dalam waktu cepat akan mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia. Problem lain adalah ketergantungan terhadap hutang luar negeri yang hanya menciptakan beban generasi mendatang dan mengabadikan suatu iklim usaha di bawah rejim Suharto: suatu bentuk usaha yang membuat perusahaan-perusahaan seperti Freeport, Rio Tinto dan Mobil Oil bisa mengabaikan kepentingan lingkungan dan masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya. Mungkin saja "baik" membantu orang-orang Indonesia keluar dari belitan korupsi, kolusi dan nepotisme, tapi kalau pada akhirnya justru mengobral habis seluruh kekayaan alam di Indonesia ke tangan pemodal asing dan perusahaan multinasional jelas bukan merupakan kebijakan yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat Indonesia.
|
Pada masa Suharto berkuasa, aparat militer bersenjata senantiasa turun tangan mengusir petani dari lahan mereka demi terlaksananya berbagai mega proyek yang didanai hutang luar negeri. Untuk mencapai tujuannya, penguasa saat itu tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Bahkan aturan ganti rugi seringkali dilecehkan begitu saja oleh para pejabat yang korup dan lebih suka berpihak pada kepentingan pemodal. Model seperti ini menjadi umum di mana banyak lahan diambilalih secara paksa demi kepentingan bisnis keluarga Suharto dan para kroni-nya.
Satu hal yang membedakan pemerintahan Habibie dan Suharto sekarang ini, petani telah bangkit mengorganisir dirinya. Krisis ekonomi ternyata menjadi pendorong kuat bagi petani untuk berorganisasi. Inilah buah kebebasan yang dihirup banyak orang setelah tumbangnya Suharto.
Seperti cendawan di musim hujan, organisasi petani terbentuk di berbagai tempat. Untuk memperkuat posisinya, organisasi petani ini bergabung dengan kekuatan mahasiswa, aktivis lingkungan dan bantuan hukum dalam mendesakan perubahan. Tidak mengherankan bila tuntutan mereka sekarang ini sudah bukan lagi soal sengketa tanah individual semata, tapi juga perubahan politik dan pelaksanaan land reform secara menyeluruh.
Di Lampung sekitar ribuan petani dan mahasiswa melakukan long-march sepanjang 8 kilometer belum lama ini. Mereka menuntut reformasi politik dan penyelesaian masalah sengketa tanah. Aksi petani dan mahasiswa yang diorganisir Dewan Tani Lampung pada akhirnya berakhir dengan pendudukan kantor Gubernur. Dalam kesempatan itu, mereka mengeluarkan manifesto yang senafas dengan tuntutan para mahasiswa dan kaum buruh, yaitu reformasi politik dan mundurnya militernya dari politik.
Dewan juga mengajukan beberapa program, seperti program jangka pendek berupa pengalihan kembali lahan pertanian kepada petani; penurunan harga kebutuhan pokok; membangun pos-pos komunikasi di setiap desa dan membentuk koperasi tani guna mengembangkan kekuatan ekonomi lokal. [koperasi ini bukan model koperasi yang disponsori negara dan menjadi lahan korupsi rejim Orde Baru --red]. Sedangkan program jangka panjang mereka adalah pembentukan organisasi Dewan Tani di tingkat nasional. (Lampung Post 10/11/98; Manifesto Dewan Tani Lampung 9/11/98. Lihat juga DTE 38 untuk aksi para petani di Lampung)
Bulan Oktober 1998 yang lalu, organisasi lingkungan hidup WALHI mengadakan sebuah workshop tingkat regional dengan tema Korban Perkebunan Besar di Bengkulu. Workshop itu melibatkan perwakilan dari Aceh, Sumatra-Barat, Sumatera Selatan dan Lampung. Pada akhir acara, delegasi yang hadir mengeluarkan daftar tuntutan seperti pengembalian lahan petani, menolak intimidasi militer dan peninjauan kembali undang-undang dan peraturan yang biasa digunakan untuk melegitimasi pengambilalihan lahan secara paksa oleh perusahaan-perusahaan besar.(WALHI: Temu Rakyat Korban Perkebunan Besar Regional Sumatera 23/10/98). Sementara itu, bulan sebelumnya, di kota yang sama diadakan pula pertemuan antara petani dan masyarakat adat untuk bergabung bersama mempertahankan tanah dan hutan mereka. Pertemuan itu berhasil menghasilkan suatu deklarasi yang berjudul "Tanah Bagi Rakyat". Mereka mengeluarkan daftar tuntutan berupa pengembalian dan pengakuan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam; peninjauan kembali undang-undang dan peraturan; dan meminta pemerintah melakukan tindakan hukum bagi para pemodal yang mencuri dan membuka lahan dengan cara membakar dan juga tindakan pemerintah terhadap kasus-kasus tanah yang terjadi di tempat lainnya. (Pernyataan Sikap Masyarakat Adat dan Petani Bengkulu 24/9/98)
Antusiasme ini juga terjadi di beberapa tempat lainnya seperti Sulawesi dan Sumatera. Di Sulawesi Tengah, para petani yang terlibat dalam tiga kasus sengketa tanah yang berbeda, membentuk Solidaritas Rakyat Tertindas guna mengorganisir protes bersama terhadap perkebunan besar di DPR bulan Desember lalu. (WALHI Sulteng 17/12/98) Di Asahan, Sumatera Utara, bulan Juli tahun 1998 yang lalu juga dideklarasikan kelahiran salah satu organisasi petani pertama yang dibentuk pasca Suharto, Federasi Persatuan Petani Indonesia (Lihat DTE 38).
