- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Pulp dan kertas menghadapi kesulitan
Down to Earth Nr 48 Februari 2001
Industri pulp di Indonesia tidak berkesinambungan baik secara finansial, sosial maupun ekologi, namun pemerintah Indonesia, pemerintah daerah dan para investor sama-sama menolak untuk bertanggung jawab.
Indonesia bangga sebagai salah satu produsen pulp kertas termurah di dunia. Investor asing menyokong pertumbuhan industri ini, walaupun mereka tahu terjadi pengrusakan hutan alam dan penebangan kayu gelap untuk perolehan bahan mentahnya. Perusahaan-perusahaan pulp dan kertas tidak bekesinambungan baik secara finansial maupun ekologis; hampir semua terlibat hutang besar. Namun demikian berbagai usaha perlawanan dilakukan terhadap pengurangan kelebihan kapasitas dengan cara penutupan pabrik pulp – termasuk juga dari para investor asing – dan beberapa pemerintah daerah mengijinkan pembukaan pabrik-pabrik pulp baru.
Sebuah makalah riset CIFOR* memperlihatkan bahwa industri pulp dan kertas Indonesia telah mengalami perkembangan hingga hampir 700% sejak akhir 1980an, jauh melebihi kecepatan dari perkembangan penanaman kayu pulp. Kapasitas produksi pulp Indonesia meningkat dari 606.000 ton per tahun pada 1988 menjadi 4,9 juta pada 1999, sementara kapasitas pengolahan kertas bertambah dari 1,2 juta menjadi 8,3 juta ton dalam periode yang sama. Peningkatan terakhir ini disebabkan oleh baru dimulainya PT Tanjung Enim Lestari (PT TEL) di Sumatra Selatan (450.000 ton saat ini) dan peningkatan kapasitas PT Indah Kiat dan PT Riau Andalan Pulp & Paper di Riau. Kapasitas ini membutuhkan 24 juta meter kubik kayu per tahun – jumlah total tingkat 'kesinambungan' kayu yang dapat dipanen setiap tahun dari hutan alam.
Perkebunan hanya memenuhi 8% dari kayu yang digunakan industri antara 1998 dan 1999. Sebagian besar kayu diperoleh dari pemotongan kayu langsung dari hutan alam, mengakibatkan terjadinya deboisasi sekitar 800.00 ha. 70 % diperkirakan adalah hasil dari penebangan gelap. (Untuk mengetahui lebih banyak mengenai latar belakang PT TEL lihat halaman advokasi website kami: www.gn.apc.org/dte/icamp/htm#PT Tel) Laporan CIFOR menyatakan bahwa pabrik-pabrik pulp Indonesia yang terbesar akan menghadapi semakin berkurangnya persediaan kayu dalam 5-7 tahun mendatang karena peningkatan hasil perkebunan tidak dapat memenuhi kebutuhan. Harga bahan mentah akan naik dan hal ini akan meningkatkan resiko finansial, terutama untuk investor asing yang membantu membiayai perluasan kapasitas.
*www.gn.apc.org/dte/camp/htm.)*Profits on Paper: Fiber, Finance and Debt in Indonesia's Pulp and Paper Industry, C. Barr, November 2000, tersedia di CIFOR's website: www.cifor.cgiar.org/
Hutang perusahaan yang dipinjam oleh para produsen pulp dan kertas Indonesia
konglomerat | Pemimpin Usaha | Bank | Hutang luar negeri Pulp & Kertas (US$ juta) | Hutang BPPN Pulp/Kertas (Rp mil) | Hutang BPPN Sektor lain (Rp mil) | Total Hutang BPPN (Rp mil) |
Sinar Mas/APP | Eka Tjipta Widjaja | Bank Internasional Indonesia | 9,075 | n.a. | 423 | 423 |
Raja Garuda Mas/APRIL | Sukanto Tanoto | Unibank | 2,010 | 484 | 433 | 917 |
Kiani Kertas/Kalimanis | Bob Hasan | Bank Umum Nasional (+ Bank Bukopin; Bank Muamat) | 670 | 2,480 | 1,997 | 4,477 |
PT TEL/Barito Pacific | Prayogo Pangestu | Bank Andromeda | 911 | n.a. | 6,395 | 6,395 |
TOTAL (termasuk lain-lain) | 12,916 | 4,906 | 9,248 | 14,154 |
Sumber: adaptasi dari C. Barr, Nov 2000, CIFOR
Dana masyarakat mempertahankan jalannya pabrik
Beberapa pabrik pengolahan pulp serta perkebunannya, yang dimiliki oleh konglomerat besar Indonesia kini berada di tangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang disponsori oleh IMF karena jatuhnya bank-bank yang dimiliki oleh konglomerat yang sama setelah krisis keuangan tahun 1997.
Perusahaan yang sama juga terlibat hutang luar negeri yang sangat besar (lihat tabel). Akibatnya adalah jutaan rakyat Indonesia lah yang mensubsidi industri pulp dan kertas melalui reskedul hutang, konversi hutang pribadi menjadi hutang masyarakat serta persetujuan-persetujuan lainnya. Misalnya pemerintah telah menghibahkan 900 juta dollar kepada PT Bank Internasional Indonesia milik Sinar Mas. Kiani Kertas milik Bob Hasan berhutang kepada BPPN sejumlah 370 juta dollar. Prayogo belum dipaksa untuk menjual sahamnya di PT TEL dan perkebunan pelengkapnya, walaupun pabrik petrokimia miliknya PT Chandra Asri berhutang 723 juta dollar.
