- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
REDD di Indonesia –berita terkini
DTE 89-90, November 2011
DTE terakhir kali melaporkan perkembangan kebijakan dan proyek di Indonesia untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) pada awal 2010. Ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat komitmen internasional untuk membatasi emisi karbon Indonesia dan mengumumkan rencana untuk menanam jutaan hektare hutan baru. Indonesia tengah menegosiasikan kesepakatan REDD dengan Bank Dunia terkait dengan program kerjasama karbon hutan dan telah mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan REDD. Organisasi-organisasi masyarakat sipil (CSO) yang memantau perkembangan REDD di tingkat nasional dan regional merasa sangat khawatir dengan kurangnya perlindungan bagi masyarakat lokal yang hutannya, saat ini atau mungkin nantinya, menjadi target REDD.[1]
Delapan belas bulan setelah laporan tersebut, gambaran mengenai REDD (sekarang REDD +[2]) nasional menjadi semakin rinci, proyek REDD resmi maupun tak resmi diluncurkan, juga lebih banyak skema pendanaan internasional yang besar sudah mulai berjalan. Tetapi kekhawatiran CSO mengenai REDD dan proses pembuatan keputusan terkait dengan proyek dan kebijakan REDD masih ada. Karena proyek sudah memasuki tahap pelaksanaan, mereka semakin khawatir mengenai hak masyarakat—terutama semakin mendesak kebutuhan untuk melindungi hak masyarakat adat dalam memberikan atau tidak memberikan persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC) terhadap proyek yang mempengaruhi mereka. Pada saat yang sama, pemerintah mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan yang memberikan pengakuan atas hak masyarakat adat.
Mei 2010: | Surat Niat Norwegia-Indonesia mengenai REDD+ ditandatangani |
Oktober 2010 | Satuan Tugas REDD+ dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden 19/2010 |
November 2010: | Kementerian Kehutanan membentuk Kelompok Kerja Perubahan Iklim berdasarkan Keputusan Menhut No. 624/Menhut-II/2010 |
November 2010: | Draf Strategi REDD+ Nasional dibuat |
Mei 2011: | Moratorium selama dua tahun ditandatangani – Instruksi Presiden 10/2011 |
Juli 2011: | Indonesia mengindikasikan adanya perubahan kebijakan yang mengakui hak masyarakat adat dan menangani persoalan dalam hak kepemilikan hutan |
September 2011: | Presiden SBY mengumumkan adanya Satuan Tugas baru, yang akan membentuk kelembagaan REDD hingga paling lambat akhir 2012. |
Moratorium dan Surat Niat
Kebijakan yang sudah lama ditunggu-tunggu tentang moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut ditandatangani pada bulan Mei 2011. Instruksi Presiden No. 10/2011 merupakan satu dari hasil kesepakatan Surat Niat yang ditandatangani Indonesia bersama Norwegia pada tahun sebelumnya sebagai bagian dari kesepakatan REDD senilai US$ 1 milliar. Surat Niat dan kelanjutan Nota Konsep Bersama menetapkan rencana REDD+ dalam tiga tahap. Tahap persiapan pertama mencakup:
-
membentuk kelembagaan REDD+ nasional (yang akan dipersiapkan oleh Satuan Tugas REDD+) yang akan beroperasi penuh pada akhir tahun 2012
-
moratorium selama dua tahun (semula ditetapkan berlaku mulai Januari 2011, tapi ditunda sampai Mei)
-
membentuk Lembaga Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) yang independen
-
membentuk instrumen keuangan ad interim untuk menangani tahap persiapan
-
Strategi REDD+ Nasional akan dikembangkan menjadi rencana aksi nasional, dan yang “memuat metode penerapan FPIC dan pembagian keuntungan yang adil”
-
memilih provinsi percontohan (pilot) untuk REDD+.[3]
Tahap ‘Transformasi’ yang kedua dari kesepakatan Indonesia-Norwegia mencakup peningkatan kapasitas di tingkat nasional, reformasi hukum, dan paling sedikit satu proyek percontohan yang utuh dalam skala provinsi. Dalam tahap ketiga, disebut “Kontribusi bagi Kinerja yang telah Diverifikasi’ dan dijadwalkan mulai tahun 2014, Norwegia akan mulai mengucurkan pembayaran untuk Indonesia atas pengurangan emisi sesuai dengan pedoman UNFCCC.[4]