LAND REFORM
Setelah tumbangnya Suharto, orang mulai secara terbuka mengajukan tuntutan reformasi agraria melalui perubahan undang-undang pokok tentang tanah dan sumber daya alam. Adapun pokok persoalan yang mereka bahas adalah Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA 1960), sebuah perundang-undangan yang pada awalnya ditujukan untuk membatasi sistem pemilikan tanah, pembagian tanah dan penghapusan tanah absentee yang biasa dipraktekkan para tuan tanah. Undang-undang ini juga memberikan pengakuan terhadap sistem pemilikan komunal dan individual, serta mendorong pelaksanaan pendaftaran tanah. Sayangnya, pembagian tanah itu tidak dapat berjalan seluruhnya selama lima tahun sebelum rejim Suharto berkuasa. Ketika Suharto berkuasa, landreform dianggap sesuatu praktek yang berbau kiri dan komunis. Oleh karena itu, pemerintah menghentikan praktek pendistribusian tanah dan sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang membuat UUPA semakin terbatas, termasuk undang-undang yang mengatur larangan pengambilalihan lahan secara paksa oleh negara. Pemerintah memang tidak menghapuskan sama sekali UUPA 1960. Namun sayangnya, praktek di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa pembagian dan penguasaan tanah sekarang ini bukannya jatuh ke tangan petani kecil dan tak bertanah, tetapi malah semakin banyak dikuasai oleh para pengusaha besar dan elit politik. Suatu praktek yang jelas sangat bertentangan dengan gagasan dasar UUPA 1960. Lebih parah lagi, UU Pokok Kehutanan 1967 yang menempatkan persoalan tanah hutan diluar jangkauan hukum UUPA yang menjadi dasar pengalihan lahan hutan kepada para pengusaha perkayuan. Setelah rejim Suharto tumbang, tuntutan pelaksanaan landreform kembali mencuat. Bersama-sama dengan organisasi-organisasi petani yang baru dibentuk, kalangan LSM yang peduli terhadap masalah hak-hak masyarakat desa dan pengelolaan sumber daya alam mulai melancarkan desakan perubahan. Salah satunya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria--KPA, sebuah konsorsium berbagai LSM dan organisasi petani di Indonesia yang berbasis di Bandung, Jawa Barat. Mereka menjadi salah satu penyuara paling vokal gagasan landreform di Indonesia. Bersama organisasi-organisasi lainnya, KPA menyerukan pemulihan hak-hak kemilikan tanah rakyat, baik tanah pertanian bagi petani dan tanah ulayat bagi masyarakat adat. KPA juga memfokuskan perhatian dan kritik mereka terhadap kegiatan proyek pendaftaran tanah Bank Dunia. Menurut mereka, proyek itu sama sekali mengabaikan pengakuan terhadap hak adat dalam bentuk kepemilikan tanah. Selain itu, ia bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan cenderung mempercepat komoditisasi tanah.
|
Perkebunan Jalan Terus
Kebutuhan melawan sistem perkebunan semakin mendesak setelah pemerintah RI bersama IMF sepakat menjadikan ekspor tanaman keras sebagai sektor andalan mereka mengatasi krisis ekonomi.
Motivasi itu semakin kuat setelah membaiknya harga minyak kelapa sawit di pasaran dunia. Sampai dengan awal tahun 1998 yang lalu, sudah sekitar 2,5 juta hektar wilayah hutan berubah fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Tetapi rupanya jumlah itu masih belum cukup. Pemerintah masih merencanakan penambahan sekitar 3,1 juta hektar lahan perkebunan tanaman keras di wilayah Indonesia Timur. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan pengembangan tanaman keras lainnya seperti karet dan teh di tempat lainnya.