Walaupun terlibat hutang besar-besaran ketika terjadi krisis keuangan, tak ada satu produsen utama pulp dan kertas Indonesia yang dipaksa tutup karena bankrut. Sebaliknya, BPPN dan para kreditor internasional membiarkan manajemen yang sama menjalankannya dan malah dalam kasus APRIL memberikan dana lebih lanjut untuk perluasan kapasitas. Alasan yang diberikan adalah agar para produsen pulp dapat membayar hutang mereka lebih cepat.
Sinar Mas, pemilik perusahaan yang terdaftar di bursa saham internasional, Pt Indah Kiat Pulp & Paper dan perusahaan kertas Tjiwi Kimia, adalah salah satu perusahaan yang terlibat hutang terbesar. Is menghabiskan lebih dari 10 milyar dollar untuk memperluas usaha pulp dan kertasnya di Indonesia dan Cina melalui perusahaan holdingnya di Singapura Asia Paper and Pulp (APP).
Perusahaan mungkin akan dikeluarkan dari daftar bursa saham di Amerika karena harga sahamnya diperjualbelikan dibawah 1 dollar selama 30 hari berturut-turut. Hal ini melanggar peraturan Komisi Perdagangan Sekuritas dan Saham Amerika. Harga saham APP di Bursa Saham New York mengalami penurunan drastis baru-baru ini, karena kekhawatiran perusahaan tidak akan dapat membayar hutangnya. Bila dikeluarkan dari bursa saham, APP harus segera membayar opsi Sejumlah 870 juta dollar. Juga akan lebih sulit bagi perusahaan untuk mencari pinjaman lagi atas kewajiban yang belum terlunaskan serta reskedul pinjaman untuk jangka waktu yang lebih panjang. (Dow Jones 7/Des/2000; Kompas 18/Jan/2000)
Indorayon menjadi Toba Pulp Lestari
Operasi Indorayon di Porsea ditutup secara efektif sejak akhir bulan 1998 akibat gelombang protes dan blokade penduduk setempat. Pemerintahan Habibie meminta agar dilakukan tinjauan menyeluruh terhadap dampak lingkungan dan sosial dari satu-satunya pabrik gabungan pulp dan serat rayon untuk menjawab keluhan berkepanjangan dari masyarakat sekitar tentang udara, air, dan polusi suara, pelanggaran hak atas tanah, kurangnya lapangan kerja serta ketidakadilan kompensasi.
Kabinet presiden Wahid mengalami perpecahan dalam menghadapi Indorayon, dimana Departemen Perdagangan dan Industri menekan pabrik untuk beroperasi kembali guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan ekspor sementara Menteri Lingkungan mengatakan bahwa pabrik harus ditutup untuk selamanya karena rekor polusinya yang amat buruk. Perlawanan keras ketika polisi berusaha menghentikan protes mengakibatkan sekitar 12 orang meninggal dan ratusan luka-luka selama dua tahun terakhir.
Pada bulan Mei 2000, pemerintah memutuskan bahwa Indorayon Pulp dapat memulai operasinya kembali, namun tidak memproduksi serat rayon. Hal ini mendorong timbulnya protes lebih lanjut. Usaha mati-matian Indorayon untuk memperhatikan keluhan-keluhan masyarakat dalam bentuk janji-janji penambahan lapangan kerja, kesempatan usaha dan lembaga masyarakat yang disponsori oleh perusahaan dan investor asing, ditolak. Pabrik Porsea tidak dapat beroperasi kembali dan Indorayon menderita kerugian finansial yang sangat besar. Pada bulan September penunjang dana luar negeri perusahaan sudah kehilangan kesabaran dan 1000 dari 7000 pegawai diberhentikan.
Untuk membuka jalan buntu Indorayon merubah namanya menjadi PT Toba Pulp Lestari dan merubah kepemimpinannya. Sebuah konsorsium yang menurut laporan termasuk Bank of Boston, Bank of New York, Bank Namura, ABN Amro Bank, dan Credit Lyonnais memberikan pinjaman sejumlah 4 juta dollar. Kepemimpinan baru yang menjanjikan hubungan yang lebih baik dengan komunitas setempat mungkin berhasil meyakinkan penunjang dana untuk bertahan lebih lama, namun tidak dapat merubah pendapat rakyat setempat. Penduduk Porsea dan desa-desa lain yang terkena dampak pabrik menolak untuk menerima perusahaan 'baru' ini dan Departemen Industri dan Perdagangan sejauh ini belum berani untuk memberikan ijin operasi yang baru.
Perusahaan induk Indorayon/Toba Pulp Lestari, Kelompok Raja Garuda Mas memiliki kesamaan dengan Sinar Mas (walaupun skalanya lebih kecil). Raja Garuda Mas meminjam sekitar 2 juta dollar di pasar internasional melalui perusahaan holding-nya Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), yang juga berkantor pusat di Singapura. RGM melepaskan Indorayon dari APRIL pada akhir 1999, agar ia lebih mudah mendapatkan dana luar negeri untuk memperluas pabrik pulp-nya yang lebih besar dan lebih modern, yaitu Riau Andalan Pulp & Paper. (Jakarta Post 17/Nov/2000; Pulp & Paper Online11/Des/2000; Kompas 10/Jan/2001).