Moratorium itu sendiri disambut dingin oleh CSO karena kebijakan itu hanya memberikan sedikit perlindungan tambahan bagi hutan di Indonesia yang rusak dalam waktu singkat. Hal ini terutama disebabkan oleh perkecualian yang diberikan untuk perusahaan besar yang ingin terus menggunakan hutan dan lahan gambut yang kaya akan karbon untuk memperluas usaha mereka. Instruksi Presiden No. 10/2010 memberikan perkecualian moratorium sbb:
-
permohonan yang telah mendapatkan ijin prinsip dari Kementerian Kehutanan,
-
pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital (panas bumi, minyak dan gas alam, listrik serta lahan padi dan tebu);
-
perpanjangan ijin pemanfaatan hutan yang sudah ada
-
restorasi ekosistem.[5]
Menurut pemerintah, area moratorium meliputi 64 juta hektare. Tetapi, CSO mengatakan bahwa hanya sekitar 45,5 juta hektare hutan primer yang masih tersisa. Sekitar seperempat dari hutan tersisa sudah diberikan ijin eksploitasi (sehingga tak bisa dimasukkan dalam moratorium) dan sebagian besar dari sisanya sudah dilindungi dari jangkauan pengusaha kayu atau pengembang perkebunan sebab kawasan itu masuk dalam kategori hutan lindung. Menurut perhitungan, hanya sekitar 8,8 juta hektare hutan primer Indonesia yang sebetulnya mendapat perlindungan tambahan melalui moratorium itu.[6]
Salah satu kawasan yang dikecualikan dari moratorium adalah kawasan yang dialokasikan untuk proyek MIFEE di Merauke (lihat artikel terpisah). Sebelum moratorium dikeluarkan, Kuntoro Mangkusbroto, pembantu utama presiden yang menangani Satuan Tugas REDD+, mengatakan bahwa kawasan MIFEE akan dikurangi luasnya menjadi 350.000-500.000 hektare antara lain karena adanya lahan gambut yang kaya karbon di daerah itu.[7]
Dampak positif dari pengumuman moratorium itu semakin dipatahkan oleh terbitnya laporan ornop Environmental Investigation Agency (EIA) dan Telapak. Laporan itu menunjukkan bagaimana moratorium itu dilanggar pada hari pertama oleh pengembang kelapa sawit Malaysia di Kalimantan Tengah. Juga disebutkan bahwa Norwegia—promotor moratorium itu—pada saat yang sama menanamkan modal di sektor perkayuan dan perkebunan, yang erat hubungannya dengan pembabatan hutan.[8]
Juga terungkap bahwa Kementerian Kehutanan sudah mengeluarkan ijin eksploitasi 2,9 juta hektare hutan untuk beberapa perusahaan pada akhir tahun 2010, yang tampaknya merupakan tindakan tergesa-gesa untuk menghindari moratorium, yang semula dijadwalkan dimulai tanggal 1 Januari 2011.[9] Hal lain yang bertentangan dengan tujuan moratorium ini adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. 18/2011 pada bulan Februari. Peraturan ini memberikan ijin bagi pertambangan bawah tanah, pembangkit listrik dan proyek nasional lain yang penting untuk terus dilaksanakan di hutan lindung.[10]
Perkembangan REDD+ lainnya, yang sebagian terkait dengan Surat Niat Norwegia, termasuk:
-
pembentukan Satuan Tugas REDD+ Nasional, pada bulan Oktober 2010, yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusbroto, mantan menteri pertambangan, ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pasca tsunami, dan kini ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
-
pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim November 2010, dalam Kementerian Kehutanan, untuk mendukung perwakilannya dalam Kelompok Kerja REDD+;
-
konsultasi dengan ornop mengenai Draf Strategi Nasional REDD+. Input dari kelompok masyarakat sipil (termasuk DTE) menyerukan agar strategi itu memenuhi standar hak asasi manusia internasional, mengakui peran masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam perlindungan hutan, memasukkan strategi penanganan konflik atas tanah dan memasukkan mekanisme keluhan sehingga masyarakat dapat melaporkan pelanggaran atau dampak negatif REDD+ dan masalah mereka dapat ditangani.[11]
