- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Standar Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia: Tidak cukup dengan kata-kata
Down to Earth No 73 May 2007
Setelah melalui proses panjang, akhirnya tim kecil standar legalitas menuntaskan Standar Verifikasi Legalitas Kayu. Bagaimana dampaknya di lapangan, di mana hutan Indonesia terus digunduli dengan cepat, masih harus dilihat.
Draft akhir tersebut diserahkan secara resmi kepada Departemen Kehutanan awal bulan Februari 2007. Bagi banyak Ornop draft ini dipandang sebagai suatu prestasi baik, karena banyak hal disikapi seperti masalah hak masyarakat setempat, - termasuk hak-hak masyarakat adat - dan pengakuan hukum atas kayu yang dihasilkan dari hutan masyarakat dan/atau adat, pada saat yang sama draft ini masih mengacu pada hukum dan peraturan yang berlaku.
Standar ini awalnya disusun sebagai bagian dari tindak lanjut kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Inggris tahun 2002. Pada gilirannya, draft awal tersebut digantikan oleh Rencana Aksi FLEGT1 yang diadopsi oleh Uni Eropa pada tahun 2003. Titik utama rencana FLEGT adalah kesepakatan bilateral VPA atau Kesepakatan Kerjasama Sukarela yang bertujuan untuk mencegah kayu ilegal dari negara penghasil masuk ke wilayah Uni Eropa. Standar legalitas merupakan prasyarat penting bagi VPA untuk menentukan apa yang dapat dan apa yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai kayu 'legal'. Standar tersebut juga dapat digunakan sebagai dasar bagi semua peraturan dan kesepakatan kehutanan Indonesia untuk mengendalikan perdagangan kayu ilegal di negara lain. (Lihat DTE 67 dan DTE 69 untuk latar belakang isu. Informasi lebih lanjut tentang negosiasi VPA Indonesia dapat dilihat di www.illegal-logging.info)
Masih belum jelas bentuk hukum dari standar tersebut, apakah akan berupa keputusan presiden atau menteri atau peraturan pemerintah.
Anggota 'tim kecil'2 menyebutkan beberapa hal yang harus ditindaklanjuti jika standar legalitas telah dituntaskan antara lain, soal kelembagaan, mekanisme dan prosedur yang diperlukan untuk memverifikasi legalitas kayu, juga soal pengumuman hasil verifikasi. Masalah ini diangkat dalam konsultasi publik di Jakarta 10 January 2007. Disepakati oleh peserta diskusi publik bahwa lembaga pelaksana harus mandiri dan multi pihak serta mendapat mandat penuh dari pemerintah. Juga disepakati badan pelaku verifikasi (setelah melalui proses akreditasi) berada di bawah lembaga pelaksana dan lembaga penyelesaian keberatan.
Di berbagai pertemuan di tingkat internasional Standar Verifikasi Legalitas Kayu ditunjukkan sebagai niat dan upaya baik pihak Indonesia untuk mengurangi laju deforestasi. Misalnya, dalam pertemuan di Chatam House London pada akhir Januari 2007, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Dr Hadi Daryanto dari Departemen Kehutanan mencoba meyakinkan bahwa draft akhir Standar akan segera dilaksanakan tanpa ada pengurangan atau pelemahan standar.
Kenyataannya, sampai saat ini belum ada satupun langkah tindak lanjut yang terwujud. Perkembangan terbaru adlaah dikeluarkannya sebuah SK Menhut yang menunjuk Panitia Pengarah (Steering Committee) untuk membentuk lembagaan pelaksana standar verifikasi legalitas kayu. Tampaknya perbedaan pendapat di dalam Departemen Kehutanan, antara lain yang membuat proses penyusunan draft selama ini berlangsung lama, yang menjadi penghambat.
Sementara itu penggundulan hutan akibat logging yang merusak terus berjalan. Greenpeace bahkan menunjuk bahwa Indonesia pantas didaftarkan ke dalam Guiness Books of Records sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia3. Antara tahun 2000-2005 sekitar 1,8 juta ha hutan musnah per tahun. Meskipun Menteri Kehutanan4 MS Kaban membantah angka ini, menteri pendahulunya mengakui pada tahun 2004 bahwa penggundulan hutan menghabiskan 2,5 juta ha hutan per tahun.
Pada tanggal 8 Januari 2007 pemerintah Indonesia dan Uni Eropa sepakat untuk memulai negosiasi resmi mengenai VPA. Pihak Indonesia berharap dapat menuntaskan proses ini pada akhir tahun 2007. Langkah pertama untuk memadukan standar legalitas yang baru dan perangkat kelembagaan yang terkait dengan syarat-syarat Uni Eropa telah dilaksanakan antara pejabat kedua pihak di Jakarta pada tanggal 29 dan 30 Maret.
Sasaran Uni Eropa secara umum adalah sistem lisensi yang memberi jaminan kepada pembeli Eropa bahwa produk kayu yang dibeli adalah hasil operasi legal di negara mitra. Unsur kunci dari skema ini adalah pemantauan pihak ketiga yang mandiri. Namun demikian, pada saat Briefing Notes Uni Eropa yang penting saat ini sedang ditulis, kecil sekali peluang Ornop Indonesia untuk berperan resmi dalam proses ini.
Pembicaraan antara Uni Eropa dan pemerintah Indonesia sejauh ini berkonsentrasi pada hal bagaimana Uni Eropa dapat mendorong VPA dan mendukung 'kerja positif' pemerintah Indonesia. Proyek Pendukung FLEGT berjangka waktu 5 tahun senilai 16,7 juta ECU5 yang digagas oleh Uni Eropa pada awal 2006 telah menuai banyak kritik dari Ornop Indonesia dan internasional karena perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan yang buruk.
Namun demikian, anggota delegasi Uni Eropa di Jakarta dan parlemen Eropa mengungkapkan harapan mereka bahwa VPA antara Uni Eropa dan Indonesia akan menjadi model bagi negara lain di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Pernyataan ini menggarisbawahi posisi penting Indonesia dan sumber daya alamnya. Ada harapan bahwa standar legalitas akan menjadi alat untuk mengurangi tingkat penggundulan hutan dan untuk menjadi pelopor 'tata kelola kehutanan yang baik' dan pada gilirannya membangun reputasi kehutanan Indonesia yang baik. Namun, tanpa lembaga yang mandiri dan terpercaya prestasi standar legalitas hanya tinggal sebagai kata-kata dalam dokumen dan tidak mampu menghentikan perusakan hutan.
*Catatan: Yuyun Indradi, staf Down To Earth, terlibat dalam 'tim kecil' sebagai wakil AMAN.
(Sumber: Rancangan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, Tim Kerja Pengembangan dan Perumusan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di www.lei.or.id/indonesia/news_detail.php?cat=0&news_id=63; Kompas 16/Mar/07; Kompas 5/Mei/07; Reuters 4/Mei/07)
1 Forest Law Enforcement Governance and Trade atau Penegakan Hukum dibidang Kehutanan, Tata Kelola dan Perdagangan.
2 Kelompok kerja multi-pihak yang menangani standar legalitas
3 www.kompas.com/ver1/Metropolitan/0703/16/092044.htm
4 www.kompas.com/ver1/Nusantara/0705/05/163610.htm
5 ECU (European Currency Unit) adalah mata uang Uni Eropa