Pada bulan september 1998 lalu, pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan mengalokasikan dana sebesar 10 trilyun rupiah unuk memperluas jumlah lahan pekerbunan kelapa sawit, karet, teh dan lainnya seluas 200.000 hektar di luar pulau Jawa dua tahun mendatang. Di proyek lainnya, pemerintah telah menyediakan dana sebesar 3 milyar rupiah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di sepanjang jalan antara Samarinda dan Balikpapan, Kalimantan Timur, dekat proyek penghijauan hutan Bukit Suharto, sebuah wilayah yang menderita kerusakan paling parah akibat kebakaran hutan pada tahun 997/1998 lalu.
Di samping proyek-proyek tersebut, nampaknya proyek yang dimotori pihak swasta yang justru memiliki dampak paling besar. Belum lama ini, diumumkan bahwa akan dibangun sebuah proyek perkebunan kelapa sawit seluas 360.000 hektar berikut pabrik pemrosesannya di Kalimantan Timur. Proyek itu sendiri akan menyerap dana sebesar 5,5 milyar rupiah. Pihak penyandang dana proyek ini diberitakan berasal dari pengusaha asal Brunei. (Kaltim Post 12/12/98) Berdasarkan perkembangan seperti ini, banyak wilayah di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua Barat juga akan dibagi-bagikan kepada pihak swasta tanpa melalui konsultasi dengan masyarakat adat sekitar. Proses ini jelas akan menghancurkan kehidupan masaryakat sekitar yang bergantung pada tanah dan hutan sebagai tempat mata pencaharian utama. Selain itu, proyek-proyek tersebut akan menyebabkan petani pemilik tanah kehilangan lahannya dan menjadi buruh upahan dengan tingkat upah yang rendah di perkebunan.
Di Kalimantan dan Sumatra, invasi perkebunan kelapa sawit menjadi dasar kerusakan lahan. Hal ini disebabkan metode pembukaan lahan perkebunan dengan teknik membakar telah mengakibatkan kebakaran hutan yang tak terkendali.
Seluruh perkembangan ini jelas berpengaruh besar terhadap hajat hidup masyarakat dayak yang hak-hak adat mereka hadap lahan hutan tanah tidak pernah diakui. Dalam satu kasus yang terjadi baru-baru ini, masyarakat dayak mengambil alhi mesin perusahaan sebagai cara menekan perusahaan perkebunan untuk bernegosiasi dengan mereka tentang ganti rugi. Perusahaan itu adalah PT London Sumatra, salah satu perusahan yang dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan oleh Departemen Kehutanan. (Manuntung 15/9/98, Kaltim Post 10/6/98, 28/11/89 via Sawit Watch; Antara 6/10/98, E. Wakker, edisi mendatang Inside Indonesia)
Mega Proyek di Kalimantan Tengah
Terbetik suatu kabar yang menyatakan bahwa proyek konversi jutaan hektar lahan gambut yang gagal menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. (Lihat DTE 39). Berdasarkan laporan LSM Indonesia - Sawit Watch- yang mengutip berita surat kabar lokal, para pemodal asal Belanda sedang ditawarkan kesempatan untuk mengolah lahan tersebut. Pengumumuna itu dibuat oleh Menteri Riset & Teknologi Prof. Dr. Zuhal Abdulqadir. (Sawit Watch, 30/12/98, Kompas, 12/12/98).
Model Alternatif
Berbagai kelompok LSM di Indonesia telah lama menyerukan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakannya merubah lahan hutan dan pertanian menjadi lahan perkebunan besar. Salah satunya adalah SHK, sebuah LSM yang berbasis di Bogor, Jawa Barat. Pada bulan Desember yang lalu, cabang SHK di Kalimantan Timur mengeluarkan suatu pernyataan bahwa pembahasan tentang perkebunan besar seharusnya melibatkan pula kepentingan ekonomi lokal. Mereka mengkritik sistem Perkebunan Inti Rakyat-PIR, dan menyatakan bahwa metode bertani yang dilakukan oleh masyarakat adat jauh lebih baik sebagai dasar mengembangkan model manajemen kehutanan yang berbasiskan masyarakat. (SHK 2/12/98)
Artikel dibawah ini diterjemahlah dari buletin Down To Earth No. 40, Februari 1999