- Semakin banyak kegiatan demonstrasi REDD+. Hingga Februari 2011, Kementerian Kehutanan telah menyetujui 16 proyek dan lebih dari 60 lainnya masuk dalam daftar tunggu.[12] Kekhawatiran kian meningkat bahwa proyek akan berjalan sebelum mekanisme perlindungan (safeguard) bagi masyarakat disepakati. Laporan yang dikeluarkan oleh HuMa, sebuah ornop di Jakarta, menyoroti kekhawatiran atas kurangnya perlindungan dari penyandang dana REDD bilateral.[13]
Salah satu skema REDD internasional yang sudah berjalan adalah kesepakatan senilai US$ 3,6 juta dari Dana Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Fund atau FCPF) yang dipimpin Bank Dunia untuk mempersiapkan REDD+ Indonesia. Kesepakatan FCPF ditandatangani Juni 2011 dan yang terdiri dari kegiatan analisis, peningkatan kapasitas, konsultasi dan penjangkauan (ornop), serta pengumpulan data regional. Daerah yang menjadi fokus regional adalah Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan (Musi Rawas), Maluku, Aceh dan Papua Barat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil mengecam proposal Indonesia untuk dana FCPF, serta mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai perlindungan serta kurangnya transparansi dan partisipasi dalam proses konsultasi.[14] Penelitian atas proyek FCPF di seluruh dunia yang diterbitkan pada bulan Maret 2011, Smoke and Mirrors, menegaskan bahwa tak satu pun dari delapan rencana persiapan REDD (termasuk Indonesia) menyikapi persoalan hak atas tanah atau mengakui konflik yang ada secara memadai.
REDD Regional
Meskipun gubernur Papua dan Aceh merupakan kepala daerah pertama yang secara terbuka mendukung REDD di daerah mereka, Kalimantan adalah daerah yang dipilih untuk proyek resmi REDD, dan pada akhir tahun 2010, pemerintah mengumumkan bahwa Kalimantan Tengah merupakan provinsi percontohan REDD sesuai dengan kesepakatan REDD Norwegia.[15] Penolakan keras atas proyek REDD di provinsi itu disampaikan oleh kelompok masyarakat lokal seperti Yayasan Petak Danum Kalimantan dan Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG), yang memang banyak mengecam maksud di balik offset karbon oleh negara dan lembaga yang terlibat dalam pendanaan skema REDD di provinsi tersebut.[16] Kelompok itu mengatakan bahwa masyarakat setempat dapat mengelola hutan mereka secara berkelanjutan ketimbang skema REDD, mereka perlu pengakuan dan penghargaan atas hak-hak mereka untuk mengelola tanah dan sumber daya mereka sendiri.
Sementara itu di Aceh, proyek REDD Ulu Masen (yang dikembangkan oleh pemerintah Aceh dan Carbon Conservation, bekerjasama dengan Fauna and Flora Internasional) yang menarik banyak perhatian, tetap sangat kontroversial. Penelitian terakhir menyimpulkan bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam proyek dikhawatirkan dapat merongrong tujuan proyek untuk memangkas emisi CO2 dari deforestasi. Survei yang diadakan tahun 2008 oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh (JKMA) menemukan bahwa masyarakat adat belum pernah menerima informasi mengenai program Ulu Masen dan juga REDD.[17]
Penelitian penting yang dilakukan oleh Institute for Global Environmental Strategies (IGES) dan diterbitkan Juli 2010, melaporkan kekhawatiran masyarakat bahwa tak adanya sistem penguasaan tanah yang pasti akan membuat REDD hanya bermanfaat bagi ‘pemain kelas kakap’ seperti perusahaan pertambangan, kayu dan perkebunan. Tak ada ijin yang diberikan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan, dan juga tak ada dukungan penuh (atau sebagian) serta keterlibatan masyarakat setempat, demikian menurut penelitian itu. “Ada bahaya yang nyata, bahwa proses REDD akan mengulangi kesalahan eksperimen di masa lalu terkait dengan strategi pengelolaan hutan yang tersentralisasi dan dipaksakan.”[18] Tampaknya tak ada kemajuan: survei independen selanjutnya yang diadakan Januari 2011 dan hasilnya dimuat dalam Inside Indonesia, menemukan bahwa “akses terhadap informasi sangat kurang dan pengetahuan mengenai REDD sangat lemah.”[19]
Secercah harapan? Perubahan besar dalam kebijakan mengenai hak masyarakat adat
Tanda-tanda perlunya perubahan dalam kebijakan hutan di Indonesia semakin nyata ketika pembantu presiden Kuntoro Mangkusubroto pada bulan Juli mengumumkan dalam suatu pertemuan internasional bahwa Indonesia akan “mengakui, menghargai dan melindungi hak-hak adat.” Kuntoro mengatakan bahwa pemerintah perlu segera mengembangkan suatu peta sebagai dasar bagi semua pengambilan keputusan yang akan digunakan oleh semua kementerian dan lembaga pemerintah, juga untuk menentukan status hukum batas-batas wilayah hutan di Indonesia yang “menjamin diakuinya hak-hak adat.”[20] Ia menegaskan bahwa hanya sekitar 12% hutan Indonesia yang telah diatur batas-batasnya secara hukum.[21] Ia mengatakan bahwa semua tindakan mengenai tanah di masa depan harus didasarkan atas prinsip “pengakuan, penghargaan dan perlindungan atas hak-hak adat” dan bahwa pengakuan itu harus ada sebelum tanah negara dialokasikan untuk penggunaan lain. Ia juga menjelaskan bahwa TAP MPR IX yang disahkan tahun 2001 oleh badan tertinggi negara memberikan dasar hukum yang jelas bagi reformasi itu.[22]
Kuntoro menyampaikan pernyataan yang dramatis itu menyusul adanya tanda-tanda yang menggembirakan, termasuk kesepakatan antara AMAN dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memberdayakan masyarakat adat.[23] Masih perlu dilihat bagaimana keseriusan pemerintah dalam menerjemahkan kata-kata menjadi tindakan, dan bagaimana komitmen ini dijalankan di daerah seperti Papua, di mana terdapat banyak pelanggaran atas hak masyarakat adat.
Sumber-sumber informasi tentang REDD
|
Notes
2. REDD+ mencakup konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan simpanan karbon hutan – dengan tujuan utama untuk mendukung pembangunan yang berpihak pada warga miskin. Juga lihat boks dalam artikel DTE 88
3. Catatan Konsep Kemitraan Indonesia-Norwegia. 12/Mar/2010.
4. Surat niat (Letter of Intent) antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia mengenai “Kerjasama dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.” http://www.regjeringen.no/upload/SMK/Vedlegg/2010/Indonesia_avtale.pdf
5. http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17176/INPRES0102011.pdf.
6. Siaran Pers ‘Janji Palsu Instruksi Presiden mengenai penundaan dikeluarkannya ijin baru, 6/Jun/11 dan Makalah Singkat Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global (WALHI, HuMa, Greenpeace, Sawit Watch, JATAM, Debt Watch, BIC).
8. Caught REDD Handed, How Indonesia’s Logging Moratorium was Criminally Compromised on Day One and Norway Will Profit. EIA/Telapak.
9. Data dari Greenpeace yang dikutip dalam artikel ‘Govt torn between courting business, protecting forests’ The Jakarta Post 02/Jun/11.
10. ‘Indonesia’s Protected Forests Now Open to Development’, Jakarta Globe 1/Mar/10.
11. Masukan Jaringan Masyarakat Sipil terhadap Draft 1 Strategi Nasional REDD+, Jakarta, 25 Oktober 2010.
12. World Bank Readiness Preparation Proposal Assessment Note, Februari 2011, diunduh dari situs web FCPF http://www.forestcarbonpartnership.org/fcp/Node/218
13. Preliminary Study on the Safeguards Policies of Bilateral Donors to REDD Programs in Indonesia, HuMa 2010.
15. ‘Indonesia chooses climate pact pilot province’ Reuters 31/Dec/2010.
16. Lihat DTE 82, September 2009
18. Ulu Masen REDD Demonstration Project, Institute for Global Environmental Studies, Lesley McCulloch, Juli 2010.
19. ‘Selling the Wind’, oleh Environmental Justice and Governance Research Lab, Inside Indonesia, 25/Jul/2011
20. ‘Indonesian Government announces dramatic shift in forest policy; commitment to rights of IPs, communities’. Rights and Resources Initiative, 13/Jul/11, http://www.rightsandresources.org/publication_details.php?publicationID=2494
21. Lihat DTE 70, Agustus 2006.
22. Rights and Resources Initiative (RRI), 13/Jul/11, seperti di atas. Lihat juga DTE 52 di http://www.downtoearth-indonesia.org/old-site/52MPR.htm dan DTE 57 at http://www.downtoearth-indonesia.org/old-site/57MPR.htm untuk informasi latar belakang TAP MPR IX.